Selasa, 22 Juli 2014

Ramaḍan An Oriant (2)

Bismillah, walhamdulillah. Shalawat dan salam teruntuk Nabi tercinta Muhammad ṣallallahu `alayhi wa sallam.


Ada yang sedikit tertinggal tentang catatan Ramaḍan kemarin. Sesuatu yang perlu diketahui, penulis rasa, karena manusia cenderung memusuhi apa yang asing baginya. Penulis lupa siapa yang menyebutkan kalimat terakhir ini, tetapi demikianlah.

Berikut ini ada dua video, tidak begitu panjang, tentang bacaan al-Qur'an yang sama dengan yang dibaca Imam "impor" di 'masjid' kami di Porte G 12. Rue Colbert pada shalat Tarawaih. Perbedaannya hanya di tempo [?] saja, berhubung shalat di sini digelar menjelang tengah malam nominal sehingga sering kali beberapa ayat selain al-Faatihah disambung untuk meringkas pembacaan.

Selidik punya selidik, ternyata setiap Ramaḍan, 'Masjid' ini kedatangan Imam yang terutama dikhususkan untuk shalat `Isyaa' dan Tarawaih. Alhamdulillah, Imam muda yang (di)datang(kan) dari Maghrib/Maroko tersebut membaca dengan fasih dan tartil. Walaupun, pada saat pertama kali mendengarnya jelas terasa berbeda. Silakan didengarkan sendiri contohnya pada video di bawah.

Untuk mencari bagaimana surat lain dalam Qur'an dibaca dengan cara yang sama, ini kata kuncinya: Warsy (Warsh) Imam Nafi'. Bacaan yang biasa kita baca adalah Hafsh Imam `Aṣim.

Baik, berikut ini video yang penulis maksud.
Al-Faatihah (Warsy) - Qaari' Mahmud Khalil al-Hussariy

Al-A`laa (Warsy) - Qaari' Mahmud Khalil al-Husariy

Bonus poin bila bisa mengenali apa perbedaan paling mencolok di pembacaan Surat al-Fatihah di atas.

Wallahu waliyu-t-taufiq.

––
24 Ramaḍan 1435
+33 / 56100 /1RNA 1033

AR

Jumat, 18 Juli 2014

Ramaḍan An Oriant

Bismillah, walhamdulillah. Shalawat dan salam teruntuk Nabi tercinta Muhammad ṣallallahu `alayhi wa sallam.


Ramaḍan kali ini ada yang lain. Itu ringkasan dari catatan ini.

Bila Ramaḍan-Ramaḍan yang telah lalu biasanya dijalani 'sendiri', kali ini baru benar-benar sendiri secara jasmani. Alhamdulillah, Allah jadikan muslimin di kota nirmasjid (yakni rupa masjid yang sejati) ini demikian guyub. Kalau tidak demikian, bisa jadi selain sendiri, aku pun 'sendiri' juga menjalani Ramaḍan kali ini.

Lorient, atau dalam bahasa Breton (Brezhoneg) disebut sebagai An Oriant, adalah kota kecil di daerah Bretagne di Perancis. Kecil, barangkali kalau dibuat perbandingan dari kota yang aku tahu, kelas kota ini adalah Kota Sukabumi. Kecil, karena menurut referensi lemah berupa wikipedia, penduduknya paling banyak hanya 60.000 kepala saja. Penduduk muslimnya, sebagaimana stigma kita bila mendengar Islam di Eropa, adalah minoritas. Warga 'asli' yang muslim jelas lebih sedikit lagi.

Kalau ingin melihat jumlah muslimin dan sebagian muslimat, sebagaimana kasus yang umum di negara berpenduduk muslim juga, datanglah hari Jum`at. Datanglah ke Maison des Association, 12. Rue Colbert; Tidak jauh dari pusat kota, tidak jauh dari Stasiun/Gare de Lorient (yang stasiunnya sendiri bisa ditempuh dalam empat jam perjalanan kereta dari Gare Montparnasse, Paris).

Bila waktu shalat Jum`at tiba, barangkali ada sekitar 400-500 muslimin dan muslimat yang tinggal di kota berangin ini. Kalau dilihat dari wajahnya, kebanyakan bernuansa Arab, lebih tepatnya wilayah Maghribi (Afrika Utara). Tanyakan pada mereka dari mana asal mereka, dan akan didapatkan jawaban dari Aljazair, Tunisia, hingga Maroko. Tentu, juga ada warga pendatang sementara dari Malaysia, India-Pakistan, dan seterusnya, namun bisa dibilang tidak seberapa.

Di Ramaḍan yang bertepatan dengan libur musim panas ini, Fajar dikalkulasi terbit mulai dari setengah lima waktu setempat hingga terbenam matahari pada saat jam menunjukkan pukul 22 lebih. Dua hal yang perlu dicatat adalah bahwa tengah hari (sesaat sebelum waktu Ẓuhur) jatuh pada sekitar pukul 14 lebih seperempat, dan musim ini juga hampir bertepatan dengan summer solstice, sehingga semakin ke belakang bulan hari mulai kembali memendek.

Sebagaimana diumumkan di Jum`at terakhir bulan Sya`ban, "dewan masjid" alias asosiasi mengadakan iftar (berbuka puasa) bersama-sama, setiap hari. Secara pribadi, aku diundang datang oleh seorang Saudara yang setiap hari juga mempersiapkan hidangan berbuka puasa. Mudah-mudahan dengan demikian bisa menjadi 'donor' pahala bagi yang memberikan hidangan untuk kami-kami.

Mengenai makanan berbuka puasa, 'normal'-nya adalah roti Perancis (baguette) yang panjangnya bisa setengah meter, yang dibagi dua. Kemudian ada selada (cf. KBBI daring Pusat Bahasa Kemdiknas, lema selada no. 2). Yang lebih wajar, jelas, adalah kurma. Ada juga Sup à la Maghribi yang dibagikan lepas shalat jama`ah, yakni lebih kurang 15 menit setelah Adzan dikumandangkan. Adapun minumannya biasanya adalah air, jus buah dalam kotak, susu, dan kopi (kopi susu dan kopi hitam).

Sementara itu, kadang-kadang ada juga hidangan yang 'tidak normal', yakni ketika ada jama`ah yang mendatangkan makanan besar. Rupanya bermacam-macam, yang sudah keluar antara lain adalah nasi (kebuli [?]), nasi khas Senegal (seperti nasi goreng), baso dengan kuah "tajine" dan kacang polong, ayam bakar (yang bumbunya sangat mengingatkan ke restoran Padang di rumah), maupun ayam panggang.

Walhamdulillah, makan bersama (dengan hidangan sepiring bersekian) adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Rasul kita yang mulia ṣallallahu `alayhi wa sallam. Barangkali salah satu hikmahnya adalah mempererat kebersamaan. Buatku sendiri, rasanya jadi memperluas perut. Biasanya apabila berbuka puasa sendiri, sedikit nasi lauk atau roti sudah mengenyangkan. Sedangkan saat duduk di antara saudara-saudara, rasanya lebih banyak yang bisa tertampung sebelum (ke)kenyang(an).

Sebelum Ramaḍan, tadinya aku ada niatan membuat rendang untuk dijadikan lauk makan bersama di 'Masjid'. Namun nampaknya belum bisa terlaksana karena satu dan lain hal (tidak ada wajan 'raksasa', tidak ada bahannya, masakan percobaan yang gagal, dst). Jadilah, partisipasi yang bisa kuperbuat sebatas menggelar karpet untuk alas makan bersama saja.

Mudah-mudahan Allah membangunkan Masjid untuk penduduk Lorient. Kalau berkenan membantu dana, silakan kunjungi http://www.mosquee-lorient.com/?page_id=44 (bahasa Perancis) untuk mempelajari lebih detail.

***

Terakhir, ada keputusan besar yang telah diambil. 'Bola' sudah digulirkan, tinggal dioper ke pihak-pihak terkait. Syaithan meniupkan was-was bahwa keputusan ini kelak akan jadi sesalan. Namun bisa jadi juga keputusan ini hasil konspirasi Syaithan juga. Oleh karena itu, selalu mintalah perlindungan pada Allah dalam setiap langkahmu.

Allah-lah yang memberikan taufiq

--
20 Ramaḍan 1435, menjelang sahur
+33 / 56100 / 1RNA 1033

AR

Kamis, 10 Juli 2014

Lelah

Bismillah, walhamdulillah. Shalawat dan salam untuk Rasul kita, Muhammad shallallahu `alayhi wa sallam, beserta keluarganya  dan Sahabatnya, dan pengikutnya hingga Akhir.

Dalam beberapa kesempatan, Allah memerintahkan (secara urutan dan bergandengan): Tidak menyekutukan Allah sedikit pun, dengan sesuatu apapun. Berbakti kepada orang tua. Kemudian perintah lainnya.

Selanjutnya menimbang juga penggalan pesan Rasul Allah shallallahu `alayhi wa sallam kepada anak pamannya, `Abdullah bin `Abbas radliyAllahu `anhuma untuk "jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu; jagalah Allah, maka Allah akan berada di depanmu; apabila meminta sesuatu, maka mintalah kepada Allah" (atau lafazh sedemikian, dapat ditemukan pada kitab 40-an Hadits Imam al-Nawawi).

Maka setelah ini adalah saatnya berbicara kepada ayah dan ibu.


12/09/1435
AR

Selasa, 01 Juli 2014

Mati

Bismillah, walhamdulillah. Shalawat dan salam untuk Rasul-Nya yang terakhir dan untuk keluarganya, dan untuk Sahabatnya, dan pengikutnya.


Mati. Sebuah kata yang sangat bersahabat di telinga. Bisa dibilang akrab, tetapi tidak juga. Tidak perlu tahu ayat, pun, semua mengetahui bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mati. Pasti. Suatu kepastian yang tidak terbantahkan lagi. Belum pernah ada catatan sejarah menuliskan bahwa, jangankan manusia, makhluk hidup apapun berhasil mengatasi mati.

Pernah mendengar istilah "fountain of youth" (mata air awet muda)? Istilah ini lebih dikenal di kebudayaan "Barat" daripada di bawah kebudayaan Islam atau yang dipengaruhi Islam. Dahulu, konon dikirimkan ekspedisi ke tempat-tempat yang jauh, demi mengambil air yang akan mengembalikan kemudaan peminumnya. Kebudayaan terus berkembang, dan pencarian mata air itu pun surut sudah. Atau setidaknya pencarian pada mata air dalam bentuk sebenarnya yang diakhiri.

Tidak dapat dipungkiri, pada masa ini, konsep mata air awet muda ini masih terus bertahan. Bentuknya, tentu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Kita barangkali pernah mendengar penelitian/riset tentang penuaan (ageing). Mengenai hasilnya, entahlah. Paling tidak ada berbagai "krim anti penuaan" yang didapuk dapat menunda penuaan (meskipun pada hakikatnya hanya tampak fisik saja yang bisa disamarkan). Adapun untuk penuaan sendiri, nampaknya penelitian-penelitian itu sia-sia belaka.

Akar yang tidak kuat
Kalau ditelusuri lebih mendalam, apa sebenarnya yang menjadi landasan pelbagai penelitian mendalam tentang penuaan ini?

Barangkali hipotesisnya adalah bahwa "penuaan dapat dicegah" — sebuah hipotesis yang hingga saat ini belum terbukti.

Tapi kita masih bisa menggali lebih dalam lagi, bagaimana bisa hipotesis tersebut bisa muncul? Apa yang menjadi motivasi mereka?

Ini yang bisa aku pikirkan: Kecintaan yang besar pada kehidupan (dan dengan demikian, ketakutan yang sangat pada Maut).

Takut akan kematian
Ketakutan akan kematian, yakni berakhirnya kehidupan di dunia, adalah sesuatu yang wajar. Adalah sesuatu yang aneh bila, misalnya, seseorang terus saja berjalan melintasi jalur kereta setelah datang kepadanya peringatan (dan tanda yang jelas) akan kedatangan kereta di jalur yang akan ia lintasi. Tentu wajar seorang manusia takut akan kematian.

Perbedaannya adalah, bagaimana reaksi seseorang terhadap kematian. Seorang muslim tentu mengenal bahwa segala perbuatan di dunia akan ditanyai kelak, dan hasilnya dapat memengaruhi "rapor"-nya kelak. Semakin kuat kepercayaannya pada Allah dan Hari Akhir, maka ia akan berusaha berbuat sebaik-baiknya semasa hidup. Di sisi lain, seorang yang bukan/belum muslim menghadapi kematian dengan berbagai cara. Akan dipaparkan beberapa reaksi menghadapi kematian yang mungkin dari orang yang belum/tidak muslim.

Reaksi pertama adalah, tidak mempercayai sama sekali tentang adanya kehidupan setelah kematian. Jenis manusia seperti ini memercayai bahwa kehidupan hanya sekali ini, sesudah itu berakhir sebagai debu saja.

Reaksi selanjutnya adalah keyakinan bahwa setelah kematian, akan ada kehidupan lagi yang sama fananya dengan kehidupan sekarang. Seolah-olah kehidupan hanya berputar di dunia saja, tidak ada neraka apalagi surga. Kehidupan selanjutnya itu, bisa jadi atau bisa juga tidak terpengaruh oleh kehidupan saat ini.

Kemudian, ada juga manusia yang meyakini adanya surga dan neraka, namun keyakinannya rusak. Menurut manusia seperti ini, surga itu hanya bagi sekelompok orang tertentu saja — baik itu golongan mereka sendiri, atau malah untuk semua orang. Bagi mereka, neraka itu hampir seperti tidak ada saja. Konsep yang sama rusaknya adalah bahwa dosa-dosa manusia itu sudah "ditebus". Rusaknya konsep ini adalah, bahwa seandainya mereka disuruh untuk mati saja — karena toh dunia hanya sementara dan tidak sempurna — mereka malah enggan. Dan orang-orang seperti ini yang biasanya malah paling kuat mencari cara supaya tidak sampai mati. Sungguh aneh.

Terpengaruhnya muslim
Di atas telah disebutkan bahwa adalah wajar bagi seorang muslim untuk takut kepada kematian. Namun, bentuk ketakutannya bukanlah dengan memeluk, bahkan menggigit dunia erat-erat melainkan dengan berbuat sebaik yang ia sanggup untuk berbekal menuju kematian dan setelahnya. Pada kenyataannya, kita akan mendapati ada saja muslim yang amat takut dengan kematian hingga ia pun mati-matian mengejar dunia yang fana dan melalaikan bagiannya di Hari Kemudian.

Beberapa hal yang barangkali kita anggap wajar, tetapi sebenarnya berbahaya, dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Tidak jarang seorang muslim menyebut pekuburan/pemakaman, tempat berkumpulnya jasad-jasad yang telah mati, sebagai "tempat perisirahatan terakhir". Penyebutan seperti ini menyimpan bahaya bahwa dengan adanya makna beristirahat sebagai berlibur/mengaso, bisa timbul di pikiran bahwa kehidupan berakhir di dunia saja. Tentu ini tidaklah benar.

Kemudian juga, betapa banyak di antara muslimin yang berangan-angan untuk hidup selamanya di dunia. Jelas menyerupai keinginan orang-orang yang membenci kematian dengan kebencian yang sangat.

Wahai muslimin, kembalilah!
Dengan tulisan ini, penulis memanggil dirinya sendiri dan saudara-saudaranya yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk kembali. Untuk merencanakan ulang tujuannya di dunia ini. Bahwa, barangkali, tujuan jangka panjang yang sudah payah disusun ternyata masih kurang panjang. Karena sehijau dan semanis apapun dunia ini, semua akan ada akhirnya bagi kita, dan kepada Allah-lah kita akan dikembalikan.

Bukanlah maksud penulis untuk mencegah, apalagi melarang, muslimin dari mendapatkan dunia. Tetapi, sebuah wasiat yang penulis dengar dan penulis ingin sampaikan adalah, bahwa bagian setiap anak-cucu Adam di dunia ini sudah ditentukan; tidaklah seseorang akan mati kecuali bila telah sempurna rezekinya.

Dunia ini, kumpulkanlah, tetapi jadikan dunia ini sebagai tabungan di akhirat. Harta yang kita kumpulkan — pun dua tiga gunung emas tingginya — bukanlah milik kita bila kita mati. Siapa yang menyangkal bila harta tersebut akan beralih kepemilikan ke ahli waris kita. Bagian kita, adalah apa yang kita makan. Bagian kita adalah apa yang kita jadikan sedekah untuk Hari Akhir kelak. Karena tidak seorang manusia pun yang tahu ke mana kaki akan menjejak setelah kematian menjemput.

Oleh karena itu, kembalilah!

Tujuan kita jauh, dan perbekalan kita sedikit. Dan sebaik perbekalan, menurut Yang Menciptakan kita adalah ketaqwaan. Dan bagaimana kita mengetahui taqwa itu apa kalau tidak kita cari ilmunya.

Dan terakhir, takutlah pada kematian. Ia akan menjemput tepat pada waktunya, tidak kurang semenit atau lebih sedetikpun, di manapun berada. Takutlah dengan bersiap-siap apabila ia datang. Mudah-mudahan ia menjemput kita pada keadaan terbaik kita. Dan kembali kita di antara orang-orang yang beruntung.

Wallahu waliyu-t-taufiq.

––
malam 3 Ramadhan 1435, jelang `Isyaa'
+33 / 56100 / 1RNA 1033

AR

NB:
Sha = ص; Sya = ش

Selasa, 24 Juni 2014

Kritis di Era Informasi

Bismillah, walhamdulillah


Sekarang ini banyak disebut sebagai era informasi, katanya. Atau kadang disebut juga zaman informasi. Begitu banyak sarana tersedia untuk memperoleh informasi, dan lebih banyak lagi informasi yang bisa diperoleh dari sarana yang ada. Berita yang datang dari kolong langit sebelah Afrika, bisa sampai ke nelayan di Natuna lebih cepat dari kedipan mata — tentu apabila ada sarana informasinya. Tentu saja, setiap sarana seperti itu bisa mengandung keburukan atau mengantarkan kebaikan bagi penggunanya.

Ambil contoh, dari 'hobi-terpaksa' yang belakangan ini menghinggapi penulis: Memasak. Sudah bukan zamannya lagi buku-buku memasak karya Rudi Choiruddin, atau Ibu Sisca Soewitomo, atau yang lainnya menghiasi rak-rak yang seadanya. Sekarang, tinggal membuka peramban (perambah ? browser !), masukkan alamat situs pencari terkemuka, lalu cari "Resep nasi uduk enak sedap gurih" atau semisalnya. Ia akan menampilkan hasil pencarian yang (di)sesuai(kan) untukmu.

Nah, permasalahan timbul karena banyak sebab. Sebab yang paling utama dalam kasus ini adalah, capain penulis kemarin dulu yang paling hebat adalah memasak mi instan dengan telur dan sosis. Lalu singkat kata, penulis berkeinginan memasak RENDANG.

Bagi penggemar masakan Padang barangkali akrab dengan makanan ini. Makanan dari daging, santan dan berbagai bumbu rempah ini bisa dikatakan salah satu favorit di restoran masakan Padang — selain ayam pop atau gulai kepala kakap, misalnya. Tapi bagi ibu-ibu di luar sana, niscaya kalau si bapak atau anak-anak meminta rendang, maka boleh dibilang itu medan juang yang berat. Penulis ingat bagaimana Ibu dulu memeras 2 kg santan dengan tangan lalu mengaduk hampir setiap 5 menit sekali untuk menjaga santan tidak 'pecah'. Selama 3-4 jam. Semua untuk menjadi paling banyak 1 kg rendang yang enak lagi sedap. Beruntung bumbu halus sudah dibantu oleh penjual bumbu langganan di pasar.

Baik, penulis terlalu melebar di situ.

Akhir kata, penulis menemukan beberapa resep. Bahan-bahan yang harus digunakan mirip, tapi tidak persis sama. Yang mana yang benar? Penulis memilih menelepon Ibu, untuk memastikan bahan apa saja yang minimal ada pada rendang. Dari situ, bisa nampak, tautan mana yang menulis daftar yang paling mirip, beserta cara memasak yang paling bisa dikerjakan. Singkat cerita (satu jam 'meng-ulek' bumbu dan hampir 3 jam mengaduk), jadilah masakan paling efisien yang pernah penulis hasilkan: 1/4 kg rendang untuk sepekan lebih.

Soal rasa? Jangan ditanya. Jangan ditanya karena memang lain, ajaib, dan hanya fisiknya saja yang rendang. Tapi berhubung ini adalah masakan sendiri, maka kemiripan segitu saja sudah cukup untuk bangga telah bisa memasaknya.

Itu cerita soal rendang.

Lalu bagaimana dengan informasi, misalnya ada warga yang bertikai di mana. Apakah kita telan bulat begitu saja? Tentu semestinya tidak. Harus ditanyakan, kenapa, bagaimana reaksi supaya tidak terulang lagi, siapa yang terlibat, sejak kapan dimulainya, ... dan seterusnya agar kita tidak terbatas hanya pada 'ada warga yang bertikai'. Atau 'ada pelaku korupsi yang ditangkap'. Tahu sebatas itu tidaklah menutup kemungkinan besok, lusa pelaku lainnya ditangkap. Syukur kalau masih orang lain, kalau kita sendiri yang ditangkap? Nah lho!

Karena itu, penulis berwasiat untuk diri penulis sendiri. Bila ada informasi datang, maka selalu tanyakan apakah ada sumber yang sahih tentang cerita itu. Bagaimana misal kalau ada seorang dari pedalaman Toraja (sebagai contoh), mengatakan bahwa Masjid Istiqlal di Jakarta itu ada megah dengan 7 tingkat. Sementara pergi ke Makassar saja dia tidak pernah !

Bila ada informasi datang, maka periksalah asal-muasal datangnya berita. Bukan menghakimi orang tersebut tidak jujur. Tetapi namanya manusia sangat berpotensi salah. Bisa jadi seseorang baru setengah terbangun, lalu diminta korek api, tiba-tiba langsung berlari keluar ketakutan – karena salah memahami pertanyaan, "ada api?".

Apalagi kalau menyangkut agama, Islam terutama. Bagaimana menurutmu tentang orang yang mengajarkan Qur'an, hadits, sementara alif ba ta tsa saja tertukar-tukar?

Semoga keterbukaan informasi ini, dan kemudahan mendapatkannya, mempertajam pola pikir kita semua.


25 Sya`ban 1435
+33 / 56100 / 1RNA 1033

AR

Kamis, 19 Juni 2014

Tentang Hati/Qalb (1)

Bismillah, segala pujian tertuju untuk Allah, Penguasa Seluruh Alam.

Shalawat dan salam teruntuk rasul-Nya, Muhammad ṣallallahu `alayhi wa sallam, beserta keluarganya, para Sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir masa.

Penerjemahan, barangkali merupakan bidang ilmu sekaligus seni yang amat rumit. Tidak perlu dari satu bahasa asing ke bahasa lainnya, penutur bahasa yang sama pun tidak jarang menghadapi kendala dalam "menerjemahkan" apa yang ingin disampaikan lawan bicaranya. Demikian, barangkali karena komunikasi tidak sekadar mengucapkan suatu bahasa, tetapi ada juga makna yang terkandung yang hendak disampaikan.

Berangkat dari hal itu, sedikit penulis akan membahas tentang "qalb(un)", yang berasal dari bahasa al-Qur'an, yaitu bahasa Arab. Pada terjemah al-Qur'an ke bahasa Indonesia, kata tersebut sering diterjemahkan sebagai "hati".

Sebelum beranjak lebih jauh, perlu dipahami bahwa ilmu yang datang pada penulis masih sangat sedikit sekali. Apa-apa yang ditulis dibawah ini merupakan gambaran keterbatasan penulis, sesuai apa yang sampai kepada penulis.

"Hati" sebagai sebuah lema dalam KBBI daring (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, Kamis, 20 Sya'ban 1435) adalah sebuah nomina (kata benda) yang memiliki arti sampai dengan 7 macam. Di antaranya, penulis pilihkan yang berkaitan dengan pembahasan tentang "qalb" ini, adalah sebagai berikut:
4) sesuatu yg ada di dl tubuh manusia yg dianggap sbg tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb): segala sesuatunya disimpan di dl --; membaca dalam -- , membaca dalam batin (tidak dilisankan); berbicara dr -- ke -- , dng jujur dan terbuka;
5) apa yg terasa dalam batin: sedih -- ku memikirkan nasib kawanku itu;
6) sifat (tabiat) batin manusia: orang itu baik -- nya;

1) Anat[omi] organ badan yg berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dl darah dan menghasilkan empedu; 
3) jantung: -- nya berdebar-debar;
Barangkali, tiga yang pertama (nomor 4-6) sudah mafhum (dipahami) oleh pembaca. Meskipun demikian, mengapa penulis memasukkan dua yang terakhir (nomor 1 dan 3)? Hal ini dikarenakan, sepengetahuan penulis, bahasa dalam al-Qur'an adalah harfiah (tekstual, denotatif, tidak diarahkan ke makna kiasan/konotatif) sampai ada yang menunjukkan bahwa diperlukan makna konotatif untuk meninjau subyek bahasan.

Penerjemahan sebagai "hati", merupakan suatu upaya yang telah amat baik dari penerjemah al-Qur'an ke bahasa Indonesia (semoga Allah memberikan rahmat kepadanya). Meskipun demikian, adanya makna hati sebagai organ liver/lever [?] dan juga organ jantung menimbulkan permasalahan yang rumit. Jantung sendiri, ditemukan dalam lema "jantung" pada KBBI daring (Kamis, 20 Sya`ban) memiliki dua makna, masing-masing satu makna harfiah dan kiasan. Makna harfiah "jantung" (nomina) sendiri adalah:
bagian tubuh yg menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dl rongga dada sebelah atas): darah bersih mengalir dr --.
Dengan demikian, kita dapati dua organ yang berbeda yang disebut sebagai "hati". Hal ini merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan kebingungan pada pemahaman al-Qur'an, terutama bagi muslimin (penganut ajaran agama Islam).

Bahasa Arab
Penulis berkesempatan berinteraksi dengan seorang penutur bahasa Arab sebagai bahasa kedua (dan sekali juga dengan penutur asli bahasa Arab) dalam rangka pelajaran "tajwid" (tata cara membaca al-Qur'an). Ada salah satu hukum/kaidah tajwid, yaitu apabila ada huruf nun bertanda sukun (نْ) bertemu dengan huruf ba' (ب), yang (dalam pelajaran yang diterima penulis semasa kecil) disebut "iqlab".

Ternyata, kedua penutur tadi mengatakan bahwa hukum tersebut dapat juga disebut sebagai "qalb". Disebutkan bahwa alasan penyebutan demikian adalah karena huruf nun tadi berbalik menjadi huruf mim (م). Dikatakan pula kepada penulis bahwa "qalb" sendiri artinya, lebih kurang, adalah sesuatu yang berbolak-balik.

Hati atau Jantung?
Dengan pemahaman baru tersebut, penulis melihat bahwa pengalihbahasaan "qalb" menjadi "hati" adalah kurang tepat. Kekurangan tersebut terutama ada pada adanya makna ganda pada makna harfiah "hati" itu sendiri. Dapat jadi penerjemah (semoga Allah merahmatinya) memaksudkan "hati" sebagai "jantung" pada makna harfiahnya, dan makna no. 4-6 di atas sebagai makna kiasannya.

Akan tetapi, dewasa ini penulis jarang mendapati pemaknaan seperti demikian. Apabila dikatakan "hati", maka kecenderungan lawan bicara akan memahami "hati" secara harfiah sebagai organ hati, bukan kepada jantung. Hal ini tentu tidak bersesuaian dengan makna "qalb" sebagai sesuatu yang berbolak-balik. Terlebih, Allah ta'aala berfirman pada al-Hajj (22) ayat 46:
فإنها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
(teks Qur'an diambil dari http://quran.com/22/46, terjemah bahasa Indonesia dari http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/ dengan memasukkan ayat 46 pada surat 22 pada kolom pencarian).
Sesuai definisi KBBI di atas, maka yang lebih tepat – yang berada di dada – adalah jantung, dan bukan hati. Meskipun demikian, penulis belum menemukan bagaimana mengatasi agar penggunaan kata "jantung" secara harfiah bisa terkait dengan kata "hati" secara kiasan. Tadinya penulis ingin memberikan saran berupa penggunaan kata majemuk "jantung hati", tetapi rasanya ini justru akan semakin membingungkan. Terlebih pada tempat lain, "qalb" yang dimaksud memang makna kias (berupa apa yang terasa dalam batin), sebagai contoh pada surat asy-syu`araa' (26) ayat 89, yaitu:
إلا من أتى الله بقلب سليم

menurut tafsir jalalain, saliim ditafsirkan sebagai "selamat dari perbuatan Syirik dan Nifaq" lihat http://quran.com/26/89. Dengan demikian, pemaknaan hati secara kiasan dapat digunakan di sini.

Barangkali untuk sementara ini, yang diperlukan adalah pemasyarakatan pemaknaan "hati" sebagai organ jantung secara harfiah, dan "sesuatu yang ada dalam batin" secara kiasan untuk pembaca. Memang demikianlah 'seni' penerjemahan yang, tidak bisa tidak, membuka banyak celah tidak tersampaikannya makna yang dimaksudkan.

Untuk kali ini penulis cukupkan sampai di sini. Pembahasan tentang "qalb" berikutnya adalah tentang sebuah ayat yang menarik, namun penulis masih menunggu jawaban dari kawan penulis yang beraspirasi menjadi dokter spesialis jantung ("qalb"). Mari juga kita doakan agar ia dapat meraih yang ia citakan.

Wallahu a`lam

20 Sya`ban 1435 = 19 Juni 2014
+33 / 56100 / 1RNA 1033
Saudaramu dalam Iman,
Arif Rahman

Kamis, 12 Juni 2014

Sederhana

Bismillaah, ṣalawat dan salaam teruntuk Rasul-Nya yang mulia.

Permisi, izin menulis beberapa baris yang ingin ditulis. Ini bukan tulisan yang perlu dibaca, namun barangkali ada gunanya sedikit ditulis di sini.

**

Barangkali menurut pembaca, penulis adalah orang yang rumit, yang tidak bisa dipahami dengan mudah, dalam sekali dua kali bertemu. Bisa jadi demikian. Namun, semakin lama penulis tinggal di atas bumi Allah ini, rasanya semakin sedikit yang penulis inginkan.

Penulis sudah lupa apa yang penulis cita-citakan dulu semasa kecil. Entah, barangkali kombinasi berbagai sebab dari dalam dan luar penulis menyumbang kelupaan ini. Tapi setidaknya penulis bisa mengingat cita-cita saat masa sekolah (bukan dasar) dulu.

"Mau jadi peneliti", begitu kira-kira.

Cita-cita yang rumit di antara cita-cita 'normal' sebagai dokter, atau barangkali tentara atau polisi, atau barangkali 'sekadar' sebagai jutawan (atau miliuner). Namun alẖamdulillaah, sampai tulisan ini ditulis, penulis kelihatannya masih berada di "jalur yang benar" menuju cita-cita tersebut.

Atau seperti demikian kelihatannya.

Pada kenyataannya, belakangan ini penulis berpikir ulang dan memandang cita-cita tersebut, yang semestinya dijalani sungguh-sungguh agar tercapai, kurang relevan. Rasanya terlalu rendah. "Kalau sudah jadi, lalu mau apa?" kira-kira demikian yang terlintas di kepala. Barangkali jawabnya sesederhana melanjutkan hidup, berumah tangga, lalu menjadi tua dan mati.

Sudah, begitu saja?

Rupanya ada yang penulis kurang perhatikan selama ini. Mau ke mana setelah mati? Apakah penulis akan terbawa pengaruh dengan peneliti pada umumnya yang 'percaya' bahwa mati adalah "peristirahatan terakhir"? Belakangan ini pertanyaan itu berulang-ulang melintas, dan jawabannya "klise": "Kalau sudah mati, ya maunya masuk surga".

Sesederhana itu saja.

Namun, seperti banyak hal di alam semesta yang kelihatannya sederhana, mewujudkan asa 'baru' ini tidak semudah kelihatannya. Masuk surga tidaklah gratis, masuk WC umum saja umumnya harus membayar. Dan tahun-tahun kehidupan penulis sudah terlalu lama habis untuk hal yang terlalu sia-sia.

Bukan masalah belajar, bersekolah sampai tinggi setinggi langit dunia. Perkara itu tidaklah sia-sia (setidaknya, tidak sepenuhnya). Ada hal-hal lain yang penulis tidak perlu sebutkan. Dan sebagian besar dari itu bermuara pada 'kegagalan' menggunakan waktu untuk mengetahui dan mengamalkan yang perlu diamalkan untuk 'mengamankan' tiket menuju surganya Allah.

Dan salahnya adalah, penulis sampai berpikir terlalu terlalu terlalu banyak dan ada satu segi yang macet pada saat ini: 'pekerjaan' (baca: penelitian, pendidikan tingkat akhir). Dan saat penulis sebutkan macet, bukanlah macetnya Jalan Kebagusan-Jatipadang di pagi hari Senin, melainkan macet di periode buka-tutup Jalur Ciawi-Puncak di arah yang berlawanan dengan jalur prioritas.

Saat ini, penulis ingin sekali melempar semua gelar (yang sebagiannya penulis rasa tidak pantas penulis sandang) ke tembok, dan kembali ke rumah. Kembali ke negeri di mana Masjid ada kurang dari jarak perjalanan kaki 30 menit. Di mana Adzan berkumandang pada waktunya. Di mana penulis ingin 'nge-warung' saja, barangkali. Yang buka setiap hari kecuali Jum`at pagi. Di mana penulis ingin tinggal mengontrak saja di kamar yang cukup untuk meluruskan badan untuk empat-enam jam sehari-semalam.

Kalau ramai warung itu, maka alẖamdulillaah. Apabila sepi dia, maka alẖamdulillaah penulis bisa duduk tenang bersama buku-buku dan radio untuk belajar mengejar ketinggalan penulis pada antrean tiket menuju cinta Allah.

Apakah permintaan semacam ini diperbolehkan? Semoga...

Hanya pada Allah aku memohon (tulisan ini hanyalah pressure release valve)

--
12/08/35 = 11/06/14
AR

Kamis, 05 Juni 2014

Pedoman Transliterasi Arab-Latin (ke bahasa Indonesia sesuai SKB dua Menteri)

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam teruntuk Rasulillah (shallallahu 'alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan Sahabatnya dan para pengikutnya hingga hari akhir kelak.

Selama ini, penulis bertanya-tanya, apakah ada cara untuk menulis bahasa arab (huruf arab) ke dalam bahasa Indonesia (huruf latin) yang terstandardisasi. Ternyata, penulis yang selama ini belum mencari dengan baik. Sebagai pemerintah yang baik, Pemerintahan Republik Indonesia cq. Kementerian (urusan) Agama dan Kementerian (urusan) Pendidikan (dahulu Pendidikan dan Kebudayaan) rupanya sudah membuat suatu keputusan bersama. Keputusan tersebut termaktub dalam SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 158 Tahun 1987 Nomor 0543 b/ u/1987 tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin.

Berkas elektroniknya dapat ditemukan di laman http://lajnah.kemenag.go.id/profil/peraturan-dan-perundangan.html berupa berkas elektronik ringkas dan jelas dalam satu halaman. Berikut ini penulis sajikan tangkapan layar berkas tersebut.


Demikian, semoga bermanfaat bagi penulis terutama, dan bagi pembaca umumnya. Mudah-mudahan mulai saat ini penulis bisa mempergunakan pedoman transliterasi ini dalam kesempatan berikutnya, dengan segala keterbatasan pedoman ringkas ini.

Wallahu waliyyuttaufiq


6/7 Sya'ban 1435 = 5 Juni 2014, sebelum tengah hari
+33 / 56100 / 1RNA 1033
AR

Waktu

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam teruntuk Rasul-Nya, Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan Sahabatnya.

Dalam waktu tidak lama dari tulisan ini diturunkan, akan timbul pertanyaan yang berulang selalu sepanjang tahun: "Kapan mulai puasa?" yang secara panjang dapat diterjemahkan menjadi, kapan kita memulai puasa wajib di bulan Ramadhan?

Tentu jawaban ringkas (dan 1/2 serius 1/2 bercanda) dari pertanyaan di atas adalah pada tanggal 1 Ramadhan tahun ini. Walaupun demikian, tentunya penanya tidak memaksudkan demikian. Yang ia maksudkan adalah kapan waktu tepatnya pada penanggalan Masehi.

Berikut ini penulis akan tampilkan kutipan dari beberapa sumber yang insya Allah shahih dan terpercaya, yang akan penulis akhiri dengan beberapa baris opini penulis sendiri.

Sebelum memulai, penulis menekankan bahwa tulisan ini mengutamakan pembahasan tentang penentuan awal puasa. Mengenai hal-hal terkait definisi, hukum-hukum puasa, syarat-syarat, dan semacamnya, penulis menyarankan kumpulan artikel ini.

Kapan mulai berpuasa?
Allah ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Barangkali kamu belum mengetahui, bahwa Ramadhan adalah nama salah satu bulan dari 12 bulan yang (semestinya) dikenal baik oleh muslimin semuanya. Perhitungan kalender ini berdasarkan peredaran bulan, yang secara kasar diperhitungkan mengalami satu siklus lengkap (bulan baru - sabit - purnama - ... kembali lagi) dalam 29 lebih sedikit hari (sekitar 1/6 hari, kalau tidak salah). Awal bulan sendiri ditentukan apabila anak bulan (hilal) sudah terlihat mata. Seperti demikianlah yang difirmankan Allah pada ayat di atas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” [HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar]
Dengan demikian, maka disyaratkan untuk keluar dan melihat ke langit di malam terakhir (atau sebelum terakhir) Sya'ban - bulan sebelum Ramadhan untuk mengetahui apakah bulan sudah berakhir atau belum. Bila telah nampak hilal, maka Sya'ban telah berakhir dan keesokan harinya adalah hari pertama berpuasa. Dan bila tidak terlihat, baik karena mendung seperti hadits di atas ataupun karena sebab lain seperti memang belum fasanya, maka disimpulkan bahwa bulan Sya'ban masih ada satu hari lagi.

Sehubungan dengan penentuan hari pertama Ramadhan di atas, ada satu syariat yang perlu diperhatikan. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini menjelaskan tentang larangan berpuasa di hari-hari yang meragukan (seperti di hari terakhir atau sebelum terakhir dari bulan Sya'ban). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا تقدموا رمضان بصوم يوم ، أو يومين إلا رجلا كان يصوم صوما فليصمه
“Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali salah seorang dari kita yang terbiasa berpuasa.” [sumber]
Lalu, apakah siapa saja boleh keluar melihat hilal? Pada dasarnya boleh, karena hilal adalah sesuatu yang nampak di langit sebagai hasil pergerakan bulan. Namun demikian, untuk memulai puasa (dan pada akhirnya, mengakhirinya), ada satu hal yang perlu diperhatikan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) bahwasanya beliau bersabda:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi, dan beliau menyatakannya sahih) [sumber]
Di sini, pandangan yang penulis ikuti adalah pandangan dari Imam Ahmad ibnu Hanbal (Imam Madzhab Hanbali/Hanabilah) bahwa yang demikian berarti kita berpuasa sesuai yang diputuskan oleh pemimpin kaum muslimin. Oleh karena itu, laporan hilal haruslah masuk ke kalangan penguasa, dan mereka yang memutuskan kapan bulan Ramadhan dimulai. Penguasa dapat menerima persaksian hilal, dan berhak pula menolak persaksian karena berbagai pertimbangan. Kita sebagai yang dipimpin? Ikutlah pemimpin kita untuk hal-hal yang baik dan bukan maksiat pada Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana dengan hasil perhitungan?

Masalah ini problematik, dan terkadang hasil perhitungan ini menyelisihi keputusan penguasa muslimin yang berlaku. Sejauh yang penulis dapatkan, tidak ada contoh dari Rasulillah (shallallahu 'alaihi wa sallam) maupun dari kalangan Sahabatnya dan ulama terdahulu yang masih dekat dengan zaman beliau. Alangkah baiknya jika pemimpin yang kita akui, kita ikuti. Terlebih lagi pemimpin tersebut telah berupaya menjalankan pengamatan hilal sesuai dengan yang dituntunkan Rasul kita (shallallahu 'alaihi wa sallam).

Hikmah penentuan awal bulan dengan rukyah

Kita ketahui bersama, bahwa Rasul (shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah seorang yang buta huruf, apalagi pada ilmu-ilmu perbintangan (navigasi dan sebagainya) yang kompleks. Beliau mendapatkan wahyu dari Allah dan itulah yang membedakan beliau dengan kita.

Pengamatan bulan untuk menentukan awal bulan merupakan suatu metode yang amat (sangat) sederhana. Metode ini juga bisa dilakukan oleh semua muslim yang sehat jasmani. Cukup keluar ke tempat terbuka, pandangi langit di mana bulan diperkirakan akan tampak, pada hari (sebelum) terakhir Sya'ban, lalu perhatikan. Apabila muncul hilal, maka bulan Ramadhan bisa dimulai; bila belum, maka tinggal tambahkan satu hari. Apabila ada yang lebih sederhana lagi dari itu, maka tolong beritakan pada penulis.

Sedangkan penentuan dengan sistem perhitungan (hisab falakiy), seperti namanya, memerlukan keahlian yang tidak semua muslimin memilikinya. Selain ketiadaan nash yang memperbolehkan metode ini, ada hikmah yang bisa ditarik yaitu adanya kemungkinan pembatasan pengetahuan pada sekelompok orang. Hal ini dapat menuntun pada eksklusifitas agama, sebagaimana telah terjadi pada agama lainnya, dan bukanlah hal ini yang diinginkan.

Kemudian, rasanya telah terlalu lama juga muslimin terlena dengan temuan-temuan berupa kalender ataupun jam. Andaikata kita mau menggali lebih baik, akan kita temukan banyak sekali penentuan waktu yang didasarkan pada keberadaan benda langit. Dihadapkan dengan jam yang presisi, tentu saja ini terlihat menyulitkan, tetapi ternyata pendahulu kita dapat hidup baik-baik saja tanpa jam.

Perhatikanlah waktu-waktu shalat yang lima waktu: Shubuh pada gelap yang tersisa di akhir malam sebelum matahari terbit. Dzuhur beberapa saat setelah matahari tepat di atas kepala. Ashar, ketika bayangan panjangnya sama dengan tinggi benda. Maghrib, setelah matahari terbenam, dan 'Isya' setelah malam telah gelap dan bintang telah bermunculan. Waktu-waktu ini ada dan nyata. Dan tidak diperlukan jam dalam bentuk apapun! Begitupun dengan penentuan awal bulan, yang semestinya kita mengenal baik sistem penanggalan yang alami dari ajaran agama kita sendiri.

Bila kita berada di tengah lautan, atau di tengah hutan, maka ada tanda-tanda alam yang akan menolong kita mengerjakan Shalat. Dan tanda-tanda tersebut juga akan makin mendekatkan kita dengan alam, yang apabila kita berpikir dengan baik, akan mendekatkan kita kepada Pencipta alam semesta seisinya, Allah ta'ala.

Wallahu a'lam


6/7 Sya'ban 1435 = 5 Juni 2014; beberapa saat lepas Isya' awal musim panas
+33 / 56100 / 1RNA 1033
AR

Selasa, 20 Mei 2014

Perbankan-Asuransi. Perlukah?


Bismillah, alhamdulillah. Shalawat dan salam kita sampaikan untuk Rasul-Nya (s.a.w*), begitu juga untuk keluarganya dan Sahabatnya.
Baiklah, tulisan berikut tidaklah merupakan tulisan ilmiah, melainkan sebagian besarnya merupakan pendapat penulis.

Perbankan. Asuransi. Dua kata yang jamak terdengar pada kehidupan 'modern' atau masa kini. Dua kata yang sepertinya tidak bisa lepas dari keseharian. Tapi apa benar demikian?

Perbankan, berdasarkan yang penulis pahami, merupakan suatu institusi yang menjadi perantara keuangan yang 'dipercaya'. Uang yang ada pada bank, umumnya dari simpanan nasabah nantinya disalurkan kepada orang yang memintanya. Penyaluran dan penyimpanan tersebut lazim dilakukan dengan pertambahan, baik pada besar simpanan ataupun pinjaman.

Di lain pihak, asuransi -- juga sesuai yang penulis pahami -- merupakan lembaga yang 'menjamin' adanya pendanaan untuk kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (kecelakaan, sakit, meninggal dunia, kecurian, ...) pada diri pelanggannya. Pelanggan membayar uang sedemikian dan sedemikian, dan berhak meng-'klaim'  sejumlah uang yang diperlukan untuk kejadian tersebut.

Dari pemahaman tersebut, dan dengan pengalaman penulis terkait kedua lembaga tersebut, penulis memandang bahwa kedua institusi ini cenderung 'redundant' (berlebihan). Barangkali muncul dan berkembangnya kedua jenis lembaga ini bermula dari lunturnya semangat saling menolong di tengah-tengah masyarakat. Penulis akan coba membahas keduanya satu persatu.

PERBANKAN
Sebagai seorang muslim (penganut agama Islam), penulis mengetahui bahwa "riba" merupakan hal yang diharamkan, alias dilarang, atau tidak boleh dikerjakan. Dan di antara definisi riba yang sampai kepada penulis adalah adanya tambahan pada pengembalian pinjaman. Definisi ini masuk langsung kepada praktik yang lazim pada perbankan. Pelanggan (nasabah ? ) menyimpan (meminjamkan) uang kepada bank, dan bank memberikan tambahan, yang dikenal sebagai bunga, pada jangka waktu tertentu. Begitupun pada praktik pinjaman dari bank. Dengan demikian, maka praktik tersebut tidak boleh dikerjakan sama sekali. Dari sini maka semestinya perbankan tersebut ditinggalkan.


Sebelum kita memasuki pintu Bank Syari'ah, yang diklaim merupakan 'solusi' bagi perbankan -- yang penulis sendiri belum memahami cara kerjanya, penulis akan mencoba menawarkan sebuah solusi yang bukan perbankan sama sekali. Sebab bagaimanapun 'Syari'ah' namanya, bila ternyata praktiknya tidak sesuai dengan yang disyari'atkan, maka syari'ah lama kelamaan bisa jadi hanya sekadar tempelan. Dan lebih ngeri lagi bila tempelan tersebut ternyata digunakan untuk upaya melegalkan sesuatu yang tidak boleh dilegalkan. Solusi tersebut akan penulis sampaikan di akhir pembahasan, bersama dengan sub pembahasan berikut.

ASURANSI
Asuransi, seperti pengertian di atas, memberikan 'solusi' kebutuhan dana pada keperluan mendesak. Tapi kenyataan yang penulis ketahui, solusi tersebut kadang tidaklah "ada kebutuhan = ada dana", karena kaitannya dengan prosedur atau aturan yang berbelit-belit-belit dari penyedia asuransi. Belum lagi, sebagai contohnya 'asuransi pendidikan', apabila ternyata si anak tidak pernah mencapai usia pendidikan (karena keburu dipanggil Allah Yang Maha Kuasa), maka gugurlah asuransi tersebut tanpa pernah orang tua mendapat manfaat yang diinginkan. Dari itu, dan dari yang penulis pahami, ada unsur 'perjudian' pada asuransi. Sementara, Allah telah mengharamkan judi untuk hamba-Nya. Lalu harus bagaimana?

TETANGGA
Inilah yang ingin penulis sampaikan. Ada yang mengatakan bahwa "tetangga itu saudara yang tinggal dekat dengan kita" atau semacam demikian. Tentu kita yang hidup bertetangga merasakan berapa seringnya bila suatu ketika kita ingin mengganti lampu namun tidak ada tangga, kita datang ke tetangga yang mempunyainya. Atau, apabila tetangga hendak mengadakan acara besar, kita bersedia urun membantu memasakkan makanannya. Lalu seandainya ada penghuni rumah sebelah yang mengalami serangan penyakit berat, dan tidak memiliki kendaraan, kita bersukarela mengantarkan ke rumah sakit.

Sebagai muslim, kita barangkali pernah mendengar bagaimana akhlaq (budi pekerti) Rasul kita (s.a.w) kepada tetangganya. Dari situ, disarikan berbagai hak (dan kewajiban) tetangga yang semestinya dipenuhi. Silakan merujuk ke tautan ini. Di antaranya adalah semangat berbagi kepada tetangga.

Penulis ingin sekali mengulangi gagasan bahwa dengan kehidupan bertetangga yang baik, maka kedua institusi di atas tidak diperlukan. Bahkan, penulis akan mengatakan, kebutuhan kedua lembaga tersebut lebih merupakan khayalan belaka (selain keinginan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar).

Dalam lingkungan bertetangga yang baik, seseorang dapat menyimpan hartanya di rumah. Kekhawatiran terhadap pencurian tentu ada, namun akan lebih berkurang. Apabila seorang memiliki kebutuhan mendesak, tetangganya akan datang memberikan pinjaman (yang harus tidak bertambah pengembaliannya), atau malah memberikan bantuan/sedekah bila memang musibah itu berat. Dan kebaikan lainnya, apabila setiap muslim menyadari dan melaksanakan hak-hak orang lain.

Terdengar seperti mimpi, ya? Kehidupan sedemikian pernah terjadi pada masa Rasulullah (s.a.w) dan para Sahabatnya. Apa lagi yang menghalangi hal tersebut terjadi lagi, selain jauhnya muslim dari mengilmui Islam dengan sebenar-benarnya?

Wallahu A'lam bisshawab

--
20/7/1435 = 19/5/2014; 20.29 CEST
+33 | 56100 | 1RNA 1033
Saudara seimanmu,
'Arif


*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, mohon dibaca lengkap setiap penanda ini. Singkatan hanya untuk meringkas penulisan.

Minggu, 18 Mei 2014

Tidak ada Tuhan selain Allah [?] (2)

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam untuk rasul-Nya (s.a.w*) beserta Keluarga beliau, serta Sahabat beliau.

Sebelumnya, sedikit penulis menulis tentang apa yang penulis pahami tentang kalimat ringkas yang selalu dan selalu kita ulangi setiap hari bahkan setiap saat. Untuk kesempatan kali ini, penulis hendak membagi sebuah tulisan yang membahas lebih lanjut, secara bahasa, tentang kalimat tersebut. Ini sekaligus sebagai pengingat juga bagi penulis dan untuk kita semua, mengenai bermanfaat dan pentingnya mengerti Bahasa yang Al-Qur_an diturunkan dengannya.

Tulisan disalin dari : http://badaronline.com/artikel/menilik-makna-yang-benar-dari-laa-ilaaha-illallah-dengan-kaidah-bahasa-arab.html. Mudah-mudahan bermanfaat. Hanya Allah yang memberi Taufiq.


Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab [1]

Sebagaimana masyhur di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat tauhid tersebut?

Pembaca yang semoga Allah Ta’ala merahmati Anda, tentunya kita tahu bahwa kalimat tauhid tersebut adalah kalimat dalam bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa ilaaha illallah tergantung pada benarnya pemahaman kita terhadap asal kalimat ini yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, mau tidak mau kita harus menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang benar dari kalimat laa ilaaha illallah. I’rob kata laa ilaaha illallah yaitu:

لاَ: لاَ النَّافِيَةُ لِلْجِنْسِ تَعْمَلُ عَمَلَ إنَّ وَهِيَ تَنْصِبُ الإِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
Laa: laa naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya.

إِلهَ: اِسْمَ لاَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْفَتْحِ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ
Ilaah: isim laa yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.[2]

Asal kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ) yang bersinonim dengan kata ‘abada (عَبَدَ) yang artinya menyembah/beribadah, wazannya fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif isthilahinya menjadi alaha-ya’lahu-ilaahan (أَلَهَ – يَعْلَهُ – إِلاهًا). “Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian).[3] Isim mashdar terkadang dapat bermakna fa’il (subjek/yang melakukan suatu perbuatan) dan dapat bermakna maf’ul bih (objek/yang dikenai suatu perbuatan). Berikut ini contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun“.

Kata “roddun” (رَدٌّ) adalah mashdar. Terdapat beberapa penjelasan ulama tentang apakah makna “roddun” di sini. Sebagian ulama menjelaskan bahwasanya mashdar “roddun” di sini bermakna fa’il, yaitu “rooddun” (رَادٌّ) yang artinya “orang yang menolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia adalah orang yang menolak.” Maksudnya adalah menolak syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lain memaknai “roddun” dengan makna maf’ul bih, yaitu “marduudun” (مَرْدُوْدٌ) yang artinya “sesuatu yang ditolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amal itu ditolak.” Maksudnya adalah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memenuhi syarat diterimanya amal [4].

Kemudian kembali ke “ilaah“, apakah “ilaah” dalam kalimat tauhid bermakna fa’il atau maf’ul bih?

Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya sebagai mashdar bermakna fa’il, dan ini adalah makna yang keliru yang didukung dengan bukti-bukti yang sangat banyak yang membantah kekeliruan makna tersebut. Ada yang memaknai “ilaah” dengan makna maf’ul bih, dan inilah makna yang benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat makna “ilaah” sebagai fail dan sebagai maf’ul bih, sehingga kita tahu makna yang benar.

Yang memaknai “ilaah” dengan makna fa’il mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah “laa khooliqo illallah” (لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pencipta selain Allah” atau “laa robba illallah” (لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pengatur alam semesta selain Allah” atau “laa rooziqo illallah” (لَا رَازِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan makna rububiyyah[5]. Ini adalah makna yang sangat bathil, karena kalau “ilaah” di sini dimaknai sebagai fa’il maka makna seperti ini telah diyakini dan disetujui oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum musyrikin Arab meyakini  bahwa yang menciptakan, yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta dan sisi-sisi rububiyyah yang lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin Arab itu beriman kepada rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”…” (QS. Luqman:25)

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَنيُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَاللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

Akan tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka, menghalalkan harta dan darah mereka. Sehingga kalau “ilaah” ini dimaknai dengan fa’il maka konsekuensinya kaum musyrikin Arab adalah orang-orang muslim. Namun, tidaklah demikian. Mengapa? Karena mereka hanya beriman kepada sifat-sifat rububiyyah saja, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam beribadah.

Oleh karena itu makna yang benar untuk “ilaah” adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna “ma’luuh” (مَأْلُوْهٌ) atau sinonimnya yaitu “ma’buud” (مَعْبُوْدٌ) yang artinya adalah “sesuatu yang disembah/diibadahi”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah “laa ma’buuda“.

Tadi disebutkan bahwa laa beramalan memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya. Lantas, di mana khobar dari laa?

وَخَبَرُ لاَ مَحْذُوْفٌ تَقْدِيْرُهُ حَقٌ أَوْ بِحَقٍّ
Khobar laa dibuang (mahdzuuf), dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin“.

Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang dari kalimat tersebut. Saya ambilkan contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad” saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.

Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu” (لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di antaranya adalah:

Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun” maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak sesembahan yang lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.

Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak demikian bukan?

Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“. Sehingga kalimat tauhid yang lengkap sebenarnya adalah

لَا إِلهَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ilaaha haqqun illallahu

dan maknanya yang benar yaitu

لَا مَعْبُوْدَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau

لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.

Maknanya adalah “tidak ada sesembahan yang haq selain Allah” atau “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah dengan benar. Hanya kepada Allah-lah kita menujukan semua amal ibadah kita, bukan kepada selain-Nya.

إِلاَّ: أَدَاة الإِسْتِثْنَاءِ
Illa: alat istitsna (untuk mengecualikan).

لَفْظُ الْجَلاَلَةِ “اللهُ” : بَدَلٌ مِنْ خَبَرِ لاَ
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobar laa. Ingat, khobar laa mempunyai i’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut marfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal) yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.

Antara badal dengan mubdal minhu bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “haqqun” digantikan dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah Allah, Allah itulah yang haq.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنََّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنََّ اللَّهَ هُوَالْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)

Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat membantu kita dalam memahami kalimat tauhid yang sangat agung ini. Betapa suatu kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah surga-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”[6]

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.

Wal ‘ilmu ‘indallaah

Selesai disusun di wisma ceRIa, 12 April 2010 pukul 3:13 a.m.

Yang selalu membutuhkan ampunan dari Rabb-nya

[1] Kami mendapatkan faidah yang agung ini dari Ust. M. Saifuddin Hakim hafizhohullah pada saat pelajaran baca kitab “Minhaj Al-Firqotu An-Najiyah wa Ath-Thoifatu Al-Manshuroh” Ma’had al-’Ilmi Akhowat.
[2] Karena “ilaah” adalah isim nakiroh mufrod dan bukan mudhof atau syibhul mudhof, maka hukumnya sebagai isim laa adalah mabni atas tanda nashobnya, yaitu fathah.
[3] Lihat Mulakhkhosh Qowa’idu Al-Lughoti Al-’Arobiyyati (1/30-31)
[4] Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tata cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Adapun pada hadits ini, amalan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan lebih lengkap bisa dilihat di Syarah Hadits Arba’in. Wallahu a’lam.
[5] Yang berkaitan dengan perbuatan Allah seperti mencipta, mengatur alam semesta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dll.
[6] HR. Muslim (26), Ahmad (464), An Nasa’I dalam “Al Kubra” (109252), Al Bazzar (4150, dan Ibnu Hibban (201).
Sumber: http://pengenkemadinah.wordpress.com

18/7/1435 = 18/5/2014; 12.15 CEST
+33 | 56100 | 1RNA 1033
Saudara seimanmu,
'Arif

*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, mohon dibaca lengkap setiap penanda ini. Singkatan hanya untuk meringkas penulisan.