Senin, 05 September 2011

Lembaran Baru

Apa kabar, kawan? Lama tidak berjumpa di sini ya? Tidak, aku belum ke mana-mana. Masih di sini saja, hanya kemarin dulu tidak menemukan sedikitpun waktu untuk menulis di sini.

Selama rentang waktu sejak terakhir menuang tulisan di sini sampai tulisan ini disusun, banyak yang terjadi. Sangat banyak dan tidak akan muat diurai seluruhnya di ruang sempit ini. Pun, tidak bisa aku menjanjikan akan meningkatkan kekerapan menulis di sini, tidak juga aku menjanjikan apa-apa -- apa pula yang aku punya hingga bisa aku berjanji, bukan?

Satu hal yang mungkin nampak oleh mereka yang sehari-hari bersua dan bergaul denganku adalah, ada perubahan pada diriku. Perubahan yang, mudah-mudahan, menuju arah yang lebih baik. IA.

Tentang perubahan sendiri, banyak hal yang bisa mengubah manusia. Dan perubahan itu bisa terjadi perlahan-lahan seperti pecahnya batu di aliran sungai, atau bisa juga sekonyong-konyong seperti petir saja. Yang kurasakan pada diriku? Lebih seperti yang terakhir.

Lucu terkadang, melihat banyak hal yang nampaknya bisa mengubah seseorang ternyata tidak berhasil mengubahnya. Siapa nyana satu-dua kejadian yang lebih kecil dan trivial ternyata bisa memberikan pukulan telak ke wajah. Bahwa kejadian yang mestinya biasa, justru mendatangkan perubahan yang besar pada seseorang.

Tujuh pekan yang lalu
Sebelum kejadian itu, rasanya tidak ada yang beredar di kepalaku selain satu nama yang sulit dilupa. Dan urusan selain itu jadi bukan prioritas. Terbengkalai. Ya, bahkan urusan tugas akhir yang mestinya jadi raja sementara di pikiran pun terpinggirkan.

Kemudian beberapa hari menjelang peristiwa itu, aku menjalin kontak lagi dengan teman lamaku. Dulu, dia pernah mengikut orang tuanya tinggal dan bersekolah di Selandia Baru semasa SD. Namun kali ini, dia ada mendapat kesempatan bersekolah ke negeri Kincir Angin. Sudah sejak lama aku mengikuti perkembangannya (seperti juga banyak teman-teman lain yang kuikuti perkembangannya diam-diam. He he he), dan aku ingin mengantar dan melepasnya di bandar udara.

Nah, pada hari keberangkatannya, tadinya disepakati aku akan ikut dari kediamannya di dekat sekolah kami dulu, namun hari itu ada rekan sejawat yang mengadakan makan bersama pada waktu yang berdekatan dengan waktu yang aku janjikan pada temanku ini. Atas desakan kawan yang lain, jadilah aku ikut serta -- tidak enak ternyata makan dengan pikiran sudah tidak di tempat. Setelah itu barulah aku memacu kendaraanku menuju kediamannya.

5 menit
Ya, itu keterlambatanku dari waktu yang kami sepakati. Pagar telah tertutup, dan tak lama teleponku bergetar menandakan masuknya pesan singkat baru. Isinya lebih kurang bahwa dia berangkat duluan, dan semoga bisa bertemu lagi lain waktu.

Dengan keadaan pikiran kacau tak menentu saat itu, yang ada malah depresi. Betul. Marah rasanya pada diriku yang tak berhasil menepati janji. Jadilah aku kembali ke kampus, dan setengah mengecam setengah mengutuk diri sendiri karena hal (kecil) ini.

Sampai teleponku bergetar lagi. Ternyata ada pula teman kami yang hendak pula mengantar dan melepas perginya temanku ini. Maha Baik Dia, memberikan aku yang menyia-nyiakan ini kesempatan lagi. Sekali lagi aku memacu kendaraanku ke tempat pertemuan untuk berpindah ke kendaraan teman kami ini, dan kali ini tidak terlambat. Meluncurlah kami ke bandara. Meskipun macet sempat pula membuat kami ketar-ketir, tetapi kami tiba dalam waktu yang masih cukup untuk kami berbincang dan memberikan kenang-kenangan.

Tidak ada derai air mata seperti yang kami khawatirkan sebelumnya di sana, sebab yang hadir justru canda tawa dan iri positif yang menulari kami yang mengantar. Sebentar, bagaimana mendefinisikan iri positif, ya? Baiklah, anggaplah kami, yang di tengah jebakan kemacetan menuju bandara banyak membicarakan temanku yang hendak berangkat itu, jadi semakin berkeinginan untuk mengikuti jejak yang telah dibuka temanku ini

Ya, kira-kira bersamaan dengan saat temanku yang pergi itu mengurusi urusan imigrasi, saat itu pulalah beban pikiranku, termasuk satu nama yang tak bisa lepas itu, diangkat entah bagaimana caranya lalu berganti berbagai rencana-rencana yang semua menuntut sebagai prioritas -- tapi aku akan bisa meraihnya semuanya, bila Dia berkehendak.

Demikianlah kiranya sekelumit kejadian yang secara tiba-tiba mengubahku -- mudah-mudahan -- ke arah yang lebih baik. Sungguh, belum pernah aku merasa lebih dekat dari ini denganNya. Betapa rasanya aku tak ingin jauh, sebab aku punya rencana yang aku ajukan kepadaNya. Mudah-mudahan di-ACC.

Bagaimana denganmu? Bagaimana kabarmu, dan apa ceritamu?

--
F  I  N
written on 05. Sep 2011, started at 20.00 WIB (UTC +7), 15.00 CEST (UTC +2)
Now whom should I tell first when the time indeed come?