Lebih kurang pukul 07.00 WIB, aku mulai mengayuh. Perlahan namun pasti dengan tas pinggang berisi kunci L (persiapan kalau setangnya bandel lagi), obeng, dompet dan ponsel, serta menyelempangkan tas berisi kamera, buku bacaan (yang harusnya jadi bacaan utama, bukan sekadar dibawa *keluh*), dan sebotol air minum bekal di jalan.
Kayuhanku relatif tidak menemui hambatan berarti, kecuali kalau ketiadaan peredam kejut bisa disebut hambatan dan sekitar pukul 07. 30 aku telah masuk ke kampus lewat pintu Jl. H. Amat (Kukusan Teknik, Kutek). Tujuan utama, jelas: Jalur Sepeda, yang kalau tidak salah dengar diresmikan bersama dengan acara reuni akbar UI bertajuk "homecoming day UI 2008". Sebetulnya, ada jalan yang *jauh* lebih ringkas, melalui perumahan tentara Batalyon Zeni Konstruksi (Yon Zikon) Srengseng sawah, tetapi pintu pintasnya telah ditutup, tetapi nanti sajalah, lebih lanjut akan kuceritakan.
Aku berhenti sejenak di "halte sepeda" Fakultas Psikologi --Fakultas tempat r5 menuntut ilmu ;p. Minum sebentar, kemudian mengisi rol film ke dalam EOS 500N milik ayah yang aku "pinjam", he he. Kayuhan pun berlanjut mengitari Fakultas Hukum, berbelok kanan, lalu kiri di Masjid Ukhuwah Islamiyah (M. UI) yang menyejukkan, kemudian mengitari masjid dengan melalui gedung rektorat dan Balairung. Cukup ramai juga Kampus kuning ini pada hari libur semacam ini. Anak-anak bermain bola sepak di lapangan parkir M. UI, Remaja-remaja duduk menghadap danau Salam (betulkah? Aku tak ingat nama danau di antara M. UI dan Balairung), Anak-anak bermain badminton, bersepeda, dan bercengkerama dengan kedua orang tuanya ("Aduh, Mak.. Aku mau kawin, Mak.. He he).
Satu putaran besar kulalui, kemudian berhenti di depan (atau belakang?) M. UI mengambil beberapa gambar gedung Rektorat dan Balairung. Masjid UI, nanti bila keadaan mendukung aku akan mengabadikan gambarmu, sebening yang kubisa. Tetapi di seberangmu, terlalu banyak orang untuk ku bisa berhenti sejenak. Lalu kemudian kukayuh kembali sepeda, yang juga eks ayahku, menuju arah perpustakaan, berbelok kiri menuju rotunda (bundaran?) di depan rektorat. Menyaksikan banyak orang beramai-ramai berolahraga di kampus ini, tempat yang, menurut hematku, paling hijau dan sejuk di bilangan Depok. Kemudian, karena jalur merah (baca: jalur sepeda, he he) yang bisa dilalui sudah habis, aku memutar kanan menuju menara air geografi.
Di sana, sempat kulihat ada satu lagi pohon yang dipangkas. Entah ditebang habis atau tidak aku tak memperhatikan, karena aku berlanjut menuju gedung bundar tempat berbagai ilmu berkumpul: UPT Perpustakaan UI. Niat iseng pun muncul melihat jalan melingkar yang sepi: Velodrome! Ha ha, satu lagi impian masa kecil yang kandas sebelum sempat kucoba, menjadi pembalap sepeda. Untuk bisa bersepeda saja aku butuh 11 tahun usia hidup. Jadilah, di jalan bundar yang kosong itu, aku memacu kayuhan sepedaku -- jantungku juga. Entahlah, apa yang dipikirkan atau dibicarakan sepasang anak manusia (sama-sama lelaki, tolong!) yang duduk berbaris mencari kutu di perhentian sepeda UPT Perpustakaan yang kulihat sebelum ide itu datang. Tak peduli. Tetapi efeknya, setelah itu jantung berdetak cepat tak menentu. Sudah cukup, selanjutnya mungkin disetel mode econo saja --meminjam "teknologi" sebuah merk sepeda motor.
Kukendurkan kayuhanku, berbelok kiri melewati Teater "Daun" Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya (FIB) kemudian masuk ke dalam kompleks FIB. Ah, jalan yang dibuat di FIB sangat bersahabat bagi penyandang cacat, juga bagi manusia yang bergerak di atas roda lainnya. Jadilah aku berputar-putar di "kelas terbuka" FIB UI. Aku kemudian duduk sebentar, mengambil gambar seorang yang tengah menjala ikan di danau antara Fakultas Ekonomi (FE) dan FIB di atas rakitnya. Entah seperti apa gambarnya, aku tak sabar. Kemudian, aku memutuskan pindah tempat.
Mengayuh lambat-lambat, ku tuntun sepeda menuruni tangga (tak bersahabat bagi penyandang cacat tubuh bagian bawah, nih! :-D). Ketika akan memasuki jembatan, aku melihat ke bagian bawah jembatan. Di pinggir danau, di tempat duduk yang warnanya senada dengan warna jembatan (Merah-Kuning-Biru. Tolong..), kulihat seorang anak perempuan di tengah gerombolan berancang-ancang menuliskan entah-apa di tiang penyangga kursi. Kuteriakilah mereka, "Hei, coret-coret aja!", dan mereka sepertinya terkesiap dan mengurungkan niat mereka. Ketika rantai di mulut jembatan, yang mencegah sepeda motor yang berat untuk diangkat melaluinya, telah kulalui, ada seorang anak yang dengan polosnya menumbuk rantai tersebut dengan sepedanya. Aku menggelengkan kepala, dan kemudian kuparkir sementara sepedaku dan mengangkatkan rantai itu untuknya. Tak lama kemudian si Ibu dan Ayah pun ikut lewat dan juga membantunya. Dasar anak-anak, ada-ada saja kelakuannya.
Selepas jembatan, kuputuskan untuk memutari danau dari tepiannya. Kutuntun sepedaku menuruni lereng yang cukup curam, dan kemudian mengayuh mengelilingi danau. Ada sedikit foto dulu, tentu saja, tetapi tak perlu dibahaslah, menurutku. Jadi kukitari danau, dan pemandangan unik, yang sayangnya tak kutangkap gambarnya, yaitu belasan orang di kedua sisi danau memancing, seolah berada di kolam pancing raksasa. Ah, lucu juga bila melihat orang-orang itu memancing, beragam jalan ditempuh, dari duduk di bawah bayang-bayang pohon, juga memayungi diri dengan payung yang berwarna-warni.
Kulanjutkan kayuhanku, kunaikkan sepedaku melewati lereng tempat ku turun tadi. Ku berlanjut menuju gedung Engineering Centre (EC) yang tingginya jauh di atas rata-rata gedung fakultas di UI. Entahlah, tetapi menurutku gayanya jadi agak, tidak masuk. Aneh. Jadilah kutempuh jalur antara FE dan Fakultas Teknik (FT) kemudian keluar ke jalan utama UI. Ku memutar, kuambil lagi jalur sepeda yang sama, tetapi aku berbelok ke kiri, ke arah hutan UI. Ah, jalan lurus dan menurun. Kesukaanku. Kukayuh cepat, tetapi malah membuat capai datang lebih cepat. Ah, sudahlah lupakan saja. Jadilah aku mengayuh terus sampai "ujung" jalan. Mengapa "ujung"? Karena pada rencananya jalur sepeda itu akan mengitari bagian luar UI. Tetapi jalur itu, terpaksa harus diakhiri karena ada saluran air mengalir di antaranya. Jadilah, sementara jalur itu belum tersambung.
Ah betul, pada pinggir jalur itu, dulunya ada beberapa pintu semi-resmi. Dulu, orang-orang dan sepeda motor dapat melaluinya bebas, setidaknya pada siang hari. Sekarang, setelah pintu-pintu itu ditutup, aku turut prihatin pada nasib mahasiswa yang tinggal kos di sekitar situ. Ingat aku pada Anto, yang beberapa kali kubonceng dengan sepeda yang sama itu, kuturunkan di pintu kedua di jalan itu. Tetapi juga kuingat aku pernah bertanya tempat kos-nya, dan, syukurlah, sudah pindah lebih dekat ke pintu Kutek. Kini apa yang terjadi? Lebih banyak pintu liar yang terbuka. Memang hanya cukup untuk orang saja, tetapi bukankah itu lebih tidak baik. Dulu, orang-orang terpusat melalui pintu-pintu yang tertentu. Sekarang? Hampir 50 meter sekali ada pagar yang "diurus" warga sekitar menjadi pintu. Ah, entahlah. Belum sampai pikiranku untuk membuat kebijakan.
Jadilah, dengan wajah memerah (memang bisa?), aku pun masuk ke jalan utama menuju Asrama UI. Kukayuh di jalur itu terus, dengan pikiran akan mengangkat sepeda melewati portal di ujung dekat asrama. Apa mau dikata, salak anjing terdengar di kejauhan. Ketika suara itu semakin keras, kulihat wujud anjing itu. hampir lemas aku melihat ukurannya. Anjing sebesar kambing, berwarna cokelat (keemasan?), menyalak keras. Sepertinya terikat, tetapi karena ragu lebih besar, jadilah aku memutar.
Setelah memutar, aku melihat ada jalan membuka ke kiri. Tanpa pikir panjang, aku masuki saja jalan dari paving block yang agak terkupas itu. Masuk ke dalam, aku menemui persimpangan. Kanan atau kiri? Kupilih ke kiri, ternyata aku salah. Nanti akan kuceritakan. Jadilah aku menyusuri jalan itu, jalan yang sempit karena alang-alang tumbuh sangat tinggi di sana. Tak dinyana aku menemui sebuah pekuburan. Entahlah, semakin tak percaya aku kalau gerbang yang ditutup itu kebijakan yang tepat. Bagaimana bila ada yang hendak berziarah ke pekuburan itu, di mana jasad anggota keluarga mereka bersemayam, bila gerbang ditutup? Tentu saja memutar bukan pilihan yang logis karena mereka menempuh jarak yang amat-sangat jauh untuk perpindahan yang sedikit. Srengseng-Universitas Pancasila-UI-hutan UI? Tak masuk akal.
Tapi... Bukan itu bagian terburuknya. Yang terburuk adalah bahwa di ujung jalan setapak itu, justru menanti anjing yang kumaksud tadi. Ugh. Sembari merutuk dalam hati, aku memutar balik dan menemukan seorang pengendara sepeda melalui jalan yang tadi kuragukan menuju "jalan anjing" itu. Jadilah kami bertukar jalur, dan aku pun tibalah di tepi danau lagi. Kurasa danau antara Jalan Utama UI dengan Asrama, di tengah-tengah hutan UI. Di sana kutemui sekelompok pengendara sepeda dengan sepeda yang bagus (bagus, karena dilengkapi dengan tempat botol air minum, peredam kejut depan dan belakang, roda gigi yang berfungsi sepenuhnya, pemutar gigi yang bagus, rangka yang ringan, dan seterusnya, dan seterusnya). Kuikuti saja mereka melalui jalan tanah di tepi danau. Tapi seperti sudah diduga, aku tertinggal jauh. Tanpa peredam kejut, di jalan tanah berbatu dan tertanam akar pohon yang kuat? Yang benar saja. Jadilah ketika tiba di jembatan --sebenarnya bukan jembatan, tetapi lebih seperti cek dam untuk danau itu-- aku terengah-engah dan mendapati mereka tengah berhenti --tidak menungguku tentu saja. Aku pun berbelok ke kanan, dengan asumsi bahwa di ujung jalan yang akan kulalui adalah di sekitar asrama UI.
Melewati cek dam, aku mengayuh perlahan di gigi terendah. Aku sedikit terkejut mendapati sepasang anak manusia berbaring bersisian --laki-laki dan perempuan, yang perempuan berbusana tipis-- di atas tanah di bawah langit. Terlintas pikiran aneh-aneh di kepalaku --bahwa ada "hajat" yang telah selesai, dan semacamnya. Ah, ngeri aku bila benar itu yang terjadi. Apa kata dunia kalau di kampus itu ada makhluk berbuat keji seperti yang kupikirkan. Sudahlah, aku terus mengayuh, dan kudapati diriku di belakang wisma (???) resimen mahasiswa (Menwa) di depan gerbang utama UI (Gerbatama). Syukur aku tidak tersesat. Yah, pada akhirnya, setelah sekali mengitari M. UI lagi untuk menuju ATM BNI meminjam uang dari tabunganku sendiri, untuk membiayai "kehausan fotografi amatir" yang tengah berkecamuk sekarang ini, sembari berdoa semoga kelak tabunganku mencukupi untuk menyediakan pemindai di sisi komputerku, untuk memindai hasil-hasil foto amatirku yang terlalu banyak terganggu goyangan tangan, aku pun pulanglah, memberanikan diri melalui jalan raya antara Depok-Pasar Minggu. Berbelok di Lenteng Agung, kemudian berbelok-belok di jalan yang tak perlu kuceritakan (he he he) sampailah aku di rumah, dan menjamu diri sendiri dengan segelas minuman isotonik warna biru yang bisa diseduh. Ah... Melelahkan, tetapi cukup untuk menyuntik semangat yang tinggal 1 Watt di tempat KP. Semangat, Rif! Jangan banyak melamun, apalagi melamunkan Kakak nun jauh di sana itu. :-p
F I N
30. Juli 2008, C. 21.30 WIB
Ditulis selama lebih kurang 1:20'. Terlalu...
4 komentar:
assalamualaikum.... Rif.. Kali ini postingannya menarik.. Hummm.. Jadi ingat rindangnya kampus UNHAS... Kangennn kuliah lagi nieyyy.... Oh ya.. makasih udah isi guestbook ku.. Tapi koq gak pake foto??? Oh ya lagi.. Keriput di wajahku memudar, makasih yahhh.. (",)
He he, kuliah lagi, dong, kalau begitu? ;-p
Hm... musti pakai foto ya? Duh, dicari dulu, ya. Kalau ada (ada sih, tapi dicari dulu :-D) nanti ku balik lagi.
assalamualaikum.. ditunggu yahh Rifff... gak papa, dicari dulu yang paling keren... kali-kali aja bisa dapat jodoh lewat blognya Ve.. Hehehe.. biro jodoh donkss...
Wa'alaykum'salam warahmatullah, Ka Ve. Iya deh, dicari dulu di tumpukan file yang nggak rapih nih. Mustinya sih kemarin-kemarin dirapikan, tapi karena malas jadi gini deh.
Btw, makasih doanya Ka Ve, sama-sama juga deh, dari sini. (",)
Sekali lagi deh.. Semangat!
Posting Komentar