Wahh... Tak terasa Ramadhan berlalu, dan jumlah hari yang tersisa adalah 119 hari. Itu kalau menghitung langsung ke 31. Januari 2009. Semestinya aku menghitung kurang dari itu, tepatnya ke 12. Desember 2008. Duh... Lebih pendek lagi masa yang kupunya.
Jadi, petang ini Dini mengingatkan, jangan lupa menagih pemasok kristal timah (IV) klorida itu agar cepat mendatangkan zat yang kami pesan ke lab. Terus terang aku belum menagihnya lagi. Tahulah, suasana 'Id fitri, berkumpul dengan keluarga (alhamdulillah...), dan sedikit *banyak* lupa dengan urusan lain, termasuk TA itu. Bahan-bahan lain sudah ada, lengkap malah. Yang tinggal hanya timah klorida itu, untuk membuat sekeping kaca menjadi konduktif.
Ahh... Sudah, sudah.. Sudah diingatkan aku, dan esok mesti lekas aku menelepon Pak Nur itu. Tak lupa pula mengganti pelumas dan gir sepeda motor pinjaman dari saudaraku (ampun.. Berapa bulan beralalu sejak gir itu bermasalah ya?). Jadi, sekarang saatnya meluruskan niat, membetulkan tujuan, membenahi prioritas.
Yap, satu kata: "prioritas". Ini jadi masalah betul buatku, sejak masa dulu di, um.... SD sepertinya, di mana prioritasku sudah kacau balau. Prioritas ini semakin kemari semakin ruwet. Ada banyak hal yang memenuhi kepala: praktikum DT metalurgi yang tinggal dua pekan ke depan (harus belajar lagi), UTS yang tinggal tiga pekan mendatang, TA yang tak kunjung mulai, hobi-hobi yang lebih sering dikedepankan (jadi rasanya belajar, kuliah, itu sekadar hobi saja. Duh!), dan seterusnya yang membuang tempat saja kalau dituliskan semuanya.
Hmm.. Soal hobi ini aku perlu betul-betul menguranginya. Soal permainan CM, sulit. Agak terlalu candu permainan satu itu, tapi bisalah sedikit-sedikit kukurangi --walaupun pelarian paling asyik tetaplah CM ini. Kemudian hobi yang belum lama ini kujalani: fotografi (baru sekitar 5-6 rol kok, betul...).
Uff... Kamera ayah, bodi Canon EOS 5D dan lensa Sigma 80 - 200 mm yang kalau tak salah dulu ayah beli ketika tugas luar ke Singapura, telah lumayan lama teronggok di kamarku. Rapi di dalam tasnya, dengan lensa yang berjamur. Dulu sempat aku hendak membersihkannya, tetapi waktu itu aku dan Komar diberitahu bahwa untuk membersihkannya --karena lensanya yang manual-otomatis-- harus membawanya ke Gunung Sahari. Terus terang saja ya, Gunung Sahari saja --sebagai satu-satunya Gunung di Jakarta, tapi bohong... :P-- aku tak tahu di mana.
Baru tahun ini aku bisa --secara waktu, keuangan, dan semuanya-- membenahi lensa itu. Mudah sih, karena toko penyedia jasa pembersihan itu --oktagon-- membuka semacam cabang di Kemang yang *jauh* lebih dekat ke rumahku di Selatan Jakarta daripada Gunung Sahari di Jakarta Utara. Jadi, tuntaslah masalah lensa itu.
Tapi.... Masalah beralih ke diriku. Ada semacam sensasi tersendiri, begitu, pada setiap klik yang keluar dari kamera itu. Apalagi dengan beberapa foto yang telah kuhasilkan cukup memuaskan --setidaknya buatku. Rasanya seperti kamera itu menguasaiku sepenuhnya, bukan sebaliknya. Setelah foto-foto dicetak, masalah timbul, bahwa tak ada pemindai yang bisa mengubah format lembar-lembar foto itu menjadi foto digital. Ada pemindai di Jurusan, tetapi rasanya aku malu menumpang memindai di situ. Tapi setelah melihat-lihat situs penjual mesin pemindai itu, rasanya aku ingin memindai dengan menumpang saja. Duhh...
Jadi, di tengah kebingungan itu, aku memutuskan untuk berhenti (sementara) dari potret memotret. Dengan menjanjikan padaku rol film tak terbatas dan pemindai untuk lembar-lembar film yang akan kuhasilkan, kelak. Baterai tipe CR 123A telah dicabut dari wadahnya dalam kamera, rol film sudah habis di Monas kemarin, dan kukembalikan kamera besar itu ke tempatnya semula, bukan dalam tasku.
**
Teringat aku dengan ucapan, um, siapa ya? Dosenku kalau tak salah. Pembimbing KP kami sebetulnya, tetapi karena laporan kami tak jua selesai, maka tak kunjung presentasi kami kepada beliau. Jadi beliau --Pak Agustinus Sumadi-- pernah (atau tepatnya: hampir setiap kuliah) berkata, bahwa salah satu jalan agar sukses adalah kerelaan menunda kesenangan. Mungkin bukan menunda kesenangan ya, Pak? Menghapus kesenangan kini dengan janji kesenangan menjurus kegilaan (he he...) di masa mendatang. Siap, Pak. Sudah (kucoba) laksanakan. Semoga tercapai sukses yang Bapak maksud itu, juga janji tentang rol film tak-terbatas dan pemindai film (minimal CanoScan 4400F, he he..). Mungkin juga termasuk janjiku sendiri tentang 1098S, atau minimal Ninja 250RR (jangan lupa, warna kuning ya? He he...). Ah, sudahlah. Semakin malam semakin liar khayalan ini. Tidur, Riff... ^_^
F I N
written on 3. Okt 2008, 23.04 WIB
can't I read you(r notes) anymore, sis? Pardon my crudeness, will you?
Jadi, petang ini Dini mengingatkan, jangan lupa menagih pemasok kristal timah (IV) klorida itu agar cepat mendatangkan zat yang kami pesan ke lab. Terus terang aku belum menagihnya lagi. Tahulah, suasana 'Id fitri, berkumpul dengan keluarga (alhamdulillah...), dan sedikit *banyak* lupa dengan urusan lain, termasuk TA itu. Bahan-bahan lain sudah ada, lengkap malah. Yang tinggal hanya timah klorida itu, untuk membuat sekeping kaca menjadi konduktif.
Ahh... Sudah, sudah.. Sudah diingatkan aku, dan esok mesti lekas aku menelepon Pak Nur itu. Tak lupa pula mengganti pelumas dan gir sepeda motor pinjaman dari saudaraku (ampun.. Berapa bulan beralalu sejak gir itu bermasalah ya?). Jadi, sekarang saatnya meluruskan niat, membetulkan tujuan, membenahi prioritas.
Yap, satu kata: "prioritas". Ini jadi masalah betul buatku, sejak masa dulu di, um.... SD sepertinya, di mana prioritasku sudah kacau balau. Prioritas ini semakin kemari semakin ruwet. Ada banyak hal yang memenuhi kepala: praktikum DT metalurgi yang tinggal dua pekan ke depan (harus belajar lagi), UTS yang tinggal tiga pekan mendatang, TA yang tak kunjung mulai, hobi-hobi yang lebih sering dikedepankan (jadi rasanya belajar, kuliah, itu sekadar hobi saja. Duh!), dan seterusnya yang membuang tempat saja kalau dituliskan semuanya.
Hmm.. Soal hobi ini aku perlu betul-betul menguranginya. Soal permainan CM, sulit. Agak terlalu candu permainan satu itu, tapi bisalah sedikit-sedikit kukurangi --walaupun pelarian paling asyik tetaplah CM ini. Kemudian hobi yang belum lama ini kujalani: fotografi (baru sekitar 5-6 rol kok, betul...).
Uff... Kamera ayah, bodi Canon EOS 5D dan lensa Sigma 80 - 200 mm yang kalau tak salah dulu ayah beli ketika tugas luar ke Singapura, telah lumayan lama teronggok di kamarku. Rapi di dalam tasnya, dengan lensa yang berjamur. Dulu sempat aku hendak membersihkannya, tetapi waktu itu aku dan Komar diberitahu bahwa untuk membersihkannya --karena lensanya yang manual-otomatis-- harus membawanya ke Gunung Sahari. Terus terang saja ya, Gunung Sahari saja --sebagai satu-satunya Gunung di Jakarta, tapi bohong... :P-- aku tak tahu di mana.
Baru tahun ini aku bisa --secara waktu, keuangan, dan semuanya-- membenahi lensa itu. Mudah sih, karena toko penyedia jasa pembersihan itu --oktagon-- membuka semacam cabang di Kemang yang *jauh* lebih dekat ke rumahku di Selatan Jakarta daripada Gunung Sahari di Jakarta Utara. Jadi, tuntaslah masalah lensa itu.
Tapi.... Masalah beralih ke diriku. Ada semacam sensasi tersendiri, begitu, pada setiap klik yang keluar dari kamera itu. Apalagi dengan beberapa foto yang telah kuhasilkan cukup memuaskan --setidaknya buatku. Rasanya seperti kamera itu menguasaiku sepenuhnya, bukan sebaliknya. Setelah foto-foto dicetak, masalah timbul, bahwa tak ada pemindai yang bisa mengubah format lembar-lembar foto itu menjadi foto digital. Ada pemindai di Jurusan, tetapi rasanya aku malu menumpang memindai di situ. Tapi setelah melihat-lihat situs penjual mesin pemindai itu, rasanya aku ingin memindai dengan menumpang saja. Duhh...
Jadi, di tengah kebingungan itu, aku memutuskan untuk berhenti (sementara) dari potret memotret. Dengan menjanjikan padaku rol film tak terbatas dan pemindai untuk lembar-lembar film yang akan kuhasilkan, kelak. Baterai tipe CR 123A telah dicabut dari wadahnya dalam kamera, rol film sudah habis di Monas kemarin, dan kukembalikan kamera besar itu ke tempatnya semula, bukan dalam tasku.
**
Teringat aku dengan ucapan, um, siapa ya? Dosenku kalau tak salah. Pembimbing KP kami sebetulnya, tetapi karena laporan kami tak jua selesai, maka tak kunjung presentasi kami kepada beliau. Jadi beliau --Pak Agustinus Sumadi-- pernah (atau tepatnya: hampir setiap kuliah) berkata, bahwa salah satu jalan agar sukses adalah kerelaan menunda kesenangan. Mungkin bukan menunda kesenangan ya, Pak? Menghapus kesenangan kini dengan janji kesenangan menjurus kegilaan (he he...) di masa mendatang. Siap, Pak. Sudah (kucoba) laksanakan. Semoga tercapai sukses yang Bapak maksud itu, juga janji tentang rol film tak-terbatas dan pemindai film (minimal CanoScan 4400F, he he..). Mungkin juga termasuk janjiku sendiri tentang 1098S, atau minimal Ninja 250RR (jangan lupa, warna kuning ya? He he...). Ah, sudahlah. Semakin malam semakin liar khayalan ini. Tidur, Riff... ^_^
F I N
written on 3. Okt 2008, 23.04 WIB
can't I read you(r notes) anymore, sis? Pardon my crudeness, will you?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar