Sabtu, 29 November 2008

Sebuah Kalimat

Di sela-sela mengerjakan slide presentasi untuk 'seminar' -mata kuliah seminar sebetulnya- aku menemukansebuah kalimat yang mengusik: "I have neither the natural ability nor the experience to deal with human beings." Yah... Tembakan langsung untukku, boleh dikata. Coba kita terjemahkan sedikit yah.. Sebentar. Artinya lebih kurang "Aku tak diberi kemampuan maupun pengalaman untuk berurusan dengan manusia." Siapa sih, yang mengatakan demikian? Pernah dengar nama Albert Einstein? Nah, beliau menyatakan demikian ketika ditawarkan posisi sebagai presiden kedua negara Isra'il.

Hm... Apa itu juga yang terjadi denganku yah? Akhir-akhir ini, karena tekanan ini dan itu, rona ceria yang perlahan mulai bersemu di hati perlahan redup kembali, tertutup gelapnya mata dan panasnya kepala. Uff.. Entahlah... Mungkin saran Pak Herman soal terus sekolah boleh diangkat ke permukaan juga nanti, dan ucap Reza --dengan sadar kuakui-- "Kalo elo gitu di luar, udah habis ********* sama orang". Yap... Mungkin baik juga kita cari obeng, mur-baut, tang, dan rekan-rekannya dan buat sesuatu untuk orang lain, tanpa berurusan dengan orang lain....


F I N
written on 29. Nov 2008, 23.25 WIB
Katakan padaku mengapa manusia itu sulit dimengerti... Tiap ku tak berucap, mereka tak mengerti yang kumau. Ku berucap, mereka tak mendengar. Kuteriakkan, mereka menyangkakan aku marah... Katakan padaku semua alasannya, karena ku ingin tahu...

Jumat, 28 November 2008

Kangen

Satu hal, Rif...
Tidak ada putih tanpa hitam
Tidak ada siang tanpa malam
Tidak ada terang tanpa gelap
Tidak ada sempurna tanpa cacat
Tidak ada kanan tanpa kiri
tapi
Ada Dia tanpa kamu perlu anggap ada

Dan bila jauh terasa
Dan saat rindu meraja
Ada Dia, dengan pintu yang terbuka --kalaupun tidak, siap dibuka selalu.


F I N
28. November 2008, 00.28 WIB
Menjauhkah Kamu dariku? Kumohon jangan... Dua pekan ini saja, lindungi lemahku. Nanti kulunasi khusus untukMu.


Sabtu, 22 November 2008

Macet

Ah... Kata yang jamak didengar di ibu kota tercinta (???) ini. Tapi... Tak terbayang juga kalau sampai di simpang jalan (simpang ubin kalau menurut kami) tak berapa jauh dari rumah bisa sampai macet berpanjang-panjang.

Yap, terjadinya dua hari lalu, Kamis (20. Nov). Waktunya, yah sore hari jelang Maghrib. Waktu kritis di mana ada orang yang memang hendak bersegera tiba di rumah untuk menyambut berbuka, atau keperluan lainnya.

Ceritanya sederhana: terlalu banyak kendaraan. Tapi mungkin bukan itu juga akarnya. Coba kita balik sedikit. Di hampir setiap persimpangan, 'manusia masa kini' --yang diburu waktu selalu-- cenderung ingin (diri mereka sendiri) cepat tiba di tujuan mereka dan acuh pada manusia masa kini lainnya --yang juga diburu waktu. Tidak perlu menebak apa yang terjadi kalau dua manusia masa kini itu berjumpa di persimpangan jalan yang sama. Sama ingin cepatnya, jadilah memasuki persimpangan secepatnya dengan sedikit sekali melihat --sebenar-benarnya melihat; to see, bukan sekedar to look-- ke orang lain di sekitar. Yah, begitulah. Jam ditemukan, waktu jadi semakin penting, di atas segalanya bahkan. Tapi kelamaan, waktu juga yang jadi tuan manusia, bukan manusia memanfaatkan waktu.

Jadi, memang salah kalau banyak mobil, motor, sepeda, gerobak, apalah di jalan? Kalau itu salahnya, larang saja orang membeli motor, mobil, dan semuanya. Rasanya bukan itu yang salah. Bukan pula waktu yang kurang. Maksudku, hey, bukantah jatah waktu setiap manusia sehari itu sama. Kurang 24 jam, begitu? Rasanya yang kurang itu di kepala, atau di hati manusia masa kini. Kurang, ehm... Sabar.

Begini, berbagai cara bepergian telah pernah aku lakoni. Dari yang paling primitif (jalan kaki), angkutan umum, sepeda, sepeda motor, mobil (sangat-amat jarang. Tanggung jawabnya besar.. Hihihi), pesawat terbang (dulu waktu masih kecil), kapal laut, mungkin hanya gerobak saja yang belum. Coba lihat di bandar udara, atau lapangan terbang begitu. Manis betul pengaturannya. Coba kalau para pilot tak sabar, macam pengemudi angkot yang begitu terisi penuh (tidak begitu selalu sih) langsung tancap gas. Wah, bisa kacau dunia persilatan, eh, penerbangan. ;p

Nah... Kerapian, keteraturan, kesabaran, dan teman-temannya itu yang kurang di jalan. Jangankan di persimpangan biasa, di simpang empat yang berlampu lalu lintas saja, banyak betul manusia masa kini yang *tidak* sanggup mengantre. Garis sebelum zebra cross yang mestinya jadi batas --supaya orang-orang yang hendak menyeberangi jalan di situ tidak takut-- lewat selalu. Jadilah calon penyeberang yang tidak seberapa besar nyalinya jadi undur dan menunggu lebih lama lagi. Lupa manusia masa kini itu kalau kaki yang Dia rancang dan ciptakan sendiri --dan gratis pula! Cuma diminta dua hal: ikut apa yang Dia perintah, jauh apa yang Dia larang-- itu hadir lebih dulu bersama tangan untuk merakit berbagai-bagai kendaraan itu. Lupa, karena memang manusia --masa kini maupun masa lalu-- digariskan untuk lupa.

Yah, kalau di simpang jalan berlampu pengatur saja demikian, bagaimana yang tidak? Itu yang terjadi Rabu kemarin, di simpang ubin. Berbagai-bagai mobil, motor, angkutan umum, truk dan pikap, entah ada gerobak dan sepeda atau tidak, tumpuk jadi satu di sana. Simpang tiga-tiga (satu pertigaan ke selatan, satu ke utara. Simpang empat cacat deh, hihihi) yang biasanya tak terlalu ramai jadi riuh rendah suara klakson yang membahana. Di satu mobil angkutan umum itu, duduk satu bocah yang pulang sendiri, memegangi kepalanya, tak habis pikir, ke mana perginya semua "Orang Indonesia terkenal ramah" dan semuanya itu kini. Kalau demikian, mungkin tak ingin ia jadi orang Indonesia, atau setidaknya tak ingin ia jadi manusia Indonesia masa kini. "Lebih baik jadi manusia masa lalu saja kalau begitu".


F I N
written on 22. Nov 2008, 02.40 and 06.30 WIB
.. C . A . P . E' ..

Minggu, 16 November 2008

Sepeda + Lumpur = ?

Jadi, pagi ini roda-roda sepeda hijau tua (pikir sendiri maksudnya ya? ;P) ayah yang diturunkan padaku mencium aspal lagi. Yah, tidak terlalu pagi juga sih, mengingat semalam baru tertidur setelah babak pertama siaran tunda Liga Primer Inggris Manchester United vs Stoke City berakhir, jadilah pagi ini agak lat aku terbangun. Duduh... Payah deh.

Ya, jadi setelah ritual memompa kedua roda sepeda itu, dan mempersiapkan koran bekas, buku bacaan --"Jejak Tinju Pak Kiai"-- dan 600 ml air dalam sebotol, berangkatlah kami ke kampus tercinta. Eh, bukan ding, kalau kampus tercinta di sini konotasinya kepada sebuah institut dekat perlintasan kereta api antara stasiun Lenteng Agung dan Tanjung Barat. Jadi, kampus(ku) tercinta itu adanya di perbatasan Depok-Jakarta. Bisa dibilang bersepeda AKAP (antar kota antar propinsi) deh, hehehe...

Sepanjang jalan, masih ada beberapa lubang jalan yang terisi air (dan lumpur? Entahlah..) sisa hujan deras kemarin sore. Wah, kalau cerita hujan deras kemarin, luar biasa. Ibarat air itu ditumpahkan semuanya dari langit. Belum lagi angin yang membuat air itu seperti menari-nari. Wah... Nyaman menikmatinya dari balkon sebelah kamarku.

Eh iya, jadi sekarang kita sedang di jalan dari rumah ke kampus ya? Oke, mari dilanjut. Jadi, sepanjang jalan rasanya agak-agak, bagaimana ya, dingin dan sedikit basah. Kecuali kalau di belakang bus kecil bernomor 616. Ih, hitam kelam asapnya. Bau, pula!

Jadi, tiga puluh(an) menit selepas jam keberangkatan, sampai kita di pintu (kecil) di tengah pagar bercat kuning itu. Tapi... Loh, kok dipasangi rantai? Tak masalah tentu buat kendaraan sekelas sepeda, tapi bagi banyak lagi 'wisatawan' yang bersepeda motor, masalah besar tentu saja. Entahlah, tak pernah sebelumnya bersepeda --dan ke kampus pada umumnya-- di hari Ahad seperti pagi ini. Mungkin ini kebijakan bapak-bapak pengambil keputusan di gedung rektorat ya?

Yah, urusan rantai-merantai ini juga sedikit membuat si Ica --adikku-- manyun selepas aku pulang nanti. Ceritanya, pagi ini (juga kemarin pagi), ia yang sekarang sudah kelas XII (uh, banyak betul. Pokoknya tahun terakhir di SMA, deh) berencana datang ke acara yang diadakan mahasiswa UI, "Bedah Kampus". Nah, karena (salahku juga tidak memutakhirkan informasi soal ini) terlambat tahu, dan baru menghadapi tes juga di sekolah, jadilah Ica baru mencari tiketnya pada hari-H. Ya, karena celah pagar dirantai, jadilah Ica dan temannya sedikit terlambat ("padahal tinggal 10 orang lagi tuh, Mas"). Sampai berdoa dia, "semoga acaranya nggak seru, biar nggak nyesel kita nggak dapet tiket", hihihi..

Hmm... Setelah mengangkat sepeda itu --yang kuharap bisa lebih ringan, sebetulnya-- melewati rantai, ternyata ramai juga orang berolahraga di Ahad pagi. Kebanyakan keluarga muda dan kecil, tapi tak sedikit juga bapak dan ibu yang lebih tua, juga remaja putra-putri. Kalau yang terakhir ini, boleh lah disebut 'bumbu' bersepeda kali ini, hehehe... Dasar!

Oh iya, rute hari ini. Pintu kukusan (~ teknik, kutek) - F. Ekonomi - F. ISIP - F. Psikologi - F. Hukum - Masjid UI - F. Ilmu Komputer - Rektorat - Balairung - Masjid UI - Hutan - keluar UI - rumah. Betul... Hutan. Kalau hari kering --tidak lepas hujan-- kawasan hutan ini menyenangkan untuk dijelajahi. Ilalangnya tinggi, tapi masih masuk akal. Dalamnya masih ada beberapa jalan paving block yang sudah bocel-bocel karena *sangat* jarang dilewati, juga jalan setapak yang dilalui pengendara sepeda, yang sering juga "berlatih" dalam hutan, maupun oleh "nelayan" dan pemancing yang menuju danau di tengah hutan. Jalan ini berupa tanah saja, membelah rerumputan dan pepohonan, teduh di bawah pohon-pohon, mm... Karet kurasa.

Tapi perlu diingat. Kemarin hujan turun dengan derasnya. Jadi, kombinasi hujan (air), tanah, dan tiadanya saluran di dalam hutan menghasilkan lumpur yang sempurna. Hihihi, seperti pernah dengar frasa yang terakhir itu. Yah, apapun itu, yang jelas lumpur itu mengurangi kecepatan jelajah hutan karena ban sepeda dengan cepat mengumpulkan tanah-lumpur itu. Belum lagi akar-akar pohon yang malang-melintang di lantai hutan. Tak mengapa, sebetulnya, karena rencana hari ini bersepeda membuang penat. Penat karena TA, PR-PR dan tugas, TA, Nike, TA, Seminar, TA, TA, dan TA lagi. Jadi, sepeda kecepatan rendah di jalan berlumpur --tak bisa memikirkan yang lain kecuali jalan di depan-- klop betul dengan tujuanku.

Setelah masuk ke hutan, setelah berputar kembali ke arah F. Teknik dari Masjid, terasa dingin menerpa tanganku. Syukurlah, aku mengenakan sweter lengan panjang, jadi tidak terlalu parah dinginnya. Jalan yang bocel-bocel itu betul-betul menyiksa --dengan ketiadaan peredam kejut di sepedaku. Untunglah jalan itu tak lebih dari 50 meter saja. Selepas itu, yang ada hanya jalan setapak dari tanah yang sebagian basah-sebagian kering. Dengan kecepatan rendah, tak lebih dari lima menit sampai sudah aku di tepi danau entah-apa-namanya. Memandang sekeliling, wah, sepi betul... Rasanya ingin menggelar koran bekas yang kubawa dan duduk membaca, tapi kok rasanya belum puas bersepeda yah? Jadilah aku menuruni lereng tanah yang agak curam di tepi danau itu.

Tapi... Loh, kok agak licin ya? Duh, ternyata sepatu yang kukenakan salah! Tidak salah juga sebetulnya, tapi itu sepatu satu-satunya yang kupunya yang kering. Sepatu satunya lagi, basah karena lalai kutinggalkan di depan teras nenekku waktu Rabu kemarin aku mampir --sekaligus melepas adik ayahku yang telah berangkat menuju Tanah Suci Makkah keesokan harinya. Yah, sepatu ini karena lama tak dipakai, entah bagaimana solnya seperti mengeras dan jalur-jalur di dasarnya sudah menuju rata. Jadi, wajar kalau licin. Duduh... Tapi biarlah. Kalau toh jatuh tak ada orang melihat ini. ;p

Jadi, dengan sepinya danau dari para "nelayan" dan pemancing yang terkadang mencari ikan di danau-danau UI, aku susuri saja tepian danau itu, menembus perdu yang tinggi tak terawat --siapa yang mau merawatnya? Bodoh ih, kadang-kadang (n_n)V. Lepas ilalang itu, ternyata ada seorang "nelayan" baru datang dan meninggalkan sepedanya di sebatang pohon. Mengapa "nelayan", sebab menurutku nelayan itu adanya di pantai, di laut. Tapi, karena di perairan darat belum ketemu padanannya, jadilah kuberikan saja gelar "nelayan" pada pria yang membawa jaring itu.

Wah, selepas pertemuan itu, jalannya sulit. Tanah berlumpur, menanjak, pohon pisang yang rubuh menutupi jalan, jalan yang sempit, rumput yang tinggi, semuanya deh, dan berakhir pada satu kata: "menuntun". Ah, coba saja hari kemarin (dan kemarinnya lagi) kering, tak ragu kulibas jalan itu. Masalahnya, saat kucoba mengayuh, ban belakang malah berputar di tempat karena sudah penuh lumpur. Ya sudah, lebih baik dituntun saja, toh, sampai kembali ke 'jalan yang benar', alias jalan aspal di pinggiran kampus. Eh, yang ada malah bocah juga seorang perempuan, belajar mengemudi sepeda motor.. Jadilah menepi lagi, masuk ke dalam hutan lewat jalan yang lain.

Di sana kutemui seorang (kuduga) bapak dan anaknya yang juga mengendarai sepeda --yang (kuduga juga) jauh lebih bagus dari yang kukendarai. Wah, lengkap deh peralatannya. Helm (bagus) banding topi (kupakai), kaus sepeda banding kaus biasa berbalut sweter, tempat minum yang dipasang di rangka banding air dalam botol eks air mineral dalam tas selempang. Yah... Tak bisa dibandingkan deh, kecuali mungkin semangat dan 'kegilaan' menembus jalan yang bukan jalan dalam hutan itu, hehehe...

Nah, setelah menemui danau (lagi), dan menyusuri tepiannya, adalah sebuah pintu air yang bagian atasnya bisa dilewati orang dan (dengan sedikit edan) sepeda. Masalahnya, di mulut 'jembatan' itu dan di jalan keluarnya, ada genangan air di ceruk tanah. Genangan di mulut 'jembatan' bisa dilewati dengan mulus, tapi masalah datang ketika keluar. Duh, ternyata dalam... Jadilah sedikit ngadat di tengah genangan, dan sepatu kiri jadi korban lumpur karena mencari tumpuan. Lepas jembatan itu, gambaran (roda) sepedaku itu adalah ban yang dibalut lumpur setengah basah-setengah kering. "Belog" kata orang sini.

Sudah itu, aku salah belok menuju "tempat pembuangan sampah" di balik lereng di tepi danau yang kedua itu. Saat akan kembali turun di lereng itu, coba tebak. Rem depan kendur. Bukan kendur biasa, tapi tali bajanya memang sudah ada yang keluar dari jalinannya. Jadi, baut pengencangnya tidak bisa menahannya. Syukur dalam tasku ada beberapa kunci pas, untuk sekadar jaga-jaga, Maklum, sepeda warisan. Dengan sedikit akrobat, termasuk 'menambatkan' sepeda di sebatang pohon kecil, dan mengutak-atik sedikit tali baja untuk rem itu, akhirnya kembali *bisa* bekerja lagilah rem depan itu, setidaknya untuk menahan lajunya sampai turun kembali ke tepi danau. Nah, malah di situasi inilah keringat keluar lebih banyak daripada sepanjang mengayuh tadi. Aneh, memang, mungkin dipicu ketegangan karena situasi itu terjadi di turunan jalan ya? Yah, begitulah.

Akhirnya, karena sudah cukup siang, dan ban sepeda sudah semakin amburadul bercampur tanah, dan lelah mulai menghampiri juga, padahal masih ada satu sesi kayuhan lagi sampai rumah, jadilah aku memutuskan pulang saja. Sepanjang jalan, kalau ada yang jadi kotor tertempel tanah yang terbawa sepedaku, aku minta maaf. Celanaku juga jadi bermotif cokelat tanah karenanya. Tiga puluh menit(an) kayuhan, diselingi lima menit(an) menuntun sepeda melewati ramainya angkot di tanjakan pasar Lenteng, tibalah di rumah, dengan ibu langsung bertanya, "Jatuh tadi, Mas?". Hehehe... Kalau jatuh sih, rata tanahnya, Bu.... Andai beliau tahu jalan macam apa yang tadi kulalui.

Yah, sesampainya di rumah, toh akhirnya koran dan buku itu tak kunjung jadi kugelar. Yang jelas, terjawab pertanyaanku di atas itu. Jawabannya sederhana: Sepeda + Lumpur = "Mencuci". Yap, jadilah sepeda itu kucuci. Selain ban dan roda penuh tanah, ada pula bau-bau aneh yang menguar dari bannya itu. Daripada daripada, lebih baik mendingan, hihihihi. Sekitar satu jam pencucian, sepeda itu *lumayan* bersihlah. Kemudian, selepas sarapan dan mandi dan Dzuhur, tak ada yang lebih nikmat daripada..... TIDUR! Hihihi.

Lelah, capai, semuanya mengumpul. Tapi setidaknya, penat itu --soal TA, tugas-tugas, TA, Nike, TA, Seminar, TA, TA lagi-- sudah cukup terangkat. Esok saatnya memulai hari yang baru. Semoga.

--
F I N
written on 16. November 2008, 19.40 WIB
*menulis --dan membaca-- ini (kuduga) melelahkan juga yah.. Hihihi (^_^)V*

Jadi Manusia

Rasanya, dengan semakin dekatnya hari pengumpulan skripsi, semakin takut pula aku. "Mau ke mana (se)habis ini, Rif?" jadi pertanyaan yang lazim kudengar mulai dari semester ini. Heii... Jangan tanya aku. Lama sudah tak berencana aku. Lama juga aku dilanda keberuntungan demi keberuntungan (atau kebetulan? Bukan, tapi garis jalan hidup yang, syukurlah, menguntungkanku) selama melewati tahun-tahun remajaku yang *terlalu* singkat.

"Jadi, sudah ada rencana, Rif?". Sudah kubilang, belum. Yang ada baru mimpi yang jauh tentang sebuah rumah berhalaman luas yang tidak kuhuni sendiri, dan semuanya yang sekarang kurasa amat jauh. Jauh, karena skripsi masih (menunggu) ditulis -- ia takkan menulisi dirinya sendiri, bukan? Jauh, karena rasanya untuk terjun ke dunia yang disebut 'dunia kerja', atau 'dunia nyata' dan semacamnya yang pada dunia itu kesalahan hanya bisa diperbuat seminim mungkin, aku rasa belum siap ilmuku masuk ke sana. Jadi, kurasa sekali lagi aku biarkan saja waktu berjalan melewatiku, atau sebaliknya, aku berjalan melewati terowongan waktu tanpa lentera.

Hmm... Sebetulnya, ingin rasanya ku mempunyai semacam pabrik, atau jenis usaha lain. Ingin bekerja mempekerjakan orang lain (yang banyak sangat masih belum bekerja). Kalau dari koran kemarin yang kubaca, tingkat kejahatan lurus hubungannya dengan tingkat pengangguran. Hmm... Jadi, masuk akal bukan kalau dengan mempekerjakan orang lain, aku bisa turut memberi rasa aman --dalam berbagai makna-- pada orang-orang di sekitar?

Tapi... Sekarang kita lihat, pekerja di pelbagai pabrik diperlakukan tak ubahnya mesin, menjadi sekadar aset yang diperhatikan dalam hal angka-angka saja. Yah, angka berapa banyak jahitan yang selesai, berapa jumlahnya, berapa gajinya, dan banyak angka lain yang lebih penting dari keberadaan mereka sendiri sebagai manusia. Apalagi, kalau tak salah, prinsip ekonomi yang dipegang masih berupa mencari "keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya". Apalagi yang bisa diperkecil, kalau bukan urusan gaji dan segala hal tentang pekerja. Toh, mereka juga butuh mendapatkan uang, dan uang bisa didapat dengan bekerja. Kalau tidak perlu bekerja bisa dapat uang, tentu sudah tak terhitung banyaknya orang tidak memilih bekerja saja --termasuk juga aku, hihihihi... Lain itu, kalau mereka tidak rela, para pengendali pabrik-pabrik tersebut bisa dengan enteng menyatakan "kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, toh masih banyak yang perlu pekerjaan".

Duduh... Terus terang agak takut aku jadi seperti itu. Ingin sebetulnya jadi pemilik yang --menurut Cak Nun pada bukunya [0]-- "juga kekasih buruhnya". Yah, masih kupegang prinsip itu, bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin orang memperlakukanmu". RIndu rasanya menjadi manusia sedemikian. Betul, menjadi manusia, bukan menjadi "industriawan", "wartawan", "seniman", "insinyur", "dokter", apapun deh. Pada dasarnya tidak sulit menjadi yang kusebutkan terakhir itu. Jauh lebih sulit sebetulnya menjadi manusia. Manusia sebenar-benarnya, yang diciptakan "hanya untuk beribadah padaNya". Bisakah?

"Jadi, sudah dapat apa tujuanmu setelah ini, Rif?" Rasanya sudah. Jadi manusia, apapun profesinya. Manusia yang dianugerahi dua poros yang seolah bertentangan --hati (nurani) dan akal pikiran-- padahal harusnya sejalan, tak ada yang satu menjadi panglima yang lainnya. Jadi manusia yang.... Manusia.


[0] Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
--
F I N
written on 16. Nov 2008, 00.55 WIB
Uff.. Skripsi oh skripsi, mengapa tak bisa kau menulis dirimu sendiri?

Jumat, 14 November 2008

Lari

Lelah rasanya. Dengan hantu bernama 'dateline' yang tinggal sebulan kurang lagi (atau harusnya 'deadline'? Sudahlah, sebut tenggat saja lebih mudah). Duh.. 12. Dez 2008 melangkah mendekat saja. Padahal, sedari lepas UTS dua pekan yang lalu (atau entahlah, mungkin tiga pekan?), hampir tak ada tempat yang lebih aku dan Dini singgahi lebih lama dari lab kami. Delapan pagi, Dini sudah di tempat. Aku, ehm, setengah jam kemudian. Tapi rasanya, masih belum dapat juga apa yang kami cari.

Ingin lari rasanya. Ingin mencuri satu hari penuh saja tanpa hantu tenggat skripsi. Ingin melompat ke mana saja, atau ingin berdiam di depan radio kesayangan saja, atau ingin mendinginkan kaki di dingin lantai pualam M. UI, atau apapun, tanpa bayang teks yang harus ditulis itu.

Penat rasanya. Beragam akrobat sudah dibuat, tapi masih juga belum didapat yang kami mau. Sudahlah... Semoga rencana mengupas lapis grafit dari kaca khusus itu hari ini bisa berjalan -- kalau tidak kami harus membuat kaca khusus yang baru lagi. Semoga tak banyak macam data yang dihasilkan dari modul-modul yang kami kerjakan. Semoga...


F I N
written on 14. November 2008, 6.15 WIB
"Dan setidaknya, akhir pekan ini, aku bersama sepeda gunung butut warna hijau warisan ayah akan kembali ke sunyinya hutan kampus kami. Mungkin perlu juga membawa tikar dan makanan kecil, serta buku untuk dinikmati. Sendiri saja..." (n_n)


Kamis, 06 November 2008

(Tidak) Sakit Kepala

Pernah merasa pusing, tapi tanpa sakit di kepala? Ya begitulah sepekan ini aku. Setelah UTS, tak ada waktu melepas penat barang sejenak juga. Ada proyek, juga mimpi, yang dipertaruhkan di lab kami. Proyek yang nyaris ditinggalkan (sementara) sebetulnya, sampai Senin dan Selasa kemarin, ada seberkas cahaya diturunkan untuk kami.

Betul, tak lain dan tak bukan, cahaya teman kami. Jadi, pada Senin siang, dengan Dini sebagai aktris utamanya, kami memutuskan menguji coba saja modul yang kami punya, di bawah penerangan lampu OHP. Ternyata (eh ternyata), keluar angka di tampilan voltmeter yang kami pinjam dari Pak Nuddin dan Bang Mamad. Memang sih, hanya 10 millivolt, tapi untuk modul yang semuanya "home-made", menurut kami itu sudah luar biasa. Setelah itu, keesokan harinya pun disusul lagi oleh tampilan yang -jauh- lebih besar. Tiga kali dari angka hari Senin, dengan bahan semikonduktor yang memang berbeda sih. Hari Senin dengan Titanium (IV) Oksida (TiO2), Selasa dengan Seng Oksida (ZnO).

Nah.. Dengan itu resmi sudah topik yang kami pegang sekarang itu sebagai topik Tugas Akhir kami --sebelumnya nyaris batal topik itu. Eh iya, lupa disebut ya topiknya apa. Coba klik di sini dulu deh, supaya ada gambaran yang akan kami kerjakan. Jadi, setelah ketemu bahan apa yang akan kami jadikan bahan semikonduktor utama, selanjutnya kami menentukan variabel yang akan diamati.

Keputusannya adalah aku menggunakan campuran ZnO dengan beberapa bagian bubuk nano TiO2. Bubuk ini dibuat dengan menambahkan bahan awalan (larutan Titanium isopropoksida) dalam air, agar terjadi hidrolisis (pemecahan ikatan oleh air) dan didapat serbuk TiO2. Campurannya tertentu, tentu saja, agar ukuran nanometer yang kami kejar bisa didapat. Dini sendiri, menggunakan ZnO dengan campuran bahan kopolimer blok (?) untuk mengejar pori yang lebih luas pada lapisan ZnO nantinya.

Nah...... Membuat bubuk nano TiO2 itu, betul-betul tidak semudah mendengar Fian menerangkannya. Jadi, kerja membuat bubuk nano itu HARUS dilakukan di depan timbangan, karena rawannya bahan awalan itu bila dibiarkan di udara terbuka. Sebentar saja dipapar udara, bahan itu (kuduga) sudah bereaksi dengan uap air di udara dan menjadi serbuk putih, yang bisa menyumbat pipet untuk meneteskannya.

Karena Allah Maha Adil, setelah semua keriangan karena angka yang besarannya beberapa millivolt itu, maka roda pun berputarlah. Coba tebak, untuk membuat tiga perbandingan air dan bahan awalan itu, berapa lama waktu yang kami berdua perlukan untuk mengerjakannya? Coba kita hitung. Sebelas seperempat siang WIB, sampai setengah satu seperempat WIB untuk labu pertama. Dijeda makan siang dan shalat dan istirahat, lanjut lagi dari jam satu seperempat siang sampai...... Setengah empat petang! Fuh... Tiga tigaperempat jam habis.

Lelah? Pastinya. Itu baru kerja hari tadi. Belum termasuk kerja hari Senin-Selasa kemarin (Rabu istirahat dulu), sampai-sampai Senin-Selasa itu kami berdua pulang sampai waktu beranjak Maghrib. Hari Rabu, biarpun disebut istirahat, tapi dengan ada tugas mengawasi ujian akhir praktikum juga, jadilah aku baru pulang lepas Isya'..

Belum seberapa itu semua dibanding beban di hati. Yah, sebulanan ini juga, rasa-rasanya hati ini ingin mengetuk hati seorang. Tapi entah mengapa ragu menyerang lagi. Dia, aslab juga, yang jadi rujukan pertamaku bila hendak meminjam timbangan di lab seberang. Dia yang tak tahan debu, dan bisa sesak karenanya. Dia juga yang lebih menyukai susu kaleng bergambar dua ekor beruang daripada susu kotak itu (uh, memang harga tak bisa bohong...). Dia juga, perempuan yang bibir ini hendak mengutarakan maksud dari hati pemiliknya, tapi tak pernah bisa. Karena setiap pertemuan, selalu aku yang tak bicara. Karena terkadang, tercetus pula ide bahwa kamu tak jarang memanfaatkan hati-hati yang rawan ini.

Maaf, Non, kalau kaleng kemarin itu tak betul-betul untukmu saja. Juga maaf, kalau kaleng itu bukan hanya karena siang harinya telah terbantu aku karenamu. Maaf, karena dari kaleng itu, kuharap bisa kukalengkan pula kata-kataku yang belum bisa tersampaikan, yang belum juga tersusun rapi dan manis, dan malah kusembunyikan di belakang sebarang kata-kata yang kuucap kemarin-kemarin. Maaf...

Yang jelas, kamu --dan semua masalah lain yang mengisi sebulanan ini-- menyusutkan waktu tidurku, menghapuskan rasa di setiap butir nasi yang masuk ke kerongkonganku, meluluhkan batu di hati. Yap, sekeras apapun batu, di bawah terpaan air dan dibantu lumut kerak (?), pasti halus jua. Yang jelas, andaipun waktuku yang singkat ini tak cukup untuk mengenalmu jauh lebih jauh lagi, terima kasihku untukmu yang memberi sedikit sentuhan hati di sempit waktu ini.


F I N
written on 6. November 2008, 19.42 WIB
Ya Allah, bukan ku tak percaya telah Engkau gariskan siapa yang akan kudampingi, bukan ku ragu dengan apa kataMu, tapi setidaknya, berilah tanda padaku, tanda-tanda yang jelas karena aku mulai khawatir...