Lingkaran, atau boleh juga disebut segi-n dengan n mendekati takhingga. Bentuk serupa lingkaran ini pula yang tidak ditemukan pada sistem angka romawi, tetapi ada pada angka arab berupa angka nol --angka yang amat istimewa, kurasa. Bentuk serupa lingkaran pula orbit bumi pada matahari, bulan pada bumi, dan manusia pada rumahNya yang pertama dibangun.
Kalau ada orang terkena koreng (borok), lalu dia hanya mencari salep, maka koreng itu bisa saja sembuh. Tapi kalau caranya hidup, beraktivitas, dan semuanya tak ia ubah, maka koreng itu hanya tinggal menunggu waktu saja untuk kembali lagi, lagi, lagi, dan lagi. Orang semacam ini tidak berpikir siklis --melingkar-- melainkan hanya linier. Masalah diatasi sebatas selesai masalah itu saja, tetapi tidak pernah dituntaskan seutuhnya.
Padahal, kita mungkin pernah diterangkan kisah tentang Nabi Khidir yang dipertemukan dengan Nabi Musa. Pada pertemuannya, Nabi Musa tidak diperkenankan bertanya oleh Nabi Khidir, tetapi malah dilanggarnya. Kisah itu secara ringkas adalah ketika mereka bepergian, Nabi Khidir malah merusak perahu yang mereka tumpangi, kemudian membunuh seorang anak kecil, dan memperbaiki tembok yang doyong akan runtuh.
Hikayat ini mengajarkan kita berpikir menyeluruh, atau kusebut melingkar. Kisah pertama (perahu) terjadi karena di wilayah itu penguasanya lalim dan gemar merampas perahu, sedangkan pemilik perahu itu orang miskin. Ini mengajarkan bahwa dalam berpikir, mestilah kita menimbang keadaan terkini, yang aktual. Andaikan perahu itu tetap dibiarkan, maka pastilah sang raja akan merampasnya.
Kemudian, tentang anak yang dibunuh itu tentu ada pula sebabnya. Anak itu lahir dari pasangan shalih, tetapi di masa mendatang, si anak akan tumbuh menjadi anak yang kuat, tetapi kafir. Daripada anak ini kelak menjadi orang yang berpengaruh dan mengalihkan banyak orang, tentu lebih baik dimatikan saja sekarang, bukan? Nah. Ini tidak untuk ditiru, yah.. Kita tidak tahu masa depan seseorang, jadi tidak bisa kita memutuskan membunuh orang seperti itu, yah.. Nah, kisah ini menunjukkan bahwa masa depan --atau tujuan-- itu juga mesti dimasukkan dalam pertimbangan pengambilan keputusan.
Lalu kisah terakhir (tembok), mengapa pula tembok yang sudah tinggal menunggu roboh itu perlu ditegakkan kembali? Tidak ada yang filosofis di sini, hanya urusan dunia saja kok. Jadi, menurut hikayat itu, di bawah tembok itu ada harta peninggalan seorang ayah untuk anak-anaknya di negeri itu. Namun, penduduk negeri itu menyembah berhala. Seandainya tembok itu dibiarkan runtuh, maka harta itu akan nampak dan entah apa yang akan diperbuat penduduk itu atas harta anak-anak yatim yang masih kecil itu. Atas dasar itulah, maka tembok itu didirikan kembali, dan biar kelak anak-anak itu yang menemukannya. Hmm... Pada kasus ini, pertimbangannya adalah masa yang telah lampau --sejarah.
Singkat kata, mengambil keputusan kurang baik dilakukan hanya berbasis kekinian, bahwa dengan begini, maka masalah ini akan selesai. Misalnya saja persoalan yang khas negeri ini setiap akhir Ramadhan - awal Syawwal: MUDIK. Apa yang dilakukan Bapak-Ibu pengambil keputusan sekarang? Memperlebar dan memuluskan jalan, menambah jalur, memperbanyak armada angkutan, dan kebijakan-kebijakan serupa lain. Bukan berarti masalah tak selesai. Jelas dengan kebijakan seperti demikian, arus mudik (maupun baliknya) dapat berlangsung lancar, aman, sentosa (ups... ^_^). Tapi.... Ingat masalah koreng di awal tadi? Seperti halnya koreng itu, mudik pun berlangsung dari tahun ke tahun, bertambah banyak dan ruwet pula.
Bagaimana kalau kuberikan pendapat: Pemerataan. Mengapa sih, ada orang mudik? Karena ada perantau, bukan? Mengapa orang merantau? Mencari penghidupan, bukan? (Kecuali kalau memang merantau itu sudah menjadi budaya, ya?). Nah, mengapa tidak membangun pusat-pusat ekonomi di luar Ibu kota negara? Jadi, bangunlah tempat-tempat orang bisa berusaha, berdagang, semuanya, di pelbagai kota, besar maupun kecil, di penjuru negeri. Dengan demikian, sekiranya masih terjadi, mudik lebih tidak terkonsentrasi dan bukan tak mungkin bisa berkurang banyak.
Memang tak mudah, perlu kerja sama semua, sekali lagi semua, pihak, dan pengorbanan (baca: biaya-biaya, dsb) yang tak kecil. Tapi kalau kemauan ada, dan diupayakan, tak ada yang tak mungkin bukan? Demikian pula masalah-masalah lain yang seolah-olah menempel dengan kalender menjadi "musim-musim" (Musim banjir, mudik, seterusnya) di dinding-dinding rumah kita. Ingatlah, pertimbangkan keadaan sekarang, tujuan, dan jangan lupa sejarah dan masa lalu yang pernah terjadi, dan kembalilah ke masa sekarang-tujuan-masa lalu, dan kembalilah..... [perulangan takhingga]
**
Terinspirasi dari tulisan Muhammad Ainun Najib/Emha Ainun Najib/Cak Nun dalam "Kiai Untung, Kiai Bejo, Kiai Hoki", juga dari acara "Nada dan Dakwah" TVRI, 21. Sep 2008 kalau tak salah. Disarikan dari berbagai sumber yang tercantum maupun dari sedikit pemikiran.
F I N
written on 05. Okt 2008, 06.57 WIB
..just do it and forget it..
Kalau ada orang terkena koreng (borok), lalu dia hanya mencari salep, maka koreng itu bisa saja sembuh. Tapi kalau caranya hidup, beraktivitas, dan semuanya tak ia ubah, maka koreng itu hanya tinggal menunggu waktu saja untuk kembali lagi, lagi, lagi, dan lagi. Orang semacam ini tidak berpikir siklis --melingkar-- melainkan hanya linier. Masalah diatasi sebatas selesai masalah itu saja, tetapi tidak pernah dituntaskan seutuhnya.
Padahal, kita mungkin pernah diterangkan kisah tentang Nabi Khidir yang dipertemukan dengan Nabi Musa. Pada pertemuannya, Nabi Musa tidak diperkenankan bertanya oleh Nabi Khidir, tetapi malah dilanggarnya. Kisah itu secara ringkas adalah ketika mereka bepergian, Nabi Khidir malah merusak perahu yang mereka tumpangi, kemudian membunuh seorang anak kecil, dan memperbaiki tembok yang doyong akan runtuh.
Hikayat ini mengajarkan kita berpikir menyeluruh, atau kusebut melingkar. Kisah pertama (perahu) terjadi karena di wilayah itu penguasanya lalim dan gemar merampas perahu, sedangkan pemilik perahu itu orang miskin. Ini mengajarkan bahwa dalam berpikir, mestilah kita menimbang keadaan terkini, yang aktual. Andaikan perahu itu tetap dibiarkan, maka pastilah sang raja akan merampasnya.
Kemudian, tentang anak yang dibunuh itu tentu ada pula sebabnya. Anak itu lahir dari pasangan shalih, tetapi di masa mendatang, si anak akan tumbuh menjadi anak yang kuat, tetapi kafir. Daripada anak ini kelak menjadi orang yang berpengaruh dan mengalihkan banyak orang, tentu lebih baik dimatikan saja sekarang, bukan? Nah. Ini tidak untuk ditiru, yah.. Kita tidak tahu masa depan seseorang, jadi tidak bisa kita memutuskan membunuh orang seperti itu, yah.. Nah, kisah ini menunjukkan bahwa masa depan --atau tujuan-- itu juga mesti dimasukkan dalam pertimbangan pengambilan keputusan.
Lalu kisah terakhir (tembok), mengapa pula tembok yang sudah tinggal menunggu roboh itu perlu ditegakkan kembali? Tidak ada yang filosofis di sini, hanya urusan dunia saja kok. Jadi, menurut hikayat itu, di bawah tembok itu ada harta peninggalan seorang ayah untuk anak-anaknya di negeri itu. Namun, penduduk negeri itu menyembah berhala. Seandainya tembok itu dibiarkan runtuh, maka harta itu akan nampak dan entah apa yang akan diperbuat penduduk itu atas harta anak-anak yatim yang masih kecil itu. Atas dasar itulah, maka tembok itu didirikan kembali, dan biar kelak anak-anak itu yang menemukannya. Hmm... Pada kasus ini, pertimbangannya adalah masa yang telah lampau --sejarah.
Singkat kata, mengambil keputusan kurang baik dilakukan hanya berbasis kekinian, bahwa dengan begini, maka masalah ini akan selesai. Misalnya saja persoalan yang khas negeri ini setiap akhir Ramadhan - awal Syawwal: MUDIK. Apa yang dilakukan Bapak-Ibu pengambil keputusan sekarang? Memperlebar dan memuluskan jalan, menambah jalur, memperbanyak armada angkutan, dan kebijakan-kebijakan serupa lain. Bukan berarti masalah tak selesai. Jelas dengan kebijakan seperti demikian, arus mudik (maupun baliknya) dapat berlangsung lancar, aman, sentosa (ups... ^_^). Tapi.... Ingat masalah koreng di awal tadi? Seperti halnya koreng itu, mudik pun berlangsung dari tahun ke tahun, bertambah banyak dan ruwet pula.
Bagaimana kalau kuberikan pendapat: Pemerataan. Mengapa sih, ada orang mudik? Karena ada perantau, bukan? Mengapa orang merantau? Mencari penghidupan, bukan? (Kecuali kalau memang merantau itu sudah menjadi budaya, ya?). Nah, mengapa tidak membangun pusat-pusat ekonomi di luar Ibu kota negara? Jadi, bangunlah tempat-tempat orang bisa berusaha, berdagang, semuanya, di pelbagai kota, besar maupun kecil, di penjuru negeri. Dengan demikian, sekiranya masih terjadi, mudik lebih tidak terkonsentrasi dan bukan tak mungkin bisa berkurang banyak.
Memang tak mudah, perlu kerja sama semua, sekali lagi semua, pihak, dan pengorbanan (baca: biaya-biaya, dsb) yang tak kecil. Tapi kalau kemauan ada, dan diupayakan, tak ada yang tak mungkin bukan? Demikian pula masalah-masalah lain yang seolah-olah menempel dengan kalender menjadi "musim-musim" (Musim banjir, mudik, seterusnya) di dinding-dinding rumah kita. Ingatlah, pertimbangkan keadaan sekarang, tujuan, dan jangan lupa sejarah dan masa lalu yang pernah terjadi, dan kembalilah ke masa sekarang-tujuan-masa lalu, dan kembalilah..... [perulangan takhingga]
**
Terinspirasi dari tulisan Muhammad Ainun Najib/Emha Ainun Najib/Cak Nun dalam "Kiai Untung, Kiai Bejo, Kiai Hoki", juga dari acara "Nada dan Dakwah" TVRI, 21. Sep 2008 kalau tak salah. Disarikan dari berbagai sumber yang tercantum maupun dari sedikit pemikiran.
F I N
written on 05. Okt 2008, 06.57 WIB
..just do it and forget it..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar