Jumat, 30 Januari 2009

Satu Sore Satu Simpanan

Ehm.. Izinkan aku memulai dengan serangkaian terima kasih untuk kawan-kawanku tersayang untuk hari kemarin, Kamis 29. Januar 2009, yang akan selalu kusimpan. Dimulai dari Fian, yang masih setia denganku mengurus laporan KP yang.... Ah, begitulah. Amin? Entahlah, ke Ghazza mungkin dia, setiap dihubungi selalu "berada di luar jangkauan" dan semacamnya. Kemarin, insya Allah jadi yang terakhir kami mengubah isi laporan ter... Ehm, begitulah. Juga terima kasih untuk sukses tepat pada waktunya mencapai kampus. 'makasih banyak, An... ^_^

Kemudian, untuk 15 orang kawanku seperjuangan juga, yang sama-sama mengikuti Gladi Resik Wisuda. Mari kita mulai dari namanya, karena orang bilang tak kenal nanti tak sayang. Ke-15 orang itu ialah Martha -- yang jadi satu dari dua yang mewakili fakultas kami, Mbak Idham, Mbak Nurma, Cicis, Dian, Dini -- rekan labku, Bunga, Ida, Uthy, Desta, Himsky, Panji, Lulus, Komar, dan Rian. Semua 15 orang itu tampil luar biasa, terutama sepuluh puteri yang pertama kusebut tentunya. :-D

Gladi resik? Biasa lah, tak ada yang istimewa. Bahkan sekadar berjabat sekenanya dengan rektor dan dekan tak seberapa istimewa. Karena tak ada yang seistimewa yang kami alami setelahnya, tentu.

Jadi, acara itu selesai sekitar 16.30. Setelah itu? Foto-foto tentunya. Lokasinya masih di seputar Balairung UI, terutama dekat danau, um.. Entahlah apa nama danau antara Balairung dan Masjid UI. Foto-fotonya? Ehm, nanti saja. Belum lengkap dikumpulkannya, sedangkan dari kamera yang kupegang, belum dicuci negatif filmnya, hehe..

Mbak Idham, Cicis dan Himsky...... Sebelum sesi UI-wood. Aku? Di belakang kamera dong.. hehe

Nah, selepas sesi foto tepi danau itu, beranjaklah kami -- tidak semuanya -- ke Masjid UI, untuk menunaikan Shalat Ashar (terlambat sebetulnya.. -_-), kemudian berangkat menuju lokasi selanjutnya. Tempat itu jamak disebut UI-wood, entah kenapa kecuali kalau fakta bahwa ada tulisan besar-besar nama universitas kami di tepi danau (lainnya) di seberang jalan dan sebaris rumput yang dibentuk menyerupai logonya di bawahnya.

Indah memang, dari kejauhan, tetapi seperti banyak hal cantik di dunia, jalan menuju ke sana tak ada mudah-mudahnya. Untuk mencapai tempat itu, ada sebuah jalan. Mungkin malah satu-satunya jalan, kecuali nanti aku bisa temukan yang lain dengan sepedaku, hahaha.. Jalan setapak itu
(dalam artian dapat dilalui satu mobil saja) berpintu dari sisi halaman parkir FISIP, masih berupa tanah di antara rimbun pepohonan, yang berubah menjadi semi-lumpur setelah hujan menimpa. Jalan itulah yang kemarin kami lalui -- minus Komar dan Desta, tapi plus Ari dan Nagy -- dengan dua mobil yang dikemudikan Himsky dan Dini.

Jalan masuk? Relatif tidak ada kesulitan berarti, kecuali roda kemudi yang bergerak tak terkendali kala melalui lumpur yang cukup tebal. Lima menit mengendara -- atau sekitar itu lah-- sampai kami di belakang papan nama itu. Langsung saja, sesi kedua foto dimulai, dengan berbagai gaya yang, aneh-aneh, lucu-lucu, imut-imut, amit-amit, keren-keren, gendheng-gendheng, dan banyak lagi yang tak terkatakan.

Jelang Maghrib, kami memutuskan sudah saatnya kembali, dengan masing-masing personil ada janji tersendiri. Karena Adzan Maghrib telah berkumandang di radio, maka meski kami semua sudah tersebar merata dan duduk manis dalam masing-masing mobil pun menunggu dulu. Lepas Adzan, meluncurlah kami -- secara harfiah -- keluar dan kembali ke 'peradaban'.

Di sinilah masalah muncul. Di tengah kegelapan hutan UI, (itu juga mungkin sebabnya disebut UI-wood; Hutan UI), penumpang mobil yang aku tumpangi -- dikemudikan Himsky -- yang berjalan lebih dulu dikejutkan dengan klakson dari mobil belakang. Ternyata mobil satu lagi, yang dikemudikan Dini, terjebak lumpur sehingga tidak mau diajak maju. Jadilah semua laki-laki pun turun tangan mencoba membantu Dini yang sudah berusaha memundur-majukan kendaraannya itu. Sedangkan perempuan di mobil itu, dipindah sementara ke dekat mobil depan, menunggu Dini bisa mengeluarkan mobilnya dari lumpur.

Aksi dorong-mendorong -- untuk hal yang lebih baik daripada dorong-mendorong dengan polisi di depan Istana Negara atau semacamnya -- pun terjadilah. Nagy bahkan sampai terperosok setelah kehilangan pegangan pada mobil yang sudah maju. Andaikan Dini tak terus menekan pedal gas, bisa jadi hal buruk terjadi, tapi syukurlah Nagy masih diberi keselamatan. Kejadian itu berlangsung lebih kurang 15 menit, menyisakan kami bermandi lumpur, Nagy yang paling parah. Aku sendiri hanya kebagian lumpur di bagian kaki sampai di antara betis dan mata kaki.

Akhirnya, setelah lewat dari semua itu, kami semua menyempatkan diri berfoto dengan kaki penuh tanah, dan beberapa juga di tangan di depan mobil perjuangan itu -- sebuah Innova Hitam. Kemudian, karena waktu Maghrib memang sempit, jadilah kami kemudian meluncur -- arti konotatif -- ke Masjid UI lagi. Karena kaki kami penuh tanah, semua laki-laki kecuali Himsky naik di bagian belakang kedua mobil itu, dengan pintu bagasi terbuka. Aku bersama Rian dan Panji di Kijang perak Himsky, dan Ari serta Nagy di bagasi Dini. Sepanjang perjalanan ke M.UI (seolah jauh saja) tak lepas tawa dari kami, mengingat kejadian tadi, juga membuat olok-olok dengan pengendara di belakang kami sebagai subjek maupun objeknya.

Kemudian, sesampainya kami di M.UI, dengan kaki berlumur lumpur, kami berjingkat ke tempat wudhu' M.UI. Jadilah, satu pojok tempat wudhu' itu sedikit ternoda lumpur (maaf ya, Pak.. Nagy sudah mencari alat pel, tetapi tidak ditemukannya). Sedikit di sini betul sedikit ya, bukan 'sedikit', hihihihi....

Akhirnya, setelah Shalat Maghrib, berpisahlah kami menuju jurusan masing-masing, dengan satu kenangan yang kuyakin takkan terlupa. Kata orang, satu gambar bercerita seribu kata. Kata kami, andai foto kami hari ini telah disebarkan, maka takkan kami lupa cerita di balik foto itu. Sampai jumpa lagi, kawan. Tak sekali seabad kejadian itu terjadi. Tak semenit juga kejadian itu akan terlupa. Terima kasih untuk petang penuh kenangan itu. Biar kusimpan, seterusnya...


--
F I N
written on 30. Jan 2009, 07.53 WIB
"Hmmm... Saatnya mencuci sandal. ^_^"



Senin, 26 Januari 2009

Artifisial

Ya, mungkin banyak yang pernah mendengar satu kata serapan ini. Artifisial (artificial), lebih kurang dapat dimaknai sebagai sesuatu yang tidak asli/buatan, atau suatu tiruan, atau suatu kepalsuan/kepura-puraan. Ada beberapa hal yang sering dihubungkan dengan kata ini, satu yang populer adalah kecerdasan. Dalam ranah bahasa Inggris, dikenal frasa artificial intelligence, (AI) atau kecerdasan buatan. Hal seperti ini biasa didapati pada robot (yang membuatnya dapat'berkembang', seperti menyesuaikan diri dengan situasi, dan sebagainya). Selain itu, AI juga sering didapati pada berbagai program komputer, terutama pada permainan.

Namun, di masa sekarang ini, ada satu hal buatan yang mengganjal pikiranku: keramahan buatan (mungkin bila diterjemahbebaskan menjadi artificial hospitality). Dahulu kala (mungkin tidak selama itu juga) negeri yang letaknya antara 6° LU - 11° LS, dan 95° - 140° BT (tolong perbaiki kalau aku salah. Data dari sini) dikenal dengan keramahtamahannya. Mungkin masa-masa di bawah pemerintahan Sang Jenderal yang Tersenyum (The Smiling General) membawa pengaruh sampai ke akar rumput pula.

Tapi belakangan ini, dengan empat presiden, dan tak terhitung menteri silih berganti, negeri itu seolah kehilangan keramahannya. Paparan media yang (menurutku) agak berlebih tentang berbagai jenis kekerasan, kericuhan, tawur, dan banyak hal lagi seolah telah menghapus senyum yang (dulu) terkembang. Penduduk negeri itu seolah lupa bagaimana beramah tamah, atau mungkin sengaja dibersihkan dari keramahtamahan itu sendiri. Tahu tidak, beberapa waktu yang lalu di sebuah gerai pasar swalayan (atau lebih tinggi lagi? Super-swalayan? Hypermarket?) aku mencuri baca sebuah tulisan di meja kasir swalayan tersebut. Isinya lebih kurang adalah prosedur standar untuk 'menyapa' dan melayani pelanggan.

Hah?? Apa-apaan ini. Pernah kudengar memang, kalau prosedur standar (tertulis, hitam di atas putih) merupakan salah satu persyaratan satu satuan usaha mendapatkan sertifikasi, yang pada akhirnya meningkatkan posisi tawar mereka di mata mitra bisnis maupun pelanggan. Tetapi haruskah sekadar sapaan pada pembeli ataupun pelanggan juga dituliskan dan diajarkan? Harus dibuat(-buat)kah perilaku dan perangai ramah itu?

Memang tidak semua penghuni negeri itu sudah ditinggalkan keramahtamahan. Pada kesempatan lain, pernah kutemukan orang yang dengan senang hati memberikan petunjuk jalan pada orang yang tengah kebingungan. Juga masih ada orang yang mendapati seorang yang dianugerahi kebutaan kemudian menuntunnya melewati tangga, menyusuri terminal, dan sebagainya. Masih banyak juga yang lainnya yang mungkin takkan bisa dimuat di sini seluruhnya. Tetapi memang hampir mustahil hal demikian mendapat tempat di ranah pemberitaan di negeri itu.

Mari tanggapi fakta itu dengan dingin. Mungkin saja hal-hal demikian tidak mendapat tempat karena -- seperti juga kualami -- kekerapan kemunculannya yang terlalu banyak. Bukankah sesuatu yang biasa saja tidak cukup menjual untuk diinformasikan? Semoga saja begitu, dan semoga tetap jelas untukmu mana yang buatan dan dibuat-buat, serta mana yang betul-betul nyata dan asli. Semoga...


--
F I N
written on 26. Jan 2008, 08.06 WIB
"Niscaya tidak akan kamu temukan yang artifisial dariku, kecuali ketidakramahan dan kemuramanku"

Kamis, 22 Januari 2009

Reuni SD (Malam Ini!)

Yah, kemarin pagi aku satu pesan singkat. Kawan SD-ku, Jippi mengajak bertemu sore harinya, untuk membahas soal reuni yang "tinggal 3 hari lagi belum ada yang fix(ed)". Dengan sedikit malas (maaf.. Penyakit liburan sih, hihihi) aku iyakan, dan siang itu pun berlalulah dengan penebusan celana di penjahit, dan pencarian colokan (jack/plug) audio 2,5 mm di toko elektronik sepanjang Ragunan - Lenteng Agung. Soal colokan audio ini, rencananya akan kubuat sebagai penghubung sakelar pembuka rana untuk kamera ayah [selengkapnya]. Sialnya, tak satupun dari lebih lima toko yang kusambangi menyediakannya. Huh...

Dan, waktu pun berlalulah, sampai petang menjelang. Berhubung waktu yang dijanjikan itu pukul 16.00 WIB, dan Ashar di posisi 15.20 WIB, jadilah sekitar 15.45 WIB aku berangkat ke tempat yang dijanjikan di sebuah pusat perbelanjaan di bilangan Cilandak. Terlambat? Pastinya. Tetapi apa yang kudapati di sana? Wah... Tak seorangpun teman SD-ku di sana. Yah, setidaknya tak ada wajah yang (agak) kukenali di situ. Jadilah kuhubungi dia, dan ternyata dia tak jauh dari sana.

Limabelas - duapuluh menit berlalu, akhirnya ketika ku menoleh ke belakang...... Hehehe.. Wajah yang tak asing nampak menaiki tangga. Wajah yang ketika kelas 3 dulu pernah membawa minuman (bukan sembarang minuman, hehehe..). Tinggi dia sekarang, dulu juga sih, lebih dari tinggiku. Wajahnya tak banyak berubah. Justru dia yang banyak mendapati perubahan padaku (pada intinya: "tampang lo boros, Rif!", hehehe).

Kemudian berbincanglah kami banyak hal. Dari keseharian saat ini, teman-teman SD yang 'hilang', juga beberapa kali reuni (yang tak pernah kuhadiri karena aku juga sempat 'hilang'), tentang sekolah, sampai sedikit tentang negara. Yang tak berubah pula, yang kudapati sepanjang obrolan kami, yaitu dia masih kocak dan supel.

Begitulah, waktu boleh berlalu, tapi banyak juga yang tak bisa dibawa serta oleh sang Waktu. Satu yang jelas, tanpa disadari waktu terus beranjak menjelang Maghrib, dan kawan yang masih kami tunggu belum juga datang.

Barulah, selepas semangkuk es teler (ehm, kelapa muda - kelapa - alpukat - susu) sudah tandas, hadir Uda Angga selepas Maghrib, dan Bram sekitar waktu Isya'. Dan kemudian, meluncurlah kami ke.... Rumah (keluarga)ku.

Jadilah, sekitar satu setengah jam di teras rumahku, akhirnya didapat kesepakatan bahwa malam ini, 22. Januar 2008, akan diadakan acara berfutsal bersama (meskipun hanya sekitar 10-an orang karena banyak yang berhalangan), untuk kemudian acara reuni akan dibahas kemudian..

Yah.. Begitulah. Bertemu kawan lama tak ubahnya mendapat kenalan baru. Dengan waktu mengubah banyak hal, dan memisahkan cukup lama, rasanya memang demikian. Semoga ini jadi awal silaturahim yang baik, untuk kami semua. Semoga...


--
F I N
written on 22. Jan 2008, 07.55 WIB
.......... ^_^

Selasa, 20 Januari 2009

Reuni SD (TBS)

Pernah dengar situs jejaring sosial bernama facebook? Sejak sekitar, um.. Entahlah. Mungkin sekitar bulan Agustus 2008 lalu aku *baru* bergabung. Boleh dibilang terlambat, mengingat situs tersebut sudah didirikan sejak Februar 2004. Yah, apapun itu, seperti situs jejaring sosial lain yang (pernah) kuikuti, aku lebih banyak mempergunakannya untuk menjalin kontak lagi dengan kawan-kawan lama yang sudah jarang sekali kutemui. "Long-lost friend" kalau kata orang.

Hmm... Entah mengapa hari ini aku tergerak saja, untuk mencari beberapa nama kawanku se-SD yang masih kuingat di kepala. Eh, siang ini juga, permintaan menambah teman di daftar kontakku diterima seorang kawanku. Tak dinyana, ternyata saat ini tengah berlangsung, ehm, 'konspirasi' untuk acara reuni, sekaligus berfutsal bersama. Waktunya Sabtu (24. Januar 2009) ini! Waaaaaaahhh... ^_^

Yah, tak kutolak tentu saja. Selain jadwal saat ini memang relatif longgar (dibandingkan ketika kemarin mengerjakan proyek/skripsi itu), peluang menjalin silaturrahim dengan kawan lama tentu tak boleh dilewatkan. Apalagi dulu, selepas kami bersama lebih kurang 6 tahun, aku 'menghilang' begitu saja dari peredaran dengan bersekolah di tempat yang, yahh, jauh lokasinya.

Tak sabar rasanya menemui kawan-kawanku dulu. Banyak kenangan untuk dibagikan, semoga aku bisa kembali pada mereka -- maklum, lama sudah tak membuka kontak.
Apapun itu, semoga tidak ada aral yang melintangi pertemuan kami.. Bukantah Kamu menyukai orang-orang yang menjalin silaturrahim?


--
F I N
written on 20. Januar 2009, 22.15 WIB
All the bad memories, forgive that. As we were young and less wise than today.

NB: TBS = To Be Scheduled, bukan TuBerSolose. hehehe..

Kamis, 15 Januari 2009

Sang Pencukur

Kemarin; 14. Januar 2009; lima sore; Lenteng Agung. Seorang bocah tergesa-gesa mendaki jalan di terminal/pasar Lenteng Agung, resah mencari tempat untuk mencukur rambutnya, demi beberapa helai foto dengan syarat: "enam bulan terakhir".

Tak sepuluh menit kemudian, ditemukannya tempat itu. Tempat yang saban hari dilewatinya, dilihatnya selalu, tapi diperhatikannya tidak. "PANGKAS RAMBUT (baris baru) ANDA (baris baru) {huruf hilang} AN {huruf hilang}", begitu yang tertera di kaca (kaca, bukan cermin!) besar bagian depan 'kamar' kecil itu.

Hijau catnya, dan hanya satu itu kaca jendela untuk memandang keluar. Perlahan bocah itu memasuki ranah yang tak dikenalnya sama sekali itu. Ada seorang bapak membawa dua anaknya -- yang satu telah duduk di 'singgasana' bagi orang yang dicukur.

Tukang cukur itu gemar bicara, begitu kesan bocah yang baru datang itu saat melihat dan mendengar derai guyon pencukur berambut dan berjanggut hitam itu. Luwes sekali, yang tak mungkin bocah itu sanggup menandingi kelancaran berbicara pencukur itu. Tak lima menit kemudian, tangannya yang menari-nari mengitari kepala anak itu pun selesailah.

Satu pencukuran satu pemuda tanggung -- yang juga dengan santainya beliau ajak bercanda -- pun berlalu tak sampai sepuluh menit. Anak yang beranjak itu pun membayarlah, sayangnya dengan nominal yang tak sesuai dengan yang tertera pada selembar kertas yang ditempelkan di dinding. Berkata beliau, "Mana nih, emang ada tarif Rp X.000,00 ?". Si remaja itu pun nampak sedikit takut-takut, dan kemudian memilih berkata "adanya cuma segitu, Bang". Mengagumkannya, beliau menerima lembaran-lembaran uang itu dan tersenyum, kemudian berkata pada bocah itu, yang kali itu mendapat giliran menduduki takhta, "Biasa emang gitu dik..". Tersenyum saja yang bisa dibuat bocah itu.

"Mau diapain dik? Digundulin aja, apa?", lanjutnya sambil terkekeh geli. Berkata bocah itu, "Wah, jangan, Bang. Biasa aja, dipendekin". Selesai ia berucap demikian, mulailah tangan-tangan terampil itu menari, memainkan irama rancak sisir dan gunting, serta sesekali mesin pemotong rambut (clipper, kalau tak salah).

Sepanjang ritus pemendekan rambut itu, tak segan beliau berkata dan bertanya pada bocah itu. Mulai dari cuaca ("hujan terus beberapa hari ini, cucian jadi apak. Apalagi udah punya anak"). Lalu, apa yang bocah itu kerjakan ("Kerja apa kuliah, dik? Ooh.. Kuliah. Semester berapa? Wah, dikit lagi lulus dong?", dan seterusnya). Kemudian tentang filosofi rambut pendek yang -- selain untuk kerapian -- menurutnya meningkatkan kemampuan belajar -- karena lebih nyaman, dan betapa anak-anak selalu dan selalu tidak mengerti tentang itu. Banyak hal lagi yang mereka bicarakan, yang membuat waktu sepuluh menit seolah berlalu selamanya.

Tentang yang terakhir -- filosofi rambut pendek, beliau menyatakan baru mendapat ilham tentang hal itu. Satu hal yang diamini bocah itu, karena sampai seusia saat itu, tak pernah ia mengira bahwa kemampuan menerima pelajaran dapat dikaitkan dengan panjang-pendeknya rambut.

Yah.. Begitulah. Tak pernah sekalipun bocah itu membiarkan rambutnya panjang dan dapat tergerai seperti beberapa kawannya. Tak pernah, seperti tak pernahnya ia biarkan dirinya menghirup asap atas kesadarannya sendiri.

Dan.. Di akhir sesi pemotongan rambut kali itu, beliau juga menyinggung soal bakti pada orang tua. Tak enak bocah itu bertanya, apakah orang tua beliau masih ada atau telah tiada. Jadi ia biarkan beliau bertutur tentang anak-anak yang selalu ingin ini dan itu dan harus terpenuhi ("kalau tidak, nanti ngamuk di tengah jalan"), dan kemudian, setelah berusaha mencari nafkah sendiri, semakin besarlah rasanya sesal pernah berbuat sebagaimana anak-anak pada masa kanak-kanaknya dulu.

Terakhir sekali, beliau 'menyindir' bocah tersebut sebagai orang yang "sudah banyak ilmunya. Nggak kayak saya, tukang cukur begini", yang tak bisa dibalas apa-apa selain dengan ucapan "nggak bang, nggak. Ilmu saya mah, masih sedikit", dan wajah yang (seandainya bisa) bersemu merah menahan malu.

"Nah, sekarang udah keliatan gantengnya", pujinya menutup sisiran terakhir di kepala bocah itu, dan diiyakan dengan senyum oleh bocah itu. Selembar uang berpindah tangan, dengan pengembalian beberapa uang pecahan lebih kecil untuk bocah itu.

Sekeluarnya dari situ, ia berjanji pada dirinya sendiri, sembali memburu waktu sebelum studio foto terdekat tutup. Selepas macam-macam hal ini, ia ingin berbagi dengan beliau. Berbagi apa saja, yang jelas hanya satu: ia akan kembali.


*NB: Disunting dari cerita asli/kenyataan yang terjadi saat itu.


--
F I N
written on 15. Jan 2009, 19.10 WIB
"Dan pagi ini, kedai cukur itu terlihat ramai . Semua demi sepuluh menit bersama beliau".

Rabu, 07 Januari 2009

"Empedu Itu Pahit!"

Hufff.... Tahu tidak? Pasti tidak tahu karena aku belum beri tahu kamu, kan? Hehehehe... Yah, sepenggal dialog bersama kawanku Wayan, yang dulu -- bersama Amin juga Budi -- bersusah-susah dan disusah-susahkan ketika mengikuti Training Centre Paskibra masa SMA dulu.. Yahh.. Wayan tak banyak berubah, masih kocak seperti biasa.

Tapi... Bukan itu yang hendak kubahas sekarang. Akhir semester ini, dengan buku putih bercetak tulisan "SKRIPSI" warna emas telah diserahkan kepada yang berkepentingan (baca: Perpustakaan), ternyata masih ada yang mengganjal. Dua kata saja, Kerja Praktik alias KP!

Yah.. KP yang berlangsung Juli-Agustus 2008 kemarin (coba baca di sini) ternyata tak kunjung selesai sampai setidaknya awal pekan ini. Coba bayangkan, topik dan pembimbingnya saja belum kami -- Aku, Amin, Fian -- isi. Apalagi kemarin sempat ribut-ribut kalau nilai harus sudah masuk selambatnya 5. Jan kemarin. Ampun, ampun... Jadilah pekan kemarin, selepas pergantian tahun itu, malah menjadi pekan yang... Melelahkan intinya.

Jadi semua bermula dari ide yang melintas, soal tugas akhir itu tuh... Nah, dengan semangat menggebu-gebu, jadilah soal KP -- yang sekitar 30-40%-nya diisi tidur dan tidur lagi itu -- terbengkalai. Ditambah lagi Amin yang sibuk -- selalu -- dengan kuliah keduanya di petang hari, juga Fian yang tak kalah sibuknya, jadilah data-data yang ada menumpuk di pojok harddisk drive (memang ada pojoknya?) kami masing-masing. Yah, begitulah.. Pernah dengar peribahasa "apa yang dapat dikerjakan sekarang, kerjakanlah"? Hehehehe... Lupakan. Tak laku itu untukku.

Syukurlah, dengan keadaanku yang sekarang -- tak lucu bila masalah lulus tidak terganjal KP ini -- dan diingatkan Pak Herman pula, jadilah itu semua tenaga tambahan untuk menyelesaikan laporan beserta presentasinya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, hihihihi.

Dengan keberuntungan -- alhamdulillahi -- atau kebetulan, batas akhir pemasukan nilai ke sistem informasi akademis diundur sampai Kamis ini, 8. Jan (tautannya ada di sebelah kiri ya, namanya SIAK-NG). Senin itu, kepanikan sempat melanda juga, sebab Pak Sumadi yang sedianya menjadi dosen pembimbing kami berhalangan hadir. Syukurlah, dengan penundaan itu, presentasi bisa dilaksanakan keesokan harinya, Selasa (06. 01 2008). Presentasinya? Lancar bos... ^_^

Kemudian barulah muncul kata-kata pilihan persis seperti judul tulisan ini. Adalah Fian orangnya. Adalah Gasebo Jurusan tempatnya. Adalah pagi hari Rabu (07. 01) waktunya. Dengan rencana presentasi pada siang harinya, Amin datang dan (mencoba) membuka berkas presentasi yang telah (cukup) sukses dipresentasikan sehari sebelumnya. Hebatnya, saudaraku, berkasnya hilang! Dududududuh...

Sontak panik merundung lagi. Apalagi, aku juga berniat mengurus segala hal terkait si krispi dengan segala birokrasinya yang, menurut Mbak Nur pustakawati jurusan, semakin sulit saja tahun ini. Ampun Pak Rektor! Kalau membuat kebijakan, mbok ya disosialisasikan dengan baik, begitu. Masa' hanya ada pengumuman di halaman web saja, tanpa ada selebaran, pamflet, atau apalah yang mengindikasikan adanya format baru penulisan si krispi. Huh... Coba saja kalau kali lain kutemukan beliau ujug-ujug masuk ke saf terdepan ketika khatib sudah memasuki pertengahan khutbah Jum'atnya, mungkin kucari sepatu terdekat untuk dilontarkan, hehehehe... Maaf ya, Mas atau Pak Pemilik Sepatu, kalau seandainya yang itu benar terjadi. ;p

Ups, cukup keluhan soal Pak Rektor yang terhormat itu. Nah, setelah berkas yang dicari tak diketemukan, Fian pun datanglah. Tanya sedikit, melihat dan memutar-mutar pelbagai folder di kojing maupun di flash drive (kandar kilat/kankil? Hehehe.. Cuma usul kok), akhirnya terlontarlah ucapan itu. "Empedu itu pahit, tapi banyak gunanya".

Huff.. Maknanya belum sanggup kucerna, sebab pikiran mendadak gelap saja. Selalu demikian saat aku tertekan. Kemudian, diputuskanlah membuat presentasi kilat yang jauh lebih kilat dari waktu pembuatan presentasi sebelumnya.

Singkat cerita, presentasi (akhirnya) selesailah. Perjalanan motor sepanjang Depok-PAL-Cibubur-Bantar Gebang untuk presentasi, satu jam setengah presentasi dan lain-lain, kemudian perjalanan pulang dengan rute yang sama, barulah sedikit terasa maksudnya Fian dengan perkataan itu. Perkataan yang dengan khas diungkap bersama dengan seringainya itu kini kumengerti sepenuhnya. Yah, memang.. Hal-hal seperti ini memang ibarat empedu. Pahit rasanya. Begitu juga hidup. Banyak darinya pahit, terlalu pahit malah. Tapi bukantah Kamu tidak menguji melampaui batas kemampuan -- karena Kamu sendiri tidak menyukai apa-apa yang melampaui batas, bukan? Begitulah. Tanpa (garam) empedu, lemak-lemak tak dapat dicerna dan mungkin malah menumpuk di tempat-tempat yang... Idih.... (^_^)v

--
F I N
written on 7. Jan 2008, 21.45 WIB
My prayer for you, my brothers and sister out there! He never tests beyond someone's capabilty. Those troops are like bile for you, hence you'll get stronger and stronger the more they attack you. Sorry for my so-called ignorance for quite a long time.