Rasanya, dengan semakin dekatnya hari pengumpulan skripsi, semakin takut pula aku. "Mau ke mana (se)habis ini, Rif?" jadi pertanyaan yang lazim kudengar mulai dari semester ini. Heii... Jangan tanya aku. Lama sudah tak berencana aku. Lama juga aku dilanda keberuntungan demi keberuntungan (atau kebetulan? Bukan, tapi garis jalan hidup yang, syukurlah, menguntungkanku) selama melewati tahun-tahun remajaku yang *terlalu* singkat.
"Jadi, sudah ada rencana, Rif?". Sudah kubilang, belum. Yang ada baru mimpi yang jauh tentang sebuah rumah berhalaman luas yang tidak kuhuni sendiri, dan semuanya yang sekarang kurasa amat jauh. Jauh, karena skripsi masih (menunggu) ditulis -- ia takkan menulisi dirinya sendiri, bukan? Jauh, karena rasanya untuk terjun ke dunia yang disebut 'dunia kerja', atau 'dunia nyata' dan semacamnya yang pada dunia itu kesalahan hanya bisa diperbuat seminim mungkin, aku rasa belum siap ilmuku masuk ke sana. Jadi, kurasa sekali lagi aku biarkan saja waktu berjalan melewatiku, atau sebaliknya, aku berjalan melewati terowongan waktu tanpa lentera.
Hmm... Sebetulnya, ingin rasanya ku mempunyai semacam pabrik, atau jenis usaha lain. Ingin bekerja mempekerjakan orang lain (yang banyak sangat masih belum bekerja). Kalau dari koran kemarin yang kubaca, tingkat kejahatan lurus hubungannya dengan tingkat pengangguran. Hmm... Jadi, masuk akal bukan kalau dengan mempekerjakan orang lain, aku bisa turut memberi rasa aman --dalam berbagai makna-- pada orang-orang di sekitar?
Tapi... Sekarang kita lihat, pekerja di pelbagai pabrik diperlakukan tak ubahnya mesin, menjadi sekadar aset yang diperhatikan dalam hal angka-angka saja. Yah, angka berapa banyak jahitan yang selesai, berapa jumlahnya, berapa gajinya, dan banyak angka lain yang lebih penting dari keberadaan mereka sendiri sebagai manusia. Apalagi, kalau tak salah, prinsip ekonomi yang dipegang masih berupa mencari "keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya". Apalagi yang bisa diperkecil, kalau bukan urusan gaji dan segala hal tentang pekerja. Toh, mereka juga butuh mendapatkan uang, dan uang bisa didapat dengan bekerja. Kalau tidak perlu bekerja bisa dapat uang, tentu sudah tak terhitung banyaknya orang tidak memilih bekerja saja --termasuk juga aku, hihihihi... Lain itu, kalau mereka tidak rela, para pengendali pabrik-pabrik tersebut bisa dengan enteng menyatakan "kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, toh masih banyak yang perlu pekerjaan".
Duduh... Terus terang agak takut aku jadi seperti itu. Ingin sebetulnya jadi pemilik yang --menurut Cak Nun pada bukunya [0]-- "juga kekasih buruhnya". Yah, masih kupegang prinsip itu, bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin orang memperlakukanmu". RIndu rasanya menjadi manusia sedemikian. Betul, menjadi manusia, bukan menjadi "industriawan", "wartawan", "seniman", "insinyur", "dokter", apapun deh. Pada dasarnya tidak sulit menjadi yang kusebutkan terakhir itu. Jauh lebih sulit sebetulnya menjadi manusia. Manusia sebenar-benarnya, yang diciptakan "hanya untuk beribadah padaNya". Bisakah?
"Jadi, sudah dapat apa tujuanmu setelah ini, Rif?" Rasanya sudah. Jadi manusia, apapun profesinya. Manusia yang dianugerahi dua poros yang seolah bertentangan --hati (nurani) dan akal pikiran-- padahal harusnya sejalan, tak ada yang satu menjadi panglima yang lainnya. Jadi manusia yang.... Manusia.
[0] Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
--
F I N
written on 16. Nov 2008, 00.55 WIB
Uff.. Skripsi oh skripsi, mengapa tak bisa kau menulis dirimu sendiri?
"Jadi, sudah ada rencana, Rif?". Sudah kubilang, belum. Yang ada baru mimpi yang jauh tentang sebuah rumah berhalaman luas yang tidak kuhuni sendiri, dan semuanya yang sekarang kurasa amat jauh. Jauh, karena skripsi masih (menunggu) ditulis -- ia takkan menulisi dirinya sendiri, bukan? Jauh, karena rasanya untuk terjun ke dunia yang disebut 'dunia kerja', atau 'dunia nyata' dan semacamnya yang pada dunia itu kesalahan hanya bisa diperbuat seminim mungkin, aku rasa belum siap ilmuku masuk ke sana. Jadi, kurasa sekali lagi aku biarkan saja waktu berjalan melewatiku, atau sebaliknya, aku berjalan melewati terowongan waktu tanpa lentera.
Hmm... Sebetulnya, ingin rasanya ku mempunyai semacam pabrik, atau jenis usaha lain. Ingin bekerja mempekerjakan orang lain (yang banyak sangat masih belum bekerja). Kalau dari koran kemarin yang kubaca, tingkat kejahatan lurus hubungannya dengan tingkat pengangguran. Hmm... Jadi, masuk akal bukan kalau dengan mempekerjakan orang lain, aku bisa turut memberi rasa aman --dalam berbagai makna-- pada orang-orang di sekitar?
Tapi... Sekarang kita lihat, pekerja di pelbagai pabrik diperlakukan tak ubahnya mesin, menjadi sekadar aset yang diperhatikan dalam hal angka-angka saja. Yah, angka berapa banyak jahitan yang selesai, berapa jumlahnya, berapa gajinya, dan banyak angka lain yang lebih penting dari keberadaan mereka sendiri sebagai manusia. Apalagi, kalau tak salah, prinsip ekonomi yang dipegang masih berupa mencari "keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya". Apalagi yang bisa diperkecil, kalau bukan urusan gaji dan segala hal tentang pekerja. Toh, mereka juga butuh mendapatkan uang, dan uang bisa didapat dengan bekerja. Kalau tidak perlu bekerja bisa dapat uang, tentu sudah tak terhitung banyaknya orang tidak memilih bekerja saja --termasuk juga aku, hihihihi... Lain itu, kalau mereka tidak rela, para pengendali pabrik-pabrik tersebut bisa dengan enteng menyatakan "kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, toh masih banyak yang perlu pekerjaan".
Duduh... Terus terang agak takut aku jadi seperti itu. Ingin sebetulnya jadi pemilik yang --menurut Cak Nun pada bukunya [0]-- "juga kekasih buruhnya". Yah, masih kupegang prinsip itu, bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin orang memperlakukanmu". RIndu rasanya menjadi manusia sedemikian. Betul, menjadi manusia, bukan menjadi "industriawan", "wartawan", "seniman", "insinyur", "dokter", apapun deh. Pada dasarnya tidak sulit menjadi yang kusebutkan terakhir itu. Jauh lebih sulit sebetulnya menjadi manusia. Manusia sebenar-benarnya, yang diciptakan "hanya untuk beribadah padaNya". Bisakah?
"Jadi, sudah dapat apa tujuanmu setelah ini, Rif?" Rasanya sudah. Jadi manusia, apapun profesinya. Manusia yang dianugerahi dua poros yang seolah bertentangan --hati (nurani) dan akal pikiran-- padahal harusnya sejalan, tak ada yang satu menjadi panglima yang lainnya. Jadi manusia yang.... Manusia.
[0] Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
--
F I N
written on 16. Nov 2008, 00.55 WIB
Uff.. Skripsi oh skripsi, mengapa tak bisa kau menulis dirimu sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar