Minggu, 28 Desember 2008

'Mat Bulan Baru...

Dan... Beberapa jam lagi, satu lagi bulan akan berlalu. Bulan penanda tahun yang, yahh... Tak terkatakan. Enam purnama terakhir khususnya, telah berlari sedemikian cepatnya. Memukuliku, menghindariku, menjauhiku, mendekatiku, menjatuhkanku, membangunkanku untuk mengulanginya lagi.

Tak terasa, duabelas bulan yang diawali niatan untuk berubah, kini sedikit menuai hasil. Yahh, lebih baik sekarang daripada masa lalu, dan esok, alangkah baik kalau tetap kujaga ritme menuju seulas senyum di wajah tak biasaku. :)

Kemudian, tak kurang enam bulan lalu. Tebersit sedikit keinginan tentang hal yang kurasa dapat kulakukan. Yahh.. Topik tugas akhir, untukku sendiri, tadinya. Kemudian diturunkan untukku penolong, yang menolongku memulainya. Ya, memang berat untuk mengawalinya ketika itu. Namun kini, yang aku --kami sebetulnya-- rasa malah sebaliknya. Sulit berpisah dengannya. Kurang rasanya, dan tak pantas kami tinggalkan begitu saja proyek sederhana ini.

Enam bulan yang lelah, tapi tak pernah diciptakan sesuatu untuk kesia-siaan. Ambillah ini, dan semua hal yang kalau mengambil istilah kami, gagal, jadi titik tolak. Bahwa ada sesuatu di setiap hal itu niscaya, dan andaikan dapat kamu lihat kenapa, dan bagaimana hal itu menuntun pada kegagalan, tentu tak sulit mengganti yang tak sesuai dengan yang tepat. Kalau berhasil yang kamu cari.

Yah.. Enam bulan.. Enam bulan.. Dengan tiga di antaranya memaksaku menanggalkan cintaku membekukan waktu. Enam bulan yang, kuharap bisa menolongku kelak menggapai sebentuk alat bantu menyimpan waktu-waktu yang terbekukan itu. Kuharap...

Dan sekarang, tak kurang satu jam dari permulaan bulan baru, ingin aku memulai satu yang baru bersama bulan itu. Bulan yang dengan tertib mengitari kita di sini, dan ikut serta dalam ketertiban kita mengitari satu mentari, dan turut tertib memutari pusat semuanya ini. Semoga yang jelek dari yang lalu tenggelam bersama bulan, dan berganti yang baik yang ikut timbul seiring bulan yang baru. Semoga...


F I N
written on 28. Dez 2008, 16.57 WIB
Kuucapkan, selamat tahun baru. Tapi jangan maknai tulisan ini sebelum satu putaran jarum panjang jam penuh sudah berlalu, terima kasih.

Senin, 22 Desember 2008

Alea Iacta Est (2): Semakin Dekat

Sekadar mengingatkan, Rif...
Tak lebih dari 30 jam lagi, tanda waktu akan memasuki tanggal itu.

24. Dez 2008

Dan malam ini, entah apa kubisa tak memejamkan mata sebentar pun layaknya malam tadi...


F I N
written on 22. Dez 2008, 19.02 WIB
Mengapa tak Kau beri lelah padaku hari ini? Rindu aku dengan bantal dan tikar nan sejuk itu...

Rabu, 17 Desember 2008

Sekadar Mengingatkan...

Kawanku... Sedekat apapun tanggal yang kita tentukan untuk kita masing-masing
ingatlah: "there's more live to life beyond this things we do now".
Jadi, sayangi dirimu, makanlah saat lapar, istirahatlah saat lelah, dan bergembiralah
karena saat semua telah dijalani
kelak akan berkumpul kita, dengan cerita saat itu, dan saat sekarang, ditemani secangkir teh untukku dan buatmu, umm... Akan kutanyakan apa yang kamu inginkan, biar aku yang buatkan.
Jadi... Jalanilah bersama senyummu yang termanis
Karena hidup, bukan cuma ini.


F I N
written on 17. Dez 2008, 07.38
satu kata buatmu dan untukku: SEMANGAT!!!!

Senin, 15 Desember 2008

Sebuah Dialog

Lagu ini manis, manis sekali --termasuk yang kudengarkan berulang-ulang tanpa jemu. Dibawakan dengan suara yang bening, dan tulus terdengar. Ini dia, Andai Aku Besar Nanti, dipopulerkan oleh Sherina.

**********
andai.. aku telah dewasa

apa yang kan ku katakan, untukmu idolaku tersayang
ayah...
oooh andai usiaku berubah
kubalas cintamu bunda
pelitaku, penerang hidupku dalam setiap waktu

ooh..kutahu kau berharap dalam doamu
kutahu kau berjaga dalam langkahmu
kutahu selalu cinta dalam senyummu
ooh Tuhan kau ku pinta
bahagiakan mereka sepertiku.
**********

Tentu Kamu tahu. 'kan Kamu tahu semuanya, nampak ataupun tidak, bukan? Kuharap ayah-ibuku, ayah-ibu dari ayah-ibuku, ayah ibu dari ayah-ibu dari ayah-ibuku, dan seterusnya, bahagia kini, juga nanti. Mungkin salah satu kebahagiaan mereka bisa dijelang tanggal 24 ini, itu pun kalau Kamu tidak keberatan mengantarkan kebahagiaan untuk mereka melalui aku.


F I N
written on 15. Dez 2008, 21.26 WIB
Dan... Haruskah semua hipotesis yang kami bangun diputarbalikkan segera? Sungguh, manusia boleh berbuat, tapi Kamu yang berkehendak...

Minggu, 14 Desember 2008

Secarik Kertas Itu...

Biar kugambarkan untukmu. Secarik kertas berukuran sekitar 22 x 7 cm². Kertas itu, karton dua warna yang ditumpuk, warnanya hijau --lebih muda pada bagian yang bercetak tulisan. Tulisannya, Times New Roman ukuran sekitar 10 dibuat rata tengah, juga berwarna hijau. Di pojoknya kanan bawhnya, ada lima huruf tulis tangan warna hitam yang menembus batas hijau muda-hijau tua pada karton. Setelah semua rapi, kertas itu dilaminasi dengan plastik bening, dan diberi lubang di kiri tengahnya. Dahulu ada pita warna hijau pula di situ.

Lalu, apa sih yang tertera pada kertas itu? Biar kusalinkan untukmu:
"[Tulisan ketik]
Arif
The name of Arif gives you a very individual, reserved, serious nature. You stick stubbornly to your ideas or decisions, in spite of any appeals or advice, you are not willing to accept a compromise. You prefer to be alone with your own thoughts, rather than in the company of others. This name restricts spontaneity in association and the fluency of your verbal expression. When you are required to express yourself in personal matters requiring finesse and diplomacy, you feel awkward and embarrassed. Although you realise perfectly well what is expected of you, you are unable to find the right words and hence you end up saying something inappropriate in a candid way.. You can express your deeper thoughts and feelings best through writing. Your friendships and personal associations are rather restricted, being limited to those of a similar nature who can understand and accept your rather straightforward yet reserved manner. You are steadfast and loyal, and do not allow gossip or anything belittling to be said against those whom you accept in friendship. You find satisfaction in being outdoor or getting out into nature, or in dealing with the products of the earth. There is originality and depth of thought contained in this name, particularly along practical and mathematical lines. This name can adversely affect the health of your respiratory organs, the heart and lungs. Also, you are prone to suffer from weaknesses centering in the head. [Akhir tulisan ketik]
[Tulisan tangan itu] Maila [akhir tulisan tangan]
"
Mungkin kamu bertanya, siapa gerangan Maila ini. Jangan khawatir, beliau ini "guru" Bahasa Inggris ketika dulu aku SMP. "Guru", karena memang belum tuntas sekolah beliau ketika itu -- dan sekolah beliau tepat satu kompleks dengan SMP-ku dulu. Seorang "guru" yang akan selalu kuberikan tempat khusus di alam pikiranku.

Apa kiranya yang membedakan beliau dari guru dan "guru" yang lain? Yah, selain secarik kertas yang beliau berikan pada kami -- ya, aku dan 23 orang kawanku di kelas itu -- beliau juga mengubah pandangan kami tentang belajar di ruang kelas. Saat itu, sekitar delapan tahun lalu, beliaulah yang pertama kali menenteng kojing (komputer jinjing? Hihihihi ngarang terus...) ke ruang kelas. Tak seperti masa sekarang, tahun itu kojing masihlah barang yang langka dan tak sebarang orang dapat memilikinya. Selain itu, beliau juga yang dapat menghidupkan suasana kelas dengan mengizinkan kami memainkan permainan --sepertinya permainan pendidikan, tapi unsur pendidikan itu memang seolah tandas dilahap unsur permainan-- di kojing tersebut.

Dan... Kembali ke secarik kertas itu. Entah apa dasar beliau memilih warna hijau --mungkin warna kesukaan beliau-- tetapi yang jelas sekarang, setidaknya empat orang berada di fakultas 'hijau' --alias kedokteran-- dan aku sendiri, di departemen 'hijau' --metallurgi dan material-- di fakultas 'biru' --teknik. Itu baru dari warnanya. Sedangkan untuk isinya. Hmmm.... Dulu aku tak mengerti sama sekali apa yang dikatakan tulisan itu. Maklumlah, apalah yang bisa diketahui bocah bercelana biru sedengkul yang saban hari menempuh jarak pergi-pulang tak kurang 13 km?

Kemudian, dengan waktu berlalu, celana pendek memanjang menutupi tulang kering dan warna biru lenyap berganti abu-abu, kertas itu kembali lagi. Yah, kembali dan dibaca bocah yang sama. Tertegun ia saat membaca ulang dan mengartikannya. Entah mengapa sebagian dari dirinya bak tercermin di tulisan itu. Tapi, tak urung, ia kembalikan kertas itu ke tempatnya, dan menghilanglah lagi kertas itu.

Kemudian, berlalu pula waktu, enam tahun dari bocah bercelana abu-abu itu membaca kertas tersebut. Kini, ia jumpa lagi dengan kertas yang sama. Lusuh bekas berlipat, dengan tambahan tulisan tangannya --yang dari tahun ke tahun tak kunjung membaik. Didapatinya kertas itu sebagai pembatas buku yang lama tak ia baca. Ia membaca kertas itu lagi, dan sekali lagi, tertegun ia membacanya. Betulkah? Sebab rasanya, yang dibahas pada tulisan itu adalah betul dirinya. Menggambarkannya tepat sempurna, nyaris tanpa cacat.

Tak pernah tahu aku seperti apa yang ia tulis pada 23 kawanku lainnya. Ingin ku tahu, dan berbagi, dan bertanya, seperti yang tertuliskah mereka? Sebab, bila aku bersendiri saja dengan tulisan ini, tak tercukupi data untuk mengambil simpulan --biarpun simpulan-pertanyaan itu ingin selalu kuutarakan: "Membaca dirikukah beliau?"

Miss Maila, di manapun berada sekarang.... Semoga masih ingat aku, sebab kini tak ku tahu apa harus berterima kasih atau malah mengeluh. Semua karena 'bacaan' itu atau karena 'kutukan' itu.


F I N
written on 14. Dez 2008, 22.32
read carefully and you'll know who I am --in a whole package. By the way... I do not actually believe in such prophecies...

Sabtu, 13 Desember 2008

Alea Iacta Est!

Hmm... Mungkin ada yang bertanya-tanya, apa kiranya arti kata-kata di atas itu. Mungkin juga ada yang malah nyengir kuda karena langsung teringat sebuah komik perancis, "Asterix & Obelix". Mungkin akan kuberitahukan saja apa artinya tiga kata itu padamu, yah?

Untuk yang pernah membaca beberapa seri komik Asterix, kalimat di atas mungkin sudah terasa dekat. Ya, Julius Caesar digambarkan sering sekali menyebutkan kalimat tersebut. Artinya, kalau dari sini adalah "The die is cast" -- dadu sudah dilempar. Lalu apa maknanya? Hmm... Masih dari sumber yang sama -- walaupun sebetulnya bisa dideduksi sendiri -- maknanya adalah suatu perbuatan sudah dilakukan, dan tak bisa ditarik kembali.

Dan, untuk kali ini, kurasa seperti itulah yang terjadi. Alea iacta est! Tanggal itu sudah disiapkan. 24. 12 2008, dan aku masih di sini, mengutak-atik difraktogram-difraktogram yang acakadut itu supaya bisa diperhitungkan, dan masih perlu setidaknya satu data lagi agar simpulanku kelak lebih bisa diterima. Yah.. Apa mau dikata. Kata telah terucap, waktu sudah berlalu. Sekarang, mari, kembali ke himpunan data tak berkesudahan itu. 'mat berhitung!


F I N
written on 13. Dez 2008, 07.45 WIB
Dan, untuk semua awal... Kuharap semuanya baik selalu sampai.... Nanti (-_-)

Senin, 08 Desember 2008

'Mat UAS!

Dan setelah enam kali menghadapinya
rasanya yang ketujuh ini sangatlah istimewa
besok
untukku, sepuluh rekan perempuanku, dan tak sedikit rekanku
ini akan jadi yang terakhir... Semoga

Selamat Ujian Akhir Semester (UAS)
semoga tinggal satu lagi yang semacam ini untuk kalian, dan...
Khusus untuk kami
Selamat Ujian Akhir... Semoga


F I N
written on 8. Dezember 2008, 17.15 WIB
dan manisnya... Aku belum siap sama sekali! Oh iya, "'Mat 'Id Ad'ha!" juga... ^_^

Sabtu, 06 Desember 2008

Salah atau Benar?

Jum'at (05. 12) petang kemarin, Ibu meminta dijemput di rumah kawannya berangkat pergi berhaji dulu. Karena si Hitam sedang bermasalah dan sepertinya harus turun mesin lagi (duh, tahun depan saja deh...), jadilah kupinjam sepeda motor adikku, si Merah. Kurang kreatif yah? Maaf deh, habis rasanya lebih aneh kalau diberi nama seperti "si Joni", atau nama-nama lain. Yah, pokoknya, setelah mengambil jaket dan helm (dompet dan SIM tertinggal. Jangan ditiru ya, Dik. Hehehe), berangkatlah aku dengan terlebih dulu menyinggahi dua pompa bensin, karena yang pertama ternyata kehabisan stok, payah deh..

Nah, lepas dari pompa bensin yang kedua yang ada tak berapa meter dari kompleks Departemen Pertanian RI, langsung melesatlah aku ke arah Kebun Binatang Ragunan pintu utama. Tentu saja Ragunan tidak memiliki sesi malam seperti Taman Safari di Cisarua, Puncak, dan memang bukan ke kebun itu tujuanku. Tujuanku ke jalan (kecil) di samping jalan keluar bus Transjakarta. Gelap, hampir pasti karena lampu jalan hanya seadanya, dan syukurlah tertolong lampu-lampu dari rumah-rumah penduduk.

Kemudian, dengan jalan itu menyisir dinding luar Kebun Binatang, tibalah aku di dekat Pintu Barat Kebun Binatang. Tak berapa jauh, pikirku, karena memang bukaan jalan ketiga tujuanku. Ternyata eh ternyata, salah perhitungan aku kemarin. Jadi jalan yang seharusnya jalan kedua, kuhitung jalan pertama. Masalah bertambah dengan jalan yang kulalui itu jalan satu arah. Yah.... Berputar mengikuti jalur deh terpaksa..

Naif kedengaran yah? Di pikirku, jalan itu dibuat satu arah karena memang biasanya bisa timbul macet luar biasa di sana. Jalan searah itu sendiri dimulai dari pertigaan Cilandak (Marinir), berputar ke Pintu Barat, terus ke pertigaan Ciganjur, kemudian kembali ke Marinir itu tadi. Kalau dibuat jalan dua arah, dengan lajur yang dua arah seadanya itu -- dengan perangai manusia modern yang terus diburu waktu -- niscaya akan bertumpuk-tumpuklah berbagai-bagai kendaraan di pertigaan Cilandak itu. Jadi menurutku, sangat masuk akal 'memaksa' orang berputar lebih jauh, dengan konsumsi bahan bakar yang mungkin tidak terlalu banyak berbeda karena lebih lancar, dan tidak diperbolehkan langsung mengambil kanan di situ.

Masalahnya................ Tidak semua orang berpikir demikian. Dan Jum'at petang kemarin -- kalau tidak salah, Jum'at itu hari di mana setiap perbuatan balasannya dilipatduakan -- jumpalah aku dengan satu lagi manusia modern yang diburu waktu -- atau hanya karena kebiasaan? Seorang pengendara sepeda motor semi-sport (kalau boleh sebut tipe, RX-king atau Tiger, aku tak lihat jelas kala malam) menunjukkan gelagat akan berbelok ke kanan di pertigaan Cilandak itu. Oho, dengan sisa keisengan yang masih ada, kutekan klakson sedalam kubisa, dan -- yang ini jangan ditiru -- memberi tanda mengolok dengan jari... Kau tahu lah, hihihi.... Ups...

Apa yang kuterima. "[SENSOR, tiga/empat kata; benda produk pencernaan manusia dan hewan] Luh!". Hmm... Kami imbang sebetulnya, dan tak ada yang layak menyalahkan. Salahku menyusul klakson itu dengan acungan jari yang tak patut. Salah dia yang tak acuh dengan aturan di situ. Yah, sesama yang bersalah tak patut saling mencerca. Hihihihi......

**

Huff... Tak kuceritakan itu kepada siapapun. Yang jelas, bila di antara kamu yang sempat mampir membaca di sini, dan kamu korban acungan jariku (pemuda berjaket kulit, berhelm putih, mengendarai sepeda motor warna putih-merah berangka akhir pelat SPM -- lupa nomornya, maklum itu sepeda motor adikku). Aku minta maaf. Kadang kurasa kamu dan orang seperti kamu tidak bisa dipaksa melihat rambu yang ada. Juga kadang kamu tidak sanggup berpikir jauh dan mendalam karena di kepalamu banyak pikiran yang lebih penting daripada sekadar perbuatan yang bisa sekadar membuat macet -- paling sial ada yang kendaraan yang bertabrakan. Kadang kurasa kamu tidak akan sadar sebelum badanmu ada di bawah sebuah truk -- itulah mengapa aku tidak mengemudikan mobil. Rehatlah sejenak, berpikir sedikit. Dunia tak cuma kamu sendiri, dan kalau tak suka dengan satu aturan, katakanlah! Jangan malah tak mengacuhkan aturan itu, Bung!


F I N
written on, 6. Dezember 2008; 20.00 WIB
Yah... Aku juga belum sempurna, tapi setidaknya selalu kucoba menihilkan yang kulanggar dalam perjalananku...

Rabu, 03 Desember 2008

Seminar

WAAAAAAAAAAHHHH........... Ups, maaf. Cuma sedikit ekspresi lega saja kok. Lega yang, ehm, sementara sepertinya.

Jadi, hari ini, 3. Dez 2008, satu puncak karier (duilee...) di masa kuliah ini. Nama kegiatannya, um... Seminar. Nah, mulai semester ini, atas inisiatif Pak Herman yang juga koordinator Skripsi, KP, dan Seminar, dihidupkan kembali sistem seminar yang seperti seminar. Bingung? Tunggu sebentar ya, coba kujelaskan.

Selama beberapa waktu, di jurusan kami, mata kuliah seminar itu lebih kepada presentasi kecil --entah skripsi sendiri entah skripsi orang-- di depan dosen pembimbing dan penguji, saja. Nah, terhitung sejak semester ini, diadakan kembalilah seminar berformat seminar "umum" itu. Naahh... Itulah sebabnya baru sekarang bisa turun menulis di sini lagi. Yah, hitung-hitung menghadiahi diri sendiri setelah presentasi yang *cukup* baik tadi.

Sebetulnya, semua dimulai sejak pekan kemarin. Tadinya seminar itu bahkan dijadwalkan Kamis kemarin, tetapi karena satu dan lain hal, jadilah digeser ke hari ini. Yah, begitulah. Hampir sepekan penuh kami berenam -- Aku-Dini-Himsky-Fian-Dian-Mas Ii' -- berkutat dengan slide-slide presentasi (AWAS: BUKAN Slide ppt yah! Tak terstandardisasi itu format...) yang diutak-atik sana-sini, supaya tidak terlalu banyak, tapi tetap informatif. Dan.... Ternyata semua dari kami sepaham hari ini. Slide presentasinya tak ada yang lebih dari angka 30-an slide. Berbobot? Pastinya. *ayo.. Pupuk percaya dirimu sedikit sedikit, Nak... ;p*

Dan, saat jarum jam menunjuk waktu pukul 13.30 WKMT (Waktu Ruang KMT, hehehe), datanglah satu persatu audiens yang ditunggu. Pak Herman sebagai audiens, juga pembimbing skripsi beserta Ibu Sotya sebagai, um... Penguji? Yah, begitulah. Kemudian ada rekan-rekan seperjuangan dari angkatan '04 (Hatta, Rahmat), '05 (Tego yang setia dari awal sampai akhir, Fawwaz, Buged, Falahy yang hari ini sukarela jadi sie.dokumentasi, Tri, Reza Kiswara, Aryo, Icad, Febrian, dan banyak lagi yang belum disebut jangan marah. ^_^), juga '06 (Wening dan Lusi. Sayang si, um, 'Neng tak datang, hihihi). Yah, memang berangsur-angsur sih, tapi 'makasih banyak sudah sempat datang ke seminar kami. Juga datang, beserta beberapa paket penganan dan air minum, ayah dan ibunya Himsky. 'Makasih juga, Om dan Tante, dukungannya luar biasa. Yah, setidaknya aku -- yang lupa memberitahu ayah-ibunya soal seminar ini -- masih dapat pesan singkat dari Ibu, setelah kuberitahu tentunya. Ah.. Seandainya saja Ibu-Ayah di sana tadi... Lepas mungkin belenggu di lidah tadi...

Yah, setelah penonton tiba, mulailah kami -- berturut-turut Dian, Himsky, Fian, Dini, Mas Ii', Aku -- bergantian menyampaikan materi yang diseminarkan. Dian yang tenang, dengan topik besar "Geopolimer". Himsky yang lebih ekspresif, dengan "Sel Bahan Bakar"-nya. Fian yang santai, tapi serius membawakan "Kaca Swabersih". Dini yang lebih 'perempuan' dengan hem (blus? Apalah namanya itu) merah muda dengan "Sel Surya Tersensitisasi Pewarna" -- sama denganku. Mas Ii' kembali dengan "Sel Bahan Bakar", dengan slide penuh dengan tabel-tabel. Aku -- mencoba menyemangati diri sendiri dengan berkata "simpan yang terbaik untuk di akhir" -- menutup hari, dengan slide yang penuh animasi membahas "Sel Surya Tersensitisasi Pewarna".

Ah... Tiga jam setengah berlalu di ruangan yang dingin minta ampun itu. Tapi tetap saja, naluri untaku keluar juga. Tiga minuman gelasan habis dalam rentang waktu itu. Lapar? Sudah lupa tuh. Hahaha. Tidak sehat memang, tapi mau kata apa, karena memang rasa lapar tak seberapa dibanding takut, gugup, dan nama-nama lainnya itulah.

Soal presentasinya, tak perlulah diceritakan. Sering sudah kamu menghadiri seminar ini dan itu, 'kan? Yah, kira-kira begitulah, hanya saja posisi kami hari ini menjadi pemakalahnya -- pinjam istilahnya, ya Fal? Hehehe. Dan, lepas seminar hari ini, rasanya lega meliputi kami berenam. Lega yang, ehm, memabukkan juga sih. Bahkan aku pun lupa mematikan dapur pemanas (oven) selepas seminar --jadilah besok sampelku keluar basah. Tak mengapa, yang jelas mungkin beberapa saat (atau hari) lagi ada yang mengunggah foto-foto kami di situs jaringan sosial yang itu. Nah, semoga saja albumnya dibuka dan nanti kutunjukkan alamatnya biar bisa juga kamu lihat tampan dan cantiknya kami -- narsisis betul, hehehe -- hari ini, dengan senyum mengembang bersama lepasnya sedikit beban tahun terakhir, betul ka'?

Yang jelas..... Luv u all! Bab 2, Bab 4. Tunggu aku yah... He he he


F I N
written on 3. Dez 2008, 22.40; delayed due to the feeling of urgency to say "Hello" or "hi" to many ol' friends. ^_^
Kamu tahu? Tanpa Kamu, lemahku terbuka, kuatku tak ada, tanpa Kamu. 'Makasih ya...

EDIT: Ini dia peserta MK Seminar (Perdana) semester gasal 2008


Kiri-kanan: Himsky-Aku-Dini-Dian-Mas Ii-Alfian. 'Makasih untuk hari yang luar biasa itu!
Kukenang selalu sampai kapan-kapan. ^_^

Makasih, Dian, udah unggah fotonya. Makasih Falahy, udah motretin.

Sabtu, 29 November 2008

Sebuah Kalimat

Di sela-sela mengerjakan slide presentasi untuk 'seminar' -mata kuliah seminar sebetulnya- aku menemukansebuah kalimat yang mengusik: "I have neither the natural ability nor the experience to deal with human beings." Yah... Tembakan langsung untukku, boleh dikata. Coba kita terjemahkan sedikit yah.. Sebentar. Artinya lebih kurang "Aku tak diberi kemampuan maupun pengalaman untuk berurusan dengan manusia." Siapa sih, yang mengatakan demikian? Pernah dengar nama Albert Einstein? Nah, beliau menyatakan demikian ketika ditawarkan posisi sebagai presiden kedua negara Isra'il.

Hm... Apa itu juga yang terjadi denganku yah? Akhir-akhir ini, karena tekanan ini dan itu, rona ceria yang perlahan mulai bersemu di hati perlahan redup kembali, tertutup gelapnya mata dan panasnya kepala. Uff.. Entahlah... Mungkin saran Pak Herman soal terus sekolah boleh diangkat ke permukaan juga nanti, dan ucap Reza --dengan sadar kuakui-- "Kalo elo gitu di luar, udah habis ********* sama orang". Yap... Mungkin baik juga kita cari obeng, mur-baut, tang, dan rekan-rekannya dan buat sesuatu untuk orang lain, tanpa berurusan dengan orang lain....


F I N
written on 29. Nov 2008, 23.25 WIB
Katakan padaku mengapa manusia itu sulit dimengerti... Tiap ku tak berucap, mereka tak mengerti yang kumau. Ku berucap, mereka tak mendengar. Kuteriakkan, mereka menyangkakan aku marah... Katakan padaku semua alasannya, karena ku ingin tahu...

Jumat, 28 November 2008

Kangen

Satu hal, Rif...
Tidak ada putih tanpa hitam
Tidak ada siang tanpa malam
Tidak ada terang tanpa gelap
Tidak ada sempurna tanpa cacat
Tidak ada kanan tanpa kiri
tapi
Ada Dia tanpa kamu perlu anggap ada

Dan bila jauh terasa
Dan saat rindu meraja
Ada Dia, dengan pintu yang terbuka --kalaupun tidak, siap dibuka selalu.


F I N
28. November 2008, 00.28 WIB
Menjauhkah Kamu dariku? Kumohon jangan... Dua pekan ini saja, lindungi lemahku. Nanti kulunasi khusus untukMu.


Sabtu, 22 November 2008

Macet

Ah... Kata yang jamak didengar di ibu kota tercinta (???) ini. Tapi... Tak terbayang juga kalau sampai di simpang jalan (simpang ubin kalau menurut kami) tak berapa jauh dari rumah bisa sampai macet berpanjang-panjang.

Yap, terjadinya dua hari lalu, Kamis (20. Nov). Waktunya, yah sore hari jelang Maghrib. Waktu kritis di mana ada orang yang memang hendak bersegera tiba di rumah untuk menyambut berbuka, atau keperluan lainnya.

Ceritanya sederhana: terlalu banyak kendaraan. Tapi mungkin bukan itu juga akarnya. Coba kita balik sedikit. Di hampir setiap persimpangan, 'manusia masa kini' --yang diburu waktu selalu-- cenderung ingin (diri mereka sendiri) cepat tiba di tujuan mereka dan acuh pada manusia masa kini lainnya --yang juga diburu waktu. Tidak perlu menebak apa yang terjadi kalau dua manusia masa kini itu berjumpa di persimpangan jalan yang sama. Sama ingin cepatnya, jadilah memasuki persimpangan secepatnya dengan sedikit sekali melihat --sebenar-benarnya melihat; to see, bukan sekedar to look-- ke orang lain di sekitar. Yah, begitulah. Jam ditemukan, waktu jadi semakin penting, di atas segalanya bahkan. Tapi kelamaan, waktu juga yang jadi tuan manusia, bukan manusia memanfaatkan waktu.

Jadi, memang salah kalau banyak mobil, motor, sepeda, gerobak, apalah di jalan? Kalau itu salahnya, larang saja orang membeli motor, mobil, dan semuanya. Rasanya bukan itu yang salah. Bukan pula waktu yang kurang. Maksudku, hey, bukantah jatah waktu setiap manusia sehari itu sama. Kurang 24 jam, begitu? Rasanya yang kurang itu di kepala, atau di hati manusia masa kini. Kurang, ehm... Sabar.

Begini, berbagai cara bepergian telah pernah aku lakoni. Dari yang paling primitif (jalan kaki), angkutan umum, sepeda, sepeda motor, mobil (sangat-amat jarang. Tanggung jawabnya besar.. Hihihi), pesawat terbang (dulu waktu masih kecil), kapal laut, mungkin hanya gerobak saja yang belum. Coba lihat di bandar udara, atau lapangan terbang begitu. Manis betul pengaturannya. Coba kalau para pilot tak sabar, macam pengemudi angkot yang begitu terisi penuh (tidak begitu selalu sih) langsung tancap gas. Wah, bisa kacau dunia persilatan, eh, penerbangan. ;p

Nah... Kerapian, keteraturan, kesabaran, dan teman-temannya itu yang kurang di jalan. Jangankan di persimpangan biasa, di simpang empat yang berlampu lalu lintas saja, banyak betul manusia masa kini yang *tidak* sanggup mengantre. Garis sebelum zebra cross yang mestinya jadi batas --supaya orang-orang yang hendak menyeberangi jalan di situ tidak takut-- lewat selalu. Jadilah calon penyeberang yang tidak seberapa besar nyalinya jadi undur dan menunggu lebih lama lagi. Lupa manusia masa kini itu kalau kaki yang Dia rancang dan ciptakan sendiri --dan gratis pula! Cuma diminta dua hal: ikut apa yang Dia perintah, jauh apa yang Dia larang-- itu hadir lebih dulu bersama tangan untuk merakit berbagai-bagai kendaraan itu. Lupa, karena memang manusia --masa kini maupun masa lalu-- digariskan untuk lupa.

Yah, kalau di simpang jalan berlampu pengatur saja demikian, bagaimana yang tidak? Itu yang terjadi Rabu kemarin, di simpang ubin. Berbagai-bagai mobil, motor, angkutan umum, truk dan pikap, entah ada gerobak dan sepeda atau tidak, tumpuk jadi satu di sana. Simpang tiga-tiga (satu pertigaan ke selatan, satu ke utara. Simpang empat cacat deh, hihihi) yang biasanya tak terlalu ramai jadi riuh rendah suara klakson yang membahana. Di satu mobil angkutan umum itu, duduk satu bocah yang pulang sendiri, memegangi kepalanya, tak habis pikir, ke mana perginya semua "Orang Indonesia terkenal ramah" dan semuanya itu kini. Kalau demikian, mungkin tak ingin ia jadi orang Indonesia, atau setidaknya tak ingin ia jadi manusia Indonesia masa kini. "Lebih baik jadi manusia masa lalu saja kalau begitu".


F I N
written on 22. Nov 2008, 02.40 and 06.30 WIB
.. C . A . P . E' ..

Minggu, 16 November 2008

Sepeda + Lumpur = ?

Jadi, pagi ini roda-roda sepeda hijau tua (pikir sendiri maksudnya ya? ;P) ayah yang diturunkan padaku mencium aspal lagi. Yah, tidak terlalu pagi juga sih, mengingat semalam baru tertidur setelah babak pertama siaran tunda Liga Primer Inggris Manchester United vs Stoke City berakhir, jadilah pagi ini agak lat aku terbangun. Duduh... Payah deh.

Ya, jadi setelah ritual memompa kedua roda sepeda itu, dan mempersiapkan koran bekas, buku bacaan --"Jejak Tinju Pak Kiai"-- dan 600 ml air dalam sebotol, berangkatlah kami ke kampus tercinta. Eh, bukan ding, kalau kampus tercinta di sini konotasinya kepada sebuah institut dekat perlintasan kereta api antara stasiun Lenteng Agung dan Tanjung Barat. Jadi, kampus(ku) tercinta itu adanya di perbatasan Depok-Jakarta. Bisa dibilang bersepeda AKAP (antar kota antar propinsi) deh, hehehe...

Sepanjang jalan, masih ada beberapa lubang jalan yang terisi air (dan lumpur? Entahlah..) sisa hujan deras kemarin sore. Wah, kalau cerita hujan deras kemarin, luar biasa. Ibarat air itu ditumpahkan semuanya dari langit. Belum lagi angin yang membuat air itu seperti menari-nari. Wah... Nyaman menikmatinya dari balkon sebelah kamarku.

Eh iya, jadi sekarang kita sedang di jalan dari rumah ke kampus ya? Oke, mari dilanjut. Jadi, sepanjang jalan rasanya agak-agak, bagaimana ya, dingin dan sedikit basah. Kecuali kalau di belakang bus kecil bernomor 616. Ih, hitam kelam asapnya. Bau, pula!

Jadi, tiga puluh(an) menit selepas jam keberangkatan, sampai kita di pintu (kecil) di tengah pagar bercat kuning itu. Tapi... Loh, kok dipasangi rantai? Tak masalah tentu buat kendaraan sekelas sepeda, tapi bagi banyak lagi 'wisatawan' yang bersepeda motor, masalah besar tentu saja. Entahlah, tak pernah sebelumnya bersepeda --dan ke kampus pada umumnya-- di hari Ahad seperti pagi ini. Mungkin ini kebijakan bapak-bapak pengambil keputusan di gedung rektorat ya?

Yah, urusan rantai-merantai ini juga sedikit membuat si Ica --adikku-- manyun selepas aku pulang nanti. Ceritanya, pagi ini (juga kemarin pagi), ia yang sekarang sudah kelas XII (uh, banyak betul. Pokoknya tahun terakhir di SMA, deh) berencana datang ke acara yang diadakan mahasiswa UI, "Bedah Kampus". Nah, karena (salahku juga tidak memutakhirkan informasi soal ini) terlambat tahu, dan baru menghadapi tes juga di sekolah, jadilah Ica baru mencari tiketnya pada hari-H. Ya, karena celah pagar dirantai, jadilah Ica dan temannya sedikit terlambat ("padahal tinggal 10 orang lagi tuh, Mas"). Sampai berdoa dia, "semoga acaranya nggak seru, biar nggak nyesel kita nggak dapet tiket", hihihi..

Hmm... Setelah mengangkat sepeda itu --yang kuharap bisa lebih ringan, sebetulnya-- melewati rantai, ternyata ramai juga orang berolahraga di Ahad pagi. Kebanyakan keluarga muda dan kecil, tapi tak sedikit juga bapak dan ibu yang lebih tua, juga remaja putra-putri. Kalau yang terakhir ini, boleh lah disebut 'bumbu' bersepeda kali ini, hehehe... Dasar!

Oh iya, rute hari ini. Pintu kukusan (~ teknik, kutek) - F. Ekonomi - F. ISIP - F. Psikologi - F. Hukum - Masjid UI - F. Ilmu Komputer - Rektorat - Balairung - Masjid UI - Hutan - keluar UI - rumah. Betul... Hutan. Kalau hari kering --tidak lepas hujan-- kawasan hutan ini menyenangkan untuk dijelajahi. Ilalangnya tinggi, tapi masih masuk akal. Dalamnya masih ada beberapa jalan paving block yang sudah bocel-bocel karena *sangat* jarang dilewati, juga jalan setapak yang dilalui pengendara sepeda, yang sering juga "berlatih" dalam hutan, maupun oleh "nelayan" dan pemancing yang menuju danau di tengah hutan. Jalan ini berupa tanah saja, membelah rerumputan dan pepohonan, teduh di bawah pohon-pohon, mm... Karet kurasa.

Tapi perlu diingat. Kemarin hujan turun dengan derasnya. Jadi, kombinasi hujan (air), tanah, dan tiadanya saluran di dalam hutan menghasilkan lumpur yang sempurna. Hihihi, seperti pernah dengar frasa yang terakhir itu. Yah, apapun itu, yang jelas lumpur itu mengurangi kecepatan jelajah hutan karena ban sepeda dengan cepat mengumpulkan tanah-lumpur itu. Belum lagi akar-akar pohon yang malang-melintang di lantai hutan. Tak mengapa, sebetulnya, karena rencana hari ini bersepeda membuang penat. Penat karena TA, PR-PR dan tugas, TA, Nike, TA, Seminar, TA, TA, dan TA lagi. Jadi, sepeda kecepatan rendah di jalan berlumpur --tak bisa memikirkan yang lain kecuali jalan di depan-- klop betul dengan tujuanku.

Setelah masuk ke hutan, setelah berputar kembali ke arah F. Teknik dari Masjid, terasa dingin menerpa tanganku. Syukurlah, aku mengenakan sweter lengan panjang, jadi tidak terlalu parah dinginnya. Jalan yang bocel-bocel itu betul-betul menyiksa --dengan ketiadaan peredam kejut di sepedaku. Untunglah jalan itu tak lebih dari 50 meter saja. Selepas itu, yang ada hanya jalan setapak dari tanah yang sebagian basah-sebagian kering. Dengan kecepatan rendah, tak lebih dari lima menit sampai sudah aku di tepi danau entah-apa-namanya. Memandang sekeliling, wah, sepi betul... Rasanya ingin menggelar koran bekas yang kubawa dan duduk membaca, tapi kok rasanya belum puas bersepeda yah? Jadilah aku menuruni lereng tanah yang agak curam di tepi danau itu.

Tapi... Loh, kok agak licin ya? Duh, ternyata sepatu yang kukenakan salah! Tidak salah juga sebetulnya, tapi itu sepatu satu-satunya yang kupunya yang kering. Sepatu satunya lagi, basah karena lalai kutinggalkan di depan teras nenekku waktu Rabu kemarin aku mampir --sekaligus melepas adik ayahku yang telah berangkat menuju Tanah Suci Makkah keesokan harinya. Yah, sepatu ini karena lama tak dipakai, entah bagaimana solnya seperti mengeras dan jalur-jalur di dasarnya sudah menuju rata. Jadi, wajar kalau licin. Duduh... Tapi biarlah. Kalau toh jatuh tak ada orang melihat ini. ;p

Jadi, dengan sepinya danau dari para "nelayan" dan pemancing yang terkadang mencari ikan di danau-danau UI, aku susuri saja tepian danau itu, menembus perdu yang tinggi tak terawat --siapa yang mau merawatnya? Bodoh ih, kadang-kadang (n_n)V. Lepas ilalang itu, ternyata ada seorang "nelayan" baru datang dan meninggalkan sepedanya di sebatang pohon. Mengapa "nelayan", sebab menurutku nelayan itu adanya di pantai, di laut. Tapi, karena di perairan darat belum ketemu padanannya, jadilah kuberikan saja gelar "nelayan" pada pria yang membawa jaring itu.

Wah, selepas pertemuan itu, jalannya sulit. Tanah berlumpur, menanjak, pohon pisang yang rubuh menutupi jalan, jalan yang sempit, rumput yang tinggi, semuanya deh, dan berakhir pada satu kata: "menuntun". Ah, coba saja hari kemarin (dan kemarinnya lagi) kering, tak ragu kulibas jalan itu. Masalahnya, saat kucoba mengayuh, ban belakang malah berputar di tempat karena sudah penuh lumpur. Ya sudah, lebih baik dituntun saja, toh, sampai kembali ke 'jalan yang benar', alias jalan aspal di pinggiran kampus. Eh, yang ada malah bocah juga seorang perempuan, belajar mengemudi sepeda motor.. Jadilah menepi lagi, masuk ke dalam hutan lewat jalan yang lain.

Di sana kutemui seorang (kuduga) bapak dan anaknya yang juga mengendarai sepeda --yang (kuduga juga) jauh lebih bagus dari yang kukendarai. Wah, lengkap deh peralatannya. Helm (bagus) banding topi (kupakai), kaus sepeda banding kaus biasa berbalut sweter, tempat minum yang dipasang di rangka banding air dalam botol eks air mineral dalam tas selempang. Yah... Tak bisa dibandingkan deh, kecuali mungkin semangat dan 'kegilaan' menembus jalan yang bukan jalan dalam hutan itu, hehehe...

Nah, setelah menemui danau (lagi), dan menyusuri tepiannya, adalah sebuah pintu air yang bagian atasnya bisa dilewati orang dan (dengan sedikit edan) sepeda. Masalahnya, di mulut 'jembatan' itu dan di jalan keluarnya, ada genangan air di ceruk tanah. Genangan di mulut 'jembatan' bisa dilewati dengan mulus, tapi masalah datang ketika keluar. Duh, ternyata dalam... Jadilah sedikit ngadat di tengah genangan, dan sepatu kiri jadi korban lumpur karena mencari tumpuan. Lepas jembatan itu, gambaran (roda) sepedaku itu adalah ban yang dibalut lumpur setengah basah-setengah kering. "Belog" kata orang sini.

Sudah itu, aku salah belok menuju "tempat pembuangan sampah" di balik lereng di tepi danau yang kedua itu. Saat akan kembali turun di lereng itu, coba tebak. Rem depan kendur. Bukan kendur biasa, tapi tali bajanya memang sudah ada yang keluar dari jalinannya. Jadi, baut pengencangnya tidak bisa menahannya. Syukur dalam tasku ada beberapa kunci pas, untuk sekadar jaga-jaga, Maklum, sepeda warisan. Dengan sedikit akrobat, termasuk 'menambatkan' sepeda di sebatang pohon kecil, dan mengutak-atik sedikit tali baja untuk rem itu, akhirnya kembali *bisa* bekerja lagilah rem depan itu, setidaknya untuk menahan lajunya sampai turun kembali ke tepi danau. Nah, malah di situasi inilah keringat keluar lebih banyak daripada sepanjang mengayuh tadi. Aneh, memang, mungkin dipicu ketegangan karena situasi itu terjadi di turunan jalan ya? Yah, begitulah.

Akhirnya, karena sudah cukup siang, dan ban sepeda sudah semakin amburadul bercampur tanah, dan lelah mulai menghampiri juga, padahal masih ada satu sesi kayuhan lagi sampai rumah, jadilah aku memutuskan pulang saja. Sepanjang jalan, kalau ada yang jadi kotor tertempel tanah yang terbawa sepedaku, aku minta maaf. Celanaku juga jadi bermotif cokelat tanah karenanya. Tiga puluh menit(an) kayuhan, diselingi lima menit(an) menuntun sepeda melewati ramainya angkot di tanjakan pasar Lenteng, tibalah di rumah, dengan ibu langsung bertanya, "Jatuh tadi, Mas?". Hehehe... Kalau jatuh sih, rata tanahnya, Bu.... Andai beliau tahu jalan macam apa yang tadi kulalui.

Yah, sesampainya di rumah, toh akhirnya koran dan buku itu tak kunjung jadi kugelar. Yang jelas, terjawab pertanyaanku di atas itu. Jawabannya sederhana: Sepeda + Lumpur = "Mencuci". Yap, jadilah sepeda itu kucuci. Selain ban dan roda penuh tanah, ada pula bau-bau aneh yang menguar dari bannya itu. Daripada daripada, lebih baik mendingan, hihihihi. Sekitar satu jam pencucian, sepeda itu *lumayan* bersihlah. Kemudian, selepas sarapan dan mandi dan Dzuhur, tak ada yang lebih nikmat daripada..... TIDUR! Hihihi.

Lelah, capai, semuanya mengumpul. Tapi setidaknya, penat itu --soal TA, tugas-tugas, TA, Nike, TA, Seminar, TA, TA lagi-- sudah cukup terangkat. Esok saatnya memulai hari yang baru. Semoga.

--
F I N
written on 16. November 2008, 19.40 WIB
*menulis --dan membaca-- ini (kuduga) melelahkan juga yah.. Hihihi (^_^)V*

Jadi Manusia

Rasanya, dengan semakin dekatnya hari pengumpulan skripsi, semakin takut pula aku. "Mau ke mana (se)habis ini, Rif?" jadi pertanyaan yang lazim kudengar mulai dari semester ini. Heii... Jangan tanya aku. Lama sudah tak berencana aku. Lama juga aku dilanda keberuntungan demi keberuntungan (atau kebetulan? Bukan, tapi garis jalan hidup yang, syukurlah, menguntungkanku) selama melewati tahun-tahun remajaku yang *terlalu* singkat.

"Jadi, sudah ada rencana, Rif?". Sudah kubilang, belum. Yang ada baru mimpi yang jauh tentang sebuah rumah berhalaman luas yang tidak kuhuni sendiri, dan semuanya yang sekarang kurasa amat jauh. Jauh, karena skripsi masih (menunggu) ditulis -- ia takkan menulisi dirinya sendiri, bukan? Jauh, karena rasanya untuk terjun ke dunia yang disebut 'dunia kerja', atau 'dunia nyata' dan semacamnya yang pada dunia itu kesalahan hanya bisa diperbuat seminim mungkin, aku rasa belum siap ilmuku masuk ke sana. Jadi, kurasa sekali lagi aku biarkan saja waktu berjalan melewatiku, atau sebaliknya, aku berjalan melewati terowongan waktu tanpa lentera.

Hmm... Sebetulnya, ingin rasanya ku mempunyai semacam pabrik, atau jenis usaha lain. Ingin bekerja mempekerjakan orang lain (yang banyak sangat masih belum bekerja). Kalau dari koran kemarin yang kubaca, tingkat kejahatan lurus hubungannya dengan tingkat pengangguran. Hmm... Jadi, masuk akal bukan kalau dengan mempekerjakan orang lain, aku bisa turut memberi rasa aman --dalam berbagai makna-- pada orang-orang di sekitar?

Tapi... Sekarang kita lihat, pekerja di pelbagai pabrik diperlakukan tak ubahnya mesin, menjadi sekadar aset yang diperhatikan dalam hal angka-angka saja. Yah, angka berapa banyak jahitan yang selesai, berapa jumlahnya, berapa gajinya, dan banyak angka lain yang lebih penting dari keberadaan mereka sendiri sebagai manusia. Apalagi, kalau tak salah, prinsip ekonomi yang dipegang masih berupa mencari "keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya". Apalagi yang bisa diperkecil, kalau bukan urusan gaji dan segala hal tentang pekerja. Toh, mereka juga butuh mendapatkan uang, dan uang bisa didapat dengan bekerja. Kalau tidak perlu bekerja bisa dapat uang, tentu sudah tak terhitung banyaknya orang tidak memilih bekerja saja --termasuk juga aku, hihihihi... Lain itu, kalau mereka tidak rela, para pengendali pabrik-pabrik tersebut bisa dengan enteng menyatakan "kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, toh masih banyak yang perlu pekerjaan".

Duduh... Terus terang agak takut aku jadi seperti itu. Ingin sebetulnya jadi pemilik yang --menurut Cak Nun pada bukunya [0]-- "juga kekasih buruhnya". Yah, masih kupegang prinsip itu, bahwa "perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin orang memperlakukanmu". RIndu rasanya menjadi manusia sedemikian. Betul, menjadi manusia, bukan menjadi "industriawan", "wartawan", "seniman", "insinyur", "dokter", apapun deh. Pada dasarnya tidak sulit menjadi yang kusebutkan terakhir itu. Jauh lebih sulit sebetulnya menjadi manusia. Manusia sebenar-benarnya, yang diciptakan "hanya untuk beribadah padaNya". Bisakah?

"Jadi, sudah dapat apa tujuanmu setelah ini, Rif?" Rasanya sudah. Jadi manusia, apapun profesinya. Manusia yang dianugerahi dua poros yang seolah bertentangan --hati (nurani) dan akal pikiran-- padahal harusnya sejalan, tak ada yang satu menjadi panglima yang lainnya. Jadi manusia yang.... Manusia.


[0] Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
--
F I N
written on 16. Nov 2008, 00.55 WIB
Uff.. Skripsi oh skripsi, mengapa tak bisa kau menulis dirimu sendiri?

Jumat, 14 November 2008

Lari

Lelah rasanya. Dengan hantu bernama 'dateline' yang tinggal sebulan kurang lagi (atau harusnya 'deadline'? Sudahlah, sebut tenggat saja lebih mudah). Duh.. 12. Dez 2008 melangkah mendekat saja. Padahal, sedari lepas UTS dua pekan yang lalu (atau entahlah, mungkin tiga pekan?), hampir tak ada tempat yang lebih aku dan Dini singgahi lebih lama dari lab kami. Delapan pagi, Dini sudah di tempat. Aku, ehm, setengah jam kemudian. Tapi rasanya, masih belum dapat juga apa yang kami cari.

Ingin lari rasanya. Ingin mencuri satu hari penuh saja tanpa hantu tenggat skripsi. Ingin melompat ke mana saja, atau ingin berdiam di depan radio kesayangan saja, atau ingin mendinginkan kaki di dingin lantai pualam M. UI, atau apapun, tanpa bayang teks yang harus ditulis itu.

Penat rasanya. Beragam akrobat sudah dibuat, tapi masih juga belum didapat yang kami mau. Sudahlah... Semoga rencana mengupas lapis grafit dari kaca khusus itu hari ini bisa berjalan -- kalau tidak kami harus membuat kaca khusus yang baru lagi. Semoga tak banyak macam data yang dihasilkan dari modul-modul yang kami kerjakan. Semoga...


F I N
written on 14. November 2008, 6.15 WIB
"Dan setidaknya, akhir pekan ini, aku bersama sepeda gunung butut warna hijau warisan ayah akan kembali ke sunyinya hutan kampus kami. Mungkin perlu juga membawa tikar dan makanan kecil, serta buku untuk dinikmati. Sendiri saja..." (n_n)


Kamis, 06 November 2008

(Tidak) Sakit Kepala

Pernah merasa pusing, tapi tanpa sakit di kepala? Ya begitulah sepekan ini aku. Setelah UTS, tak ada waktu melepas penat barang sejenak juga. Ada proyek, juga mimpi, yang dipertaruhkan di lab kami. Proyek yang nyaris ditinggalkan (sementara) sebetulnya, sampai Senin dan Selasa kemarin, ada seberkas cahaya diturunkan untuk kami.

Betul, tak lain dan tak bukan, cahaya teman kami. Jadi, pada Senin siang, dengan Dini sebagai aktris utamanya, kami memutuskan menguji coba saja modul yang kami punya, di bawah penerangan lampu OHP. Ternyata (eh ternyata), keluar angka di tampilan voltmeter yang kami pinjam dari Pak Nuddin dan Bang Mamad. Memang sih, hanya 10 millivolt, tapi untuk modul yang semuanya "home-made", menurut kami itu sudah luar biasa. Setelah itu, keesokan harinya pun disusul lagi oleh tampilan yang -jauh- lebih besar. Tiga kali dari angka hari Senin, dengan bahan semikonduktor yang memang berbeda sih. Hari Senin dengan Titanium (IV) Oksida (TiO2), Selasa dengan Seng Oksida (ZnO).

Nah.. Dengan itu resmi sudah topik yang kami pegang sekarang itu sebagai topik Tugas Akhir kami --sebelumnya nyaris batal topik itu. Eh iya, lupa disebut ya topiknya apa. Coba klik di sini dulu deh, supaya ada gambaran yang akan kami kerjakan. Jadi, setelah ketemu bahan apa yang akan kami jadikan bahan semikonduktor utama, selanjutnya kami menentukan variabel yang akan diamati.

Keputusannya adalah aku menggunakan campuran ZnO dengan beberapa bagian bubuk nano TiO2. Bubuk ini dibuat dengan menambahkan bahan awalan (larutan Titanium isopropoksida) dalam air, agar terjadi hidrolisis (pemecahan ikatan oleh air) dan didapat serbuk TiO2. Campurannya tertentu, tentu saja, agar ukuran nanometer yang kami kejar bisa didapat. Dini sendiri, menggunakan ZnO dengan campuran bahan kopolimer blok (?) untuk mengejar pori yang lebih luas pada lapisan ZnO nantinya.

Nah...... Membuat bubuk nano TiO2 itu, betul-betul tidak semudah mendengar Fian menerangkannya. Jadi, kerja membuat bubuk nano itu HARUS dilakukan di depan timbangan, karena rawannya bahan awalan itu bila dibiarkan di udara terbuka. Sebentar saja dipapar udara, bahan itu (kuduga) sudah bereaksi dengan uap air di udara dan menjadi serbuk putih, yang bisa menyumbat pipet untuk meneteskannya.

Karena Allah Maha Adil, setelah semua keriangan karena angka yang besarannya beberapa millivolt itu, maka roda pun berputarlah. Coba tebak, untuk membuat tiga perbandingan air dan bahan awalan itu, berapa lama waktu yang kami berdua perlukan untuk mengerjakannya? Coba kita hitung. Sebelas seperempat siang WIB, sampai setengah satu seperempat WIB untuk labu pertama. Dijeda makan siang dan shalat dan istirahat, lanjut lagi dari jam satu seperempat siang sampai...... Setengah empat petang! Fuh... Tiga tigaperempat jam habis.

Lelah? Pastinya. Itu baru kerja hari tadi. Belum termasuk kerja hari Senin-Selasa kemarin (Rabu istirahat dulu), sampai-sampai Senin-Selasa itu kami berdua pulang sampai waktu beranjak Maghrib. Hari Rabu, biarpun disebut istirahat, tapi dengan ada tugas mengawasi ujian akhir praktikum juga, jadilah aku baru pulang lepas Isya'..

Belum seberapa itu semua dibanding beban di hati. Yah, sebulanan ini juga, rasa-rasanya hati ini ingin mengetuk hati seorang. Tapi entah mengapa ragu menyerang lagi. Dia, aslab juga, yang jadi rujukan pertamaku bila hendak meminjam timbangan di lab seberang. Dia yang tak tahan debu, dan bisa sesak karenanya. Dia juga yang lebih menyukai susu kaleng bergambar dua ekor beruang daripada susu kotak itu (uh, memang harga tak bisa bohong...). Dia juga, perempuan yang bibir ini hendak mengutarakan maksud dari hati pemiliknya, tapi tak pernah bisa. Karena setiap pertemuan, selalu aku yang tak bicara. Karena terkadang, tercetus pula ide bahwa kamu tak jarang memanfaatkan hati-hati yang rawan ini.

Maaf, Non, kalau kaleng kemarin itu tak betul-betul untukmu saja. Juga maaf, kalau kaleng itu bukan hanya karena siang harinya telah terbantu aku karenamu. Maaf, karena dari kaleng itu, kuharap bisa kukalengkan pula kata-kataku yang belum bisa tersampaikan, yang belum juga tersusun rapi dan manis, dan malah kusembunyikan di belakang sebarang kata-kata yang kuucap kemarin-kemarin. Maaf...

Yang jelas, kamu --dan semua masalah lain yang mengisi sebulanan ini-- menyusutkan waktu tidurku, menghapuskan rasa di setiap butir nasi yang masuk ke kerongkonganku, meluluhkan batu di hati. Yap, sekeras apapun batu, di bawah terpaan air dan dibantu lumut kerak (?), pasti halus jua. Yang jelas, andaipun waktuku yang singkat ini tak cukup untuk mengenalmu jauh lebih jauh lagi, terima kasihku untukmu yang memberi sedikit sentuhan hati di sempit waktu ini.


F I N
written on 6. November 2008, 19.42 WIB
Ya Allah, bukan ku tak percaya telah Engkau gariskan siapa yang akan kudampingi, bukan ku ragu dengan apa kataMu, tapi setidaknya, berilah tanda padaku, tanda-tanda yang jelas karena aku mulai khawatir...

Jumat, 31 Oktober 2008

Oleh-oleh dari UTS

"Evaluasi". Kalau mendengar kata ini, apa yang mungkin tebersit di kepalamu? Takut? Mungkin. Ngeri? Bisa jadi. Was-was? Siapa tahu. Tapi, untuk sekarang, pinggirkan dulu prasangka jelek soal evaluasi. Anggap saja cermin. Kalau rambut berantakan, tentu bukan cermin yang kita ganti bukan? Yah, kira-kira seperti itulah evaluasi kalau dipandang sebagai perangkat saja.

Lalu, apa sih yang akan kamu evaluasi? Ya, coba lihat judulnya lagi deh. Itu, tuh.. Singkatan terakhir itu. Tiga huruf "maut" buat kami mahasiswa, bersama dengan pasangan sejatinya, "UAS". Jadi memang, pekan ini kami menghadap pekan ujian. Karena waktunya pada pertengahan semester, jadilah namanya ujian tengah semester. Yuk kita mulai, perlahan-lahan saja, tentunya.

Senin (27. 08):
Kosong, tak ada ujian (buatku).

Selasa (28. 08):
Standardisasi Material (10.00-12.00 WIB). Penilaian: Beruntung! Coba saja kalau yang muncul alih-alih mengenai struktur organisasi ISO, malah penomoran paduan NikeL (yang terlewatkan karena praktikum itu)? Wah.. Sudah pasti, segera kutulisi lengkap isian di sampul buku ujian dan segera kukembalikan ke Dosen.

Material Mutakhir (15.30-17.00). Penilaian: Sekali lagi, beruntung! Keluarkan segala hal tentang material cerdas (paduan pengingat-bentuk) dan aku akan mengecewakan Pak Herman lagi. Biar demikian, soal analisis penyusunan-diri dipengaruhi-penguapan itu cukup mengerikan juga dengan bobot 35 poin dari total 100. Fuh...

Rabu (29. 08)
Kesehatan & Keselamatan Kerja; Lindung Lingkungan/K3LL (08.00-10.00). Tiga soal, analisis risiko, juga soal analisis grafik dan analisis lainnya. Syukur ada PR yang kukerjakan, terkait analisis risiko itu. Jadi, bisa dikata cukup aman lah.

Baja Paduan Khusus dan Paduan Super (15.30-17.00). Ini dia. Katastrofi, kalau kata orang. Soal hanya enam, lebih berupa isian daripada analisis, tapi itu dia masalahnya. Tanpa analisis, yang bisa diisi sepanjang-panjangnya asal setidaknya menyinggung inti jawaban, habislah aku...

Kamis (30. 08)
Mesin-mesin Pengolahan Plastik (08.00-10.00). Ampun deh.. Berangkat dari rumah delapan kurang seperempat karena mencetak tugas kelompok (yang akhirnya kukerjakan sendiri juga... Huh...) dengan pencetak yang amburadul. Tapi, biar terlambat tak boleh panik. Napas tersengal masuk kelas, tapi pikiran tetap jernih, jadi tak terlalu masalah deh.

Jum'at (31. 08), hari terakhir....
Statistika dan Probabilitas (07.30-09.00). Nah, ini dia suguhan penutup yang memusingkan. Coba bayangkan 100 data acak, disajikan dalam tabel, dengan perintah yang singkat: "Buat histogram, lalu hitung deviasi standar dan persentase kesalahan." Bagus sekali. Empatpuluh lima menit habis hanya untuk menyusun ulang (mengelompokkan) data itu jadi tabel yang manis. Kemudian limabelas-duapuluh menit untuk menggambarkan histogram (yang kusebut tegas: "JELEK"). Lalu sisanya untuk berhitung deviasi standar yang tak pernah kudapat... Jelek...

Mekanika Perpatahan dan Analisis Kegagalan (13.30-15.00). Lumayan. Untuk mata kuliah yang tidak bisa kumengerti samasekali ini, ini luar biasa. Sembilan soal dan hanya lewat satu saja. Setidaknya bisa dapat nilai pas, kuduga.

Kesimpulan akhir: Belajar lebih keras di Statistik, Baja paduan, dan Mekanika Perpatahan. Itu saja.

Yah, begitulah... Bahkan di sela-sela UTS kemarin (Rabu siang, dan Kamis lepas ujian) masih memaksa diri mengejar mimpi di TA. Menimbang, memanggang, menyemprot larutan asam kuat pekat, begitulah. Syukur ada Dini, biar masih belum banyak bercerita kami. Padahal rekan mestinya berbagi yah?

Duh... Besok bebersih lab, kemudian melanjut TA sebanyak waktu mengizinkan, lalu ada rencana datang ke pekan raya pendidikan Eropah, kemudian Ahad mengetik ulang statistik, kemudian Senin... Mungkin tidur lagi? :p


F  I  N
written on 31. Okt 2008, 20.30 WIB
.h.e.c.t.i.c. Tapi tergila-gila lembutnya lagu berbahasa Italia yang dinyanyikan pula di kartun favoritku
Tom and Jerry, "Santa Lucia".

Rabu, 29 Oktober 2008

Mari Berdendang...

Yap... Mari berdendang bersamaku. Mari bersaing dengan kodok dan katak di malam berhujan (tahu bedanya, tak? Kodok itu hampir identik dengan buduk/kulit kasar, katak itu halus kulitnya). Mari kalahkan jangkrik di sunyinya malam. Mari temani sahutan burung hantu di bawah naungan redup cahaya bulan.

Sementara biarkan ujian yang hari ini lewat hari kedua, yang sepertinya banyak didasari keberuntungan dan ingatan yang cukup daripada pengertian. Sementara biarkan penyemprot untuk melapis kaca itu rusak dan mengacau rencana berjuang untuk TA di tengah ujian ini. Sementara biarkan kembang tumbuh lagi dalam hati, yang rencananya akan kuberikan untuk Puteri di seberang ruang kami mengutik proyek kami. Sementara sang Puteri hari ini berkata telah biasa melewatkan makan siangnya.

Yakin deh, tak ada hujan sepanjang tahun sebagaimana panas seluruh kalender. Tak ada bahagia selamanya tapi tak juga ada sedih selamanya. Karena aku tahu Kamu paling mengerti, kapan menundukkan kepala yang semakin tinggi menatap langit, dan mendongakkan kepala yang semakin runduk menembus tanah.

Jadi... Nyanyi sedikit yuk? Tiga pekan terakhir, ingin rasanya bisa melantunkan bait-bait sederhana ini di hadapan yang dimaksud. Soal reaksi, aku tak peduli. Sudahlah.. Yuk...

################
*     Artist: Mocca   *
*   Album: Friends *
################

I Think I'm in Love

If you got an eerie feeling after hanging up the phone
Sort of happy feeling but you’re not sure what it’s called

If you’re haunted by her face whenever you’re asleep at night
And think you hear her silly voice just calling out your name

Reff:
Oh ,no! I think I’m in love with you..
Oh, no! I’m hoping you’ll want me too
So, please..don’t let me down!

Just can’t help but talk about her in every conversation
Till your friends are sick and tired of that same old crap

If you start wearing make up even when you go to bed
Crying like a baby when you hear a mellow song

Reff:..

_________

Oh iya, sebelum menutup halaman ini, perlu diingat kalau aku TIDAK PERNAH memakai make-up, dimengerti? Dan... Neng yang sabar yah. Kelakuan Arif memang begitu, lambat dan kasar memang terlihatnya...


F  I  N
written on 29. Oktober 2008, 19.45 WIB
Dum di dum di dum... Pelangi pelangi... Kapankah kau muncul kembali?

Senin, 27 Oktober 2008

Kemarin...

Yah, boleh kan aku bilang kemarin, biarpun baru lewat setengah jam pada saat ini pertama ditulis?

Jadi ini hari terakhir setengah awal semester, yang artinya mulai Senin esok adalah pekan ujian buat kami. Wah, kalau ditanya siap atau tidak, jujur kujawab tidak. Bahkan uts yang ketujuh yang akan kujelang ini rasanya jauh lebih mengerikan daripada uts pertama dulu. Padahal dulu yang namanya uts dan uas, dan segala hal terkait kehidupan kampus itu betul-betul gelap buatku.

Mungkin karena TA yang belum juga ada satu saja purwarupa (prototipe, puas?) sampel. Mungkin karena ini (rencananya) semester terakhirku. Mungkin karena laporan KP yang tak kunjung beres. Mungkin karena tabungan yang malah susut banyak selepas 'Id fitri kemarin. Mungkin karena tugas yang semakin menggunung jelang uts ini. Mungkin karena berbagai kemungkinan lain yang mungkin hanya akan menyita perhatianmu di paragraf ini saja.

Betul lho, hampir setiap ujian sebelumnya aku hanya mengandalkan ingatan-ingatan dan sedikit catatan bertulis cakar ayam (kata si Ica sih, "Dokter aja kalah", duh...), aku lolos-lolos saja dari jerat ujian yang lalu. Tapi sekarang? Coba kita ikhtisarkan. Kelas masuk selalu, hanya lepas sepekan karena pekan praktikum karakterisasi material (d/h metalurgi fisik). Catatan, seperti biasa, tidak cukup lengkap, tapi masih cukup. Ah, entahlah...

Yang jelas, hari Ahad (26. Oktober) kemarin, sepupuku berulang tahun. Karena keadaan keluarganya (adik ayahku) bisa dibilang mencukupi, jadilah sekeluarga kami diundang untuk makan bersama di sebuah resto di kawasan Ancol.

Hmm... Ancol. Tempat ini boleh dibilang satu-satunya lokasi pantai di Jakarta yang dijadikan tempat wisata. Entah mengapa, semakin kemari Ancol rasanya semakin mahal saja. Memang dari dulu sih, Ancol bukan tempat rekreasi yang cocok untuk keluarga yang agak tipis sakunya --Ragunan masih lebih baik, bahkan HTM-nya hanya (dulu) Rp 3.000,00. Ancol? Wah, hari ini saja untuk satu orang masuk dikenakan biaya Rp 12.000,00. Ampun deh.. Sayangnya, seperti yang kubilang tadi, Ancol itu satu-satunya pantai wisata di Jakarta. Oh iya, soal pantai ini, adikku sering agak senewen kalau disebut pantai, sebab dulu ketika pulang ke kampung ayah di Solo, ia diajak ke 'pantai'. Tahu apa yang dia dapat? 'Pantai' Asuhan! Kontan saja bertanya ia, "Yah, pantainya mana?". Terang saja tidak ada, dan adikku saat itu ngambek tak berketentuan. Hehehe..

Yah, kembali ke Ancol, sudah lama (betul) aku mengunjungi tempat rekreasi ini. Terakhir pada saat ulang tahun nenekku dan bulikku, kalau bukan tiga, ya empat tahun lalu. Banyak juga perubahan di tempat ini. Sekarang ada jembatan kayu di atas sebuah teluk kecil, entah teluk apa. Cukup panjang jembatan itu, dan sepertinya lokasi yang menarik untuk berfoto karena tadi saja setidaknya ada tiga fotografer profesional (kurasa) memotret di sana. Sayangnya, karena kemarin kami berkunjung pada waktu lepas Maghrib, penerangan di sana agak kurang. Jadilah seolah pepatah lama dimodifikasi oleh pasangan muda-mudi di sana: "ada gula ada semut, ada tempat remang, ada pasangan mojok". Huh...

Yah, begitulah. Mungkin iri, mungkin bagaimana, aku tak suka pemandangan sedemikian. Banyak anak-anak, Bung! Jadi dilarang ngebut, eh, maksudnya jangku mojok-mojok begitumi. Mau bagaimana nanti adik-adik kita?

Karena yang empunya acara belum datang, jadilah kami cukup leluasa berkeliling, biar sebentar, di jembatan itu, juga di tepi laut Teluk Jakarta itu. Aku sendiri sempat menyandar ke pagar juga, memandang gelombang yang tenang tapi terus menghanyutkan. Agak ngeri juga, bukan soal laut itu, tapi soal mau ke mana nanti selepas masa perkuliahan itu. Begitulah kalau lebih banyak punya pesimisme dalam hati, ke mana-mana ragu. Dulu masa SD berlanjut ke SMP, lanjut ke SMA, lalu ke universitas, semuanya atas dasar pasrah. Duh...

Rasa-rasanya berbagai rencana di kepalaku adalah buih di gelombang laut. Terombang-ambing ke mana bertiup angin. Dan yang terbayang di kepalaku adalah, buih-buih itu, juga rencana-rencanaku kandas dibelah batu di tepian. Uh... Takut.. Mungkin memang lebih nyaman tidak mengintip kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan ya? Sering betul dikatakan, "lebih baik kamu tak tahu", dan kurasa sekarang itu semua benar adanya...

Lalu, lepas 'Isya', sekitar jam 8 malam, sepupuku datang, bersama papa-mamanya, juga nenekku dan sepupuku yang lain. Memang iri juga sih, mereka tinggal berdekatan. Hanya berbeda RW saja kedua anak nenekku yang perempuan itu. Jadinya bisa sering-sering mengunjungi nenek yang tinggal bersama seorang pembantu rumah tangga saja.

Tak berapa lama, hidangan disajikan, acara makan yang diimbuhi obrolan canda tawa, juga operan piring lauk pun berlangsunglah. Cukup enak, menurutku, makanan yang disajikan. Enak dan unik, lebih tepatnya. Tapi jelas lebih nikmat berkumpul sekeluarga besar. Meskipun tak lengkap karena adik sepupuku sedang menjalani pendidikan jauh di Sukabumi, Jawa Barat, juga adik ayahku dipindahtugaskan ke Balikpapan (bukan bersembunyi. Kalau itu 'ke balik papan', mengerti? :p) tapi setidaknya empat generasi berkumpul di sana.

Dari nenekku, yang sudah ditinggal kakung hampir lima tahun silam. Ayah-ibu dan bulik-omku. Kami, cucu-cucu mbah Ti --yang entah bagaimana mengikuti pola satu laki-laki, dua perempuan. Juga si Syamil, cicit (cuit ^_^) mbah Ti dari sepupuku Mbak Lia. Lucu betul anak ini, setahun lebih usianya, tapi karena satu dan lain hal belum lancar merangkak --apalagi berjalan-- dan juga bicara. Sabar ya, Mil.. Nanti kalau kita ketemu lagi, kamu udah bisa jalan ya, janji ya? Yap, begitulah. Empat generasi berkumpul. Lebih indah lagi bahwa hari kemarin ditutup dengan hujan.

Soal hujan ini, aku agak bingung akhir-akhir ini. Di satu sisi aku ingin hujan turun selalu, biar tak berdebu di jalan, tak berdebu di hati. Tapi tepat saat permintaanku untuk turunnya hujan, selalu juga saat itu aku perlu matahari untuk muncul. TA-ku bergantung pada matahari, nih... Ekstrimnya, "in sun we trust".

Tapi untuk sepekan ini... Berikan aku "jendela" selama duapuluh lima menit (bukan duapuluh. Sabtu kemarin aku berbasah-basah saat sudah tinggal beberapa ratus meter dari gerbang kutek/kukusan teknik --daerah di belakang kampus-- setelah kuminta "jendela" duapuluh menit) setiap akan berangkat keluar rumah menuju kampus tanpa terimbas hujan. Setelah itu, turunkanlah hujan seharian. Biar tumbuh lagi rumput di sepanjang jalan, kembang di tepi jalur sepeda itu, dan pohon yang semakin banyak hanya disisakan tunggulnya saja.

Uff... 'Mat UTS, "hancur-lebur dalam kejujuran lebih disukai daripada gilang-gemilang dalam kebohongan". Dan setelah UTS... Mari kita cari tahu tentang praktikan itu. :>


F I N
written on 27. Oktober 2008, 01.14 WIB
An "angel" may materialise in any form if He gives his permission. The form may include a little miss, Mr. Hawkers, and.... also You! ^_^


Jumat, 24 Oktober 2008

Mendengar(kan)

Yah... Apa mau di kata. Saat merasa ingin bicara, dan butuh seorang untuk mendengar(kan), yang ada malah si Himsky yang ujug-ujug masuk ke lab polimer dan memulai. Oh iya, sebelum kita sedikit intip apa yang kami bicarakan tadi, yuk kita lihat dulu apa sih bedanya mendengar dan mendengarkan.

Kalau Pak Komaruddin Hidayat mengartikannya dengan menyetarakannya dengan kata bahasa Inggrisnya "Hearing" dan "listening". Kemudian beliau menerangkan kalau mendengar adalah aktivitas yang lebih pasif daripada mendengarkan. Kamu bisa saja berada di depan khatib Jum'at, mendengarkan dengan segenap hatimu --membuatmu "berada di sana"-- dan kemudian mendengar ada deru kereta listrik di kejauhan, dering telepon seluler orang-orang sibuk yang bahkan di tengah kuliah agama setengah sampai satu jam saja tak bisa 'membunuh' sementara kesibukan lainnya. Dimengerti kan? Mendengar hanya memerlukan telinga, mendengarkan perlu lebih dari sekadar telinga --perlu segenap hati dan pemikiran juga. Hmm.. Tulisan itu bisa dijumpai di kolom tetapnya setiap Jum'at (menggantikan M. Ainun Nadjib/Cak Nun sebelumnya) di koran dari jaringan MNC yang ayah langgan di rumah. Koran yang, maaf-maaf, betul-betul inspiratif --sesuai tagline-nya, "Sussah cari inspirassi?"-- dalam hal luputnya penyuntingan di berbagai sisi. Uh, aku lebih suka koran yang lebih kecil itu, yang kawan-kawanku sering membelinya eceran di stasiun kereta.

Jadi, mari kita lanjut. Apa yang ia ceritakan, dan apa yang aku dengarkan? Sebetulnya tak jauh dari soal "semester/tahun terakhir" kami. Begini, dia itu asisten Lab Kimia --berseberangan dengan Lab Polimer, kebetulan. Yah, jujur saja dulu aku melamar ke lab tersebut juga, tetapi hasil wawancaraku sangat-amat jauh di bawahnya. Syukur masih ada kesempatan lain dan akhirnya CV-ku bisa kuisi satu baris lagi. ^_^

Yah, kembali ke pokok masalahnya. Jadi Lab kimia ini baru saja menyelesaikan setengah semester yang... Wuihh.. Sibuk! Sibuk dengan praktikum kimia dasar untuk mahasiswa tingkat pertama (iya, iya.. Mahasiswa baru), juga beberapa "sisa" dari angkatan sebelumnya yang entah-bagaimana-caranya belum/tidak lulus praktikum itu. Nah, untuk praktikum ini, Hims jadi salah seorang --dari tiga-- PJ-nya. Agak berat juga sebetulnya, mengingat ia tengah menjalani TA juga sepertiku. Karena itulah ada semacam "perjanjian" bahwa Hims tidak akan bertanggung jawab penuh atas praktikum kali ini, karena soal TA dan rencana lulus semester ini.

Apa yang terjadi? Sayang seribu sayang. Hanya Hims, seorang sesama PJ, dan seorang asisten lain yang betul-betul "banting tulang peras keringat" untuk praktikum ini. Malahan, praktikum yang semestinya lebih banyak dijaga oleh asisten dari angkatan 2006 malah ditangani (lagi) oleh asisten dari angkatan 2005. Yah, begitulah, Hims jadi merasa... Bagaimana yah, semestinya 'kan memang 2006 yang lebih menangani, tapi kok malah jadi 2005 (lagi) yang turun. Sedangkan hampir semua asisten dari angkatan 2005 --Panji, Cicis, Nurma, Martha, Mba Idham-- sedang fokus kepada skripsi/TA masing-masing. 2006? Entah ke mana saja mereka, Hims tak pernah tahu. Padahal tahun kemarin, untuk praktikum angkatan 2007, yang turun tangan pun asisten 2005, dengan asisten 2004 lebih memegang pengawasan saja. Duh...

Lebih parah lagi, rasa-rasanya --menurut Hims, tentu saja-- asisten 2007 pun malah mengikuti jejak 2006 yang tidak ketentuan ke mana perginya. Kalau mengutip Hims, "Mau dikemanain Lab Kimia?". Nah, terkait arah itu juga, ada ketakutan menggelayut di benak Hims, bahwa 2008 nanti asisten akan seperti apa. Sebabnya jelas, citra praktikum kimia dasar pada angkatan 2008 ini yang Hims coba bangun adalah, "Asisten nggak bisa dimainin". Tetapi, dengan (akan) perginya asisten 2005, dan praktikum kimia analitik kuantitatif dan kualitatif akan dipegang penuh oleh 2006? Yah, masih tanda tanya kalau betul yang kudengarkan dari Hims tadi.

Kemudian... Tunggu dulu, ini belum selesai? Yap, betul. Soal TA berikutnya. TA Hims dan tiga rekan kami --temanya fuel cell, sel bahan bakar-- memerlukan peralatan yang tidak ada di lab-lab jurusan. Untuk itu mereka perlu meminjam (baca: menyewa) alat di tempat lain. Nah, ternyata tarif alat itu berdasarkan waktu. Pengerjaan mereka berempat, itu justru lebih lama daripada Hims bekerja sendiri. Jadilah sewa alat itu mahal, lebih dikarenakan kelambatan kerja kawan-kawan kami itu. Yah, dengan itu kesimpulan yang ia tarik ialah, "kalau ada yang bisa gue kerjain sendiri, gue kerjain sendiri dulu deh".

Apa yang mau kukata? Cuma sedikit tanggapan di sela-sela menjejak ulang langkah yang kami lakukan untuk proyek kami ini. Sulit rasanya memang. Saat aku sendiri rasa butuh kawan yang bisa kuajak bicara entah ke mana saja, malah entah bagaimana caranya aku diturunkan kawan untuk kudengarkan. Kudengarkan karena bisa kutuliskan kembali sebagian besar detailnya. Syukur juga aku bisa sedikit berbagi pusingnya mensintesis TiO2 yang bisa menyerap pewarna dengan baik agar proyek kami bisa lekas kelar.

Dan... Senin esok (27. Okt), kami resmi memulai ujian tengah semester --aku sendiri sih, mulai hari Selasa. Hari Jum'at ini pun, ada ujian pendahuluan praktikum korosi bagi sebagian besar kami, tidak termasuk aku dan semua peminat Polimer lainnya ^_^. Jadi, dengan ini kuucapkan selamat ujian. Orang bilang, "no pain no gain", "bersusah dahulu, bersenang kemudian", intinya selamat mengulangi kuliah-kuliah kemarin. Besok kita diuji sedikit. Tak usahlah tergoda jalan mudah. Dapat nilai itu mudah, dapat ilmu itu susah, 'key..

'Mat ujian, semuanya, dan untuk ujian korosinya... Semoga hasilnya baik. (n_n).


F I N
written on 24. Oktober 2008, 21.33
Makasih ya, Allah. Kamu memang paling bisa berbuat adil. Saat kepala tunduk, kau angkat kembali. Saat kepala pongah, kau tundukkan lagi. :)



Rabu, 22 Oktober 2008

D -101: Entahlah...

Entahlah. Mungkin itu yang bisa kutulis sementara ini. Sementara ujian tengah semester, atau mid, atau apalah, akan menjelang Senin (27. Okt 2008) ini, sementara itu pula proyek kami sedang 'panas-panasnya'.

Yah, agak salah juga sih, memberi tanda petik pada kata panas itu, sebab panas itu terasa semakin nyata sekarang. Jakarta (maksudku, Depok) tak kunjung dirangkul hujan di tengah-tengah hari. Bahkan kerumunan capung yang dulu kuanggap pertanda hujan kini sudah tak sah lagi. Ditambah lagi kerja dapur (terjemah dari furnace memang dapur, meskipun bentuknya menurutku lebih mirip oven) untuk memanaskan kaca demi pelapisan konduktor oksida transparan yang melampaui 600 °C. Wuihh... Setiap kali pintu oven dibuka untuk memasukkan kaca yang sudah disemprot lapisan itu, setiap itu pula rasa panas menyengat sampai ke ubun-ubun. Juga belum termasuk pemanasan kaca konduktif itu di atas lempeng panas dengan tujuan membuat lapisan titanium oksida putih di atasnya menyatu. Hufff....

*Keluh* Jelang uts ini pula, tugas semakin banyak dan bertambah-tambah. Tidak tanggung, empat mata kuliah memberi tugas --individu maupun kelompok-- harus dikumpul pada hari-H uts mata kuliah yang bersangkutan. Belum lagi laporan akhir praktikan yang perlu diperiksa, juga keharusan membuat soal untuk ujian akhir praktikum. *Keluh*

Rasanya ingin aku lari dulu. Bukan, bukan lari seperti dikejar setan dari lab polimer ke kelas baja paduan nun di areal depan kampus seperti tadi hanya untuk menemukan alih-alih dosen memberi kuliah, justru melontarkan tugas (lagi). Ingin aku lari sembunyi, sembunyi di balik bayanganku sendiri, tidak dicari. Atau mungkin tidak. Mungkin aku melarutkan diri di depan layar monitor, memaksa diri mengerjakan tugas, dan selepas semua tugas itu --atau mungkin tepat di saat letih sudah raga ini-- aku mengambil air sedikit, kemudian bersimpuh dan sedikit merengek kembali di hadapMu. Yap, anak bandel ini sering sekali lupa denganMu, dan kembali hanya ketika ada perlu. Abdi macam apa anak ini...

Ya Allah, beri aku peluk erat. Taburkan senyumMu padaku. Luruskan lagi niatku. Tidak lupa yang terakhir... Jatuhkan air dari langit yang menghidupkan bumi dari kematiannya, biar tiap tetesnya menembus keras kepala ini, biar curahannya mendekap hangat bersama basahnya...


F I N
written on 22. Okt 2008, 18. 50 WIB
. C . A . P . E . K .



Minggu, 19 Oktober 2008

Sabtu... Sabtu...

Dan... Setelah sepekan --yah, sebetulnya empat hari-- praktikum berjalan, akhirnya hari Sabtu (18. Oktober) kemarin selesailah sudah praktikum itu. Hari terakhir ini, lebih santai --mungkin pengaruh hari Sabtu juga, atau karena Jum'atnya ada jeda praktikum yang bisa kuambil untuk sedikit belajar ulang. Eh? Tentu saja, masa' asisten sampai tidak bisa menjawab kalau ada praktikan mengajukan pertanyaan?

Jadi, modul terakhir yang kupegang adalah modul uji kekerasan. Tahu kekerasan, kan? Tidak? Baik, baik. Coba ambil lembar aluminium untuk membungkus wadah makanan, kemudian ambil pisau pemotong. Mana yang lebih keras? Pisau bukan? Untuk melihatnya sih, cara mudahnya (tapi sangat kualitatif), gosokkan saja pisau ke lembar aluminium, dan sebaliknya. Mana yang tidak tergores berarti lebih keras. Sebagai tambahan saja, material (mineral) yang banyak di alam yang paling keras adalah intan. Padahal intan hanya tersusun dari karbon, sama dengan yang ada di pensil-pensil, tetapi kerasnya luar biasa. Yang membedakannya adalah susunannya. Carilah, banyak bacaan di luar sana kalau memang kamu tertarik.

Ah, sudah dulu. Sekarang bagaimana praktikum hari terakhir? Campur aduk deh. Kelompok pertama, kelompok Nike kemarin itu, menyenangkan. Menyenangkan dalam artian apa yang kami (aku, eM-yU dan Didi) tanyakan, dijawab. Jadi... Bisalah kami putar-putar sedikit untuk menguji sejauh mana mereka mengerti modul ini. Dan, dari situ kami berikan beberapa tugas tambahan juga, yang kami yakin dengan cara mereka menyikapi praktikum ini, mereka kupercaya bisa mengerjakannya. Sipp! Keep up the great job, dude! And lady, too... :-D

Lalu, kelompok kedua. Ah, busuk. Ups, maksudnya, bagaimana bisa paper yang mereka (semestinya) tulis sendiri tak bisa dipertahankan? Dan pertanyaan-pertanyaan, terjawab dalam waktu yang lammaaaa...... Sebal! Jadi kehilangan semangat bertanya-tanya juga. Lagipula sudah dekat jam makan siang jadi Didi memutus praktikum di pertengahan agar kami bisa makan dan berpikir lagi. Ufff...

Lepas makan siang,
Dan lepas kelompok kedua, ternyata.... Weh? Kok nggak ada yang datang? Ternyata modul kami diakhirkan... Jadi, hari terakhir ini ada tiga kelompok --biasanya empat-- dan empat modul. Modulku ada di lantai teratas (empat), huh... Ya sudah, jadi aku dan Didi iseng-iseng melihat presentasi anak 2008, praktikan juga, tetapi praktikan lab kimia. Biasa deh, sekalian bisa dibilang 'cuci mata'. Kenapa 'cuci mata'? Hehehe, kumat deh si Arif ini penyakitnya sama makhluk ciptaan Allah yang lebih sempurna dari sekadar manusia: Perempuan... Jadi, tanya punya tanya pada Wening, aslab kimia yang Kamis kemarin jadi praktikan labku juga, soal "yang itu 2008 ya? Siapa tuh?" Eh, malah dia keluar jahilnya. Dipanggil keluarlah praktikan satu itu (yang lainnya sedang shalat Dzuhur).

"Mau tahu 'kan? Kenalan dong?" Begitu kata si Wening. Ya sudah, kejadian lagi yang begini buatku. Dulu dengan Riesa, waktu masa sekolah dulu. Sekarang, yah.. Lebih baik deh, mungkin karena memang tak melibatkan unsur rasa ya? Jadi namanya Latifah, dan aku memperkenalkan diri sebagai Arif, Didi sebagai Didi (tentu saja, masa' kami bertukar peran? Heheh). Lumayan deh, anggaplah menjalin silaturrahim, yah? :p

Yah, begitulah. Kelompok terakhir kami akhirnya datang juga, dan lebih menyenangkan dari kelompok kedua --sama saja, dalam konotasi seperti kelompok pertama tadi. Tapi masalahnya... Wah, Pak Nuddin hendak pulang! Berarti praktikum harus dipercepat, dan tes pendahuluan modul pun diakhirkan. Wah, pulang Maghrib lagi deh... Tak apalah, setidaknya apapun yang dijalani, diawali dengan baik atau tidak, harus diakhiri dengan baik, betul? Dan akhir praktikum kemarin memang menyenangkan. Bisa sedikit berbagi apa yang kami tahu dengan para praktikan. Aku sendiri dapat tambahan bagaimana menurunkan rumus nilai kekerasan dari skala Brinell, dan untuk itu tak segan aku mengganjar 85 di laporan awal si Ici, eh, Alfarisi. Semangat yah, buat laporan akhir. Kami tak membebani kok. :)

Hmm... Soal beban itu, hampir semua praktikan (juga aslab rekanku) mengeluh dengan keputusan aslab korosi (atau oknum aslab korosi?) yang mengharuskan laporan seluruhnya ditulis tangan. Yah, karena aku tak mengambil praktikum itu, jadi... Semangat yah, semuanya. Jangan ikuti agitasi Didi untuk 'memboikot' dan mengetik laporan dengan komputer yah. Kalau mau dianggap mengerjai, ingat saja kami aslab DT yang mudah-mudahan menjalankan peran sebagai asisten --pembimbing, secara harfiah-- untuk kamu. Semangat! Senyum! S.... Sudahlah. (n_n)


F I N
written on 19. Oktober 2008, 07.45 WIB.
Well.. When you'll come again, rain? It's getting hot out there, and in here, too!


Jumat, 17 Oktober 2008

Bulan, Hujan, dan.... Sariawan!

Wuih... Pekan ini berat. Sungguh, belum pernah sepekan sepanjang zaman, eh, maksudnya seumurku hidup ada pekan semacam ini. Pekan yang lengkap menguras fisik dan otak. Jadi ceritanya begini, terhitung Selasa (14. Okt 2008) kemarin, praktikum Karakterisasi Material I (1 SKS, dulunya praktikum Metalurgi Fisik) sampai Sabtu (18. Okt 2008) besok dilangsungkan. Praktikumnya sih, untuk mahasiswa angkatan masuk 2006, biarpun ada juga sih sesama 2005 dan bahkan 2004, tapi jumlahnya tak banyak. Kalau menurut teknik statistik malah "bisa diabaikan", he he he...

Yang jelas, yang kerepotan bukan hanya para praktikan --yang diharuskan membuat paper dengan berbagai tema, juga laporan awal-- melainkan juga kami, sepuluh orang asisten lab (aslab) DT (Destructive Test). Yah, bermula dari urusan paper --sebelumnya tidak ada. Dari situ Bang Agung alias Julung menitahkan pada kami untuk mencari tema paper dari setiap modul. Tidak tanggung, enam setiap modul! Wahh... Tapi karena titah paduka Julung (he he) adalah kewajiban, jadilah dibagi-bagi tugas itu ke (hampir) semua aslab.

Kemudian, ujian pendahuluan. Setidaknya untuk mengukur kemampuan dasar praktikan sebelum masuk lab, dong... Pemilihan jamnya ternyata tidak bagus. Masa' ujian dilaksanakan jam 5 petang sampai setengah tujuh malam? Duhh... Untung ada sogokan sebatang cokelat untuk aslab yang mengawasi. Kalau untuk praktikan sih, itu urusan masing-masing deh. :p

Yah, akhirnya hari Selasa tiba juga. Aku dan Didi T (Tampan, eh, Tegal {^_^}v) menangani modul pengujian keausan. Jadi intinya material diuji ketahanannya terhadap gerusan material lain yang keras, begitu.
Gelombang pertama lancar, meskipun ada juga hambatan besarnya di pengujian impak --dulu favoritku-- untuk suhu minus. Nitrogen cair belum tiba! Ampun... Jadilah gelombang pertama (4 kelompok) diberi jadwal hari berikutnya.

Kemudian, hari Rabu, hari kedua, hari yang pada hari itu kartu kirimanku diterima di sana (kupikir tidak akan sampai karena aku memaksa mengirim dengan perangko Rp 2500, loh!). Ups, jadi hari kedua itu hari impak. Battering time! Pernah menonton film-film masa perang zaman romawi dan semacamnya? Atau Lord of The Rings, ketika gerbang Minas Tirith dihantam dengan berbagai-bagai battering ram? Nah, pengujian impak kira-kira ilustrasinya sedemikian. Jadi, material diberikan beban besar dalam waktu yang singkat dan diamati ketahanannya, yang ternyata berbeda tiap material, dan pada material yang sama, berbeda di berbagai suhu. Kelompok pertama dan kedua sih, tak masalah. Dengan ada Odie yang menangani pembukaan dan pertanyaan untuk praktikan, sedang aku... Menilai laporan dan paper saja. He he, dasar!

Masalahnya... Tiada angin tiada hujan (belum turun sampai hari itu, hiks.. Payah..) gelombang pertama ternyata disuruh datang hari Rabu itu, jam 12 siang --jam makan siang, bukan? "Kruu...k", kalau kata perutku. Jadi deh, 'lembur' sesiangan itu, dan baru selesai beberapa menit jelang pukul 13.00 WIB. Ampun... Terpaksa melewatkan makan siang, demi mengejar kelompok-kelompok selanjutnya. Kasihan mereka kalau mereka harus menunggu kami aslab yang sering-sering telat, kan?

Jadilah, seharian itu perut pusing, kepala lapar, yang untungnya bisa sedikit diganjal kue yang kubawa dalam rangka "lebaran asisten". Tetap saja, rasanya tak biasa. Sepulangku di rumah, tak sempat belajar, baca-baca supaya setidaknya jangan sampai aku lebih tidak tahu dari praktikan. Masalah citraan, tentu saja. Sebab komputer sudah dipegang Ica, kemudian Ifa, kemudian Ibu. Duh, tak tega mengganggu jadilah aku naik ke kamarku. Sekeluarnya ke beranda.... Ah, purnama! Tentu saja, tanggal 14 sudah masuk pertengahan bulan, dan tentu saja bulannya penuh. Kali itu, sang Purnama terlihat cantik, bersinar kekuningan, dengan cahaya lembut, tetapi cukup terang untuk sedikit menerangi kebun (milik orang) di belakang pagar rumahku. Cukup menenangkan melihatnya, rasanya seperti teringat orang-orang yang masih bisa berlembut hati di tengah badai masalah hari-hari ini. Aku tidak termasuk, sepertinya, padahal sudah janji akan meliputi hati dengan senyum. Uff... Yah, jadilah malam itu tidur dengan hasil membaca yang minim, meskipun sempat membuat 'contekan' untuk dipertanyakan keesokan harinya.

Lalu, pagi hari berikutnya, Kamis 16. Okt 2008, ada satu pengumuman yang menyita perhatianku --yang terlambat datang ke lab. "Briefing Praktikum Korosi, Kamis 16. Okt 2008, Ruang K 301". Hah? Berarti ini akan menyisakan aku dan Dini --partner TA-ku-- di lab? Kemudian tak sedikit praktikan yang mengambil praktikum korosi juga. Ditambah lagi pertemuan dengan Pak Bambang --Kepala Jurusan-- di akhir hari ini. Kemudian Odie yang izin jam 3 sore. Alamat kacau praktikum hari ini.

Benar saja, di dalam ruang aslab, sekaligus tempat tes awal pengujian tarik yang kutangani bersama Riko hari itu, konsentrasi kami buyar. Praktikum hari itu berjalan sama-sekali-tak-sesuai-rencana. Praktikum yang dimulai sangat-amat terlambat (08.30), kemudian alokasi waktu yang berantakan (kelompok kedua datang pukul 10.45 ke ruangan). Kemudian karena waktu briefing itu tadi sudah tiba, jadilah semua pengujian ditunda sampai selesai briefing, menyisakan aku dan Dini di ruang aslab. Sekembalinya, wajah-wajah Reza MU, Didi, Riko, Julung, semuanya deh, malah muram. Yang benar saja, menulis laporan (5 modul) harus dilakukan dengan tangan? Hey, ini zaman komputer, Bung? Ada-ada saja kalian aslab korosi berniat mengerjai para praktikan!

Tapi siang itu, setelah setengah hari di dalam ruangan aslab tanpa jendela, saat ku keluar, ada pemandangan yang lama kurindu. Hujan! Ah, perjalanan menuju mushalla rasanya nyaman sekali, setelah hari-hari panas tak berkesudahan, hujan itu seolah melenyapkan panas dalam kepala dan hatiku juga. Inikah kiriman balasan dari kirimanku? Pikirkan lagi, Arif. Yang jelas, setelah itu praktikum malah baru dimulai lagi 20 menit jelang pukul 2 siang. Jadilah sisa praktikum hari kemarin itu seolah tanpa manfaat. Pertanyaan yang bisa kami ajukan terpaksa dipangkas, dikurangi untuk akrobat dengan terbatasnya waktu. Sampai jam 5 bahkan praktikum belum selesai. Riko, Julung, eM-yU sudah meninggalkan Aku, Dini, Didi, dan Ryan di modul masing-masing --tarik, impak, kekerasan, dan keausan. Aku sendiri, sudah menguap semangatnya, mengajukan pertanyaan jadi sekenanya. Maaf ya, gelombang III, bukan maksudku tidak memberi cukup ilmu, tetapi jadwal hari itu memang luar biasa kacau. Ditambah Pak Herman yang meminta perkiraan kebutuhan bahan untuk proyek kami. Kupikir bisa kutunda keesokan harinya, ternyata Pak Herman meminta hari itu juga.. Makin kacaulah gelombang ketiga itu yang berakhir lewat Maghrib.

Sepulangnya, aku yang sudah janji menjemput Ica di tempat lesnya, berpikir bolak-balik. Pulang berarti hanya sedikit waktu di rumah, kemudian langsung berangkat lagi. Tidak pulang berarti menunggu *cukup* lama di tempat bimbelnya di bilangan Rawa Bambu, Pasar Minggu. Belum lagi perjalanan bermotor Depok-Pasar Minggu bisa jadi sangat melelahkan dengan ketidakrataan jalannya. Jadilah aku putuskan untuk jalan saja, kemudian berhenti di satu Masjid, menunaikan Shalat 'Isya di sana, kemudian berputar ke rumah mengambil helm untuk adikku, kemudian melaju ke tempat bimbel adikku. Alhamdulillah, tidak terlalu lama ku menunggu. Sesampainya di rumah, duh, badanku rasa rontok. Langsung saja aku merebahkan badan, dengan masih berpakaian sama dengan seharian itu plus jaket sehabis bermotor, dan......

** Pukul 3.00 WIB. Duh... Lapar, belum makan. Merambah meja makan, makan, kemudian merebahkan diri lagi.

** Pukul 4.30 WIB. Duh... Kram lutut kiri, eh, turun ke betis.. Harus-memaksa-berdiri... Shubuh, kemudian tergeletak seperti tak bernyawa lagi dan lupa membangunkan Ayah-Ibu-Ica-Ifa.

** Pukul 6.10 WIB. "Mas, nganter aku nggak?". Oh, iya. Adikku harus kuantar ke sekolah.

** Pukul 7.00 WIB. Ah, bisa sedikit mengerjakan PR Statistik, entah dikumpulkan entah tidak, terserah. Itu pun sekadarnya saja kukerjakan.

Yap, hari Jum'at (17. Okt) ini tidak ada praktikum. Terpotong waktu Jum'at. Jadi rencananya hari ini aku dan Dini berencana meng-oven kaca-kaca modul surya kami, dengan terlebih dulu menambah asam klorida pekat ke larutan TCO (Transparent Conducting Oxide) yang ternyata kekurangan HCl itu. Apa nyana, Beni yang juga sedang TA membawa pulang seluruh sediaan HCl di lab ke rumahnya! Jadilah Dini, setengah emosi, memarahi Beni via SMS, menyuruhnya segera memulangkan HCl itu, dan mengambil seperlunya. Huff..

Ah, pekan ini, roda kehidupan berjalan cepat sekali. Keriangan berganti kesulitan dalam waktu sesingkat lima-sepuluh menit saja. Cepat sekali sampai aku harus berkali-kali mengingatkan kalau, "waktu terus berjalan. Yang membedakannya cara menjalaninya. Kalau dibawa (baca:dipaksa) senang, dan senyum, tentu lebih nikmat daripada dibawa ngedumel, dan ngomel-ngomel". Yang jelas, pekan ini juga pekan yang kurang baik untuk rongga mulutku. Sebab semua hal di atas terjadi dengan SARIAWAN menyerang dua kali. Tidak di posisi yang tepat, syukurnya, hanya di gusi atas agak ke kiri depan, dan di pipi kiri. Tapi cukup mengganggu suasana hati juga sih.

Sudahlah, daripada banyak mengeluh, lebih baik besok banyak tanya pada praktikan saja. Ada Nike 'kan? He he he... Jangan salah sangka. Nike ini mahasiswi 2006, kadang dijuluki 'Ibu beasiswa', sebab beasiswanya dengar punya dengar ada setidaknya dua. Wah, hebat.. Tapi biar besok kita uji seberapa baik logika dan ingatannya, juga kawan-kawannya tentu saja.. Ha ha ha.. ** Tertawa kejam ** ;)


F I N
written on 17. Oktober 2008, 23.47 WIB
Thanks for the compliment, but sorry, cause my card wasn't the best of the pack... Sorry. But surely It felt like having a family that lives quite afar. :)