Senin, 27 Oktober 2008

Kemarin...

Yah, boleh kan aku bilang kemarin, biarpun baru lewat setengah jam pada saat ini pertama ditulis?

Jadi ini hari terakhir setengah awal semester, yang artinya mulai Senin esok adalah pekan ujian buat kami. Wah, kalau ditanya siap atau tidak, jujur kujawab tidak. Bahkan uts yang ketujuh yang akan kujelang ini rasanya jauh lebih mengerikan daripada uts pertama dulu. Padahal dulu yang namanya uts dan uas, dan segala hal terkait kehidupan kampus itu betul-betul gelap buatku.

Mungkin karena TA yang belum juga ada satu saja purwarupa (prototipe, puas?) sampel. Mungkin karena ini (rencananya) semester terakhirku. Mungkin karena laporan KP yang tak kunjung beres. Mungkin karena tabungan yang malah susut banyak selepas 'Id fitri kemarin. Mungkin karena tugas yang semakin menggunung jelang uts ini. Mungkin karena berbagai kemungkinan lain yang mungkin hanya akan menyita perhatianmu di paragraf ini saja.

Betul lho, hampir setiap ujian sebelumnya aku hanya mengandalkan ingatan-ingatan dan sedikit catatan bertulis cakar ayam (kata si Ica sih, "Dokter aja kalah", duh...), aku lolos-lolos saja dari jerat ujian yang lalu. Tapi sekarang? Coba kita ikhtisarkan. Kelas masuk selalu, hanya lepas sepekan karena pekan praktikum karakterisasi material (d/h metalurgi fisik). Catatan, seperti biasa, tidak cukup lengkap, tapi masih cukup. Ah, entahlah...

Yang jelas, hari Ahad (26. Oktober) kemarin, sepupuku berulang tahun. Karena keadaan keluarganya (adik ayahku) bisa dibilang mencukupi, jadilah sekeluarga kami diundang untuk makan bersama di sebuah resto di kawasan Ancol.

Hmm... Ancol. Tempat ini boleh dibilang satu-satunya lokasi pantai di Jakarta yang dijadikan tempat wisata. Entah mengapa, semakin kemari Ancol rasanya semakin mahal saja. Memang dari dulu sih, Ancol bukan tempat rekreasi yang cocok untuk keluarga yang agak tipis sakunya --Ragunan masih lebih baik, bahkan HTM-nya hanya (dulu) Rp 3.000,00. Ancol? Wah, hari ini saja untuk satu orang masuk dikenakan biaya Rp 12.000,00. Ampun deh.. Sayangnya, seperti yang kubilang tadi, Ancol itu satu-satunya pantai wisata di Jakarta. Oh iya, soal pantai ini, adikku sering agak senewen kalau disebut pantai, sebab dulu ketika pulang ke kampung ayah di Solo, ia diajak ke 'pantai'. Tahu apa yang dia dapat? 'Pantai' Asuhan! Kontan saja bertanya ia, "Yah, pantainya mana?". Terang saja tidak ada, dan adikku saat itu ngambek tak berketentuan. Hehehe..

Yah, kembali ke Ancol, sudah lama (betul) aku mengunjungi tempat rekreasi ini. Terakhir pada saat ulang tahun nenekku dan bulikku, kalau bukan tiga, ya empat tahun lalu. Banyak juga perubahan di tempat ini. Sekarang ada jembatan kayu di atas sebuah teluk kecil, entah teluk apa. Cukup panjang jembatan itu, dan sepertinya lokasi yang menarik untuk berfoto karena tadi saja setidaknya ada tiga fotografer profesional (kurasa) memotret di sana. Sayangnya, karena kemarin kami berkunjung pada waktu lepas Maghrib, penerangan di sana agak kurang. Jadilah seolah pepatah lama dimodifikasi oleh pasangan muda-mudi di sana: "ada gula ada semut, ada tempat remang, ada pasangan mojok". Huh...

Yah, begitulah. Mungkin iri, mungkin bagaimana, aku tak suka pemandangan sedemikian. Banyak anak-anak, Bung! Jadi dilarang ngebut, eh, maksudnya jangku mojok-mojok begitumi. Mau bagaimana nanti adik-adik kita?

Karena yang empunya acara belum datang, jadilah kami cukup leluasa berkeliling, biar sebentar, di jembatan itu, juga di tepi laut Teluk Jakarta itu. Aku sendiri sempat menyandar ke pagar juga, memandang gelombang yang tenang tapi terus menghanyutkan. Agak ngeri juga, bukan soal laut itu, tapi soal mau ke mana nanti selepas masa perkuliahan itu. Begitulah kalau lebih banyak punya pesimisme dalam hati, ke mana-mana ragu. Dulu masa SD berlanjut ke SMP, lanjut ke SMA, lalu ke universitas, semuanya atas dasar pasrah. Duh...

Rasa-rasanya berbagai rencana di kepalaku adalah buih di gelombang laut. Terombang-ambing ke mana bertiup angin. Dan yang terbayang di kepalaku adalah, buih-buih itu, juga rencana-rencanaku kandas dibelah batu di tepian. Uh... Takut.. Mungkin memang lebih nyaman tidak mengintip kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan ya? Sering betul dikatakan, "lebih baik kamu tak tahu", dan kurasa sekarang itu semua benar adanya...

Lalu, lepas 'Isya', sekitar jam 8 malam, sepupuku datang, bersama papa-mamanya, juga nenekku dan sepupuku yang lain. Memang iri juga sih, mereka tinggal berdekatan. Hanya berbeda RW saja kedua anak nenekku yang perempuan itu. Jadinya bisa sering-sering mengunjungi nenek yang tinggal bersama seorang pembantu rumah tangga saja.

Tak berapa lama, hidangan disajikan, acara makan yang diimbuhi obrolan canda tawa, juga operan piring lauk pun berlangsunglah. Cukup enak, menurutku, makanan yang disajikan. Enak dan unik, lebih tepatnya. Tapi jelas lebih nikmat berkumpul sekeluarga besar. Meskipun tak lengkap karena adik sepupuku sedang menjalani pendidikan jauh di Sukabumi, Jawa Barat, juga adik ayahku dipindahtugaskan ke Balikpapan (bukan bersembunyi. Kalau itu 'ke balik papan', mengerti? :p) tapi setidaknya empat generasi berkumpul di sana.

Dari nenekku, yang sudah ditinggal kakung hampir lima tahun silam. Ayah-ibu dan bulik-omku. Kami, cucu-cucu mbah Ti --yang entah bagaimana mengikuti pola satu laki-laki, dua perempuan. Juga si Syamil, cicit (cuit ^_^) mbah Ti dari sepupuku Mbak Lia. Lucu betul anak ini, setahun lebih usianya, tapi karena satu dan lain hal belum lancar merangkak --apalagi berjalan-- dan juga bicara. Sabar ya, Mil.. Nanti kalau kita ketemu lagi, kamu udah bisa jalan ya, janji ya? Yap, begitulah. Empat generasi berkumpul. Lebih indah lagi bahwa hari kemarin ditutup dengan hujan.

Soal hujan ini, aku agak bingung akhir-akhir ini. Di satu sisi aku ingin hujan turun selalu, biar tak berdebu di jalan, tak berdebu di hati. Tapi tepat saat permintaanku untuk turunnya hujan, selalu juga saat itu aku perlu matahari untuk muncul. TA-ku bergantung pada matahari, nih... Ekstrimnya, "in sun we trust".

Tapi untuk sepekan ini... Berikan aku "jendela" selama duapuluh lima menit (bukan duapuluh. Sabtu kemarin aku berbasah-basah saat sudah tinggal beberapa ratus meter dari gerbang kutek/kukusan teknik --daerah di belakang kampus-- setelah kuminta "jendela" duapuluh menit) setiap akan berangkat keluar rumah menuju kampus tanpa terimbas hujan. Setelah itu, turunkanlah hujan seharian. Biar tumbuh lagi rumput di sepanjang jalan, kembang di tepi jalur sepeda itu, dan pohon yang semakin banyak hanya disisakan tunggulnya saja.

Uff... 'Mat UTS, "hancur-lebur dalam kejujuran lebih disukai daripada gilang-gemilang dalam kebohongan". Dan setelah UTS... Mari kita cari tahu tentang praktikan itu. :>


F I N
written on 27. Oktober 2008, 01.14 WIB
An "angel" may materialise in any form if He gives his permission. The form may include a little miss, Mr. Hawkers, and.... also You! ^_^


Tidak ada komentar: