Ah... Kata yang jamak didengar di ibu kota tercinta (???) ini. Tapi... Tak terbayang juga kalau sampai di simpang jalan (simpang ubin kalau menurut kami) tak berapa jauh dari rumah bisa sampai macet berpanjang-panjang.
Yap, terjadinya dua hari lalu, Kamis (20. Nov). Waktunya, yah sore hari jelang Maghrib. Waktu kritis di mana ada orang yang memang hendak bersegera tiba di rumah untuk menyambut berbuka, atau keperluan lainnya.
Ceritanya sederhana: terlalu banyak kendaraan. Tapi mungkin bukan itu juga akarnya. Coba kita balik sedikit. Di hampir setiap persimpangan, 'manusia masa kini' --yang diburu waktu selalu-- cenderung ingin (diri mereka sendiri) cepat tiba di tujuan mereka dan acuh pada manusia masa kini lainnya --yang juga diburu waktu. Tidak perlu menebak apa yang terjadi kalau dua manusia masa kini itu berjumpa di persimpangan jalan yang sama. Sama ingin cepatnya, jadilah memasuki persimpangan secepatnya dengan sedikit sekali melihat --sebenar-benarnya melihat; to see, bukan sekedar to look-- ke orang lain di sekitar. Yah, begitulah. Jam ditemukan, waktu jadi semakin penting, di atas segalanya bahkan. Tapi kelamaan, waktu juga yang jadi tuan manusia, bukan manusia memanfaatkan waktu.
Jadi, memang salah kalau banyak mobil, motor, sepeda, gerobak, apalah di jalan? Kalau itu salahnya, larang saja orang membeli motor, mobil, dan semuanya. Rasanya bukan itu yang salah. Bukan pula waktu yang kurang. Maksudku, hey, bukantah jatah waktu setiap manusia sehari itu sama. Kurang 24 jam, begitu? Rasanya yang kurang itu di kepala, atau di hati manusia masa kini. Kurang, ehm... Sabar.
Begini, berbagai cara bepergian telah pernah aku lakoni. Dari yang paling primitif (jalan kaki), angkutan umum, sepeda, sepeda motor, mobil (sangat-amat jarang. Tanggung jawabnya besar.. Hihihi), pesawat terbang (dulu waktu masih kecil), kapal laut, mungkin hanya gerobak saja yang belum. Coba lihat di bandar udara, atau lapangan terbang begitu. Manis betul pengaturannya. Coba kalau para pilot tak sabar, macam pengemudi angkot yang begitu terisi penuh (tidak begitu selalu sih) langsung tancap gas. Wah, bisa kacau dunia persilatan, eh, penerbangan. ;p
Nah... Kerapian, keteraturan, kesabaran, dan teman-temannya itu yang kurang di jalan. Jangankan di persimpangan biasa, di simpang empat yang berlampu lalu lintas saja, banyak betul manusia masa kini yang *tidak* sanggup mengantre. Garis sebelum zebra cross yang mestinya jadi batas --supaya orang-orang yang hendak menyeberangi jalan di situ tidak takut-- lewat selalu. Jadilah calon penyeberang yang tidak seberapa besar nyalinya jadi undur dan menunggu lebih lama lagi. Lupa manusia masa kini itu kalau kaki yang Dia rancang dan ciptakan sendiri --dan gratis pula! Cuma diminta dua hal: ikut apa yang Dia perintah, jauh apa yang Dia larang-- itu hadir lebih dulu bersama tangan untuk merakit berbagai-bagai kendaraan itu. Lupa, karena memang manusia --masa kini maupun masa lalu-- digariskan untuk lupa.
Yah, kalau di simpang jalan berlampu pengatur saja demikian, bagaimana yang tidak? Itu yang terjadi Rabu kemarin, di simpang ubin. Berbagai-bagai mobil, motor, angkutan umum, truk dan pikap, entah ada gerobak dan sepeda atau tidak, tumpuk jadi satu di sana. Simpang tiga-tiga (satu pertigaan ke selatan, satu ke utara. Simpang empat cacat deh, hihihi) yang biasanya tak terlalu ramai jadi riuh rendah suara klakson yang membahana. Di satu mobil angkutan umum itu, duduk satu bocah yang pulang sendiri, memegangi kepalanya, tak habis pikir, ke mana perginya semua "Orang Indonesia terkenal ramah" dan semuanya itu kini. Kalau demikian, mungkin tak ingin ia jadi orang Indonesia, atau setidaknya tak ingin ia jadi manusia Indonesia masa kini. "Lebih baik jadi manusia masa lalu saja kalau begitu".
F I N
written on 22. Nov 2008, 02.40 and 06.30 WIB
.. C . A . P . E' ..
Yap, terjadinya dua hari lalu, Kamis (20. Nov). Waktunya, yah sore hari jelang Maghrib. Waktu kritis di mana ada orang yang memang hendak bersegera tiba di rumah untuk menyambut berbuka, atau keperluan lainnya.
Ceritanya sederhana: terlalu banyak kendaraan. Tapi mungkin bukan itu juga akarnya. Coba kita balik sedikit. Di hampir setiap persimpangan, 'manusia masa kini' --yang diburu waktu selalu-- cenderung ingin (diri mereka sendiri) cepat tiba di tujuan mereka dan acuh pada manusia masa kini lainnya --yang juga diburu waktu. Tidak perlu menebak apa yang terjadi kalau dua manusia masa kini itu berjumpa di persimpangan jalan yang sama. Sama ingin cepatnya, jadilah memasuki persimpangan secepatnya dengan sedikit sekali melihat --sebenar-benarnya melihat; to see, bukan sekedar to look-- ke orang lain di sekitar. Yah, begitulah. Jam ditemukan, waktu jadi semakin penting, di atas segalanya bahkan. Tapi kelamaan, waktu juga yang jadi tuan manusia, bukan manusia memanfaatkan waktu.
Jadi, memang salah kalau banyak mobil, motor, sepeda, gerobak, apalah di jalan? Kalau itu salahnya, larang saja orang membeli motor, mobil, dan semuanya. Rasanya bukan itu yang salah. Bukan pula waktu yang kurang. Maksudku, hey, bukantah jatah waktu setiap manusia sehari itu sama. Kurang 24 jam, begitu? Rasanya yang kurang itu di kepala, atau di hati manusia masa kini. Kurang, ehm... Sabar.
Begini, berbagai cara bepergian telah pernah aku lakoni. Dari yang paling primitif (jalan kaki), angkutan umum, sepeda, sepeda motor, mobil (sangat-amat jarang. Tanggung jawabnya besar.. Hihihi), pesawat terbang (dulu waktu masih kecil), kapal laut, mungkin hanya gerobak saja yang belum. Coba lihat di bandar udara, atau lapangan terbang begitu. Manis betul pengaturannya. Coba kalau para pilot tak sabar, macam pengemudi angkot yang begitu terisi penuh (tidak begitu selalu sih) langsung tancap gas. Wah, bisa kacau dunia persilatan, eh, penerbangan. ;p
Nah... Kerapian, keteraturan, kesabaran, dan teman-temannya itu yang kurang di jalan. Jangankan di persimpangan biasa, di simpang empat yang berlampu lalu lintas saja, banyak betul manusia masa kini yang *tidak* sanggup mengantre. Garis sebelum zebra cross yang mestinya jadi batas --supaya orang-orang yang hendak menyeberangi jalan di situ tidak takut-- lewat selalu. Jadilah calon penyeberang yang tidak seberapa besar nyalinya jadi undur dan menunggu lebih lama lagi. Lupa manusia masa kini itu kalau kaki yang Dia rancang dan ciptakan sendiri --dan gratis pula! Cuma diminta dua hal: ikut apa yang Dia perintah, jauh apa yang Dia larang-- itu hadir lebih dulu bersama tangan untuk merakit berbagai-bagai kendaraan itu. Lupa, karena memang manusia --masa kini maupun masa lalu-- digariskan untuk lupa.
Yah, kalau di simpang jalan berlampu pengatur saja demikian, bagaimana yang tidak? Itu yang terjadi Rabu kemarin, di simpang ubin. Berbagai-bagai mobil, motor, angkutan umum, truk dan pikap, entah ada gerobak dan sepeda atau tidak, tumpuk jadi satu di sana. Simpang tiga-tiga (satu pertigaan ke selatan, satu ke utara. Simpang empat cacat deh, hihihi) yang biasanya tak terlalu ramai jadi riuh rendah suara klakson yang membahana. Di satu mobil angkutan umum itu, duduk satu bocah yang pulang sendiri, memegangi kepalanya, tak habis pikir, ke mana perginya semua "Orang Indonesia terkenal ramah" dan semuanya itu kini. Kalau demikian, mungkin tak ingin ia jadi orang Indonesia, atau setidaknya tak ingin ia jadi manusia Indonesia masa kini. "Lebih baik jadi manusia masa lalu saja kalau begitu".
F I N
written on 22. Nov 2008, 02.40 and 06.30 WIB
.. C . A . P . E' ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar