Jumat, 16 Oktober 2009

Twhirl: Peranti Klien Twitter Berbasis AIR

Bagi sebagian golongan, situs jaringan sosial/pertemanan facebook mungkin telah menjadi ritus yang menjemukan. Beberapa temanku bahkan sampai menonaktifkan sementara halaman mereka di sana. Memang, untukku sendiri situs tersebut masih cukup berguna. Malam ini saja, seorang temanku semasa SD - yang lama betul tak bertemu - meminta ditambahkan ke daftar temanku.

Tapi mungkin dasar sudah tidak bisa terlepas dari dunia maya, sebagian lagi temanku ternyata sudah/baru membuat akun di situs "SMS maya" yang terbatasi 140 karakter setiap kalinya: twitter. Untuk twitter ini sendiri, baca sendiri ya! Ayo, jangan malas.. Mungkin bisa dimulai di sini, sana, juga di situ.

Aku sendiri? Yah, masih hijau lah di sana, dan jarang-jarang memperbarui status. Mungkin karena sebelumnya, di sistem operasi Wind*, ruang sisa di cakram keras (ehm, "hard disk" kalau kamu bingung) tinggal tersisa sedikit membuatku malas menambah aplikasi lain lagi.

Nah, setelah ada penambahan secara besar-besaran (secara harfiah) ruang sisa cakram keras, barulah aku terpikir untuk... Bukan, bukan menambah aplikasi lain. Yang benar adalah memasang Linux Mint 7: Gloria. Bukan edisi utamanya, tetapi edisi komunitas dengan pengatur tampilan muka XFCE. Maklum, memori juga telah mengalami penambahan yang cukup.

Ups, daripada semakin kacau dan melebar, mari kita mulai membahas sedikit tentang aplikasi klien twitter yang kusebutkan di judul: Twhirl.

Kalau boleh sedikit bercerita, tadinya aku berniat menggunakan pengaya untuk perambah firefox yang dinamakan echofon. Namun entah kenapa pengaya ini tidak menyimpan nama penggunaku di twitter. Mengerikan rasanya mengisi lagi dan lagi dan lagi nama pengguna setiap kali menyalakan echofon.

Kemudian, aku mendapati sebuah laman (maaf lupa sama sekali alamatnya) yang membahas beberapa aplikasi yang dipergunakan untuk mengakses twitter di sistem GNU/Linux. Salah satunya ya, twhirl ini.


Tangkapan layar twhirl: Sederhana, tapi lengkap

Penempatan tombol-tombol mungkin perlu pembiasaan pada awalnya. Sedikit kujelaskan bahwa di bagian bawah tersedia tombol-tombol (berturut-turut) untuk memunculkan/menyembunyikan kolom pembaruan status, halaman muka ("home"), balasan tweet(s), pesan yang langsung ditujukan ke pengguna, tweet(s) favorit, daftar kontak, pencarian pengguna, dan pencarian tweet.

Di sisi atas ke kanan lalu ke bawah dari kolom pembaruan status adalah untuk mengaktifkan/tidak penyaring (berbasis kata), penanda "terbaca" pada semua tweets yang masuk, muat ulang, pilihan untuk mengunggah gambar, pemendekan URL, penanda karakter tersisa (ingat, terbatas di 140 ya!), dan tombol pembaruan status.

Antarmukanya, terutama tema warnanya dapat diubah sesuai keinginan. Selain itu, aplikasi ini juga bisa mengirim pembaruan status ke ping.fm dan Jaiku. Sehingga, kalau boleh menilai aplikasi ini dalam satu kata, yang terlintas adalah "sederhana".

Satu hal yang cukup mengganjal (dan memberatkan mungkin untuk kamu-kamu yang tergolong fakir/kikir bandwidth) adalah bahwa aplikasi ini berjalan di atas runtime Adobe AIR. Mengapa demikian? Perhatikan. Untuk GNU/Linux, berkas biner yang harus diunduh sebesar 13,11 MiB. Untuk SO Wind*, 15,4 MiB. Sedangkan MacOSX - tak tanggung-tanggung - 21,5 MiB. Wow...

Tapi, kalau melihat potensi dari AIR ini, yang berusaha memacu para pengembang aplikasi mengembangkan aplikasi internet kaya (rich internet application, RIA), dan semakin dalamnya internet masuk di negeri ini, rasanya besarnya unduhan tersebut (kelak) akan sebanding dengan kegunaannya.


F I N
written on 16. Okt 2009, 21.15 WIB, 22.10 WITA
Please Mr. Postman, send it to her. Quick that she'll be glad I wish.. *blush*


Link

Kamis, 01 Oktober 2009

Antara Padang - Jakarta: Sedikit Cerita

30 September 2009, Petang.

Lepas kuliah yang kembali dilalui dengan twitter-an bersama C650 yang daya baterainya habis, maka meluncurlah aku pulang. Entah mengapa jalan Depok-Pasar Minggu petang itu terasa lebih padat dari biasanya. Tidak ada rata-rata 70-80 km/jam di atas si Putih Merah yang biasanya ditembus dengan agak susah payah.

Sampai di rumah, si bebek sudah masuk kandang, maka masuklah aku ke Rumah. Tiba-tiba saja Ibu berkata, "Mas, Padang berantakan".

Hah?

Tak mengerti aku pada awalnya. Kemudian teralihkan pandanganku ke layar kaca. Eh? "Breaking News"? Ada apa ini?

Tak berapa lama kebingunganku terjawab. Telah terjadi gempa bumi di Sumatera Barat. Ya, yang dimaksud "Padang berantakan" itu nyatalah akhirnya di hadapan mataku melalui layar televisi. Bangunan-bangunan runtuh, dan tanah sepertinya juga terbelah. Kemudian tebersit pertanyaanku.

"Bu, Mak tuo (Bibi/Tante/Budhé/Aunt dalam bahasa Padang) bagaimana?"

"Mak tuo nggak papa, tapi sempat jatuh dari Angkot."

Hah? Sekali lagi diriku dilanda kebingungan. Kemudian akhirnya Ibuku menceritakan bahwa beliau telah menelepon Mak tuo tak lama setelah kejadian. Ternyata pada saat kejadian, Mak tuo sedang menuju ke pasar bersama anak bungsunya. Mungkin saat kendaraan berjalan, tidak terasa getaran gempa tersebut. Tetapi, pada saat hendak turun, barulah terasa getaran itu -- membuat Mak tuo kehilangan keseimbangan.

Meskipun demikian, Mak tuo masih berusaha berdiri, tetapi kemudian terjatuh lagi dan lagi sampai ditenangkan oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka kemudian menjelaskan bahwa tengah terjadi gempa keras, sehingga sebaiknya tidak berdiri dulu khawatir kehilangan keseimbangan. Yang terjadi kemudian, Mak tuo justru menangis, karena anaknya masih di dalam angkot. Waduh...

**

Syukurlah, sejauh ini tidak ada kabar berita duka dari keluarga Ibuku di Padang sana. Meskipun demikian, duka dan doaku kukirimkan khusus untuk 'saudara-saudara' kamu dan aku di sana yang tidak seberuntung keluarga Ibuku. Mudah-mudahan mereka yang ditinggalkan diberikan kekuatan menghadapi bencana/musibah/peringatan [coret yang tidak perlu] ini.

Juga kalau boleh mengingatkan, bagi yang sekadar ingin "Wisata Bencana" ke sana, janganlah. Masih banyak yang perlu ditolong, jadi berikanlah jalan untuk mereka yang mampu dan mau menolong.

--
F I N
01. Okt 2009, 20.09 WIB
Mungkin ini akibat dari motto "Lanjutkan!" ini mengikutsertakan di dalamnya "Lanjutkan semua bencana/musibah/peringatan ini" ya? Entahlah..




Jumat, 18 September 2009

Facebook Lite

11 September 2009 kemarin dapat ditandai sebagai suatu sejarah di dunia Internet. Bukan, ini bukan tentang peringatan kecelakaan dua pesawat yang menumbangkan dua gedung tinggi itu. Ini tentang sebuah situs jaringan sosial/pertemanan yang cukup besar yang diberi nama facebook.

Seperti diberitakan di PCWorld, juga BBC, pengelola situs tersebut akhirnya merilis versi ringan dari situs yang selama ini dikenal berat --sangat berat bahkan untuk pengguna dengan sambungan internet pas-pasan. Versi ringan tersebut --dinamai Facebook Lite-- dapat diakses dengan mengetikkan http://lite.facebook.com. Untuk memberimu sedikit gambaran tentang seperti apa FB --demikian facebook di sini biasa disebut singkat-- Lite ini, berikut kutampilkan tangkapan-layar dari halaman muka FB lite.



Sepintas tak ada yang berbeda terlalu jauh dengan situs utamanya. Gambar balon udara lucu-lucu yang menjadi pengganti gambar peta dunia berjaringan di situs utama. Tulisan lite yang ditambahkan di sisi logo FB, dan form masuk yang digeser lebih ke bawah, bisa menjadi pembeda yang tegas dari situs utama FB.

Nah, setelah mengisi form masuk dengan benar, anda akan dibawa masuk ke halaman muka FB lite. Kali ini, perbedaannya sangat --amat-- besar. FB lite menurutku sangat mengingatkanku pada FB mobile (bukalah m.facebook.com di ponselmu). Berikut ini tangkapan layarnya.



Jauh lebih sederhana, bukan? Tidak ada lagi "Seberapa kenal kamu dengan si XXX?", "Siapa karakter yang mewakili kamu di kartun SpongeBob SquarePants?" yang muncul di halaman muka. Meskipun kadang yang seperti itu memancing senyum, tapi lebih banyak mengesalkannya bagi kaum fakir bandwidth sepertiku.

Satu yang disayangkan --tapi tak terelakkan-- adalah keberadaan iklan. Di sisi kanan, nampak ada iklan salah satu aplikasi permainan dalam FB yang sepertinya cukup populer. Mafia Wars judulnya. Pekan lalu, saat awal diluncurkannya, FB lite hanya mengandung satu macam iklan --meskipun gambarnya berbeda-beda-- yang intinya meminta umpan-balik dari pengguna yang sedang menggunakan FB Lite.

Untuk sekarang ini, apabila aku perlu membuka situs tersebut, aku memilih langsung menuju ke FB Lite daripada membuka situs utama FB yang semakin hari semakin berat. Ayolah, sudah seharusnya bentuk ditentukan oleh fungsi, persis seperti sebuah merk kamera Jerman yang fungsinya mengambil gambar dan tidak disibukkan oleh bermacam tombol: Leica (sialnya harganya --sedikit banyak-- tak masuk akal. Hehe).

Bagimu yang mungkin mulai berpikir meninggalkan ranah per'fesbuk'an, bisa pikirkan kembali. Terkadang dari situs seperti ini bisa didapatkan kembali kontak dengan kawan-kawan yang lama tidak pernah bertemu (aku sendiri menemukan dan kontak kembali dengan kawan-kawan SD-ku). Mungkin FB Lite ini bisa menjadi jawaban pengembang FB dari keragu-raguanmu.

--
F I N
written on 18. Sep 2009, 20:10 WIB
Duh, kartu lebaranku... T_T

NB: Penulis tidak terafiliasi dengan Facebook, kecuali sebagai pengguna yang mendapati FB lite dengan pemangkasan fitur di sana-sini merupakan pengembangan yang 'inovatif' dan 'kreatif'.

Senin, 17 Agustus 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 6: Galeri)

Ini dia, foto-foto yang kujanjikan. Klik pada gambar untuk memperbesar, ya? Gambarnya tentunya, memang apa yang mau diperbesar lagi? :P

Yang merona kemerahan itu dari kombinasi dari si Canny (Canon EOS 500N) + si UCi (Sigma 28-200/3.8-5.6 ASPH UC) + Film Konica Minolta VX 200. Yang tidak merona kemerahan (warnanya lebih cemerlang) itu dari Film Kodak Colorplus 200. Sebagian menggunakan lampu kilat, baik lampu kilat terintegrasi, maupun lampu kilat Vitacon EOS 828 dalam modus manual.

Full team, kecuali Dian (lihat foto berikut)
Berdiri (kiri-kanan) Ardha, Mbak Nurma, Aci (tidak ikut), Hardy, Tri, Aryo, Bonex, Arya (tidak ikut), Mas Ii, Garda
Duduk (ki-ka): Aku, Ilham, Desta, Taufiq (tidak ikut), Buget, Aulia/Ichad, dan Indah


Foto keluarga (lagi)

Di depan Masjid sekeluar pintu Tol Ciawi
Nah, tante yang di sebelah Bonex itu kita angkut di jalan. Namanya Dian ternyata. :D

Masih di depan Masjid yang sama

Makan siang! Tiada jalan-jalan tanpa makan-makan, toh? ;)
Ini di daerah Lido, Sukabumi. Menunya khas Sunda lah, dengan pemandangan Danau Lido yang... [isi sendiri]

Eh.. Pecah Ban!

Tengah malam, pula!

Ini malah foto-foto... Ckckck...

Tidak menyerah.

Tiba juga akhirnya.
Saatnya lapor dulu

Diambil oleh Ichad.
Maaf ya, Chad. Ngatur kecepatannya terlalu rendah sepertinya.

Kumpul di ruangan 'rekreasi'

Kamar tidur

Ini dia kelanjutannya....

Pagi yang indah dari Pendapa

Pagi hari setelahnya
bersiap berjalan ke dalam hutan

BP alias "Research Station" yang 'legendaris'

Pohon tempat mengawali 'canopy trail'
ditutup karena sedang diperbaiki selama musim hujan

Tempat istirahat perdana

Jumpa dengan 'Si Bolang'(s) :D

Begini kira-kira perjalanannya. Penuh guncangan! Hehe..

Biar capai, tetap gaya. ;)

Pos 2

Aryo dan Mbak Nunu @ Pos 2

Sedikit lagi, Ham!

Akhirnya! Tanah lapang dan rata!

Petani yang mengurus sawahnya di kaki bukit

Ternyata namanya Bumi Perkemahan Citalahab

Rombongan, minus Ichad

Lagi, minus Ichad

Dengan seorang anak pembawa kayu bakar (BUKAN Abu Lahab) ;)

Ramai-ramai mandi di Curug Macan

Yang ini abang-adik mau menyusul

Makin ramai. Aku ngambil gambar aja. :D

Latihan kecepatan rana rendah
"look mom, no hands.. Ups.. No tripod maksudnya. Jelek ya?" :">

Mbak Nunu di atas batu

H A B I S

Terima kasih atas kesetiaannya mengikuti seri TNGHS ini. Mudah-mudahan kita dipertemukan pada perjalanan lainnya. Amin... :)

--
F I N
written 'til 18. Aug 2009, 20.25 WIB; 21.25 WITa
Alhamdulillahi...

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 5: Saatnya Pulang)

Sedikit dari seri ini sebelumnya: Perjalanan telah ditempuh, bermalam di Gn Halimun pun sudah. Pagi harinya, kami semua melangkah menjejaki hutan Gn Halimun yang sejuk. Perjalanan pun berakhir di Curug Macan, yang konon merupakan tempat peristirahatan harimau.

***

Di tepi sungai aku berlompatan, mencari titik-titik yang (kurasa) indah diabadikan dalam selembar potret. Sementara, di seberangnya, dan di tengah sungai yang berarus cukup deras itu, kawan-kawanku menikmati sejuknya air yang deras mengalir. Sungai itu juga saksi hilangnya baju kaus kawanku, Bonex.

Jadi ceritanya bermula dari permainan di sungai itu, permainan sederhana yang menggembirakan hati. Satu persatu kawan-kawanku 'menghanyutkan' diri dalam arus sungai itu sampai sekitar sepuluhan meter ke hilir, untuk kemudian berenang kembali ke tempat mereka 'menghanyutkan diri'. Bonex, di sesi itu, melepaskan baju kausnya, bermain-main tentu saja. Kemudian, waktu berlalu, dan saat kami memutuskan untuk menyudahi perjumpaan dengan alam di Curug Macan itu. Saat itulah baru disadari baju kaus Bonex hilang. Mungkin sudah jauh ke hilir saat kami menyadarinya. :P

Jadilah kami pulang -- Bonex terpaksa berjaket saja -- kembali ke wisma tamu. Ternyata saudara-saudara, perjalanan dari persimpangan menuju Curug Macan ke wisma tamu itu tak lebih dari sepelemparan batu saja. Jadi hanya sekitar beberapa puluh meter mungkin, kami menemui jembatan yang menyeberangi sungai, dan di seberang langsung tampak balai penelitian dan wisma tamu berdiri di puncak bukitnya.

Ketika aku sudah sampai di atas (capai juga mendaki jalan miring menuju ke BP), aku mendengar ribut-ribut dari bawah, dari kawan-kawan yang belum tiba di halaman BP. Ternyata, Indah dengan tidak sengaja menginjak ular. Kecil memang ularnya, tetapi cukup mengagetkan juga. Syukurlah (atau Astaghfirullah?) ular itu terinjak sampai menemui ajalnya. Maaf ya, ular.. Semoga amal ibadahmu diterima di sisiNya, amin.. (ayuh, mengheningkan cipta sebentar! Hehehe). Dan, sesampainya di BP. Ternyata ada seekor hewan yang diduga pacet kecil di sandal Ichad. Dengan sedikit banyak usaha (dan air yang dialirkan lewat selang) akhirnya lepas pulalah hewan tersebut.

Nah... Berhubung hari semakin beranjak siang, dan rencananya siang itu kami pulang kembali ke kediaman masing-masing, belum lagi ditambah hiking yang cukup singkat di dalam hutan Halimun, maka satu hal jelas kami perlukan: Mandi!

Ini dia masalahnya. Hari sebelumnya kami tiba malam. Sangat malam malah, sehingga sudah tidak memungkinkan mandi karena tidak ada fasilitas pemanas air di sana (kecuali kompor gas dan ceret/ketel). Sedangkan pagi harinya, kami sebagian besar langsung bersiap berangkat hiking, sehingga juga tidak sempat mandi.

Jadilah, sepulang dari hutan, kami harus mengantri mandi seperti antri BLT. Yah, tidak sepenuhnya begitu sih, karena sebagian yang sedang menunggu mandi malah asyik bermain kartu dulu, membuat makan (terutama mi instan), minuman (susu sepertinya laris pagi itu).

Langsung saja, karena memang tidak perlu diceritakan bagian mandi yang juga diwarnai dengan saling sela giliran, kami pun akhirnya siap sedia untuk pulang. Tak dinyana, saat akmi sedang bersiap-siap pulang itu, datang sepasang sejoli (hehehe) Ochim dan Adi alias Bokop. Ternyata, mereka tiba di Halimun sekitar satu-dua jam setelah kami. Coba bayangkan berapa jauh tersasarnya kami karena mereka berangkat jauh di belakang kami dan mengendarai sepeda motor pula! Ini memang Mas Ii' terlalu... :D

Nah, cerita mereka, malam itu mereka pun menginaplah di salah satu rumah penduduk di kaki gunung, karena malam telah larut dan penerangan pun hampir tidak ada di jalan yang menembus hutan. Hebatnya, pada saat yang sama kami berjalan menempuh hutan, mereka masih tidur! Haha.. Maklumlah, perjalanan bermobil saja sedemikian melelahkannya (tidak termasuk tersesatnya itu), apalagi dengan sepeda motor?

Akhirnya kami pun berpamitan dengan A' Iwan, juga rekan-rekan lainnya di BP. Kami diberitahukan jalan yang dikabarkan lebih singkat daripada berputar kembali ke Parung Kuda. Menurut rekan-rekan di BP, jalan satu itu (melewati perkebunan teh) memanjang sampai ke Bogor. Jelas pemendekan yang kentara.

Nah, setelah pamit dan berdoa sebelum pulang, kami pun berangkatlah, dengan didahului voorijder Ochim dan Bokop di atas sepeda motor. Medan yang kami lalui lebih kurang masih sama dengan pendakian kemarin malamnya: Batu-batu sekepalan tangan di atas tanah yang berlumpur selepas basah.

Sekali lagi, ya betul sekali lagi, mobil yang Mas Ii' kemudikan mengalami kendala saat mendaki di tengah-tengah perkebunan. Dengan usaha yang lumayan, akhirnya keluar jualah mobil berpenggerak roda depan tersebut. Setelah lama kemudian (ya, kamu tidak salah baca. LAMA!), sampai aku yang duduk di belakang harus makan hati (eh, masih punya hati untuk dimakan nggak ya?) melihat Garda dan Indah sama-sama nyenyak dan beberapa kali hampir beradu kepala, akhirnya kami keluar juga dari jalan yang menembus perkebunan teh menuju jalan yang 'berperikemobilan' (baca: diaspal).

Nah, di jalan ini, kami yang ada bersama Mas Ii' yang mengemudi di belakang mobil yang dikemudikan Desta menyaksikan ketangguhan Desta 'menaklukkan lika-liku jalan aspal di tengah-tengah rimbun pepohonan itu. Wuih.. Kalau ditambah dengan drifting dan kecepatannya sedikit lagi, kurasa Desta punya potensi mengalahkan Rifat Sungkar Cs. di ajang reli mobil, hehehe.. Yak, di jalan yang lumayan mulus itu pula Ochim dan Bokop bisa jauh meninggalkan kami di depan. Untuk waktu yang cukup lama...

Jalan yang kami lalui ternyata menuju Bogor, melalui um, melalui... Umm... Pongkor? Entahlah, aku lupa-lupa ingat. Maklum tulisan baru turun lebih empat bulan dari perjalanan. Maaf ya.

Nah, di kaki gunung Halimun (yang lain), kami akhirnya dapat menjumpai kembali Bokop dan Ochim. Kali ini dalam keadaan yang tidak begitu baik. Ban motor yang mereka tumpangi pecah. Kami pun berhenti sejenak di dekat penambal ban yang tengah mereka pinjam jasanya. Tak berapa lama kami berhenti, karena kami harus meneruskan perjalanan seiring hari yang beranjak senja. Ochim dan Bokop akan menyusul nanti setelah ban sepeda motor itu selesai diperbaiki.

Tak banyak yang bisa kuceritakan lagi selain dua mobil yang kami tumpangi berpisah di suatu tempat di Bogor, karena Mas Ii' akan menempuh Jalan Raya Bogor (yang membentang terus ke utara menuju Jakarta), dan Desta mengambil jalur Tol Bogor-Jakarta.

Kami tiba di Depok saat waktu Maghrib sudah setengah Isya', dan kami pun akhirnya berpisah di halaman parkir sebuah rumah makan di Jalan Margonda, Depok.

Takkan pernah bisa kulupakan, pendakian kami dengan mobil menuju lokasi penginapan di Gn. Halimun, menjumpai jamur yang bersinar dalam kegelapan, menghirup udara segar khas pagi hari pegunungan, melangkah dalam hutan Gn. Halimun yang lembab, hingga mengagumi megahnya Curug Macan.

Sekian dariku, mohon maaf atas keterlambatan laporannya (ehm.. LIMA bulan???) dan terima kasih banyak telah mengikuti sepotong memori perjalanan kami saat itu. Setelah ini, izinkan aku mempersembahkan keindahan Gn. Halimun yang sempat terekam dalam gambar. Terima kasih banyak. :)


F I N
written 'til 17. Aug 2009, 20.00 WIB
It's always F U N being surrounded by friends. ^_^

Selasa, 12 Mei 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 4: Menerabas Hutan)

Ringkasan cerita sebelumnya: Perjalanan "panjang" Jakarta (Depok) - Cikaniki akhirnya berhasil kami tempuh. Setibanya di BP Cikaniki, kami diantar menuju kekaguman pertama kami pada alam: jamur yang menyala dalam gelap. Selepas itu, dan setelah bercengkerama sebentar, kami pun beristirahat untuk perjalanan keesokan paginya.

**

Hutan Perawan Halimun
Jangan salah sangka dengan anak judulnya yah.. Hehe.

Pagi harinya, tidak serentak kami terbangun dari tidur. Mas Ii', di satu pihak, termasuk golongan awal, dan memanfaatkannya untuk menangkap momen beberapa dari kami yang masih terlelap. Dasar iseng!

Kemudian, selepas Shalat Shubuh, mulailah energi merayapi kabin itu, membuka mata kami sedikit demi sedikit. Aktivitas pertama: Air, tentu saja. Merebus air boleh dikata menjadi pengawal hari kami. Banyak gunanya, tentu, tapi untuk memulai hari, bagi beberapa orang, tidak ada yang lebih nikmat daripada kopi. Jadilah air panas yang cepat mendingin itu digunakan untuk menyeduh kopi, susu, maupun juga teh.

Mandi? Sepertinya belum deh. Saat pintu menuju 'aula' terbuka di luar dibuka, udara dingin cepat merebak ke dalam. Jadilah sebagian besar kami tidak mandi pagi itu. Kemudian, setelah minum-minum (kopi, teh, juga susu, hehe..) mulailah aroma mi instan menguar mengisi ruangan itu. Hmm... Sedap.. (Ups.. Bukan iklan kok).

Satu hal yang setidaknya kurasa berkesan, adalah ketika Desta 'memasak' "Nasi Ajaib". Kenapa "Nasi Ajaib", karena memang begitulah rasanya. Agak amburadul, dan penyajiannya pun... Hihihihihi.... Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Sekitar pukul 8 WIB (atau pukul 9 WIB ya?) kami bersiap-siap berangkat menerabas hutan. Seperti biasa, sebelum berangkat, kami dikumpulkan di depan BP, untuk terlebih dahulu berdoa dan tak lupa berfoto, tentu saja. :D. A' Iwan sendiri, sedikit terkejut karena penampilan sebagian besar kami tidak seperti hendak naik gunung melewati pepohonan. Coba saja, di tengah hutan yang belum banyak terjamah manusia (ehm, berlebihan lagi), dan ada berbagai hewan dari berbagai ukuran, Garda cs dengan santainya bercelana pendek dan berkaus T lengan pendek, bersandal jepit pula! Aku sendiri mengenakan celana training panjang, bersepatu dan kaus kaki, kaus dan jaket. Tak ketinggalan kubawa kesayanganku si Kenny (Kamera Canon EOS 500N beserta lensa 28-200 dari Sigma) yang sudah terisi film, dan kaki penyokongnya (yang akhirnya tidak terpakai juga). :'(. Meskipun demikian, A' Iwan pada akhirnya setuju membawa kami melalui jalur Citalahab (umm betulkah? Duh, lupa!).

Setelah berdoa, kami pun berangkatlah. Satu demi satu meniti tangga melalui jalur yang kami lalui malam sebelumnya. Ternyata pemandangan yang tersedia jauh lebih indah daripada malam sebelumnya, saat perhatian hanya tertuju pada jamur yang menyala di kegelapan hutan (lihat tulisan sebelumnya). Pagi itu, matahari yang sinarnya menerobos celah-celah puncak dedaunan menyinari sela-sela pepohonan. Di sisi kanan sesekali terlihat sungai yang mengalir cukup deras. Suaranya menyejukkan hati rasanya.

Tak berapa lama, kami pun sampailah di bawah tangga naik (scaffolding, kalau kata Dian) menuju Canopy Trail. Sayang sekali, karena kalender masih menunjuk bulan Maret, hujan masih sering menerpa. Selain itu, ternyata sedang diadakan perbaikan sehingga jalur melalui kanopi hutan itu baru dapat dipergunakan beberapa bulan setelah kami datang. Di bawah tangga tersebut kami ditunjukkan kembali jamur yang, pada siang hari, tidak menarik sama sekali. Warna jamur tersebut putih, tumbuh di sisa ranting pepohonan yang ada di lantai hutan itu.

Kemudian, kami pun berjalan lagi sampai beberapa meter kemudian, kami mendapati sisi jalan sebelah kanan tampak gembur, selayaknya tanah habis dicangkul. Ternyata, bekas yang memanjang tersebut adalah jejak dari babi hutan, yang merupakan hewan nokturnal (aktif pada malam hari). Memang terlihat bahwa jejak tersebut masih relatif baru, dengan tanah gembur yang masih cukup terlihat basah. Sayangnya kami tidak cukup beruntung untuk mendapati hewan tersebut berkeliaran di dalam hutan.

Tak berapa berjalan, A' Iwan kembali mengajak kami berhenti sejenak. Beliau kemudian menunjukkan sebatang pohon serupa talas, yang batangnya dapat dimakan. Seperti sayur untuk lalap, batang dari tanaman ini dapat dimakan langsung dari alam. Luar biasa memang, Dia tidak akan membiarkan satu pun makhlukNya tanpa rizki. Bahkan di tengah hutan yang seolah-olah, untuk sebagian penghuni kota besar sepertiku, tidak ada makanan untuk dimakan. Betul adanya bahwa ilmu yang tepat diperlukan agar kita bisa bertahan hidup.

Kemudian, setelah berjalan lagi ke depan, ada hambatan yang cukup lama juga menghentikan kami. Ternyata ada pohon yang baru tumbang dan belum dipindahkan. Wahh.. Sempat kami ditawarkan untuk kembali saja ke wisma tamu, tetapi kami akhirnya memutuskan menempuh batang-batang pohon yang garis tengahnya kira-kira sebesar guling di kamarmu. Cukup sulit, memang, terutama untuk kawan-kawanku yang bersandal jepit untuk 'berakrobat' melangkahi pohon sembari mencari pegangan dan pijakan yang kukuh, tetapi lima menit kemudian, hambatan pohon itu pun dapat pula kami lalui.

Setelah dari situ, kami terus berjalan, masih teriring deru sungai mengalir di kanan bawah kami, namun kali ini juga ditimpali suara-suara kicau burung, juga sesekali sepertinya terdengar suara primata khas TNGHS: Owa Jawa (Hylobates moloch). Suara-suara itu ditimpali juga oleh tawa riang kami, yang tanpa terasa telah berjalan beberapa hektometer (ehm, mudahnya beberapa ratus meter).

Kami pun sekali lagi menjumpai arung-arungan (bagian sungai dangkal tempat orang menyeberang, atau ford). Kali ini sedikit lebih lebar, dan kami pun menyempatkan diri sedikit mencuci tangan, sandal, wajah, dan apapun yang bisa dicuci (berlebihan.. :D) di sana. Menurut A' Iwan, aliran sungai yang kami lewati itu adalah sungai yang mengaliri mata air "pegunungan" perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) merk "A". Sialnya, A' Iwan menyatakan itu setelah Ilham membuang dahak di situ. Sontak dahak Ilham pun menjadi bahan olok-olok selama beberapa ratus meter perjalanan kemudian (termasuk di dalamnya pernyataan, "Wah, Ham.. Elo ngeracunin "A", loh.. Parah banget!).

Beberapa langkah melewati arungan itu, kami diarahkan melihat sebuah lubang di tanah. Lubang yang tidak seberapa besarnya (mulut lubang itu hanya sekepalan tangan, kalau tidak salah). Menurut pemandu kami yang luar biasa, itu adalah sarang dari ular. Ular kobra tepatnya. Bersyukur juga kami tidak menemukan penghuni liang itu. Sejenak beberapa dari kami mengambil gambar liang tersebut, sebelum kami melanjutkan perjalanan.

Jalur yang kami lalui berikutnya adalah jalur mendaki. Harus berhati-hati, karena lantai hutan masih cukup licin sisa hujan malam-malam sebelumnya. Beberapa meter ke depan, kami ditunjukkan sebatang pohon yang besar -- sangat besar malah. Lingkar pohon itu baru dapat digapai oleh setidaknya tiga orang merentangkan kedua tangannya memeluk pohon itu. Besar, bukan? Kalau tidak salah, pohon itu adalah pohon rasamala.


Si Bolang (I)

Lepas dari pesona pohon tersebut, kami pun berjalan lagi, sampai kemudian tibalah di tempat peristirahatan pertama. Tempat peristirahatan berupa kursi-kursi dan meja batu á la masa purbakala (berlebihan.. :D). Di situ, kami membuka bekal air minum yang telah kami siapkan, dan duduk sejenak meluruskan kaki. Di HM 15 (seingatku, hehe..) itu kami dilewati oleh empat orang anak yang bertelanjang kaki, berkaus, dan bercelana pendek, serta membawa joran.

Cara mereka melangkah di kedalaman hutan itu benar-benar berbeda dengan kami -- yang sebagian telah bernafas tersengal menempuh jarak sedemikian. Anak-anak tersebut berjalan cepat, dan perlu diingat: bertelanjang kaki pula! Luar biasa. Bersyukur aku sempat mengabadikan empat anak tersebut (dari belakang, sayangnya) dalam foto. Kami sepakat memanggil anak-anak itu si Bolang, mengacu pada sebuah acara televisi tentang anak-anak yang mahir 'bercanda' dengan alam.

Oh iya... Foto-fotonya ya? Nanti, di akhir perjalanan tulisan ini akan kutempatkan dalam satu tempat tersendiri, jadi sabar menanti ya?

Setelah beberapa tegukan air dan jepretan rana, kami pun berangkatlah kembali. Medan yang kami lalui masih belum berubah, mendaki, meskipun terkadang menurun, di jalan tanah sela-sela rimbun pepohonan.

Sampai beberapa hm kemudian, kami berhenti lagi. Selain untuk beristirahat, kami juga berharap dapat menyaksikan Owa jawa atau kerabatnya. Sayang sekali kami tidak beruntung hari itu. Tidak seekor kucing pun melintasi jalan yang kami lalui. Jadilah kami meneruskan lagi perjalanan.

Jalan yang kami lalui semakin menantang. 'Jalan' tanah yang tadinya masih nampak kemudian 'terputus' karena diselingi aliran sungai kecil. Jalan yang ada kemudian berganti dengan batu besar yang menempel di dinding tebing maupun di dasar sungai yang tak dalam itu. Jalan itu hanya cukup untuk seorang, dan itu menjelaskan mengapa A' Iwan terkejut dengan kenekatan beberapa dari kami yang hanya bersandal jepit karet untuk menembus hutan itu. Meski demikian, kami dapat pula melewati 'rintangan' tersebut, meskipun harus berjalan satu demi satu melewatinya.

Tanpa terasa, jalan mulai terasa menurun, selain itu, bebatuan yang tadinya bertaburan di lantai hutan mulai menghilang meninggalkan tanah merah yang sebagiannya berlumpur sisa hujan. Akhirnya jalan menurun itu pun semakin curam dan, mengutip Aryo dan Buged, lebih sulit dituruni daripada mendaki jalan yang naik. Syukurlah ada akar pepohonan yang menyembul di kanan-kiri kami, juga di lantai hutan yang bisa mencegah kami meluncur deras ke bawah. Di jalan itu beberapa dari kami sempat terpeleset karena licinnya.

Lepas dari jalan menurun itu, keadaan menjadi lebih baik. Setidaknya cukup datar untuk kami bisa mempercepat langkah. Sampai akhirnya....

...

Tibalah kami di sebuah tanah lapang, di kaki bukit di tepi sawah. Di tengah sawah tersebut ada seorang petani sedang mengurus sawahnya. Pemandangan yang indah dan menyejukkan. Tapi bagi yang lain, tentu saja... Foto-foto! Haha.. (Seperti kukatakan sebelumnya, foto-fotonya setelah semua tulisan ini selesai yah.. Katanya, orang sabar disayang Tuhan). :P

Sempat juga selembar (yah, selembar virtual dan negatif saja) kuabadikan, dan hasilnya tak buruk menurutku. Nanti dulu yah..

**

Curug Macan

Tempat itu bernama Citalahab. Di tepi lapang itu terpampang namanya jelas, yang memberitakan pada pengunjung tentang keberadaan Bumi Perkemahan di daerah situ. Selain itu, menurut A' Iwan, daerah Citalahab ini juga merupakan perkebunan teh. Benar adanya memang, karena hampir sejauh mata memandang, yang nampak adalah punggung bukit yang hijau ditanami pohon teh yang rendah.

Dari lapang itu kami berencana melanjutkan ke Curug (Air Terjun, bs. Sunda) Macan. Sebelum memulai kembali perjalanan, kami menumpang istirahat meluruskan kaki di rumah penduduk di situ.

Setelah beberapa tegukan air (halah) kami pun siap melangkah kembali. Perjalanan kali ini kembali mendaki, namun jalan tanah sudah dilapisi dengan batuan yang besarnya sekepalan tangan. Jalan kali ini cukup lebar untuk dilalui truk kecil, yang -- meskipun kami tidak cukup beruntung melihatnya (sekaligus
untuk menumpang, hehe) -- semestinya sering bolak-balik mengangkut hasil bumi yang sedap dinikmati selagi hangat ini.

Jalan mendaki terus, sampai akhirnya tiba kami di semacam percabangan jalan. Curug, mm.. Apa namanya ya? Curug Piit mungkin ya? Aku lupa tepatnya, mendaki ke kiri, sedangkan jalan ke kanan mulai menurun. Di percabangan jalan ini, ada bangunan tak berdinding yang ditopang tiang kayu. Pada bangunan inilah, entah bagaimana caranya, bisa didapatkan sinyal telepon seluler. Apes bagiku, daya pada bateraiku telah lama habis, dan tidak pula aku membawa pengisi ulang daya. Jadilah aku cuma bisa melihat dan mendengar Dian (atau Desta, ya?) menelepon entah-siapa di sana.

Yang unik, sinyal telepon seluler di sana hanya bisa didapatkan bila kita mendekat ke salah satu dari tiang manapun pada bangunan itu. Benar-benar aneh!

Setelah (sekali lagi) beristirahat dan berfoto-foto, kami pun meneruskan perjalanan melintasi Kebun Teh Nirmala itu. Pemandangan yang hijau dan luas bisa sedikit mengobati kaki yang terantuk batu sepanjang jalan itu.

Di jalan itulah kami menemui lagi seorang anak yang membawa seikat ranting kayu. Jangan salah, biarpun kelihatannya tidak seberapa, tetapi tetap bisa membuat seorang Buged terkejut saat pertama mencoba mengangkatnya. Memang terlatih, anak itu. Tetapi sekali lagi, kami menyempatkan diri berfoto dengan dia. "Pelajaran" komunikasi kami terapkan dengan memberi anak itu oleh-oleh: sebungkus biskuit wafer. :D

Lalu, setelah selesai dengan sesi foto-foto tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, sinar mentari mulai terasa makin sejuk. Rupa-rupanya, pepohonan mulai melingkupi kepala-kepala kami. Sepertinya perkebunan teh ini sudah berakhir di situ, dan berganti dengan hutan kembali, lengkap dengan pohon-pohon besarnya.

Kami pun tibalah di mulut sebuah jalan kecil (lagi) yang di depannya ada papan bertanda panah bertuliskan "Curug Macan". Konon kabarnya, nama tersebut diberikan karena dahulu air terjun tersebut adalah tempat macan (harimau) mandi. Hiyy... Seram sekali kedengarannya, tetapi tenang saja, sekarang harimau sudah semakin sulit ditemui, jadi Curug Macan tersebut dapat dikunjungi tanpa perlu terlalu was-was. Meski demikian, kesulitan menemukan macan itu adalah hal yang baik atau tidak, aku tak tahu.

Jalan yang kami lalui lebih kurang serupa dengan saat kami menerabas hutan Gn. Halimun sebelumnya, dengan akar pohon yang berkelit berkelindan dan membuat kami harus membuat langkah besar melewatinya. Jalan tanah yang basah, juga berlumut. Dan pepohonan rimbun di kiri-kanan kami. Yang membedakan mungkin hanya suara gemericik air terdengar sayup-sayup di sana, dan semakin deras terdengar seiring langkah kami yang semakin mendekat ke curug tersebut. Hingga akhirnya....

Pemandangan indah tersaji di depan kami. Air yang mengalir dari ketinggian lebih kurang 10 meter dari permukaan deras menghujam bebatuan di bawahnya. Memisahkan kami dari cantiknya air terjun itu adalah satu aliran sungai, lebar kuperkirakan 5 meter, dan kedalaman sekitar setengah sampai satu meter. Arusnya tidak terlalu deras, syukurlah.

Langsung saja, satu persatu kami menyeberangi aliran sungai tersebut. Aku? Sekali itu aku menjadi kucing: Takut air. :D. Habis, bagaimana lagi, salah satu tujuan utamaku ikut serta ini adalah motret. Itu sebabnya aku yang paling lengkap datang ke air terjun itu: kaus, celana panjang training, jaket, tripod, kamera, dan sepatu. :P

Jadilah aku lompat sana-sini memotret beberapa tempat dengan sisa frame yang ada di film tinggal < 10.

BERSAMBUNG (lagi)
written until 25. Jun, 2009




Jumat, 08 Mei 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 3: BP Cikaniki)

Ringkasan cerita sebelumnya: Perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terus berlanjut, meski malam kian larut. Saat ini, sudah tiada kata kembali. Perjalanan ini harus diteruskan!

**

Saat itu, kalau tidak salah, waktu berada pada 22.00 WIB. Jalan yang kami lalui -- menurut Garda -- melalui beberapa gunung, mengingat jalan itu berganti-ganti mendaki dan menurun. Lagu-lagu terus mengalun, kembali dan kembali lagi ke lagu pertama yang ada di pemutar musik di mobil Mas Ii', mengiringi kami menembus kelamnya malam.

Pada suatu jalan menurun, kami dikejutkan dengan berhenti mendadaknya mobil depan. Ternyata, ada truk yang mengalami masalah, sehingga kami harus mundur beberapa meter. Namun itu tak seberapa dibanding kejadian yang menimpa kami beberapa saat kemudian.

Jalan yang kami lalui masih sama, berbatu besar sekepalan tangan dan cukup licin karena ada lumpur sisa hujan hari-hari sebelumnya. Di tengah-tengah diamnya kami, Garda lalu berujar, gurauan spontan saja sebenarnya, "Wah, kayaknya kalo ban pecah (atau kempes ya? --Pen.) di sini bakal seru, nih!"

Coba tebak apa yang terjadi? Haha.. Kalau kamu mengira kami terus terbang mencapai Balai Penelitian (BP) Cikaniki, maka kamu SALAH besar! xD

Yang terjadi berikutnya adalah tiba-tiba saja ada suara seperti letupan kecil, dan kemudian terdengar desis dari ban kiri depan, dan suara klakson dari Mas Ii' untuk meminta bantuan mobil depan. Hahaha..


Pecah Ban

Jadilah kemudian Mas Ii' menepikan mobilnya (meskipun hampir pasti takkan ada kendaraan yang lalu lalang di jalur itu, pada malam selarut itu juga). Kemudian dibantu Arda, Aryo, Ilham, Ichad, serta A' Iwan, mulailah prosesi penggantian ban darurat di tengah hutan Gn. Halimun itu. Jangan bayangkan prosesi ini akan berjalan seperti proses pit-stop ajang balap mobil formula satu, tentu saja. Yang terjadi malah dongkrak yang tersimpan di mobil Mas Ii' tidak dapat bekerja dengan baik, sehingga berakrobatlah tim 'mekanik dadakan' itu dengan dongkrak di mobil Desta yang memang tidak dirancang untuk mobil yang Mas Ii' kemudikan.

Jadilah sekitar setengah jam itu -- kan sudah kubilang, pit-stop balap mobil formula satu itu seperti mimpi -- dilalui dengan proses penggantian ban. Hanya satu, padahal! :D. Tapi tentu saja, tak ada kata menganggur bagi peserta putri. Foto-foto, tentu saja, haha.. Di setiap kesulitan selalu teriring keceriaan kok. :)

Kemudian, setelah penggantian ban selesai, lanjutlah kami berkendara di punggung bukit kabut itu (tentu kamu tahu kan, kalau halimun itu kabut.. ^_^). Dalam perjalanan, Desta di mobil depan mengemudi luar biasa hebat. Jalan berbatu dilahap seolah dengan mudahnya. Sedangkan Mas Ii' di mobil belakang, harus berjibaku mengatasi kehilangan cengkeraman roda karena bagian belakang yang berat. Memang terbukti beberapa kali sebagian penumpang mobil Mas Ii' harus turun untuk 'meringankan beban' sekaligus memberi sedikit dorongan pada mobil Honda CR-V warna logam perak tersebut.

Setelah beberapa lama perjalanan, rasanya mataku berat. Berpegang di sisi atap bagian belakang mobil, aku perlahan-lahan mulai dibelai kantuk. Tak berapa lama, aku pun tak sadarkan diri... (hahaha.. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kantuk itu murni karena kelelahan meringkuk di baris belakang bangku mobil Mas Ii' itu kok).

*********

Perlahan (atau tiba-tiba ya? Sepertinya lebih ke tiba-tiba deh) aku pun terbangun. Yang sedang terjadi, mobil sedang mendaki lereng yang cukup curam, tapi tak berbatu. Di atas lereng itu, ada tempat datar untuk memarkir mobil, dan di belakangnya -- coba tebak -- "RESEARCH STATION". Eh.. Inikah tempat yang kami tuju? Inikah Balai Penelitian Cikaniki yang legendaris itu? (hehe.. berlebihan lagi..)

Ya, akhirnya tibalah juga kami di sana. Waktu saat itu menunjukkan pukul 23.00 WIB, lebih kurang 12 jam dari saat kami berangkat. Wow.. Empat kali lipat waktu yang diperkirakan Mas Ii'. Hihihi.. Kali lain, Lebih baik mungkin menelepon langsung ke kantor pengelola ya? Lebih aman.

Apapun itu, kami di sana disambut empat orang
(kalau tidak salah ingat) di Pos tersebut. Kami kemudian diajak masuk ke dalam, setelah sebelumnya menaiki sebelas anak tangga kayu. Di dalam, kami 'disambut oleh seekor kumbang badak (setahuku itu namanya). Bukan kumbang badak biasa, maksudku, tentu kamu tahu kumbang yang serupa badak bercula satu, dengan satu tanduk di depan, atau kumbang yang bertanduk dua, seperti gunting/penjepit. Nah, kumbang yang kami lihat ini sangat istimewa -- setidaknya baru pertama kali dan mungkin yang terakhir kulihat seumur hidup. kumbang tersebut bercula tiga. Perpaduan sempurna kumbang badak bercula satu (mencuat ke depan) ditambah dua lagi yang mencuat ke sisi tubuhnya. Luar biasa Dia yang menciptakannya.

Selain pemandangan unik itu, di dinding-dinding ruang 'kantor' itu ditempeli pelbagai poster mengenai bahaya kebakaran hutan, macan tutul, anggrek, dan sebagainya. Di ruangan itu kedatangan kami dicatat, dan kemudian kami diantar ke mes tamu, sebuah bangunan yang terhubung dengan kantor oleh sebuah selasar dan beruang tiga.

Di dalam, langsung kami menuju satu-satunya kamar yang kami sewa (SATU? untuk ber-, umm... enambelas? Percayalah.. Hehehe). Setelah 'bongkar muat', kami mulailah menyebar di ruang makan/duduk/dapur, duduk di kursi-kursi yang tersedia. Lumayan, istirahat setelah perjalanan melalui medan berat mendaki punggung gunung Halimun itu.


Jamur

Setelah pembongkaran muatan dan duduk-duduk sekadar meluruskan kaki itu, akhirnya datang kembalilah A' Iwan itu. Beliau menawarkan pada kami untuk berjalan keluar sebentar, untuk melihat jamur. "Hah? Jamur?" Itu yang kupikir pertama kali. Apa yang luar biasa dari jamur yang bisa memaksaku keluar jelang tengah malam seperti itu? Entahlah, yang jelas kami semua langsung bersiap-siap untuk masuk ke hutan (meskipun sebelumnya baru menempuh perjalanan menjelajah hutan :D).

Setelah semuanya siap, kami pun dikumpulkan di tempat parkir di depan pos penelitian itu. Sedikit briefing, terutama masalah keamanan dan keselamatan, kemudian diikuti dengan doa mengawali perjalanan kami mendaki tangga menuju ke belakang pos itu. Anak tangganya licin, jejak hujan sepertinya, juga ada yang berlubang di sana-sini. Lima menit saja kami mendaki sebelum tangga batu itu berakhir, membuka ke jalan tanah setapak yang diapit pepohonan rimbun.

Ke sana kami berjalan, satu per satu masuk dengan bimbingan A' Iwan di depan, dengan senter di tangan. Beberapa (puluh) meter masuk, kami berjumpa dengan sebuah aliran sungai kecil. Airnya jernih (kalau diterangi senter.. :P), tenang dan dingin. Tidak, tidak. Sungai itu tidak seberapa lebar. Hanya sekitar tiga-empat meter saja, dan ada beberapa batu di tengahnya. Dengan berpijak pada bebatuan itulah kami melintasi sungai itu.

Jalan yang kami lalui masih berupa tanah, dan beberapa bagiannya malah menjadi lumpur. Sisa hujan beberapa hari sebelumnya, sepertinya. Bagian itu yang -- menurut A' Iwan -- sebisa mungkin dihindari karena diduga menjadi tempat bersarangnya pacet. Jadilah kami berjalan sehati-hati mungkin di tengah kelamnya malam.

Beberapa puluh meter kemudian, di dekat sebatang pohon tinggi yang merupakan salah satu 'tonggak' untuk objek wisata "canopy trail" -- secara harfiah berarti jalur kanopi, sedangkan kanopi sendiri dapat diartikan puncak hutan. Di sana kami dikumpulkan kembali, dan diperlihatkan sesuatu. Sesuatu itu ada di balik belukar. Ya, itulah jamur yang dimaksud, dan yang istimewa, jamur tersebut memendarkan cahaya hijau redup di tengah kegelapan malam. Sekedar pengetahuanmu saja, fenomena ini (kemungkinan) disebut fosforesensi. Kemungkinan jamur ini (dari sedikit pencarian beberapa bulan setelah pendakian, hehe..) Mycena citricolor. Meskipun jamur ini terlihat menarik, jamur ini tidak dapat dimakan. Masih menurut A' Iwan, jamur ini tergolong spesi jamur yang beracun. Wahh.. Lumayan menambah pengetahuan juga ternyata.. Tidak sia-sialah, pokoknya, kami keluar wisma tamu malam itu.

Setelah dari situ, perjalanan kembali terasa lebih ringan. Satu hal yang jelas, formasi barisan kembali adalah kebalikan dari barisan berangkat. A' Iwan di belakang, kemudian Mas I', Hardy, dan seterusnya dan seterusnya (gelap, euy! Ngga kelihatan!). Sesampai di mulut hutan itu, di hulu tangga yang sebelumnya kami daki, kami berhenti. A' Iwan mengajak kami berbelok jalan. jalan yang satu itu langsung terhubung dengan bagian belakang wisma tamu. Di situ ada 'kebun' tanaman obat, bersisian dengan 'kebun' anggrek (percayalah, sepetak lahan itu memang diberi judul 'kebun', meskipun lokasinya di tepi hutan).

Di belakang itu kami mencuci kaki, sembari memeriksa kaki masing-masing kalau-kalau ada makhluk kecil pengisap darah -- pacet -- itu. Keran dibuka, kaki dibasuh, dan diamati. Syukurlah tak ada pacet yang dimaksud itu di kaki kami semua.


UNO!

Setelah kami beristirahat sebentar, mulailah aktivitas 'rumahan' kami dimulai. Yang pertama dan yang paling penting sudah jelas: Air. Bahkan, orang bilang kalau "kehidupan dimulai dari air", bukan? Jadi mulailah kami memasak air, sembari membongkar logistik yang ada: kopi instan, susu bubuk, juga mi instan. Setelah air masak, mulai meluncurlah gelas-gelas berisi kopi (kurang) wangi, susu lezat, juga mangkuk-mangkuk bermuatan mi instan hangat. Hmmm... Nyam nyam...

Aku sendiri memilih susu, biarpun membawa kopi, karena tidak sanggup minum kopi (detak jantung, dan semuanyalah). Kemudian, mulailah digelar permainan di atas meja makan. Satu permainan kesayangan metal'ers: Gaple (domino). Hehehe... Begitulah, sudah jauh-jauh ke puncak gunung, kehilangan sinyal telepon seluler, jauh dari mana-mana, tapi tetap, gaple harus jalan terus. Duduk mengelilingi meja ada Bonex, Desta, Ichad, dan.. (aduh, aku lupa.. Maaf, maaf..). Sementara itu, yang lain menikmati sedapnya mi instan, makanan ringan dan lainnya di atas tikar yang digelar di tengah-tengah ruangan.

Kemudian, setelah beberapa lama tanpa kegiatan pasti, akhirnya Indah membuka kartu. Membuka kartu dalam arti sebenarnya lho.. Itu, tuh, kartu permainan UNO. Mulailah kami (Indah, aku, dan Garda pada awalnya) memainkan permainan yang, boleh dibilang, semakin banyak pemainnya semakin ramai. Betul saja, setelah beberapa kali permainan berlangsung, mulailah jumlah pemain semakin bertambah. Dari Hardy, Aryo, Ilham, dan... Umm... Oh iya, Bang Tri! Hehe, maaf tadi sempat terlupa. Yang jelas, malam itu jadi malam keberuntungan Ilham sepertinya -- dan kesialanku -- dengan Ilham yang baru bermain pertama kali malah berkali-kali menang. Aku sendiri malah tidak pernah menang sama sekali, haha...

Permainan gaple berakhir lebih awal, karena para pemainnya memutuskan istirahat terlebih dahulu. Sedangkan untuk UNO, para pemainnya ternyata lebih tahan, dan masih berlanjut sampai jarum jam menunjuk angka 3. Karena Ilham boleh dikata menang mutlak, jadilah kamar sekitar 3 x 3 itu -- yang notabene sudah dipenuhi manusia yang bergelimpangan tertidur -- ditambah lagi dengan Ilham, Hardy, dan Aryo.

Kami berempat -- Tri, Garda, Indah, dan aku sendiri -- berencana menyusul Mas Ii' tidur di laboratorium -- yang konon diisi ular-ular awetan. Tak dinyana, pintu menuju ke sana ternyata dikunci. Waduh... Gawat..

Jadilah kami berempat sepakat formasi tidur yang akan kami jalani di sisa malam itu. Bang Tri di sofa, sisanya di atas tikar. Indah dalam kantung tidur, Garda di sisinya (hihihihi), aku di sebelah mereka, berjaket dan berbalut sarung, ditambah sarung tangan juga, hehe...


Dan, cerita ini akan bersambung lagi, setelah kami mengisi tenaga setelah lama terjaga.....

--
BERSAMBUNG
written until 8. Mai 2009


Rabu, 08 April 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 2: Mendaki)

Ringkasan cerita sebelumnya: Perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang diperkirakan berlangsung tiga-empat jam ternyata telah dilalui selama lebih dari enam jam tanpa kejelasan kapan akan tiba. Dapatkah kami semua tiba di Balai Penelitian Cikaniki dengan selamat -- jika tepat waktu sudah tidak dapat dikejar lagi?

**
Ban Mobil Berpenggerak Depan

Setelah kami semua tiba di Simpang Parungkuda, kami meneruskan perjalanan di jalan mendaki gunung. Sepanjang jalan tersebut, pemandangan yang nampak adalah pepohonan dalam hutan hujan, diselingi rumah-rumah penduduk, juga langit bersemburat merah pertanda Sang Surya tengah bersiap menyerahkan tongkat estafet ke Sang Bulan.

Udara terasa sangat sejuk, dengan angin yang mengiringi pergerakan mobil menyusup lewat jendela yang dibuka lebar. Terasa nyaman sungguh, tetapi dengan keadaan dalam kabin mobil yang penuh agak sulit mengeluarkan si Canny tercinta. Jadilah sementara pemandangan menyegarkan itu hanya bisa terekam mata (hikmah: Kali lain, coba gunakan mobil dengan kabin lebih besar, atau mungkin malah lebih nikmat duduk di bak belakang mobil kabin ganda).

Jalan terus berliku, dan tanda-tanda Kantor Pemerintahan di sepanjang jalan itu pun tiada -- kecuali Balai Penelitan Tanaman, umm... Apa yah, maaf ku tak ingat -- yang berada tak berapa jauh dari Simpang Parungkuda itu. Tak berapa lama, Adzan Maghrib pun berkumandang. Tak dinyana, di depan masih ada SPBU -- nampaknya baru. Masih kinyis-kinyis kalau boleh dikata demikian -- yang syukurlah menyediakan mushalla untuk sejenak menyapa Pengukir Gunung itu. Syukur pula tersedia toilet yang dengan sigap digunakan sebagian besar kami, kecuali aku dan Garda, dan mungkin juga Indah.

SPBU tersebut sendiri -- mungkin karena kebaruannya -- masih terawat dengan sempurna. Tempat berwudhu' yang disediakan bersih, tak licin, dan juga mushalla yang -- sayangnya -- tepat cukup terisi kami berdelapan. Shalat Maghrib pun digabung dengan Shalat Isya', mengingat perjalanan yang masih belum terukur waktunya.

Kemudian, lepas dari SPBU itu, melajulah kami dalam selimut gelap dan dingin udara Gn. Halimun. Syukurlah malam itu cukup cerah, dengan purnama menyinari kelam hutan. Jendela-jendela kami buka, dan mulailah kami bercerita....... SERAM! Hehehehehe... Memang paling seru kalau suasana seperti itu bercerita seram tentang berbagai hal.

Sekitar setengah jam jalan yang mendaki, sampai kami ke kantor pengelola (?) TNGHS di Kabandungan. Di sana, Mas Ii' turun dan mencatatkan diri ke kantor, untuk kemudian kami meneruskan perjalanan naik yang sepertinya tiada akhir.

Jalan mendaki hanya satu jalur sampai suatu ketika, sekitar 15 menit dari Kabandungan itu ada jalan bercabang. Di situ kami menepi, dan menugaskan Señor Hardy untuk bertanya pada sekumpulan pengojek, yang ternyata malah mendekati mobil kami. Menurut mereka, kami telah berada pada jalan yang benar, dan terus saja mengikuti jalan.

Seperti saran mereka, kami melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di persimpangan jalan (lagi). Di sana tertulis bahwa jalan lurus menuju ke proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geotermal) Gn Salak, dan Jalan kiri, hmm.. Jalan ke mana yah? Setelah dipertimbangkan masak-masak (bohong ding...) tak sampai lima detik di persimpangan kami berbelok ke kiri.

Jalan berliku-liku, menanjak-menurun, tetap dengan batu-batu sekepalan tangan melapisi jalan tanah itu. Masih jauh rupanya perjalanan. Meski demikian, mobil yang kami tumpangi akhirnya menjumpai mobil depan yang sudah mengangkut seorang pemandu. Dengan demikian, mulailah kami berjalan beriring kembali menuju BP Cikaniki, entah berapa jauh lagi ke depan, melewati semacam gapura yang melengkung menaungi jalan terjal ke sana.

Rupa-rupanya, jalan mendaki yang berupa tanah berlapis batu itu menjadi kendala bagi kendaraan yang Mas Ii' bawa. Honda CR-V berpenggerak roda depan. Ikuti terus perjalanan kami menembus gelap malam di Gunung Halimun berikutnya...

--
BERSAMBUNG
finished written on 08. April 2008, 18.56 WIB

Senin, 16 Maret 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 1: Perjalanan)

Setelah beberapa waktu silam aku mengunjungi Taman Hutan Raya Pancoran Mas, Kota Depok, akhir pekan ini (14 - 15. Mär 2008) aku dan empatbelas (disusul dua) orang temanku mengunjungi satu lagi wilayah pelestarian: Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).

Sekadar untuk pengetahuanmu, TNGHS ini terletak di Propinsi Jawa Barat, berupa hutan yang masih lebat di atas tanah gunung Halimun dan Salak. TNGHS sendiri menjadi habitat bagi Owa Jawa (Hylobatus moloch) serta Macan Tutul (Panthera pardus). Untuk pengetahuan lebih mendalam tentang TNGHS, kamu bisa mengunjungi situs resmi TNGHS secara langsung, dan dapat mengajukan pertanyaan pula di bagian buku tamu. Fitur ini sendiri dapat dikata interaktif karena setiap surat masuk akan dibalas pengelola situs (baguslah).

Nah, tulisan ini sendiri mengetengahkan perjalanan kami berlimabelas (kemudian berenambelas dengan ditemani Kang/A' Iwan) menuju, menerabas dan meninggalkan sedikit bagian hutan perawan di Tanah Sunda ini. Berhubung ada sedikit kekeringan ide karena satu dan lain hal, maka mohon maaf bila tulisan ini kurang sarat makna.

***
Mula

Semua bermula dari pembicaraan di mailing list (milis) pada sepekan sebelum keberangkatan. Mas Ii' mengusulkan sebuah acara jalan-jalan mengisi akhir pekan ke TNGHS. Dengan biaya yang serendah mungkin dan hasil diupayakan setinggi mungkin á la pabrik kerupuk, maka terkumpullah sekitar 17 orang pada awalnya. Dari pembicaraan lanjutan kemudian disepakati bahwa keberangkatan pada 14. Mär, pukul 09.00 WIB, dengan dua buah mobil yang dikemudikan Mas Ii' sendiri dan Desta di mobil satunya lagi.

Pada hari-H keberangkatan, pukul 08.50 WIB, tibalah aku di tempat pertemuan yang disepakati, tempat pesta pora nyamuk di Gazebo Jurusan. Ternyata eh ternyata, belum ada seorang juga di tempat itu. Wah, tiba-tiba saja tercium aroma jam keberangkatan akan dikonversi ke WIR (Waktu Indonesia Raya, alias jam karet).

Yah, tanpa panjang bicara lagi, maka datanglah satu per satu calon peserta tur, dari Arda yang membawa ransel tentara yang menurut pengakuannya terisi tiga perempatnya oleh kantung tidur. Lalu Garda dengan kantung tidur dan raket bulutangkis (di gunung?). Kemudian semakin banyak dan semakin banyak sampai hampir lengkaplah semuanya. Hampir, karena Dian masih mencari pengisi muatan baterai untuk entah kamera entah ponselnya.

Kemudian, sekitar 10.30 WIB, berangkatlah kami berangkaian menuju Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, berpindah jurusan menuju tol Jakarta-Bogor/Ciawi. Menurut petunjuk yang didapat Mas Ii' -- yang mengaku belum pernah pergi ke TNGHS (dan disambut kernyit dahi seluruh awak di mobil tersebut) -- kami harus (dan memang wajib) keluar Gerbang Tol Ciawi, kemudian menuju arah Sukabumi dan berbelok ke Kanan saat ada petunjuk yang memberi arah pada daerah bernama Kabandungan.


17 kilometer?

Maka perjalanan pun berlanjutlah, dengan kemacetan yang cukup menyita waktu sekeluar jalan tol di Ciawi. Di sela-sela kemacetan, sekitar pukul 14.00 WIB, kami memutuskan menepi untuk makan siang di sebuah warung makan di tepi jalan, dengan pemandangan ke Danau Lido. Makannya? BS (Bayar Sendiri) dong.. :D

Kemudian, setelah selesai makan (dan sedikit kasak-kusuk, "angkut! angkut!", merujuk pada pelayan warung makan tersebut, hihihihi), beranjaklah kami terus ke Selatan. Mendekati Simpang Parungkuda, Garda terbangun dan sontak bertanya aku apakah jalan menyimpang ke kanan itu menuju Gunung Salak. Garda mengiyakan, tetapi karena Mas Ii' bersikukuh bahwa sebelum ada papan penunjuk "Taman Nasional Gunung Halimun", kami tidak akan berbelok ke kanan.

Jadilah dua mobil itu terus beriringan ke Selatan, menuju Sukabumi. Sebelum memasuki Sukabumi, Hardy mengeluh ingin buang air kecil. Jadilah Mas Ii' menepi ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum, sekaligus juga untuk mengisi bahan bakar. Sembari mengisi, Mas Ii' menyempatkan bertanya pada petugas di SPBU tersebut mengenai daerah Kabandungan. Menurut petugas tersebut, Kabandungan yang dimaksud masih 17 kilometer arah Selatan.

Jadilah Mas Ii' -- yang notabene belum pernah ke TNGHS -- memutuskan melanjutkan perjalanan ke Selatan, sampai ke Kota Sukabumi. Di jalan, yang nampak pada rambu penunjuk jalan malah "Bandung". Hmm... Setelah sedikit berpikir (dan khawatir kami tersesat), kukatakan saja bahwa jangan-jangan petugas SPBU yang menunjukkan arah itu salah mendengar, alih-alih Kabandungan malah "Ka Bandung, A'?" (ke Bandung, Ka'?). Spontan saja itu memicu tawa renyah kami yang sudah lebih tiga jam di dalam kurungan logam bernama mobil.

Demi mencegah kesesatan lebih jauh, jadilah Aryo yang duduk di sebelah Mas Ii' ditugasi turun bertanya kepada seorang pemilik warung di tepi jalan pusat kota Sukabumi. Sembari Aryo bertanya, turunlah Ichad dari mobil Desta dan langsung 'menembak' Mas Ii' dengan sebuah pernyataan, "Mas Ii' yang terhormat. Gimana ini? 17 Kilo udah lewat dari tadi!"

Kemudian, selepas mendapatkan penjelasan, kembalilah Aryo dan Ichad ke posisi masing-masing dan berputar kembalilah kami. Jelas, kami telah melewati tempat berbelok yang semestinya. Setelah itu, kembalilah Mas Ii' bertanya via pesan pendek (sandek) kepada temannya yang memberi referensi ke TNGHS (dan mestinya pernah pula ke sana). Dari situ, dan beberapa kali pertanyaan berikutnya, akhirnya diputuskan kami kembali ke SPBU "17 kilometer" itu tadi, karena Desta merasa mengingat sesuatu.


Menuju Puncak

Di SPBU itu mulailah 'interogasi' terhadap Mas Ii' digelar. Sembari 'interogasi' berlangsung -- yang pada intinya mempertanyakan pengetahuan Mas Ii' tentang TNGHS -- beberapa rekan seperti Hardy dan Indah menuju ke toilet untuk menunaikan panggilan alam. Pada akhirnya, diputuskan bahwa setelah dari SPBU itu, kami akan kembali ke Utara ke Simpang Parungkuda untuk berbelok ke atas. Menempuh jalan mendaki di punggung Gunung entah-apa-namanya tersebut.

Sesampainya di simpang jalan itu, ternyata barulah terlihat papan besar petunjuk jalan (tetapi menurut, um, entah Indah entah Tri, tulisannya kecil-kecil) bertulis "Taman Nasional Gunung Halimun: Balai Penelitian Cikaniki, 29 km (kalau tak salah, Pen)". Hufff...... Akhirnya sampai juga di tempat yang telah kami lewati hampir tiga jam sebelumnya.

Setelah berkumpul kembalinya kedua mobil itu di mulut jalan menanjak itu, dan beberapa pertanyaan pada penduduk sekitar, akhirnya meluncurlah kami beriring berirama menapaki jalan naik turun berlika-liku demi mencapai tujuan kami.

--
BERSAMBUNG (insya Allah segera disambung)
Written on 15 - 16. Mär 2009

Kamis, 19 Februari 2009

Penawaran

Hmm... Dari dua lowongan pekerjaan yang telah coba kulamar, belum satu jua yang menyampaikan balasannya. Entah belum sempat terbaca, entah memang suratku digugurkan, tak kutahu. Mungkin juga tak ku mau tahu.

Tapi hari ini, siang hari 19. Februar 2009, ponselku berdering. Rekanku menelepon, (mantan?) ketua BEM FT, itu tuh si Adi.. (Adi, main bola lagi yuk! :p). Ada satu hal yang dia tanyakan. Langsung seperti kesukaanku.

"Rif, Pak Dedi lagi nyari anak S1 yang udah lulus, mau dijadiin dosen," begitu katanya. "Disekolahin. Gimana Rif?" Lanjutnya. Pak Dedi adalah Pembimbing Akademisku, sekaligus juga mantan kepala Jurusan kami.

Hmm... Dengan berdengung tak jelas serupa lebah, aku menjawab sekenanya dulu, "boleh dipikir-pikir dulu nggak?"

Yah.. Dengan satu tujuan kecil telah kutetapkan, kesempatan ini terus terang menggoda juga. Kesempatan bersekolah (lagi) sedikit banyak menarikku juga.. Kamu tahu lah, sedikit saja mencecap ilmu, maka serupa air garamlah rasanya ilmu itu. Semakin diminum semakin haus. Begitu juga yang kurasa. Semakin banyak mempelajari sesuatu, rasanya semakin tahu diri kita kalau yang kita tahu itu hanya seujung kuku dari apa yang kita pelajari itu. Itulah mengapa rasanya sekolah itu demikian menarik. Demikian menggoda, kalau boleh kukatakan demikian.

Tapi ada beberapa pertimbangan yang perlu dipikirkan masak-masak. Dari dulu ada satu hal yang mengganjalku dalam urusan berbagi ilmu. Berbagi uang, makanan, cerita, apapun asal bukan ilmu itu mudah sekali rasanya buatku. Tetapi soal ini... Tanyakan adikku, bagaimana aku tak bisa mengajarkannya dengan baik. Sampai dia mengertilah, setidaknya. Intinya, soal komunikasi verbal, aku bahkan tak termasuk golongan menengah.

Ada cerita yang beredar di kalangan terbatas di angkatanku, kalau seorang dosen pria -- yang boleh dibilang unik -- sering dihubungkan dengan aku. Beliau mengajar dengan cara yang, ehm, tak biasa. Sepanjang kelas dulu, beliau lebih sering duduk menghadapi komputer jinjing (kojing) milik beliau, sembari sesekali (atau seringkali) menekan kombinasi tombol tetikus {klik kanan + refresh}. Beliau menerangkan dengan agak terpatah-patah, dan pernah sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan balasan, "menurut kamu bagaimana?"

Nah, ada kekhawatiran dari dalam diriku sendiri -- seperti biasa -- kalau aku dapat saja berakhir seperti beliau. Meskipun sekarang -- setelah beliau menjalani pernikahan dan dianugerahi seorang anak -- beliau telah cukup banyak berubah, tetapi tetap saja beliau masih cukup dikenal dengan citranya yang dulu.

Aku juga sadar. Dosen, guru, dan pengajar pada umumnya itu bukan pekerjaan biasa. Itu pekerjaan dunia, juga pekerjaan untuk masa depan nanti. Ilmu itu, tidak seperti harta, takkan habis bila dibagikan. Alih-alih, ilmu justru semakin berkembang bila tak putus-putusnya dibagi. Ini juga sedikit banyak merayuku untuk mengiyakan tawaran ini.

Apapun, biarkan malam ini aku bicara dengan ibuku, dengan ayahku juga. Sedikit banyak aku merasa ibu dan ayah akan -- seperti biasa -- tak secara nyata melarang ataupun mengiyakan. Mungkin malam ini juga aku akan bicara denganMu. Beberapa menit di hening sunyi akhir malam. Sebelum fajar menjelang. Sebelum ayam berkokok bersahutan. Beberapa menit saja. Semoga sejumput dialog denganMu besok dini hari bisa memberikanku kemantapan hati, akan menemui Pak Dedi ataupun tidak.. Semoga...


--
F I N
written on 19. Feb 2009, 17.24 WIB
...Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna...