Senin, 13 Februari 2012

23

Ada satu hal yang (kurasa) besar yang terlewat dalam sekian tahun yang berlalu ini. Tentang hal yang sepertinya bagi kawan-kawan merupakan hal yang biasa saja. Tentang, erm, memberi dan menerima cinta (hal itu) lebih tepatnya.

Padahal kalau mau berhitung, sudah berapa banyak orang memberikan hal itu padaku. Rekan-rekan, teman-teman, juga kawan-kawan tidak berhenti memberikan hal itu. Sementara dariku, apa yang aku berikan tidak seberapa dibanding yang aku terima.

Selama ini, aku mengira kalau hal itu bisa diukur dengan materi. Bodohnya.

Padahal ada banyak, dan banyak hal lain di luar materi yang menunjukkan tanda-tanda hal itu, Rif! Jabat erat, canda tawa, linangan air mata, bahkan tamparan di wajah; kesemuanya, di masa yang tepat, jauh lebih berarti dari sekadar materi.

Aku telah salah, dan sekali lagi teoriku tentang hal yang sederhana itu (sebenarnya) yang paling rumit mendapatkan pembenaran.

Bantu aku belajar dari ini semua. Bahwa pada setiap hal yang manis ada pelajaran. Bahwa dalam kepahitan, ada lebih banyak lagi pembelajaran. Bahwa pelajaran itu, ada di mana-mana tempat. Bantulah, dengan menunjukkan salahku. Jangan hujaniku dengan pujian yang semakin jauh membutakanku. Terima kasih untuk semuanya, selama ini.

23. Sebuah angka. Sebuah rencana. Semoga...


F  I  N

Minggu, 05 Februari 2012

Kikuk

Jadi, 4. Februar 2012 malam (WIB/UTC +7), tiba-tiba saja seorang kawan memanggil lewat jendela perbincangan Yahoo! Messenger. Tanpa tedeng aling-aling, ia bertanya sesuatu, sesuatu yang dapat jadi membuatku menyemburkan teh yang kuminum -- bila aku sedang menghirup teh hangat, tentu. Pertanyaannya, "Do you think I'm socially awkward?"

Pertanyaan tiba tepat saat jendela peramban yang tengah terbuka tiba-tiba berhenti beroperasi. Yah, sedikit jeda untuk waktu tambahan berpikir, he he. Jawaban yang tadinya ingin kuutarakan adalah bahwa ia bertanya pada orang yang mempunyai pertanyaan yang sama. Meskipun jawaban yang akhirnya keluar tidaklah persis begitu, namun ada kesimpulan awal yang kami sepakati bahwa kecenderungan kami serupa: kami adalah (cenderung) introver.

Pemicu pertanyaan ini, menurut kisahnya, adalah kehadirannya di sebuah acara atas undangan rekannya. Nah, sesuai pengertian rekan ini, si pengundang tidaklah cukup akrab dengan yang terundang. Ditambah lagi dengan undangan-undangan lain yang tidak (belum?) dikenal, maka makin lengkaplah sudah.

Bagi beberapa orang, amat mudah untuk menghampiri orang yang belum dikenal untuk sekadar menyapa, dan berlanjut dengan obrolan panjang lebar tentang... Praktis tentang apa saja. Namun untuk kawanku ini, fakta tersebut tidak membantu dan malah memantik pikiran tentang sulitnya bersosialisasi. Kasus ini, terus terang, terjadi juga padaku -- belum lama berselang, malah.

Sebenarnya bagaimana mendefinisikan introver? Definisi per KBBI pada lema introver (sesuai konteks pembicaraan kami) memberikan penjelasan ini: (a) bersifat suka memendam rasa dan pikiran sendiri dan tidak mengutarakannya kpd orang lain; bersifat tertutup. Mungkin benar, tetapi mungkin tidak sepenuhnya.

Pengertian yang diberikan tersebut menurutku adalah pengertian introver dari kaca mata seorang ekstrover, sebab seorang introver dapat jadi ibarat sebuah buku terbuka bagi orang-orang di lingkar terdekatnya. Tapi itu tadi, 'dapat jadi'.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, kurasa tidak akan bisa aku temukan jawabannya. Kami berkawan pada masa sekolah menengah atas dan, dari yang kucari tahu, kecenderungan para introver adalah mawas diri yang lebih dari umumnya. Perasaan ini dapat membuat introver seolah lepas dari lingkungannya. Maka jawabanku yang semestinya aku utarakan adalah, "Aku tidak memperhatikan; terlalu sibuk memikirkan jawaban untuk pertanyaan yang sama."

--
F I N
written on 5. Feb 2012, 13:15 WIB (UTC +7)
This is utterly unrelated: A slap on the face is sometimes a good treatment to depression