Prakata: Tulisan ini (hampir) sepenuhnya pendapatku sendiri. Maaf.
Pagi ini, Pak RT kami berkeliling dari rumah ke rumah, mengingatkan kepala-kepala keluarga untuk memasang bendera. "Di mana rasa nasionalismenya kalau belum pasang bendera?", begitu beliau ulangi di setiap pintu. Di mana, Pak Haji? Biar coba kujawab: dalam diri, dalam hati, dalam kepala.
Yap, bulan ini Agustus, bulan kemerdekaan Republik Indonesia --juga Malaysia, Pakistan, dan juga India. Kemerdekaan yang, sejauh yang kubaca dan kucoba pahami, diraih dengan kerja keras yang tak kenal henti dari semua pejuang, yang namanya tertuang di buku-buku sejarah ataupun gugur sebagai pahlawan yang tak dikenal.
Negeriku, telah hampir 63 tahun berlalu sejak Bapak Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, sekitar pukul 10.00 WIB. Sudah hampir selama itu pula berlalu sejak pertama kali bendera Merah Putih berkibar secara resmi sebagai lambang negara. Sejak itu pula, setiap tahun kemerdekaan diperingati di berbagai tempat, di wilayah Indonesia di Indonesia, ataupun di wilayah Indonesia di Negeri lain (jangan salah tangkap, maksudku adalah kedutaan besar RI di negara lain (",)).
Tetapi pantaskah kalau mengibarkan bendera menjadi tolok ukur utama nasionalisme, rasa cinta pada negeri? Bagaimana bila anda berada di negeri orang, dan mengibarkan bendera kebanggaan negaranya? Bendera negaranya sendiri, hanya saja, di negeri orang?
Memang bagi kita yang masih tinggal di teritorial negara Republik Indonesia, alangkah baiknya bila bendera itu dikibarkan. Setidaknya menjadi kebanggaan dari warga negara yang telah merdeka -- tidak seperti beberapa negara yang masih terjajah -- selama 63 tahun ini. Memang mungkin dalam beberapa hal, kemerdekaan itu belum sepenuhnya diraih. Tapi setidaknya kita tengah berusaha, bukan?
Sayangnya, setelah pemasangan bendera itu, terkadang -- termasuk di keluarga kami juga -- banyak yang acuh saja dengan bendera yang telah dipasang itu. Mengapa kamu kira pada setiap upacara penaikan bendera pada peringatan kemerdekaan di Istana Negara, selalu ada upacara penurunan bendera? Masalah 'penghormatan' pada lambang negara, sejauh yang kuingat dari sedikit tahun bersama paskibra di tiga tahun masa sekolah dulu, adalah dasarnya. Tahukah kamu bahwa bendera itu juga diturunkan saat hujan turun? Baguslah kalau kamu tahu, karena itu juga berkaitan dengan masalah penghormatan itu tadi. Tapi apa yang terjadi di kebanyakan rumah? bendera yang pada siang hari berkibar dengan gagahnya, dibiarkan menghadapi hujan andaikan turun, dan dibiarkan di tempatnya, menuju alam mimpi kala malam.
Jadi, itu kecintaan terhadap tanah air? Terlalu pendek kukira, di saat hampir setiap hari orang-orang -- termasuk aku juga --mengeluh tentang apa saja yang bisa dikeluhkan. Di saat kepala-kepala dengan pemikiran cemerlang --tidak semuanya, tentu -- tidak mengingat negeri leluhur mereka yang dulu diperjuangkan sepenuh hati dan jiwa, untuk berjuang demi negeri antah berantah.
Semoga proyek kecil Pak Herman tentang 'memanen' energi dari matahari dengan bahan-bahan yang relatif murah -- yang dipercayakan padaku ('Makasih, Pak. ^_^) -- bisa kukerjakan dengan baik, dan pengembangan selanjutnya bisa terus berlanjut. Semoga saja proyek itu dapat berjalan sesuai rencana. Hanya sepotong kecil bagian puzzle yang bisa kuberikan, menyusun gambar besar negeri yang cantik, beradab, dan maju. Amin. \(-_-)/
Semoga nasionalisme kita, tidak hanya sepanjang galah. Ingatlah, kasih Ibu Pertiwi, seperti halnya kasih Ibu, sepanjang jalan..
F I N
written on 16. Aug 2008, 09.06 WIB
Ada yang tahu ke mana aku harus mencari, bila aku mencari Sb2O3 (Antimoni trioksida) dan SnCl4.5H2O (Air kristal timah (IV) klorida)? Mohon bantuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar