Bismillah, walhamdulillah. Shalawat dan salam untuk Rasul-Nya yang terakhir dan untuk keluarganya, dan untuk Sahabatnya, dan pengikutnya.
Mati. Sebuah kata yang sangat bersahabat di telinga. Bisa dibilang akrab, tetapi tidak juga. Tidak perlu tahu ayat, pun, semua mengetahui bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mati. Pasti. Suatu kepastian yang tidak terbantahkan lagi. Belum pernah ada catatan sejarah menuliskan bahwa, jangankan manusia, makhluk hidup apapun berhasil mengatasi mati.
Pernah mendengar istilah "fountain of youth" (mata air awet muda)? Istilah ini lebih dikenal di kebudayaan "Barat" daripada di bawah kebudayaan Islam atau yang dipengaruhi Islam. Dahulu, konon dikirimkan ekspedisi ke tempat-tempat yang jauh, demi mengambil air yang akan mengembalikan kemudaan peminumnya. Kebudayaan terus berkembang, dan pencarian mata air itu pun surut sudah. Atau setidaknya pencarian pada mata air dalam bentuk sebenarnya yang diakhiri.
Tidak dapat dipungkiri, pada masa ini, konsep mata air awet muda ini masih terus bertahan. Bentuknya, tentu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Kita barangkali pernah mendengar penelitian/riset tentang penuaan (ageing). Mengenai hasilnya, entahlah. Paling tidak ada berbagai "krim anti penuaan" yang didapuk dapat menunda penuaan (meskipun pada hakikatnya hanya tampak fisik saja yang bisa disamarkan). Adapun untuk penuaan sendiri, nampaknya penelitian-penelitian itu sia-sia belaka.
Akar yang tidak kuat
Kalau ditelusuri lebih mendalam, apa sebenarnya yang menjadi landasan pelbagai penelitian mendalam tentang penuaan ini?
Barangkali hipotesisnya adalah bahwa "penuaan dapat dicegah" — sebuah hipotesis yang hingga saat ini belum terbukti.
Tapi kita masih bisa menggali lebih dalam lagi, bagaimana bisa hipotesis tersebut bisa muncul? Apa yang menjadi motivasi mereka?
Ini yang bisa aku pikirkan: Kecintaan yang besar pada kehidupan (dan dengan demikian, ketakutan yang sangat pada Maut).
Takut akan kematian
Ketakutan akan kematian, yakni berakhirnya kehidupan di dunia, adalah sesuatu yang wajar. Adalah sesuatu yang aneh bila, misalnya, seseorang terus saja berjalan melintasi jalur kereta setelah datang kepadanya peringatan (dan tanda yang jelas) akan kedatangan kereta di jalur yang akan ia lintasi. Tentu wajar seorang manusia takut akan kematian.
Perbedaannya adalah, bagaimana reaksi seseorang terhadap kematian. Seorang muslim tentu mengenal bahwa segala perbuatan di dunia akan ditanyai kelak, dan hasilnya dapat memengaruhi "rapor"-nya kelak. Semakin kuat kepercayaannya pada Allah dan Hari Akhir, maka ia akan berusaha berbuat sebaik-baiknya semasa hidup. Di sisi lain, seorang yang bukan/belum muslim menghadapi kematian dengan berbagai cara. Akan dipaparkan beberapa reaksi menghadapi kematian yang mungkin dari orang yang belum/tidak muslim.
Reaksi pertama adalah, tidak mempercayai sama sekali tentang adanya kehidupan setelah kematian. Jenis manusia seperti ini memercayai bahwa kehidupan hanya sekali ini, sesudah itu berakhir sebagai debu saja.
Reaksi selanjutnya adalah keyakinan bahwa setelah kematian, akan ada kehidupan lagi yang sama fananya dengan kehidupan sekarang. Seolah-olah kehidupan hanya berputar di dunia saja, tidak ada neraka apalagi surga. Kehidupan selanjutnya itu, bisa jadi atau bisa juga tidak terpengaruh oleh kehidupan saat ini.
Kemudian, ada juga manusia yang meyakini adanya surga dan neraka, namun keyakinannya rusak. Menurut manusia seperti ini, surga itu hanya bagi sekelompok orang tertentu saja — baik itu golongan mereka sendiri, atau malah untuk semua orang. Bagi mereka, neraka itu hampir seperti tidak ada saja. Konsep yang sama rusaknya adalah bahwa dosa-dosa manusia itu sudah "ditebus". Rusaknya konsep ini adalah, bahwa seandainya mereka disuruh untuk mati saja — karena toh dunia hanya sementara dan tidak sempurna — mereka malah enggan. Dan orang-orang seperti ini yang biasanya malah paling kuat mencari cara supaya tidak sampai mati. Sungguh aneh.
Terpengaruhnya muslim
Di atas telah disebutkan bahwa adalah wajar bagi seorang muslim untuk takut kepada kematian. Namun, bentuk ketakutannya bukanlah dengan memeluk, bahkan menggigit dunia erat-erat melainkan dengan berbuat sebaik yang ia sanggup untuk berbekal menuju kematian dan setelahnya. Pada kenyataannya, kita akan mendapati ada saja muslim yang amat takut dengan kematian hingga ia pun mati-matian mengejar dunia yang fana dan melalaikan bagiannya di Hari Kemudian.
Beberapa hal yang barangkali kita anggap wajar, tetapi sebenarnya berbahaya, dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Tidak jarang seorang muslim menyebut pekuburan/pemakaman, tempat berkumpulnya jasad-jasad yang telah mati, sebagai "tempat perisirahatan terakhir". Penyebutan seperti ini menyimpan bahaya bahwa dengan adanya makna beristirahat sebagai berlibur/mengaso, bisa timbul di pikiran bahwa kehidupan berakhir di dunia saja. Tentu ini tidaklah benar.
Kemudian juga, betapa banyak di antara muslimin yang berangan-angan untuk hidup selamanya di dunia. Jelas menyerupai keinginan orang-orang yang membenci kematian dengan kebencian yang sangat.
Wahai muslimin, kembalilah!
Dengan tulisan ini, penulis memanggil dirinya sendiri dan saudara-saudaranya yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk kembali. Untuk merencanakan ulang tujuannya di dunia ini. Bahwa, barangkali, tujuan jangka panjang yang sudah payah disusun ternyata masih kurang panjang. Karena sehijau dan semanis apapun dunia ini, semua akan ada akhirnya bagi kita, dan kepada Allah-lah kita akan dikembalikan.
Bukanlah maksud penulis untuk mencegah, apalagi melarang, muslimin dari mendapatkan dunia. Tetapi, sebuah wasiat yang penulis dengar dan penulis ingin sampaikan adalah, bahwa bagian setiap anak-cucu Adam di dunia ini sudah ditentukan; tidaklah seseorang akan mati kecuali bila telah sempurna rezekinya.
Dunia ini, kumpulkanlah, tetapi jadikan dunia ini sebagai tabungan di akhirat. Harta yang kita kumpulkan — pun dua tiga gunung emas tingginya — bukanlah milik kita bila kita mati. Siapa yang menyangkal bila harta tersebut akan beralih kepemilikan ke ahli waris kita. Bagian kita, adalah apa yang kita makan. Bagian kita adalah apa yang kita jadikan sedekah untuk Hari Akhir kelak. Karena tidak seorang manusia pun yang tahu ke mana kaki akan menjejak setelah kematian menjemput.
Oleh karena itu, kembalilah!
Tujuan kita jauh, dan perbekalan kita sedikit. Dan sebaik perbekalan, menurut Yang Menciptakan kita adalah ketaqwaan. Dan bagaimana kita mengetahui taqwa itu apa kalau tidak kita cari ilmunya.
Dan terakhir, takutlah pada kematian. Ia akan menjemput tepat pada waktunya, tidak kurang semenit atau lebih sedetikpun, di manapun berada. Takutlah dengan bersiap-siap apabila ia datang. Mudah-mudahan ia menjemput kita pada keadaan terbaik kita. Dan kembali kita di antara orang-orang yang beruntung.
Wallahu waliyu-t-taufiq.
––
malam 3 Ramadhan 1435, jelang `Isyaa'
+33 / 56100 / 1RNA 1033
AR
NB:
Sha = ص; Sya = ش
Tidak ada komentar:
Posting Komentar