Rabu, 08 April 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 2: Mendaki)

Ringkasan cerita sebelumnya: Perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang diperkirakan berlangsung tiga-empat jam ternyata telah dilalui selama lebih dari enam jam tanpa kejelasan kapan akan tiba. Dapatkah kami semua tiba di Balai Penelitian Cikaniki dengan selamat -- jika tepat waktu sudah tidak dapat dikejar lagi?

**
Ban Mobil Berpenggerak Depan

Setelah kami semua tiba di Simpang Parungkuda, kami meneruskan perjalanan di jalan mendaki gunung. Sepanjang jalan tersebut, pemandangan yang nampak adalah pepohonan dalam hutan hujan, diselingi rumah-rumah penduduk, juga langit bersemburat merah pertanda Sang Surya tengah bersiap menyerahkan tongkat estafet ke Sang Bulan.

Udara terasa sangat sejuk, dengan angin yang mengiringi pergerakan mobil menyusup lewat jendela yang dibuka lebar. Terasa nyaman sungguh, tetapi dengan keadaan dalam kabin mobil yang penuh agak sulit mengeluarkan si Canny tercinta. Jadilah sementara pemandangan menyegarkan itu hanya bisa terekam mata (hikmah: Kali lain, coba gunakan mobil dengan kabin lebih besar, atau mungkin malah lebih nikmat duduk di bak belakang mobil kabin ganda).

Jalan terus berliku, dan tanda-tanda Kantor Pemerintahan di sepanjang jalan itu pun tiada -- kecuali Balai Penelitan Tanaman, umm... Apa yah, maaf ku tak ingat -- yang berada tak berapa jauh dari Simpang Parungkuda itu. Tak berapa lama, Adzan Maghrib pun berkumandang. Tak dinyana, di depan masih ada SPBU -- nampaknya baru. Masih kinyis-kinyis kalau boleh dikata demikian -- yang syukurlah menyediakan mushalla untuk sejenak menyapa Pengukir Gunung itu. Syukur pula tersedia toilet yang dengan sigap digunakan sebagian besar kami, kecuali aku dan Garda, dan mungkin juga Indah.

SPBU tersebut sendiri -- mungkin karena kebaruannya -- masih terawat dengan sempurna. Tempat berwudhu' yang disediakan bersih, tak licin, dan juga mushalla yang -- sayangnya -- tepat cukup terisi kami berdelapan. Shalat Maghrib pun digabung dengan Shalat Isya', mengingat perjalanan yang masih belum terukur waktunya.

Kemudian, lepas dari SPBU itu, melajulah kami dalam selimut gelap dan dingin udara Gn. Halimun. Syukurlah malam itu cukup cerah, dengan purnama menyinari kelam hutan. Jendela-jendela kami buka, dan mulailah kami bercerita....... SERAM! Hehehehehe... Memang paling seru kalau suasana seperti itu bercerita seram tentang berbagai hal.

Sekitar setengah jam jalan yang mendaki, sampai kami ke kantor pengelola (?) TNGHS di Kabandungan. Di sana, Mas Ii' turun dan mencatatkan diri ke kantor, untuk kemudian kami meneruskan perjalanan naik yang sepertinya tiada akhir.

Jalan mendaki hanya satu jalur sampai suatu ketika, sekitar 15 menit dari Kabandungan itu ada jalan bercabang. Di situ kami menepi, dan menugaskan SeƱor Hardy untuk bertanya pada sekumpulan pengojek, yang ternyata malah mendekati mobil kami. Menurut mereka, kami telah berada pada jalan yang benar, dan terus saja mengikuti jalan.

Seperti saran mereka, kami melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di persimpangan jalan (lagi). Di sana tertulis bahwa jalan lurus menuju ke proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geotermal) Gn Salak, dan Jalan kiri, hmm.. Jalan ke mana yah? Setelah dipertimbangkan masak-masak (bohong ding...) tak sampai lima detik di persimpangan kami berbelok ke kiri.

Jalan berliku-liku, menanjak-menurun, tetap dengan batu-batu sekepalan tangan melapisi jalan tanah itu. Masih jauh rupanya perjalanan. Meski demikian, mobil yang kami tumpangi akhirnya menjumpai mobil depan yang sudah mengangkut seorang pemandu. Dengan demikian, mulailah kami berjalan beriring kembali menuju BP Cikaniki, entah berapa jauh lagi ke depan, melewati semacam gapura yang melengkung menaungi jalan terjal ke sana.

Rupa-rupanya, jalan mendaki yang berupa tanah berlapis batu itu menjadi kendala bagi kendaraan yang Mas Ii' bawa. Honda CR-V berpenggerak roda depan. Ikuti terus perjalanan kami menembus gelap malam di Gunung Halimun berikutnya...

--
BERSAMBUNG
finished written on 08. April 2008, 18.56 WIB