Senin, 31 Oktober 2011

Sajak Melati

Setahun ke belakang ini aku mulai menanam sebatang perdu melati. Ya, sebetulnya aku ingin memelihara kucing. Berhubung kucing akan perlu perhatian ekstra, sementara (calon) tuan/temannya ada kecenderungan berada di rumah hanya 10 -- 14 jam sehari, maka jadilah tanaman yang jadi 'pilihan'-ku.
Tetapi mengapa melati? Biar kujabarkan dalam beberapa bait sajak berikut ini ya?

**

Melati, bunga mungil putih sejati
Sedap mewangi mengharumi hari

Bukan ia kembang terindah
bukan pula yang tersemarak

Namun untuk hamba, bunga melati
ada tempat sempurna dalam hati
**
Ha ha ha.. Agak payah ya? Kira-kira begitulah.
Ambil saja contoh lain semisal mengapa ada seseorang yang, um, memilih soto ayam daripada sup ayam, begitulah. Ada alasan-alasan yang kadang tak bisa diterima logika, tetapi terjadi. Dan seperti itulah, namanya hati sering tak bisa dimengerti.
Juga dari serumpun perdu melati itu, selain kembang yang rutin kupotong setiap kali merekah, ada pelajaran untuk dipetik. Tentang singkatnya kehidupan, dan hal-hal lainnya yang mudah-mudahan akan dibukakan untukku ilmunya.

--
F  I  N
written on 31. Oktober 2011, 21.15 WIB (UTC +7), 15.15 CET (UTC +1)
refusal is too familiar of a word for me, really. But I sincerely hope you don't. For those lines on jasmine flowers, are analogy for you.

Yang tidak terucapkan

Berapa kali ini terjadi padamu? Bahwa seringkali kalimat, opini, pendapat, pandangan, dan seterusnya berakhir hanya berputar di kepala, tanpa terlontar keluar lewat lisan.
"Mas, itu coba rokoknya dimatikan, bisa ya? Kami tidak kuat dengan asapnya."
"Mbak, ini antrean jangan dipotong lah! Kita juga sudah dari tadi kok, menunggunya."
"Kamu manis. Tidak terperikan bahagiaku kalau misalnya, um, bagaimana mengatakannya ya? Um..."
Mungkin kalimat-kalimat di atas mewakili cuplikan kalimat sehari-hari yang berakhir di pikiran saja dan tidak terlontar. Memang ada orang yang dengan mudah mengungkap kalimat-kalimat di atas, tetapi tidak sedikit pula yang berhenti tepat sebelum kalimat tersebut mencapai lidah karena berbagai alasan.

Takut, bisa diambil sebagai argumen pertama. Misalkan saja pada contoh kalimat pertama. Pengalaman memberikan contoh betapa orang-orang perokok bisa sangat arogan dan tidak bisa menerima fakta bahwa ada orang-orang yang juga memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih. Dan bukantah hak orang lain adalah batas bagi hak seseorang? Arogansi ini sering ditampilkan sebagai hardikan, delikan, atau apalah yang menjejak di benak pengucap kalimat pertama di atas. Jadilah kalimat tersebut, yang semestinya mudah, mandek dan gagal mengalir dari benak menuju lisan pengucapnya.

Argumentasi lainnya yang bisa dikemukakan: malu. Inhibisi semacam ini umumnya menghambat kalimat-kalimat yang senada kalimat ketiga. Padahal semestinya tidak perlu ada yang dimalui, toh? Ini mungkin bisa ditarik lebih jauh ke pendidikan masa kecil, atau mungkin hanya karena yang terendap dalam benak calon pengucap kalimat tersebut yang menganggap hal-hal seperti itu bukan sesuatu yang pantas. Mengatasinya? Entahlah, aku termasuk golongan yang terakhir ini. Mungkin sesekali 'mencuci otak' dan akhirnya keluar dan mengatakannya bisa membantu. Mungkin.

Setidaknya baru dua alasan ini yang dapat kukenali sebagai musabab adanya kalimat-kalimat yang tertahan, yang tak terucapkan. Mudah-mudahan mencukupi, tetapi kalau memang belum, tentu saja karena aku yang belum diberi pengetahuan tentang ini.

NB: Kalimat terakhir pun masih rumpang sepertinya. Bahkan pikiran pun macet untuk hal ini. (-_-")
--
F I N
written on 31. Okt 2011, 07.20 WIB (UTC +7), 01.20 CET (UTC +1)
I've stated my case. I rest my case upon Thee. I rest my case upon Thee. I rest my case upon Thee...

Minggu, 23 Oktober 2011

Profesionalisme

Baiklah, sebelum mulai, pegang jawaban ini: Seharusnya tidak diambil dari awal.

**

Seperti biasa mari kita mulai dari definisi terlebih dahulu, ya?
pro·fe·si·o·nal /profésional/ a 1 bersangkutan dng profesi; 2 memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: ia seorang juru masak --; 3 mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir): pertandingan tinju --
Sementara akhiran -isme pada kata di atas didefinisikan sebagai mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.

Baik, sekitar dua bulan yang telah lewat, ada ditawarkan padaku suatu peranti lunak simulasi untuk proses pembentukan material (logam). Terus terang saja, bidang itu jauh, sangat jauh dari yang selama ini kukerjakan. Sehubungan tidak percayanya kawan-kawan sejawatku dengan diri mereka untuk hal yang berhubungan dengan teknologi informatika (dan komputer), jadilah aku yang disodorkan ke Pak X agar "nanti diajarin pakainya".

"Oke," batinku yang saat itu sedang 'mengaktifkan diri', "toh bisa untuk mengisi lembar-lembar CV, siapa tahu?"

Jadi tawaran dari Dosen PA kami tersebut kuterimalah. Diperkenalkan aku ke Pak Y, perwakilan dari perusahaan Z yang menyediakan peranti lunak tersebut. Pada mulanya, benar peranti lunak tersebut diajarkan pada aku dan dua teman. Namun di sela-sela empat sesi yang dijadwalkan, kok jadi ada permintaan mengadakan acara semacam seminar & lokakarya? Ditambah lagi ada tersirat bahwa acara tersebut adalah 'jualan' dari perusahaan tersebut, dengan berlindung di balik nama kampus kami. Wah...

**

Mari beranjak ke kata kedua, dengan lemanya kusarikan di sini.
ide·al·is·me /idéalisme/ n 1 aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sbg satu-satunya hal yg benar yg dapat dicamkan dan dipahami; 2 hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yg dianggap sempurna; 3 Sas aliran yg mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng kenyataan
Nah, di sinilah definisi nr. 3 dari kata pertama dihadapkan dengan definisi nr. 2 kata kedua. Menjadi dilema karena 'proyek' ini sebetulnya tidak terikat hitam di atas putih, tetapi ada kompensasi untukku mengerjakan ini. Tidak ada yang terlihat salah sebenarnya, namun bagiku cara-cara berjualan yang 'kotor' semacam ini terasa salah, sangat salah. Definisi kotor, tentu saja, sangat beragam bergantung individu yang kamu tanyakan. Lemparkan pula tanggal seminar ilmiah yang persis sama dengan tanggal acara yang dimaksud, et voilà! Sempurna, *mmuah*

Tidak patut disesali. Tidak sepatutnya pula terus dihindari, sebab bagaimanapun pasti akan datang juga (ayo dikerjakan, Rif!). Tapi baiklah ini jadi pelajaran, untukku setidaknya. Kalau di masa mendatang, periksa klausul-klausul perjanjian yang akan dibuat. Mintalah bukti tertulisnya agar terang pekerjaan apa yang harus dikerjakan. Bukti tertulis penting juga dibaca dan diteliti agar jadi pertimbangan mengambil atau tidak mengambil perjanjian tersebut. Serta terakhir, profesionalisme (definisi profesional nr. 3) bisa dikesampingkan kok kalau sekiranya memang menumbuk idealisme. Buatku.

--
F  I  N
written on 23. Okt 2011, 13.30 WIB, 08.30 CEST
I should have written something else somewhere else but here!

Kamis, 20 Oktober 2011

Pengharapan

Sebelumnya, izinkan kutuliskan sebaris kalimat berbahasa lain di sini, yang menjadi dasar pemilihan judul di atas.
"Letting go of what you have never had should be easy"
**

Manusia, sebagai makhluk, dikaruniakan berbagai hal. Tetapi apakah pelbagai karunia tersebut 'diberikan'? Maksudku, apa benar karunia tersebut disahkan menjadi hak milik seseorang? Atau hanya sekadar mampir saja untuk berpindah lagi ke tangan berikutnya, atau bila sudah selesai, kembali ke Pemilik Asalnya?

Pertanyaan ini, dari sedikit pencarianku semestinya dijawab dengan jawaban kedua.

Tapi untuk beberapa hal, hal-hal kecil, yang semestinya mudah untuk dilepaskan menjadi sulit. Dugaanku tentang hal ini adalah karena adanya rasa memiliki, yang datangnya dari pengharapan. Harapan yang (terlihat) nyata, maupun harapan yang tipis, cenderung kosong, dan harapan yang salah tujuannya.

Ada hari ketika seseorang berharap mendapatkan sesuatu dari pertukaran dengan apa yang dia punya. Namun yang dipunyai ternyata belum cukup, jadilah ia mengumpulkan lebih banyak apa yang ia punya, sambil terus berharap penukarnya masih di sana. Di akhir hari, ternyata yang diidamkannya sudah tidak ada, dan apa yang dia punya... Tidak lagi berguna. Dan yang tidak pernah dipunyainya, terbayang selalu, tiada terlupa.

Maafkan racauan tidak bermakna ini. Kalau telanjur terbaca, aku minta maaf, sekali lagi.

--
F  I  N
written on 20. Okt 2011, 07.00 WIB (UTC +7), 02.00 CEST (UTC +2)
FWIW, good luck for you there!

Sabtu, 15 Oktober 2011

'Tangible'

Sebelum beranjak ke tulisannya, sejenak mari kita tilik dulu definisi dari judul tulisan ini. Minta maaf sebelumnya, karena belum berhasil kutemukan padanannya. Secara harfiah, tangible bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang dirasakan dengan sentuhan. Jadi, apa kira-kira padanannya? Bantu aku ya kalau sekiranya kamu tahu...

**

Di masa 'keemasan' peranti digital seperti sekarang ini, tidak banyak bisa kita dapati lagi ada yang melangkahkan kaki menuju kantor pos, lab proses foto, atau tempat-tempat yang sebelum masa digital pernah menikmati kejayaannya. Saat rol seluloid yang terbatasi (24/36 eksposur, ASA, dan semacamnya) bisa digantikan oleh sekeping cip silikon, mengapa repot-repot dengan pelbagai kimia pengembang film, toh? Ketika layar-layar kristal cair dapat menampilkan macam-macam pose keponakanmu, mengapa bersulit-sulit mencetak, toh? Saat surat elektronik dan telefoni internet merajalela dan menjadi pola komunikasi de facto untuk mereka yang terpisah samudera, mengapa harus menempelkan segebung perangko di atas kartu pos, toh? Ketika peranti pembaca buku elektronik semakin besar dan mudah (dibaca, didapat, dst.), mengapa memboroskan kertas pada buku cetakan? 

Pernyataan yang tidak salah. Tidak salah sama sekali.

Namun bagi beberapa orang, termasuk aku pun, ada hal-hal yang tidak dapat digantikan oleh semua kemudahan era digital. Salah satu yang penting, menurutku, adalah keberadaan benda yang dapat disentuh itu tadi. Sifat tangible, bagi sebagian orang menjadi demikian penting, meskipun sebagian lain dapat jadi menganggapnya sentimentil (sentimental) belaka.

Coba kutegaskan maksudku. Satu saja ya, seperti biasa. Kamu tentu pernah membaca buku (cetak). Saat membuka pembungkusnya pertama kali, mungkin kamu menuliskan nama dan entah-apa-lagi di halaman pertama buku itu. Atau bisa jadi kamu merasakan tekstur kertasnya. Atau aroma buku baru (hmm....). Kemudian beranjak lebih ke dalam dan ke pinggir: margin, atau tepian kertas. Pembaca yang 'jorok' amatlah cinta ruang kosong ini. Yang sangat 'jorok' bisa jadi sedikit sekali menyisakan tempat di setiap halamannya. Lalu, mungkin terakhir, seperti tulisan Nisa temanku, "Kalo [sic] abis baca buku, berasa kaya antiklimaks[,] ah. Biasanya ada sedikit perasaan mellow saat menutup halaman terakhir". Silakan dibandingkan dengan pembaca buku elektronik. :)

Tentu saja, asas manfaat sebaiknya tetap dikedepankan. Yang paling mengerti manfaat sesuatu untuk seseorang adalah Tuhanmu dan Tuhanku, baru yang berikutnya kemungkinan besar adalah orang tersebut. Adalah baik untuk menimbang mana yang lebih manfaat untuk diri sebelum mengambil putusan. Meski demikian rasanya tidak salah juga mengambil keduanya bersamaan. Tidak masalah, bukan?

--
F  I  N
written on 15. Okt 2011, 1400 WIB (UTC +7), 0900 CEST (UTC +2)
Is it there already or is it still on its way?

Kamis, 13 Oktober 2011

Laporan Kemajuan

Laporan kemajuan sampai saat ini, Kamis, 13. Oktober 2011:

Tidak (belum) berbalas:
  • Karlsruhe IT
  • CAU Kiel
  • Uni Bayreuth
  • Ox
  • Imp
  • Cranfield U
  • Cam
Ditolak:
  • Delft
Adapun yang berikut ini menanti batas waktu:
  • Vrije U Bruxelles
  • Kingston U
  • URV Tarragona
Demikian sampai sejauh ini. Tidak semudah perkiraan ya? Tapi suatu penolakan ya artinya usaha lagi toh? :)

Mudah-mudahan ada kabar baik dalam waktu dekat, biar bisa sampai pula pada ibu-ayahku dan kamu-kamu yang aku sayangi. Semoga...

--
F I N
written on 13. Okt 2011, 20.45 WIB (UTC +7), 15.45 CEST (UTC +2)
 How I deeply wished my dream ca. 3 nights ago came from The Cursed One.

Pelajaran

Beberapa waktu ke belakang, ada sekilas aku membaca 'kicauan' dari kawan tentang pelajaran/ilmu X yang tidak terpakai sekarang ini. Terus terang aku tergelitik. Benarkah?

Mari lekas kita amati. Lekas, tidak lambat, namun tak pula terburu-buru.

Sebentar kita coba meraba apa yang mendasari pernyataan kawan tersebut. Ilmu X yang disebutkannya ternyata berbeda dengan bidang ilmu yang ia geluti saat ini. Sebagai contoh kasar, mungkin bisa diwakilkan dengan pernyataan "untuk apa fisika untuk petani?" 

Tidak ada gunanya, mungkin itu jawaban selintas dari kawan tersebut (mungkin juga beberapa dari kamu). Tapi coba sebentar mengingat kembali apa-apa yang dahulu telah dipelajari di masa-masa sekolah, di tengah kenang-kenangan apa saja yang lain pada masa itu.

Atau, biar aku antarkan padamu yang masih relevan, meskipun mungkin tidak langsung mengena. Pernah ingat prinsip tentang gaya? Lengan kuasa/momen? Bahwa bila panjang lengan kuasa [cangkul] kecil (pendek), maka gaya yang diberikan lebih besar bila dibandingkan dengan cangkul berlengan panjang. 

Satu contoh saja kawanku.. Karena aku percaya kamu sekalian amat cerdas dan hanya perlu satu contoh saja untuk dapat mengingat lebih banyak lagi contoh dari masa-masa awal pembelajaranmu. Aku percaya betul itu. :)

Jadi, bisakah sekarang kamu dan aku tidak bergegas menihilkan manfaat dari apa-apa ilmu yang pernah kita dapatkan? Karena ilmu itu, kawanku, akan ada gunanya. Setidaknya untuk menambah awas dirimu dan aku, sedikit demi sedikit. Mudah-mudahan. 
--
F  I  N
written on 13. Okt 2011, 07.45 WIB (UTC +7), 02.45 CEST (UTC +2)
Fight for your ideal, milady.. And please allow me to fight for what's mundane for us.

Kamis, 06 Oktober 2011

Tentang Kebiasaan

Practice makes perfect
Alah bisa karena biasa
Sedikit saja kali ini, sebelum memulai aktivitas, atau mungkin sebelum kamu tidur. Beberapa penggal ungkapan di atas terasa pas menggambarkan aktivitas akhir-akhir ini. Yah, tidak persis akhir-akhir ini memang. Ada beberapa waktu supaya terbentuk kebiasaan itu.

Beberapa waktu ke belakang, ritme sirkadianku berantakan. Sekali waktu aku tidur pukul 22.00 WIB (UTC +7), malam lain baru dapat terpejam penuh pukul 02.00 WIB. Lalu untuk terbangun penuh, bisa saja entah kapan antara 05.00 dan 08.00 WIB. Entah bagaimana caranya, aku nyaman-nyaman saja dengan hal tersebut.

Namun setelah beberapa kejadian yang kemudian diproses di dalam kepala, ritme demikian (atau lebih tepatnya, tidak adanya ritme tersebut) lebih banyak merugikannya daripada memberikan manfaat.

Hal itu, dan beberapa dorongan lain seperti perbedaan wilayah waktu, dan tambahan ilmu tentang melimpahnya kebaikan di pagi hari pun cukup berhasil memaksaku mengubah kebiasaan. Berat pada awalnya, tetapi toh kini hasilnya cukup baik dengan aku dibangunkan lebih awal dibandingkan waktu jam weker yang aku setel dahulu.

Terakhir, aku sajikan satu lagi ungkapan yang cukup relevan, entah dari siapa. Aku bukan pengingat yang baik untuk hal ini.
Excellence is not an act, it's a habit
--
F  I  N
written on 06. Okt 2011, 07.55 WIB (UTC +7), 02.55 CEST (UTC +2)
I wish, I wish, I really really wish our lines met and superimposed on until one of ours ended

Sabtu, 01 Oktober 2011

Tujuan: Kawah Putih

Jum'at, 30. September 2011. Pelaku: sebagian 'ngasdos plus-plus.
Alkisah lima sekawan putra-putri daerah yang kebetulan sepermainan dan seperkuliahan di bilangan Depok selama lebih kurang enam tahun merencanakan sebuah perjalanan.

Hmm.. Baiklah, kedengarannya akan panjang, tapi aku tak cukup waktu. Jadi kita lekas saja ya. Jum'at 30. September 2011 kemarin, kami (Alfian, Reza, Odi, aku, Uthy dan ditambah Arda, Ijul, dan Riki) *akhirnya* 'melarikan diri' dari rutin. Rencananya kami akan berfoto dengan baju wisuda kami, tapi.... Boleh lihat paragraf berikut dan berikutnya lagi. Hehehe.. Tentang tujuan kami, sudah jelas, Kawah Putih di gunung Patuha, Ciwidey, Kab. Bandung, Jawa Barat. Aku bisa saja berpanjang lebar tentang bagaimana Junghunn menemukan tempat ini, tapi lain waktu saja ya?


Awalnya waktu keberangkatan yang dijanjikan adalah 06.00 WIB, demi menghindar kemacetan
(dan untuk yang masih ada ikatan, menghindar dari ketahuan juga ternyata, hehehe). Aku terlambat (lagi-lagi) tapi kali ini keterlambatan 10 menitku tidak cukup hebat juga, karena ternyata Fian, Riki, dan Ijul masih baru berangkat! Oh la la...

Singkat cerita keberangkatan pun bergeser sampai hampir-hampir pukul 08.30 WIB, dan syukurlah Jum'at kemarin lalu lintas antara kampus hingga tol menuju Bandung tidak seberapa berat, dan kami keluar pintu tol Kopo sekitar pukul 11.00 WIB sebelum terjebak sedikit lalu lintas jelang tengah hari di kawasan pasar di sana. Berhubung hari Jum'at, maka kami pun mencari masjid untuk menunaikan kewajiban Shalat Jum'at, dan akhirnya menemukan satu di tepi jalan di Kampung Sadu, 7 km dari kawasan wisata Kawah Putih.

Dan... 13.15 WIB kami pun tibalah, dan dimulailah pelbagai kekacauan yang kami buat di sana. Langsung saja ya, ini oleh-oleh dari kami untukmu. :)


Tim Hore: Uthy, Ijul, Odi, Fian, Reza, dan Riki
Pemandangan kawah dari arah tangga masuk. Menawan!
Yang ini, ceritanya panjang. :D
Lebih lengkapnya Klik di sini (masih dalam proses yaa.. Jangan lupa kembali sewaktu-waktu mana tahu sudah diperbarui)

--
F  I  N
written in a shotgun manner in 01. Okt 2011, 08.00 WIB (UTC +7) 03.00 CEST (UTC +2)
Dear, oh dear, how would I convince you my plan...