Jumat, 31 Oktober 2008

Oleh-oleh dari UTS

"Evaluasi". Kalau mendengar kata ini, apa yang mungkin tebersit di kepalamu? Takut? Mungkin. Ngeri? Bisa jadi. Was-was? Siapa tahu. Tapi, untuk sekarang, pinggirkan dulu prasangka jelek soal evaluasi. Anggap saja cermin. Kalau rambut berantakan, tentu bukan cermin yang kita ganti bukan? Yah, kira-kira seperti itulah evaluasi kalau dipandang sebagai perangkat saja.

Lalu, apa sih yang akan kamu evaluasi? Ya, coba lihat judulnya lagi deh. Itu, tuh.. Singkatan terakhir itu. Tiga huruf "maut" buat kami mahasiswa, bersama dengan pasangan sejatinya, "UAS". Jadi memang, pekan ini kami menghadap pekan ujian. Karena waktunya pada pertengahan semester, jadilah namanya ujian tengah semester. Yuk kita mulai, perlahan-lahan saja, tentunya.

Senin (27. 08):
Kosong, tak ada ujian (buatku).

Selasa (28. 08):
Standardisasi Material (10.00-12.00 WIB). Penilaian: Beruntung! Coba saja kalau yang muncul alih-alih mengenai struktur organisasi ISO, malah penomoran paduan NikeL (yang terlewatkan karena praktikum itu)? Wah.. Sudah pasti, segera kutulisi lengkap isian di sampul buku ujian dan segera kukembalikan ke Dosen.

Material Mutakhir (15.30-17.00). Penilaian: Sekali lagi, beruntung! Keluarkan segala hal tentang material cerdas (paduan pengingat-bentuk) dan aku akan mengecewakan Pak Herman lagi. Biar demikian, soal analisis penyusunan-diri dipengaruhi-penguapan itu cukup mengerikan juga dengan bobot 35 poin dari total 100. Fuh...

Rabu (29. 08)
Kesehatan & Keselamatan Kerja; Lindung Lingkungan/K3LL (08.00-10.00). Tiga soal, analisis risiko, juga soal analisis grafik dan analisis lainnya. Syukur ada PR yang kukerjakan, terkait analisis risiko itu. Jadi, bisa dikata cukup aman lah.

Baja Paduan Khusus dan Paduan Super (15.30-17.00). Ini dia. Katastrofi, kalau kata orang. Soal hanya enam, lebih berupa isian daripada analisis, tapi itu dia masalahnya. Tanpa analisis, yang bisa diisi sepanjang-panjangnya asal setidaknya menyinggung inti jawaban, habislah aku...

Kamis (30. 08)
Mesin-mesin Pengolahan Plastik (08.00-10.00). Ampun deh.. Berangkat dari rumah delapan kurang seperempat karena mencetak tugas kelompok (yang akhirnya kukerjakan sendiri juga... Huh...) dengan pencetak yang amburadul. Tapi, biar terlambat tak boleh panik. Napas tersengal masuk kelas, tapi pikiran tetap jernih, jadi tak terlalu masalah deh.

Jum'at (31. 08), hari terakhir....
Statistika dan Probabilitas (07.30-09.00). Nah, ini dia suguhan penutup yang memusingkan. Coba bayangkan 100 data acak, disajikan dalam tabel, dengan perintah yang singkat: "Buat histogram, lalu hitung deviasi standar dan persentase kesalahan." Bagus sekali. Empatpuluh lima menit habis hanya untuk menyusun ulang (mengelompokkan) data itu jadi tabel yang manis. Kemudian limabelas-duapuluh menit untuk menggambarkan histogram (yang kusebut tegas: "JELEK"). Lalu sisanya untuk berhitung deviasi standar yang tak pernah kudapat... Jelek...

Mekanika Perpatahan dan Analisis Kegagalan (13.30-15.00). Lumayan. Untuk mata kuliah yang tidak bisa kumengerti samasekali ini, ini luar biasa. Sembilan soal dan hanya lewat satu saja. Setidaknya bisa dapat nilai pas, kuduga.

Kesimpulan akhir: Belajar lebih keras di Statistik, Baja paduan, dan Mekanika Perpatahan. Itu saja.

Yah, begitulah... Bahkan di sela-sela UTS kemarin (Rabu siang, dan Kamis lepas ujian) masih memaksa diri mengejar mimpi di TA. Menimbang, memanggang, menyemprot larutan asam kuat pekat, begitulah. Syukur ada Dini, biar masih belum banyak bercerita kami. Padahal rekan mestinya berbagi yah?

Duh... Besok bebersih lab, kemudian melanjut TA sebanyak waktu mengizinkan, lalu ada rencana datang ke pekan raya pendidikan Eropah, kemudian Ahad mengetik ulang statistik, kemudian Senin... Mungkin tidur lagi? :p


F  I  N
written on 31. Okt 2008, 20.30 WIB
.h.e.c.t.i.c. Tapi tergila-gila lembutnya lagu berbahasa Italia yang dinyanyikan pula di kartun favoritku
Tom and Jerry, "Santa Lucia".

Rabu, 29 Oktober 2008

Mari Berdendang...

Yap... Mari berdendang bersamaku. Mari bersaing dengan kodok dan katak di malam berhujan (tahu bedanya, tak? Kodok itu hampir identik dengan buduk/kulit kasar, katak itu halus kulitnya). Mari kalahkan jangkrik di sunyinya malam. Mari temani sahutan burung hantu di bawah naungan redup cahaya bulan.

Sementara biarkan ujian yang hari ini lewat hari kedua, yang sepertinya banyak didasari keberuntungan dan ingatan yang cukup daripada pengertian. Sementara biarkan penyemprot untuk melapis kaca itu rusak dan mengacau rencana berjuang untuk TA di tengah ujian ini. Sementara biarkan kembang tumbuh lagi dalam hati, yang rencananya akan kuberikan untuk Puteri di seberang ruang kami mengutik proyek kami. Sementara sang Puteri hari ini berkata telah biasa melewatkan makan siangnya.

Yakin deh, tak ada hujan sepanjang tahun sebagaimana panas seluruh kalender. Tak ada bahagia selamanya tapi tak juga ada sedih selamanya. Karena aku tahu Kamu paling mengerti, kapan menundukkan kepala yang semakin tinggi menatap langit, dan mendongakkan kepala yang semakin runduk menembus tanah.

Jadi... Nyanyi sedikit yuk? Tiga pekan terakhir, ingin rasanya bisa melantunkan bait-bait sederhana ini di hadapan yang dimaksud. Soal reaksi, aku tak peduli. Sudahlah.. Yuk...

################
*     Artist: Mocca   *
*   Album: Friends *
################

I Think I'm in Love

If you got an eerie feeling after hanging up the phone
Sort of happy feeling but you’re not sure what it’s called

If you’re haunted by her face whenever you’re asleep at night
And think you hear her silly voice just calling out your name

Reff:
Oh ,no! I think I’m in love with you..
Oh, no! I’m hoping you’ll want me too
So, please..don’t let me down!

Just can’t help but talk about her in every conversation
Till your friends are sick and tired of that same old crap

If you start wearing make up even when you go to bed
Crying like a baby when you hear a mellow song

Reff:..

_________

Oh iya, sebelum menutup halaman ini, perlu diingat kalau aku TIDAK PERNAH memakai make-up, dimengerti? Dan... Neng yang sabar yah. Kelakuan Arif memang begitu, lambat dan kasar memang terlihatnya...


F  I  N
written on 29. Oktober 2008, 19.45 WIB
Dum di dum di dum... Pelangi pelangi... Kapankah kau muncul kembali?

Senin, 27 Oktober 2008

Kemarin...

Yah, boleh kan aku bilang kemarin, biarpun baru lewat setengah jam pada saat ini pertama ditulis?

Jadi ini hari terakhir setengah awal semester, yang artinya mulai Senin esok adalah pekan ujian buat kami. Wah, kalau ditanya siap atau tidak, jujur kujawab tidak. Bahkan uts yang ketujuh yang akan kujelang ini rasanya jauh lebih mengerikan daripada uts pertama dulu. Padahal dulu yang namanya uts dan uas, dan segala hal terkait kehidupan kampus itu betul-betul gelap buatku.

Mungkin karena TA yang belum juga ada satu saja purwarupa (prototipe, puas?) sampel. Mungkin karena ini (rencananya) semester terakhirku. Mungkin karena laporan KP yang tak kunjung beres. Mungkin karena tabungan yang malah susut banyak selepas 'Id fitri kemarin. Mungkin karena tugas yang semakin menggunung jelang uts ini. Mungkin karena berbagai kemungkinan lain yang mungkin hanya akan menyita perhatianmu di paragraf ini saja.

Betul lho, hampir setiap ujian sebelumnya aku hanya mengandalkan ingatan-ingatan dan sedikit catatan bertulis cakar ayam (kata si Ica sih, "Dokter aja kalah", duh...), aku lolos-lolos saja dari jerat ujian yang lalu. Tapi sekarang? Coba kita ikhtisarkan. Kelas masuk selalu, hanya lepas sepekan karena pekan praktikum karakterisasi material (d/h metalurgi fisik). Catatan, seperti biasa, tidak cukup lengkap, tapi masih cukup. Ah, entahlah...

Yang jelas, hari Ahad (26. Oktober) kemarin, sepupuku berulang tahun. Karena keadaan keluarganya (adik ayahku) bisa dibilang mencukupi, jadilah sekeluarga kami diundang untuk makan bersama di sebuah resto di kawasan Ancol.

Hmm... Ancol. Tempat ini boleh dibilang satu-satunya lokasi pantai di Jakarta yang dijadikan tempat wisata. Entah mengapa, semakin kemari Ancol rasanya semakin mahal saja. Memang dari dulu sih, Ancol bukan tempat rekreasi yang cocok untuk keluarga yang agak tipis sakunya --Ragunan masih lebih baik, bahkan HTM-nya hanya (dulu) Rp 3.000,00. Ancol? Wah, hari ini saja untuk satu orang masuk dikenakan biaya Rp 12.000,00. Ampun deh.. Sayangnya, seperti yang kubilang tadi, Ancol itu satu-satunya pantai wisata di Jakarta. Oh iya, soal pantai ini, adikku sering agak senewen kalau disebut pantai, sebab dulu ketika pulang ke kampung ayah di Solo, ia diajak ke 'pantai'. Tahu apa yang dia dapat? 'Pantai' Asuhan! Kontan saja bertanya ia, "Yah, pantainya mana?". Terang saja tidak ada, dan adikku saat itu ngambek tak berketentuan. Hehehe..

Yah, kembali ke Ancol, sudah lama (betul) aku mengunjungi tempat rekreasi ini. Terakhir pada saat ulang tahun nenekku dan bulikku, kalau bukan tiga, ya empat tahun lalu. Banyak juga perubahan di tempat ini. Sekarang ada jembatan kayu di atas sebuah teluk kecil, entah teluk apa. Cukup panjang jembatan itu, dan sepertinya lokasi yang menarik untuk berfoto karena tadi saja setidaknya ada tiga fotografer profesional (kurasa) memotret di sana. Sayangnya, karena kemarin kami berkunjung pada waktu lepas Maghrib, penerangan di sana agak kurang. Jadilah seolah pepatah lama dimodifikasi oleh pasangan muda-mudi di sana: "ada gula ada semut, ada tempat remang, ada pasangan mojok". Huh...

Yah, begitulah. Mungkin iri, mungkin bagaimana, aku tak suka pemandangan sedemikian. Banyak anak-anak, Bung! Jadi dilarang ngebut, eh, maksudnya jangku mojok-mojok begitumi. Mau bagaimana nanti adik-adik kita?

Karena yang empunya acara belum datang, jadilah kami cukup leluasa berkeliling, biar sebentar, di jembatan itu, juga di tepi laut Teluk Jakarta itu. Aku sendiri sempat menyandar ke pagar juga, memandang gelombang yang tenang tapi terus menghanyutkan. Agak ngeri juga, bukan soal laut itu, tapi soal mau ke mana nanti selepas masa perkuliahan itu. Begitulah kalau lebih banyak punya pesimisme dalam hati, ke mana-mana ragu. Dulu masa SD berlanjut ke SMP, lanjut ke SMA, lalu ke universitas, semuanya atas dasar pasrah. Duh...

Rasa-rasanya berbagai rencana di kepalaku adalah buih di gelombang laut. Terombang-ambing ke mana bertiup angin. Dan yang terbayang di kepalaku adalah, buih-buih itu, juga rencana-rencanaku kandas dibelah batu di tepian. Uh... Takut.. Mungkin memang lebih nyaman tidak mengintip kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan ya? Sering betul dikatakan, "lebih baik kamu tak tahu", dan kurasa sekarang itu semua benar adanya...

Lalu, lepas 'Isya', sekitar jam 8 malam, sepupuku datang, bersama papa-mamanya, juga nenekku dan sepupuku yang lain. Memang iri juga sih, mereka tinggal berdekatan. Hanya berbeda RW saja kedua anak nenekku yang perempuan itu. Jadinya bisa sering-sering mengunjungi nenek yang tinggal bersama seorang pembantu rumah tangga saja.

Tak berapa lama, hidangan disajikan, acara makan yang diimbuhi obrolan canda tawa, juga operan piring lauk pun berlangsunglah. Cukup enak, menurutku, makanan yang disajikan. Enak dan unik, lebih tepatnya. Tapi jelas lebih nikmat berkumpul sekeluarga besar. Meskipun tak lengkap karena adik sepupuku sedang menjalani pendidikan jauh di Sukabumi, Jawa Barat, juga adik ayahku dipindahtugaskan ke Balikpapan (bukan bersembunyi. Kalau itu 'ke balik papan', mengerti? :p) tapi setidaknya empat generasi berkumpul di sana.

Dari nenekku, yang sudah ditinggal kakung hampir lima tahun silam. Ayah-ibu dan bulik-omku. Kami, cucu-cucu mbah Ti --yang entah bagaimana mengikuti pola satu laki-laki, dua perempuan. Juga si Syamil, cicit (cuit ^_^) mbah Ti dari sepupuku Mbak Lia. Lucu betul anak ini, setahun lebih usianya, tapi karena satu dan lain hal belum lancar merangkak --apalagi berjalan-- dan juga bicara. Sabar ya, Mil.. Nanti kalau kita ketemu lagi, kamu udah bisa jalan ya, janji ya? Yap, begitulah. Empat generasi berkumpul. Lebih indah lagi bahwa hari kemarin ditutup dengan hujan.

Soal hujan ini, aku agak bingung akhir-akhir ini. Di satu sisi aku ingin hujan turun selalu, biar tak berdebu di jalan, tak berdebu di hati. Tapi tepat saat permintaanku untuk turunnya hujan, selalu juga saat itu aku perlu matahari untuk muncul. TA-ku bergantung pada matahari, nih... Ekstrimnya, "in sun we trust".

Tapi untuk sepekan ini... Berikan aku "jendela" selama duapuluh lima menit (bukan duapuluh. Sabtu kemarin aku berbasah-basah saat sudah tinggal beberapa ratus meter dari gerbang kutek/kukusan teknik --daerah di belakang kampus-- setelah kuminta "jendela" duapuluh menit) setiap akan berangkat keluar rumah menuju kampus tanpa terimbas hujan. Setelah itu, turunkanlah hujan seharian. Biar tumbuh lagi rumput di sepanjang jalan, kembang di tepi jalur sepeda itu, dan pohon yang semakin banyak hanya disisakan tunggulnya saja.

Uff... 'Mat UTS, "hancur-lebur dalam kejujuran lebih disukai daripada gilang-gemilang dalam kebohongan". Dan setelah UTS... Mari kita cari tahu tentang praktikan itu. :>


F I N
written on 27. Oktober 2008, 01.14 WIB
An "angel" may materialise in any form if He gives his permission. The form may include a little miss, Mr. Hawkers, and.... also You! ^_^


Jumat, 24 Oktober 2008

Mendengar(kan)

Yah... Apa mau di kata. Saat merasa ingin bicara, dan butuh seorang untuk mendengar(kan), yang ada malah si Himsky yang ujug-ujug masuk ke lab polimer dan memulai. Oh iya, sebelum kita sedikit intip apa yang kami bicarakan tadi, yuk kita lihat dulu apa sih bedanya mendengar dan mendengarkan.

Kalau Pak Komaruddin Hidayat mengartikannya dengan menyetarakannya dengan kata bahasa Inggrisnya "Hearing" dan "listening". Kemudian beliau menerangkan kalau mendengar adalah aktivitas yang lebih pasif daripada mendengarkan. Kamu bisa saja berada di depan khatib Jum'at, mendengarkan dengan segenap hatimu --membuatmu "berada di sana"-- dan kemudian mendengar ada deru kereta listrik di kejauhan, dering telepon seluler orang-orang sibuk yang bahkan di tengah kuliah agama setengah sampai satu jam saja tak bisa 'membunuh' sementara kesibukan lainnya. Dimengerti kan? Mendengar hanya memerlukan telinga, mendengarkan perlu lebih dari sekadar telinga --perlu segenap hati dan pemikiran juga. Hmm.. Tulisan itu bisa dijumpai di kolom tetapnya setiap Jum'at (menggantikan M. Ainun Nadjib/Cak Nun sebelumnya) di koran dari jaringan MNC yang ayah langgan di rumah. Koran yang, maaf-maaf, betul-betul inspiratif --sesuai tagline-nya, "Sussah cari inspirassi?"-- dalam hal luputnya penyuntingan di berbagai sisi. Uh, aku lebih suka koran yang lebih kecil itu, yang kawan-kawanku sering membelinya eceran di stasiun kereta.

Jadi, mari kita lanjut. Apa yang ia ceritakan, dan apa yang aku dengarkan? Sebetulnya tak jauh dari soal "semester/tahun terakhir" kami. Begini, dia itu asisten Lab Kimia --berseberangan dengan Lab Polimer, kebetulan. Yah, jujur saja dulu aku melamar ke lab tersebut juga, tetapi hasil wawancaraku sangat-amat jauh di bawahnya. Syukur masih ada kesempatan lain dan akhirnya CV-ku bisa kuisi satu baris lagi. ^_^

Yah, kembali ke pokok masalahnya. Jadi Lab kimia ini baru saja menyelesaikan setengah semester yang... Wuihh.. Sibuk! Sibuk dengan praktikum kimia dasar untuk mahasiswa tingkat pertama (iya, iya.. Mahasiswa baru), juga beberapa "sisa" dari angkatan sebelumnya yang entah-bagaimana-caranya belum/tidak lulus praktikum itu. Nah, untuk praktikum ini, Hims jadi salah seorang --dari tiga-- PJ-nya. Agak berat juga sebetulnya, mengingat ia tengah menjalani TA juga sepertiku. Karena itulah ada semacam "perjanjian" bahwa Hims tidak akan bertanggung jawab penuh atas praktikum kali ini, karena soal TA dan rencana lulus semester ini.

Apa yang terjadi? Sayang seribu sayang. Hanya Hims, seorang sesama PJ, dan seorang asisten lain yang betul-betul "banting tulang peras keringat" untuk praktikum ini. Malahan, praktikum yang semestinya lebih banyak dijaga oleh asisten dari angkatan 2006 malah ditangani (lagi) oleh asisten dari angkatan 2005. Yah, begitulah, Hims jadi merasa... Bagaimana yah, semestinya 'kan memang 2006 yang lebih menangani, tapi kok malah jadi 2005 (lagi) yang turun. Sedangkan hampir semua asisten dari angkatan 2005 --Panji, Cicis, Nurma, Martha, Mba Idham-- sedang fokus kepada skripsi/TA masing-masing. 2006? Entah ke mana saja mereka, Hims tak pernah tahu. Padahal tahun kemarin, untuk praktikum angkatan 2007, yang turun tangan pun asisten 2005, dengan asisten 2004 lebih memegang pengawasan saja. Duh...

Lebih parah lagi, rasa-rasanya --menurut Hims, tentu saja-- asisten 2007 pun malah mengikuti jejak 2006 yang tidak ketentuan ke mana perginya. Kalau mengutip Hims, "Mau dikemanain Lab Kimia?". Nah, terkait arah itu juga, ada ketakutan menggelayut di benak Hims, bahwa 2008 nanti asisten akan seperti apa. Sebabnya jelas, citra praktikum kimia dasar pada angkatan 2008 ini yang Hims coba bangun adalah, "Asisten nggak bisa dimainin". Tetapi, dengan (akan) perginya asisten 2005, dan praktikum kimia analitik kuantitatif dan kualitatif akan dipegang penuh oleh 2006? Yah, masih tanda tanya kalau betul yang kudengarkan dari Hims tadi.

Kemudian... Tunggu dulu, ini belum selesai? Yap, betul. Soal TA berikutnya. TA Hims dan tiga rekan kami --temanya fuel cell, sel bahan bakar-- memerlukan peralatan yang tidak ada di lab-lab jurusan. Untuk itu mereka perlu meminjam (baca: menyewa) alat di tempat lain. Nah, ternyata tarif alat itu berdasarkan waktu. Pengerjaan mereka berempat, itu justru lebih lama daripada Hims bekerja sendiri. Jadilah sewa alat itu mahal, lebih dikarenakan kelambatan kerja kawan-kawan kami itu. Yah, dengan itu kesimpulan yang ia tarik ialah, "kalau ada yang bisa gue kerjain sendiri, gue kerjain sendiri dulu deh".

Apa yang mau kukata? Cuma sedikit tanggapan di sela-sela menjejak ulang langkah yang kami lakukan untuk proyek kami ini. Sulit rasanya memang. Saat aku sendiri rasa butuh kawan yang bisa kuajak bicara entah ke mana saja, malah entah bagaimana caranya aku diturunkan kawan untuk kudengarkan. Kudengarkan karena bisa kutuliskan kembali sebagian besar detailnya. Syukur juga aku bisa sedikit berbagi pusingnya mensintesis TiO2 yang bisa menyerap pewarna dengan baik agar proyek kami bisa lekas kelar.

Dan... Senin esok (27. Okt), kami resmi memulai ujian tengah semester --aku sendiri sih, mulai hari Selasa. Hari Jum'at ini pun, ada ujian pendahuluan praktikum korosi bagi sebagian besar kami, tidak termasuk aku dan semua peminat Polimer lainnya ^_^. Jadi, dengan ini kuucapkan selamat ujian. Orang bilang, "no pain no gain", "bersusah dahulu, bersenang kemudian", intinya selamat mengulangi kuliah-kuliah kemarin. Besok kita diuji sedikit. Tak usahlah tergoda jalan mudah. Dapat nilai itu mudah, dapat ilmu itu susah, 'key..

'Mat ujian, semuanya, dan untuk ujian korosinya... Semoga hasilnya baik. (n_n).


F I N
written on 24. Oktober 2008, 21.33
Makasih ya, Allah. Kamu memang paling bisa berbuat adil. Saat kepala tunduk, kau angkat kembali. Saat kepala pongah, kau tundukkan lagi. :)



Rabu, 22 Oktober 2008

D -101: Entahlah...

Entahlah. Mungkin itu yang bisa kutulis sementara ini. Sementara ujian tengah semester, atau mid, atau apalah, akan menjelang Senin (27. Okt 2008) ini, sementara itu pula proyek kami sedang 'panas-panasnya'.

Yah, agak salah juga sih, memberi tanda petik pada kata panas itu, sebab panas itu terasa semakin nyata sekarang. Jakarta (maksudku, Depok) tak kunjung dirangkul hujan di tengah-tengah hari. Bahkan kerumunan capung yang dulu kuanggap pertanda hujan kini sudah tak sah lagi. Ditambah lagi kerja dapur (terjemah dari furnace memang dapur, meskipun bentuknya menurutku lebih mirip oven) untuk memanaskan kaca demi pelapisan konduktor oksida transparan yang melampaui 600 °C. Wuihh... Setiap kali pintu oven dibuka untuk memasukkan kaca yang sudah disemprot lapisan itu, setiap itu pula rasa panas menyengat sampai ke ubun-ubun. Juga belum termasuk pemanasan kaca konduktif itu di atas lempeng panas dengan tujuan membuat lapisan titanium oksida putih di atasnya menyatu. Hufff....

*Keluh* Jelang uts ini pula, tugas semakin banyak dan bertambah-tambah. Tidak tanggung, empat mata kuliah memberi tugas --individu maupun kelompok-- harus dikumpul pada hari-H uts mata kuliah yang bersangkutan. Belum lagi laporan akhir praktikan yang perlu diperiksa, juga keharusan membuat soal untuk ujian akhir praktikum. *Keluh*

Rasanya ingin aku lari dulu. Bukan, bukan lari seperti dikejar setan dari lab polimer ke kelas baja paduan nun di areal depan kampus seperti tadi hanya untuk menemukan alih-alih dosen memberi kuliah, justru melontarkan tugas (lagi). Ingin aku lari sembunyi, sembunyi di balik bayanganku sendiri, tidak dicari. Atau mungkin tidak. Mungkin aku melarutkan diri di depan layar monitor, memaksa diri mengerjakan tugas, dan selepas semua tugas itu --atau mungkin tepat di saat letih sudah raga ini-- aku mengambil air sedikit, kemudian bersimpuh dan sedikit merengek kembali di hadapMu. Yap, anak bandel ini sering sekali lupa denganMu, dan kembali hanya ketika ada perlu. Abdi macam apa anak ini...

Ya Allah, beri aku peluk erat. Taburkan senyumMu padaku. Luruskan lagi niatku. Tidak lupa yang terakhir... Jatuhkan air dari langit yang menghidupkan bumi dari kematiannya, biar tiap tetesnya menembus keras kepala ini, biar curahannya mendekap hangat bersama basahnya...


F I N
written on 22. Okt 2008, 18. 50 WIB
. C . A . P . E . K .



Minggu, 19 Oktober 2008

Sabtu... Sabtu...

Dan... Setelah sepekan --yah, sebetulnya empat hari-- praktikum berjalan, akhirnya hari Sabtu (18. Oktober) kemarin selesailah sudah praktikum itu. Hari terakhir ini, lebih santai --mungkin pengaruh hari Sabtu juga, atau karena Jum'atnya ada jeda praktikum yang bisa kuambil untuk sedikit belajar ulang. Eh? Tentu saja, masa' asisten sampai tidak bisa menjawab kalau ada praktikan mengajukan pertanyaan?

Jadi, modul terakhir yang kupegang adalah modul uji kekerasan. Tahu kekerasan, kan? Tidak? Baik, baik. Coba ambil lembar aluminium untuk membungkus wadah makanan, kemudian ambil pisau pemotong. Mana yang lebih keras? Pisau bukan? Untuk melihatnya sih, cara mudahnya (tapi sangat kualitatif), gosokkan saja pisau ke lembar aluminium, dan sebaliknya. Mana yang tidak tergores berarti lebih keras. Sebagai tambahan saja, material (mineral) yang banyak di alam yang paling keras adalah intan. Padahal intan hanya tersusun dari karbon, sama dengan yang ada di pensil-pensil, tetapi kerasnya luar biasa. Yang membedakannya adalah susunannya. Carilah, banyak bacaan di luar sana kalau memang kamu tertarik.

Ah, sudah dulu. Sekarang bagaimana praktikum hari terakhir? Campur aduk deh. Kelompok pertama, kelompok Nike kemarin itu, menyenangkan. Menyenangkan dalam artian apa yang kami (aku, eM-yU dan Didi) tanyakan, dijawab. Jadi... Bisalah kami putar-putar sedikit untuk menguji sejauh mana mereka mengerti modul ini. Dan, dari situ kami berikan beberapa tugas tambahan juga, yang kami yakin dengan cara mereka menyikapi praktikum ini, mereka kupercaya bisa mengerjakannya. Sipp! Keep up the great job, dude! And lady, too... :-D

Lalu, kelompok kedua. Ah, busuk. Ups, maksudnya, bagaimana bisa paper yang mereka (semestinya) tulis sendiri tak bisa dipertahankan? Dan pertanyaan-pertanyaan, terjawab dalam waktu yang lammaaaa...... Sebal! Jadi kehilangan semangat bertanya-tanya juga. Lagipula sudah dekat jam makan siang jadi Didi memutus praktikum di pertengahan agar kami bisa makan dan berpikir lagi. Ufff...

Lepas makan siang,
Dan lepas kelompok kedua, ternyata.... Weh? Kok nggak ada yang datang? Ternyata modul kami diakhirkan... Jadi, hari terakhir ini ada tiga kelompok --biasanya empat-- dan empat modul. Modulku ada di lantai teratas (empat), huh... Ya sudah, jadi aku dan Didi iseng-iseng melihat presentasi anak 2008, praktikan juga, tetapi praktikan lab kimia. Biasa deh, sekalian bisa dibilang 'cuci mata'. Kenapa 'cuci mata'? Hehehe, kumat deh si Arif ini penyakitnya sama makhluk ciptaan Allah yang lebih sempurna dari sekadar manusia: Perempuan... Jadi, tanya punya tanya pada Wening, aslab kimia yang Kamis kemarin jadi praktikan labku juga, soal "yang itu 2008 ya? Siapa tuh?" Eh, malah dia keluar jahilnya. Dipanggil keluarlah praktikan satu itu (yang lainnya sedang shalat Dzuhur).

"Mau tahu 'kan? Kenalan dong?" Begitu kata si Wening. Ya sudah, kejadian lagi yang begini buatku. Dulu dengan Riesa, waktu masa sekolah dulu. Sekarang, yah.. Lebih baik deh, mungkin karena memang tak melibatkan unsur rasa ya? Jadi namanya Latifah, dan aku memperkenalkan diri sebagai Arif, Didi sebagai Didi (tentu saja, masa' kami bertukar peran? Heheh). Lumayan deh, anggaplah menjalin silaturrahim, yah? :p

Yah, begitulah. Kelompok terakhir kami akhirnya datang juga, dan lebih menyenangkan dari kelompok kedua --sama saja, dalam konotasi seperti kelompok pertama tadi. Tapi masalahnya... Wah, Pak Nuddin hendak pulang! Berarti praktikum harus dipercepat, dan tes pendahuluan modul pun diakhirkan. Wah, pulang Maghrib lagi deh... Tak apalah, setidaknya apapun yang dijalani, diawali dengan baik atau tidak, harus diakhiri dengan baik, betul? Dan akhir praktikum kemarin memang menyenangkan. Bisa sedikit berbagi apa yang kami tahu dengan para praktikan. Aku sendiri dapat tambahan bagaimana menurunkan rumus nilai kekerasan dari skala Brinell, dan untuk itu tak segan aku mengganjar 85 di laporan awal si Ici, eh, Alfarisi. Semangat yah, buat laporan akhir. Kami tak membebani kok. :)

Hmm... Soal beban itu, hampir semua praktikan (juga aslab rekanku) mengeluh dengan keputusan aslab korosi (atau oknum aslab korosi?) yang mengharuskan laporan seluruhnya ditulis tangan. Yah, karena aku tak mengambil praktikum itu, jadi... Semangat yah, semuanya. Jangan ikuti agitasi Didi untuk 'memboikot' dan mengetik laporan dengan komputer yah. Kalau mau dianggap mengerjai, ingat saja kami aslab DT yang mudah-mudahan menjalankan peran sebagai asisten --pembimbing, secara harfiah-- untuk kamu. Semangat! Senyum! S.... Sudahlah. (n_n)


F I N
written on 19. Oktober 2008, 07.45 WIB.
Well.. When you'll come again, rain? It's getting hot out there, and in here, too!


Jumat, 17 Oktober 2008

Bulan, Hujan, dan.... Sariawan!

Wuih... Pekan ini berat. Sungguh, belum pernah sepekan sepanjang zaman, eh, maksudnya seumurku hidup ada pekan semacam ini. Pekan yang lengkap menguras fisik dan otak. Jadi ceritanya begini, terhitung Selasa (14. Okt 2008) kemarin, praktikum Karakterisasi Material I (1 SKS, dulunya praktikum Metalurgi Fisik) sampai Sabtu (18. Okt 2008) besok dilangsungkan. Praktikumnya sih, untuk mahasiswa angkatan masuk 2006, biarpun ada juga sih sesama 2005 dan bahkan 2004, tapi jumlahnya tak banyak. Kalau menurut teknik statistik malah "bisa diabaikan", he he he...

Yang jelas, yang kerepotan bukan hanya para praktikan --yang diharuskan membuat paper dengan berbagai tema, juga laporan awal-- melainkan juga kami, sepuluh orang asisten lab (aslab) DT (Destructive Test). Yah, bermula dari urusan paper --sebelumnya tidak ada. Dari situ Bang Agung alias Julung menitahkan pada kami untuk mencari tema paper dari setiap modul. Tidak tanggung, enam setiap modul! Wahh... Tapi karena titah paduka Julung (he he) adalah kewajiban, jadilah dibagi-bagi tugas itu ke (hampir) semua aslab.

Kemudian, ujian pendahuluan. Setidaknya untuk mengukur kemampuan dasar praktikan sebelum masuk lab, dong... Pemilihan jamnya ternyata tidak bagus. Masa' ujian dilaksanakan jam 5 petang sampai setengah tujuh malam? Duhh... Untung ada sogokan sebatang cokelat untuk aslab yang mengawasi. Kalau untuk praktikan sih, itu urusan masing-masing deh. :p

Yah, akhirnya hari Selasa tiba juga. Aku dan Didi T (Tampan, eh, Tegal {^_^}v) menangani modul pengujian keausan. Jadi intinya material diuji ketahanannya terhadap gerusan material lain yang keras, begitu.
Gelombang pertama lancar, meskipun ada juga hambatan besarnya di pengujian impak --dulu favoritku-- untuk suhu minus. Nitrogen cair belum tiba! Ampun... Jadilah gelombang pertama (4 kelompok) diberi jadwal hari berikutnya.

Kemudian, hari Rabu, hari kedua, hari yang pada hari itu kartu kirimanku diterima di sana (kupikir tidak akan sampai karena aku memaksa mengirim dengan perangko Rp 2500, loh!). Ups, jadi hari kedua itu hari impak. Battering time! Pernah menonton film-film masa perang zaman romawi dan semacamnya? Atau Lord of The Rings, ketika gerbang Minas Tirith dihantam dengan berbagai-bagai battering ram? Nah, pengujian impak kira-kira ilustrasinya sedemikian. Jadi, material diberikan beban besar dalam waktu yang singkat dan diamati ketahanannya, yang ternyata berbeda tiap material, dan pada material yang sama, berbeda di berbagai suhu. Kelompok pertama dan kedua sih, tak masalah. Dengan ada Odie yang menangani pembukaan dan pertanyaan untuk praktikan, sedang aku... Menilai laporan dan paper saja. He he, dasar!

Masalahnya... Tiada angin tiada hujan (belum turun sampai hari itu, hiks.. Payah..) gelombang pertama ternyata disuruh datang hari Rabu itu, jam 12 siang --jam makan siang, bukan? "Kruu...k", kalau kata perutku. Jadi deh, 'lembur' sesiangan itu, dan baru selesai beberapa menit jelang pukul 13.00 WIB. Ampun... Terpaksa melewatkan makan siang, demi mengejar kelompok-kelompok selanjutnya. Kasihan mereka kalau mereka harus menunggu kami aslab yang sering-sering telat, kan?

Jadilah, seharian itu perut pusing, kepala lapar, yang untungnya bisa sedikit diganjal kue yang kubawa dalam rangka "lebaran asisten". Tetap saja, rasanya tak biasa. Sepulangku di rumah, tak sempat belajar, baca-baca supaya setidaknya jangan sampai aku lebih tidak tahu dari praktikan. Masalah citraan, tentu saja. Sebab komputer sudah dipegang Ica, kemudian Ifa, kemudian Ibu. Duh, tak tega mengganggu jadilah aku naik ke kamarku. Sekeluarnya ke beranda.... Ah, purnama! Tentu saja, tanggal 14 sudah masuk pertengahan bulan, dan tentu saja bulannya penuh. Kali itu, sang Purnama terlihat cantik, bersinar kekuningan, dengan cahaya lembut, tetapi cukup terang untuk sedikit menerangi kebun (milik orang) di belakang pagar rumahku. Cukup menenangkan melihatnya, rasanya seperti teringat orang-orang yang masih bisa berlembut hati di tengah badai masalah hari-hari ini. Aku tidak termasuk, sepertinya, padahal sudah janji akan meliputi hati dengan senyum. Uff... Yah, jadilah malam itu tidur dengan hasil membaca yang minim, meskipun sempat membuat 'contekan' untuk dipertanyakan keesokan harinya.

Lalu, pagi hari berikutnya, Kamis 16. Okt 2008, ada satu pengumuman yang menyita perhatianku --yang terlambat datang ke lab. "Briefing Praktikum Korosi, Kamis 16. Okt 2008, Ruang K 301". Hah? Berarti ini akan menyisakan aku dan Dini --partner TA-ku-- di lab? Kemudian tak sedikit praktikan yang mengambil praktikum korosi juga. Ditambah lagi pertemuan dengan Pak Bambang --Kepala Jurusan-- di akhir hari ini. Kemudian Odie yang izin jam 3 sore. Alamat kacau praktikum hari ini.

Benar saja, di dalam ruang aslab, sekaligus tempat tes awal pengujian tarik yang kutangani bersama Riko hari itu, konsentrasi kami buyar. Praktikum hari itu berjalan sama-sekali-tak-sesuai-rencana. Praktikum yang dimulai sangat-amat terlambat (08.30), kemudian alokasi waktu yang berantakan (kelompok kedua datang pukul 10.45 ke ruangan). Kemudian karena waktu briefing itu tadi sudah tiba, jadilah semua pengujian ditunda sampai selesai briefing, menyisakan aku dan Dini di ruang aslab. Sekembalinya, wajah-wajah Reza MU, Didi, Riko, Julung, semuanya deh, malah muram. Yang benar saja, menulis laporan (5 modul) harus dilakukan dengan tangan? Hey, ini zaman komputer, Bung? Ada-ada saja kalian aslab korosi berniat mengerjai para praktikan!

Tapi siang itu, setelah setengah hari di dalam ruangan aslab tanpa jendela, saat ku keluar, ada pemandangan yang lama kurindu. Hujan! Ah, perjalanan menuju mushalla rasanya nyaman sekali, setelah hari-hari panas tak berkesudahan, hujan itu seolah melenyapkan panas dalam kepala dan hatiku juga. Inikah kiriman balasan dari kirimanku? Pikirkan lagi, Arif. Yang jelas, setelah itu praktikum malah baru dimulai lagi 20 menit jelang pukul 2 siang. Jadilah sisa praktikum hari kemarin itu seolah tanpa manfaat. Pertanyaan yang bisa kami ajukan terpaksa dipangkas, dikurangi untuk akrobat dengan terbatasnya waktu. Sampai jam 5 bahkan praktikum belum selesai. Riko, Julung, eM-yU sudah meninggalkan Aku, Dini, Didi, dan Ryan di modul masing-masing --tarik, impak, kekerasan, dan keausan. Aku sendiri, sudah menguap semangatnya, mengajukan pertanyaan jadi sekenanya. Maaf ya, gelombang III, bukan maksudku tidak memberi cukup ilmu, tetapi jadwal hari itu memang luar biasa kacau. Ditambah Pak Herman yang meminta perkiraan kebutuhan bahan untuk proyek kami. Kupikir bisa kutunda keesokan harinya, ternyata Pak Herman meminta hari itu juga.. Makin kacaulah gelombang ketiga itu yang berakhir lewat Maghrib.

Sepulangnya, aku yang sudah janji menjemput Ica di tempat lesnya, berpikir bolak-balik. Pulang berarti hanya sedikit waktu di rumah, kemudian langsung berangkat lagi. Tidak pulang berarti menunggu *cukup* lama di tempat bimbelnya di bilangan Rawa Bambu, Pasar Minggu. Belum lagi perjalanan bermotor Depok-Pasar Minggu bisa jadi sangat melelahkan dengan ketidakrataan jalannya. Jadilah aku putuskan untuk jalan saja, kemudian berhenti di satu Masjid, menunaikan Shalat 'Isya di sana, kemudian berputar ke rumah mengambil helm untuk adikku, kemudian melaju ke tempat bimbel adikku. Alhamdulillah, tidak terlalu lama ku menunggu. Sesampainya di rumah, duh, badanku rasa rontok. Langsung saja aku merebahkan badan, dengan masih berpakaian sama dengan seharian itu plus jaket sehabis bermotor, dan......

** Pukul 3.00 WIB. Duh... Lapar, belum makan. Merambah meja makan, makan, kemudian merebahkan diri lagi.

** Pukul 4.30 WIB. Duh... Kram lutut kiri, eh, turun ke betis.. Harus-memaksa-berdiri... Shubuh, kemudian tergeletak seperti tak bernyawa lagi dan lupa membangunkan Ayah-Ibu-Ica-Ifa.

** Pukul 6.10 WIB. "Mas, nganter aku nggak?". Oh, iya. Adikku harus kuantar ke sekolah.

** Pukul 7.00 WIB. Ah, bisa sedikit mengerjakan PR Statistik, entah dikumpulkan entah tidak, terserah. Itu pun sekadarnya saja kukerjakan.

Yap, hari Jum'at (17. Okt) ini tidak ada praktikum. Terpotong waktu Jum'at. Jadi rencananya hari ini aku dan Dini berencana meng-oven kaca-kaca modul surya kami, dengan terlebih dulu menambah asam klorida pekat ke larutan TCO (Transparent Conducting Oxide) yang ternyata kekurangan HCl itu. Apa nyana, Beni yang juga sedang TA membawa pulang seluruh sediaan HCl di lab ke rumahnya! Jadilah Dini, setengah emosi, memarahi Beni via SMS, menyuruhnya segera memulangkan HCl itu, dan mengambil seperlunya. Huff..

Ah, pekan ini, roda kehidupan berjalan cepat sekali. Keriangan berganti kesulitan dalam waktu sesingkat lima-sepuluh menit saja. Cepat sekali sampai aku harus berkali-kali mengingatkan kalau, "waktu terus berjalan. Yang membedakannya cara menjalaninya. Kalau dibawa (baca:dipaksa) senang, dan senyum, tentu lebih nikmat daripada dibawa ngedumel, dan ngomel-ngomel". Yang jelas, pekan ini juga pekan yang kurang baik untuk rongga mulutku. Sebab semua hal di atas terjadi dengan SARIAWAN menyerang dua kali. Tidak di posisi yang tepat, syukurnya, hanya di gusi atas agak ke kiri depan, dan di pipi kiri. Tapi cukup mengganggu suasana hati juga sih.

Sudahlah, daripada banyak mengeluh, lebih baik besok banyak tanya pada praktikan saja. Ada Nike 'kan? He he he... Jangan salah sangka. Nike ini mahasiswi 2006, kadang dijuluki 'Ibu beasiswa', sebab beasiswanya dengar punya dengar ada setidaknya dua. Wah, hebat.. Tapi biar besok kita uji seberapa baik logika dan ingatannya, juga kawan-kawannya tentu saja.. Ha ha ha.. ** Tertawa kejam ** ;)


F I N
written on 17. Oktober 2008, 23.47 WIB
Thanks for the compliment, but sorry, cause my card wasn't the best of the pack... Sorry. But surely It felt like having a family that lives quite afar. :)


Jumat, 10 Oktober 2008

D -112: Kelebihan Tenaga

Ups, jangan salah... Jangan langsung panggil aku untuk berbenah kamarmu, atau memindahkan lemarimu, atau mendorongkan mobil ayahmu, atau menggalikan kubur kucingmu, atau.... Ah, bukan begitulah!

Kelebihan tenaga di sini --sepertinya-- karena ada kelebihan adrenalin dalam darah. Duh? Apa hubungannya toh? Begini... Adrenalin, atau Epinefrin, adalah hormon yang disekresikan ke aliran darah dari kelenjar adrenal dalam bahasa latin, atau epinefrin dalam bahasa yunani (artinya sama-sama "dekat ginjal"). Biasanya dilepaskan dalam keadaan darurat, atau dalam bahaya mengancam. Pemicu lain bisa berupa ancaman, kegembiraan (berlebihan), suara keras, lampu yang terang, atau suhu yang tinggi.

Nahh.... Sepertinya yang melandaku itu kegembiraan (berlebihan), ya? Bagaimana tidak, bahan kimia --air kristal timah (IV) klorida-- yang lama dinanti "akhirnya datang juga". Hari Kamis, lepas Dzuhur, utusan dari importir rekanan kami tiba, dengan satu toples (eh?) kaca berisi bahan kimia yang sepintas nampak serupa gula batu yang sering menemani acara minum teh poci ayah dan kawan-kawan di teras. Yahh, lebih sebulan kami menunggu bahan itu agar proyek "Dye-Sensitised Solar Cell" untuk TA kami --aku dan Dini-- bisa dimulai. (Untuk bacaan awalan, kurekomendasikan dari sini).

Untuk apa sih gula batu, eh, bahan entah-apa-namanya itu? Begini, untuk membuat setiap sel itu, kita perlu yang namanya kaca konduktif. Dari jurnal yang kubaca, kaca konduktif itu --selain diperoleh sebagai benda jadi-- bisa juga dibuat dengan melapisi kaca biasa dengan bahan-bahan tertentu, salah satunya timah klorida itu tadi, dicampur resep rahasia lain, tentunya. :P

Bercanda... Tidak ada yang namanya resep rahasia itu. Yang diperlukan adalah metanol (metil alkohol. AWAS! beracun terutama pada mata. Kuduga minuman-minuman beralkohol yang beberapa waktu lalu menghias program berita di televisi itu berasal dari keluarga alkohol ini, atau alkohol biasa/etanol/etil alkohol yang diracun metanol --alkohol teknis), dan antimoni trioksida sebagai dopan dicampur asam klorida pekat (AWAS! korosif).

Prosedurnya bisa dilihat di halaman ini. Mengapa jalan sulit ini yang dipilih? Demi kemajuan ilmu pengetahuan.. Ah, mengarang saja kau. Tinggal bilang tidak menemukan produsen kaca konduktif lokal saja malah menutupinya dengan berlagak. Dasar... Jadi melantur ke mana-mana 'kan.

Baik, jadi apa hubungan bahan ini dengan kadar adrenalin yang meningkat? Hmm.. Masih dari sumber yang sama dengan di atas, kadar adrenalin yang meningkat akan dengan cepat mempersiapkan tubuh untuk beraksi dalam keadaan darurat. Caranya dengan meningkatkan pasokan oksigen dan glukosa (gula darah) ke otak dan otot dan menekan proses yang tidak-darurat dalam tubuh, salah satunya pencernaan. Selain itu, peningkatan adrenalin berarti meningkatnya detak jantung, dan mengecilkan pupil mata (benarkah? Harus kutanya Dini, sepertinya). Kadar gula darah ditingkatkan di hati dan di otot. Pada hati, glikogen (gula simpanan tubuh) akan diubah jadi glukosa, dan di otot, pada sel lemak, akan memecah lemak. Kedengarannya masuk akal ya, dengan tingkat stres yang meningkat bisa menguruskan badan. :P

Nahh... Datangnya bahan tadi melengkapi bahan yang kami butuhkan, dan sesuai janjiku ke Pak Herman, "Kalau bahannya datang, kita bisa langsung mulai, Pak!" kataku waktu itu. Benar saja, rasanya aku terpacu ingin menyelesaikan proyek ini. Tanggal penyerahan skripsi, 12. Dezember 2008, sudah tak ada di benakku melainkan tinggal tanggal-tanggal 'keramat' yang kutentukan sendiri sebagai batu penanda jarak, eh, milestone. ^_^

Perlu dijelaskan, kalau ada sesuatu yang menarik hatiku (dan pikiranku juga, tentu), aku sering agak 'larut'. Hari Kamis saja, waktu Dzuhur sudah lebih condong ke 'Ashar dan 'Ashar condong ke Maghrib ketika aku menunaikannya. Tadi? Wah, saat asyik menimbang di lab kimia --setelah kemarinnya gagal karena kunci lab tak ditemukan. Padahal sudah bolak-balik lantai 1, 2, 3, 4... Uff....-- ternyata jam sudah menunjukkan pukul 11.41 WIB. Duh gawat! Jurusan Metalurgi & Material - Masjid UI sulit ditempuh 5 menit. Jadilah bisa dibilang terbang aku sampai ke M.UI itu. Fuh... Terengah, tapi tersejukkan suasana M.UI, tiba aku --terlambat-- ketika Khatib sudah naik mimbar.

Aduh, Rif... Jangan hilang arah begitu, dong... Dua hal itu --Ilmu dan Iman-- harusnya tidak terpisahkan, bukan? Kenapa sekarang bukannya makin banyak berterima kasih pada Pemilik Ilmu, ini malah mau melarikan diri. Ayuh, yang betul. Besok-besok TIDAK BOLEH diulangi lagi. Kalau sampai diulangi lagi... Kudoakan gagal proyek ini buatmu!

Parah, deh. Bahkan hari Selasa yang bersepeda ke kampus pun, aku malah lebih capek daripada dua hari ini. Bolak-balik tangga, mencari Pak Herman, Bu Rini, minta tanda tangan. Mencari Pak Udin dan kunci lab kimia. Mencuci gelas beker, gelas ukur, alu, lumpang, pipet, labu erlenmeyer. Setengah berlari Jurusan-M.UI dan kembali lagi, semua dalam keadaan menahan makan sampai Maghrib, itu tidak terasa lelah saat menjalaninya. Oh iya, dari Senin ini aku tidak makan kala surya meraja, ceritanya lanjutan bulan lalu, he he.. Tapi setelah hari berakhir dan tikar sudah muncul... Hmph.... Rasanya ingin segera membanting badan ke sana, menyelubungi diri dengan selimut --tebal tipis sama saja-- kemudian memejamkan mata tanpa mimpi sampai pagi menjelang. Yah, apa yang bisa kukerjakan di rumah, maksudku, terkait proyek kami ini kan?



F I N
written on 10. Oktober 2008, 23.26 WIB
** bolehkah kutulis namamu di ucapan terima kasihku nanti, Kak? Boleh ya? n_n**

Rabu, 08 Oktober 2008

D -114: Senyum...

Iya.. Senyum Rif.. Katanya "it's all begin with a smile, mate!" Jadi, mari mulai dulu dengan sedikit basa-basi definisi. Senyum, dalam kaidah fisiologi manusia, adalah ekspresi wajah yang terbentuk dari pelengkungan otot-otot terutama sekitar ujung-ujung bibir. Ekspresi ini biasanya menggambarkan kegembiraan, kesenangan, tetapi juga bisa terjadi pada ketegangan --sering disebut seringai, atau ringisan. Meskipun demikian, motivasi senyum biasanya berasal dari kesenangan.

Lalu... Mengapa senyum? Hmm.. Yang jelas menurutku senyum itu bisa membuat perempuan jadi terlihat berbeda. Beda bagaimana? Yah, beda saja.. Maksudku, siapa yang tidak ikut riang melihat senyum, begitu? Bahkan digambarkan dalam "Mata Indah Bola Pingpong" (Iwan Fals) seperti berikut: "... Pria mana yang tak suka/senyummu juwita. Kalau ada yang tak suka/mungkin sedang --ehm-- goblok..." Agak keras, memang tapi begitulah kiranya kombinasi senyum dan perempuan untukku.

Tapi bukan berarti senyum itu monopoli makhluk ciptaanNya yang disebut perempuan, tentu saja. Karena definisi senyum salah satunya merupakan ekspresi kegembiraan, tentulah senyum itu dapat dikenakan di wajah siapa saja. Bahkan kalau tak salah, (dulu) negeri bernama Indonesia itu terkenal karena ramah-tamahnya --yang di antaranya terpancar dari senyum.

Soal senyum --mungkin ini subjektif-- aku punya favorit, boleh kan? Cukup lama juga aku kagum dengan salah satu pembaca berita di stasiun televisi "metro tv". Nama beliau, sebentar... Oh iya, Frida Lidwina. Bagaimana bisa lupa yah? (:p) Untuk yang belum tahu, ini ada pinjaman gambar dari situs stasiun tersebut.
Yah, sekali lagi itu subjektif, ya... Kalau ditanya, mengapa beliau? Mungkin karena setiap senyum itu khas, tetapi yang paling terasa itu bukan sekedar --seperti definisi-- tarikan otot-otot terutama di tepi-tepi bibir, tetapi yang membawa serta emosi berupa keriangan dari dalam pemilik senyum itu. Nah, sepertinya senyum beliau punya karakteristik sedemikian.

Tunggu sebentar... Sudahkah kamu tersenyum hari ini? Agak sulit bagi beberapa orang --juga termasuk aku sih-- untuk berbuat sedemikian. Mungkin perlu diingatkan tentang "senyum itu ibadah" (hadits yah? Duh, tak mahir soal sedemikian aku). Yang jelas, setelah segala turbulensi seharian kemarin --soal motor, disemprot orang yang membayar tagihan di atm padahal BUKAN aku yang meneriaki dia agar mempercepat aktivitasnya, tanah sisa hujan yang ikut berputar di ban sepeda dan berakhir di tas, ringkas kata: "Semuanya-- hari ini sepertinya matahari kembali bersinar. Sinarnya hangat, tak seterik sebelum hujan kemarin, sekaligus membawa banyak energi --siap panen, he he...

Yeiii.... Jelang siang ini, importir timah (IV) klorida itu mengabarkan bahwa zat itu sudah sampai di bea cukai, dan esok hari akan diantar ke Lab. Wahhh... Semangat, Rif, Din... Besok mulai kita dari membuat dopan antimoni. Yang jelas, dengan datangnya berita itu, yang pertama kukabarkan malah Alfian. He he, habis di Lab tak ada orang selain dia. Kemudian barulah Pak Herman yang tiba di Lab selepas Dzuhur. Oh iya, ruang yang dahulu ditempati Pak Bus kini ditempati Pak Herman. Ada hikmah juga ternyata dengan berpulangnya Pak Bus.

Kemudian, setelah pemberitahuan ke Pak Herman, aku malah lupa menghubungi Dini. Betul, sampai ketika aku memotongi kaca dan Dini mengirim pesan pendek, baru aku beritahu dia. Satu kata yang mewakili perasaan kami bertiga mungkin: "grateful". Uff, saatnya memulai Rif. Semangat!! (Kata Dini sih, begitu.. ^_^)

Lalu, sore ini sampai lewat Maghrib mengawasi ujian pendahuluan praktikum DT. Cukup tenang, meskipun terasa salah juga membiarkan entah-siapa-namanya-itu, yang telah menyelesaikan ujiannya, mengobrol dengan kawannya yang belum selesai. Hey... Kenapa masih terus menulis padahal telah berakhir batas waktunya. Biar kuingat saja anak itu dengan satu kata "Cina". Maaf ya, bukan maksud apa-apa, tetapi yang tersingkat untuk menyimpulkan "kulit kuning"-"mata sipit"-"kalau senyum hilang matanya" itu, buatku, cuma "Cina. Ujian akhir nanti di depan untukmu.

Ahh.. Betul ucapan itu. "Mau dibawa senyum, mau dibawa ngedumel, waktu tetap berjalan, kok." Jadi, mulai sekarang, Rif, senyumkan dulu di hati. Biar senyum di wajah terukir sendiri dengan pikiran yang tenang. "A Beautiful Mind", kalau meniru judul sebuah film. Janji ya?


F I N
written on 08. Oktober 2008, 21.32 WIB
...Sometimes, after those "basa-basi" things, some of us male don't know how to continue...

Minggu, 05 Oktober 2008

Lingkaran

Lingkaran, atau boleh juga disebut segi-n dengan n mendekati takhingga. Bentuk serupa lingkaran ini pula yang tidak ditemukan pada sistem angka romawi, tetapi ada pada angka arab berupa angka nol --angka yang amat istimewa, kurasa. Bentuk serupa lingkaran pula orbit bumi pada matahari, bulan pada bumi, dan manusia pada rumahNya yang pertama dibangun.

Kalau ada orang terkena koreng (borok), lalu dia hanya mencari salep, maka koreng itu bisa saja sembuh. Tapi kalau caranya hidup, beraktivitas, dan semuanya tak ia ubah, maka koreng itu hanya tinggal menunggu waktu saja untuk kembali lagi, lagi, lagi, dan lagi. Orang semacam ini tidak berpikir siklis --melingkar-- melainkan hanya linier. Masalah diatasi sebatas selesai masalah itu saja, tetapi tidak pernah dituntaskan seutuhnya.

Padahal, kita mungkin pernah diterangkan kisah tentang Nabi Khidir yang dipertemukan dengan Nabi Musa. Pada pertemuannya, Nabi Musa tidak diperkenankan bertanya oleh Nabi Khidir, tetapi malah dilanggarnya. Kisah itu secara ringkas adalah ketika mereka bepergian, Nabi Khidir malah merusak perahu yang mereka tumpangi, kemudian membunuh seorang anak kecil, dan memperbaiki tembok yang doyong akan runtuh.

Hikayat ini mengajarkan kita berpikir menyeluruh, atau kusebut melingkar. Kisah pertama (perahu) terjadi karena di wilayah itu penguasanya lalim dan gemar merampas perahu, sedangkan pemilik perahu itu orang miskin. Ini mengajarkan bahwa dalam berpikir, mestilah kita menimbang keadaan terkini, yang aktual. Andaikan perahu itu tetap dibiarkan, maka pastilah sang raja akan merampasnya.

Kemudian, tentang anak yang dibunuh itu tentu ada pula sebabnya. Anak itu lahir dari pasangan shalih, tetapi di masa mendatang, si anak akan tumbuh menjadi anak yang kuat, tetapi kafir. Daripada anak ini kelak menjadi orang yang berpengaruh dan mengalihkan banyak orang, tentu lebih baik dimatikan saja sekarang, bukan? Nah. Ini tidak untuk ditiru, yah.. Kita tidak tahu masa depan seseorang, jadi tidak bisa kita memutuskan membunuh orang seperti itu, yah.. Nah, kisah ini menunjukkan bahwa masa depan --atau tujuan-- itu juga mesti dimasukkan dalam pertimbangan pengambilan keputusan.

Lalu kisah terakhir (tembok), mengapa pula tembok yang sudah tinggal menunggu roboh itu perlu ditegakkan kembali? Tidak ada yang filosofis di sini, hanya urusan dunia saja kok. Jadi, menurut hikayat itu, di bawah tembok itu ada harta peninggalan seorang ayah untuk anak-anaknya di negeri itu. Namun, penduduk negeri itu menyembah berhala. Seandainya tembok itu dibiarkan runtuh, maka harta itu akan nampak dan entah apa yang akan diperbuat penduduk itu atas harta anak-anak yatim yang masih kecil itu. Atas dasar itulah, maka tembok itu didirikan kembali, dan biar kelak anak-anak itu yang menemukannya. Hmm... Pada kasus ini, pertimbangannya adalah masa yang telah lampau --sejarah.

Singkat kata, mengambil keputusan kurang baik dilakukan hanya berbasis kekinian, bahwa dengan begini, maka masalah ini akan selesai. Misalnya saja persoalan yang khas negeri ini setiap akhir Ramadhan - awal Syawwal: MUDIK. Apa yang dilakukan Bapak-Ibu pengambil keputusan sekarang? Memperlebar dan memuluskan jalan, menambah jalur, memperbanyak armada angkutan, dan kebijakan-kebijakan serupa lain. Bukan berarti masalah tak selesai. Jelas dengan kebijakan seperti demikian, arus mudik (maupun baliknya) dapat berlangsung lancar, aman, sentosa (ups... ^_^). Tapi.... Ingat masalah koreng di awal tadi? Seperti halnya koreng itu, mudik pun berlangsung dari tahun ke tahun, bertambah banyak dan ruwet pula.

Bagaimana kalau kuberikan pendapat: Pemerataan. Mengapa sih, ada orang mudik? Karena ada perantau, bukan? Mengapa orang merantau? Mencari penghidupan, bukan? (Kecuali kalau memang merantau itu sudah menjadi budaya, ya?). Nah, mengapa tidak membangun pusat-pusat ekonomi di luar Ibu kota negara? Jadi, bangunlah tempat-tempat orang bisa berusaha, berdagang, semuanya, di pelbagai kota, besar maupun kecil, di penjuru negeri. Dengan demikian, sekiranya masih terjadi, mudik lebih tidak terkonsentrasi dan bukan tak mungkin bisa berkurang banyak.

Memang tak mudah, perlu kerja sama semua, sekali lagi semua, pihak, dan pengorbanan (baca: biaya-biaya, dsb) yang tak kecil. Tapi kalau kemauan ada, dan diupayakan, tak ada yang tak mungkin bukan? Demikian pula masalah-masalah lain yang seolah-olah menempel dengan kalender menjadi "musim-musim" (Musim banjir, mudik, seterusnya) di dinding-dinding rumah kita. Ingatlah, pertimbangkan keadaan sekarang, tujuan, dan jangan lupa sejarah dan masa lalu yang pernah terjadi, dan kembalilah ke masa sekarang-tujuan-masa lalu, dan kembalilah..... [perulangan takhingga]

**
Terinspirasi dari tulisan Muhammad Ainun Najib/Emha Ainun Najib/Cak Nun dalam "Kiai Untung, Kiai Bejo, Kiai Hoki", juga dari acara "Nada dan Dakwah" TVRI, 21. Sep 2008 kalau tak salah. Disarikan dari berbagai sumber yang tercantum maupun dari sedikit pemikiran.


F I N
written on 05. Okt 2008, 06.57 WIB
..just do it and forget it..

Jumat, 03 Oktober 2008

D -119:Pengorbanan

Wahh... Tak terasa Ramadhan berlalu, dan jumlah hari yang tersisa adalah 119 hari. Itu kalau menghitung langsung ke 31. Januari 2009. Semestinya aku menghitung kurang dari itu, tepatnya ke 12. Desember 2008. Duh... Lebih pendek lagi masa yang kupunya.

Jadi, petang ini Dini mengingatkan, jangan lupa menagih pemasok kristal timah (IV) klorida itu agar cepat mendatangkan zat yang kami pesan ke lab. Terus terang aku belum menagihnya lagi. Tahulah, suasana 'Id fitri, berkumpul dengan keluarga (alhamdulillah...), dan sedikit *banyak* lupa dengan urusan lain, termasuk TA itu. Bahan-bahan lain sudah ada, lengkap malah. Yang tinggal hanya timah klorida itu, untuk membuat sekeping kaca menjadi konduktif.

Ahh... Sudah, sudah.. Sudah diingatkan aku, dan esok mesti lekas aku menelepon Pak Nur itu. Tak lupa pula mengganti pelumas dan gir sepeda motor pinjaman dari saudaraku (ampun.. Berapa bulan beralalu sejak gir itu bermasalah ya?). Jadi, sekarang saatnya meluruskan niat, membetulkan tujuan, membenahi prioritas.

Yap, satu kata: "prioritas". Ini jadi masalah betul buatku, sejak masa dulu di, um.... SD sepertinya, di mana prioritasku sudah kacau balau. Prioritas ini semakin kemari semakin ruwet. Ada banyak hal yang memenuhi kepala: praktikum DT metalurgi yang tinggal dua pekan ke depan (harus belajar lagi), UTS yang tinggal tiga pekan mendatang, TA yang tak kunjung mulai, hobi-hobi yang lebih sering dikedepankan (jadi rasanya belajar, kuliah, itu sekadar hobi saja. Duh!), dan seterusnya yang membuang tempat saja kalau dituliskan semuanya.

Hmm.. Soal hobi ini aku perlu betul-betul menguranginya. Soal permainan CM, sulit. Agak terlalu candu permainan satu itu, tapi bisalah sedikit-sedikit kukurangi --walaupun pelarian paling asyik tetaplah CM ini. Kemudian hobi yang belum lama ini kujalani: fotografi (baru sekitar 5-6 rol kok, betul...).

Uff... Kamera ayah, bodi Canon EOS 5D dan lensa Sigma 80 - 200 mm yang kalau tak salah dulu ayah beli ketika tugas luar ke Singapura, telah lumayan lama teronggok di kamarku. Rapi di dalam tasnya, dengan lensa yang berjamur. Dulu sempat aku hendak membersihkannya, tetapi waktu itu aku dan Komar diberitahu bahwa untuk membersihkannya --karena lensanya yang manual-otomatis-- harus membawanya ke Gunung Sahari. Terus terang saja ya, Gunung Sahari saja --sebagai satu-satunya Gunung di Jakarta, tapi bohong... :P-- aku tak tahu di mana.

Baru tahun ini aku bisa --secara waktu, keuangan, dan semuanya-- membenahi lensa itu. Mudah sih, karena toko penyedia jasa pembersihan itu --oktagon-- membuka semacam cabang di Kemang yang *jauh* lebih dekat ke rumahku di Selatan Jakarta daripada Gunung Sahari di Jakarta Utara. Jadi, tuntaslah masalah lensa itu.

Tapi.... Masalah beralih ke diriku. Ada semacam sensasi tersendiri, begitu, pada setiap klik yang keluar dari kamera itu. Apalagi dengan beberapa foto yang telah kuhasilkan cukup memuaskan --setidaknya buatku. Rasanya seperti kamera itu menguasaiku sepenuhnya, bukan sebaliknya. Setelah foto-foto dicetak, masalah timbul, bahwa tak ada pemindai yang bisa mengubah format lembar-lembar foto itu menjadi foto digital. Ada pemindai di Jurusan, tetapi rasanya aku malu menumpang memindai di situ. Tapi setelah melihat-lihat situs penjual mesin pemindai itu, rasanya aku ingin memindai dengan menumpang saja. Duhh...

Jadi, di tengah kebingungan itu, aku memutuskan untuk berhenti (sementara) dari potret memotret. Dengan menjanjikan padaku rol film tak terbatas dan pemindai untuk lembar-lembar film yang akan kuhasilkan, kelak. Baterai tipe CR 123A telah dicabut dari wadahnya dalam kamera, rol film sudah habis di Monas kemarin, dan kukembalikan kamera besar itu ke tempatnya semula, bukan dalam tasku.

**

Teringat aku dengan ucapan, um, siapa ya? Dosenku kalau tak salah. Pembimbing KP kami sebetulnya, tetapi karena laporan kami tak jua selesai, maka tak kunjung presentasi kami kepada beliau. Jadi beliau --Pak Agustinus Sumadi-- pernah (atau tepatnya: hampir setiap kuliah) berkata, bahwa salah satu jalan agar sukses adalah kerelaan menunda kesenangan. Mungkin bukan menunda kesenangan ya, Pak? Menghapus kesenangan kini dengan janji kesenangan menjurus kegilaan (he he...) di masa mendatang. Siap, Pak. Sudah (kucoba) laksanakan. Semoga tercapai sukses yang Bapak maksud itu, juga janji tentang rol film tak-terbatas dan pemindai film (minimal CanoScan 4400F, he he..). Mungkin juga termasuk janjiku sendiri tentang 1098S, atau minimal Ninja 250RR (jangan lupa, warna kuning ya? He he...). Ah, sudahlah. Semakin malam semakin liar khayalan ini. Tidur, Riff... ^_^


F I N
written on 3. Okt 2008, 23.04 WIB
can't I read you(r notes) anymore, sis? Pardon my crudeness, will you?