Kamis, 12 Juni 2014

Sederhana

Bismillaah, ṣalawat dan salaam teruntuk Rasul-Nya yang mulia.

Permisi, izin menulis beberapa baris yang ingin ditulis. Ini bukan tulisan yang perlu dibaca, namun barangkali ada gunanya sedikit ditulis di sini.

**

Barangkali menurut pembaca, penulis adalah orang yang rumit, yang tidak bisa dipahami dengan mudah, dalam sekali dua kali bertemu. Bisa jadi demikian. Namun, semakin lama penulis tinggal di atas bumi Allah ini, rasanya semakin sedikit yang penulis inginkan.

Penulis sudah lupa apa yang penulis cita-citakan dulu semasa kecil. Entah, barangkali kombinasi berbagai sebab dari dalam dan luar penulis menyumbang kelupaan ini. Tapi setidaknya penulis bisa mengingat cita-cita saat masa sekolah (bukan dasar) dulu.

"Mau jadi peneliti", begitu kira-kira.

Cita-cita yang rumit di antara cita-cita 'normal' sebagai dokter, atau barangkali tentara atau polisi, atau barangkali 'sekadar' sebagai jutawan (atau miliuner). Namun alẖamdulillaah, sampai tulisan ini ditulis, penulis kelihatannya masih berada di "jalur yang benar" menuju cita-cita tersebut.

Atau seperti demikian kelihatannya.

Pada kenyataannya, belakangan ini penulis berpikir ulang dan memandang cita-cita tersebut, yang semestinya dijalani sungguh-sungguh agar tercapai, kurang relevan. Rasanya terlalu rendah. "Kalau sudah jadi, lalu mau apa?" kira-kira demikian yang terlintas di kepala. Barangkali jawabnya sesederhana melanjutkan hidup, berumah tangga, lalu menjadi tua dan mati.

Sudah, begitu saja?

Rupanya ada yang penulis kurang perhatikan selama ini. Mau ke mana setelah mati? Apakah penulis akan terbawa pengaruh dengan peneliti pada umumnya yang 'percaya' bahwa mati adalah "peristirahatan terakhir"? Belakangan ini pertanyaan itu berulang-ulang melintas, dan jawabannya "klise": "Kalau sudah mati, ya maunya masuk surga".

Sesederhana itu saja.

Namun, seperti banyak hal di alam semesta yang kelihatannya sederhana, mewujudkan asa 'baru' ini tidak semudah kelihatannya. Masuk surga tidaklah gratis, masuk WC umum saja umumnya harus membayar. Dan tahun-tahun kehidupan penulis sudah terlalu lama habis untuk hal yang terlalu sia-sia.

Bukan masalah belajar, bersekolah sampai tinggi setinggi langit dunia. Perkara itu tidaklah sia-sia (setidaknya, tidak sepenuhnya). Ada hal-hal lain yang penulis tidak perlu sebutkan. Dan sebagian besar dari itu bermuara pada 'kegagalan' menggunakan waktu untuk mengetahui dan mengamalkan yang perlu diamalkan untuk 'mengamankan' tiket menuju surganya Allah.

Dan salahnya adalah, penulis sampai berpikir terlalu terlalu terlalu banyak dan ada satu segi yang macet pada saat ini: 'pekerjaan' (baca: penelitian, pendidikan tingkat akhir). Dan saat penulis sebutkan macet, bukanlah macetnya Jalan Kebagusan-Jatipadang di pagi hari Senin, melainkan macet di periode buka-tutup Jalur Ciawi-Puncak di arah yang berlawanan dengan jalur prioritas.

Saat ini, penulis ingin sekali melempar semua gelar (yang sebagiannya penulis rasa tidak pantas penulis sandang) ke tembok, dan kembali ke rumah. Kembali ke negeri di mana Masjid ada kurang dari jarak perjalanan kaki 30 menit. Di mana Adzan berkumandang pada waktunya. Di mana penulis ingin 'nge-warung' saja, barangkali. Yang buka setiap hari kecuali Jum`at pagi. Di mana penulis ingin tinggal mengontrak saja di kamar yang cukup untuk meluruskan badan untuk empat-enam jam sehari-semalam.

Kalau ramai warung itu, maka alẖamdulillaah. Apabila sepi dia, maka alẖamdulillaah penulis bisa duduk tenang bersama buku-buku dan radio untuk belajar mengejar ketinggalan penulis pada antrean tiket menuju cinta Allah.

Apakah permintaan semacam ini diperbolehkan? Semoga...

Hanya pada Allah aku memohon (tulisan ini hanyalah pressure release valve)

--
12/08/35 = 11/06/14
AR

1 komentar:

putriphita mengatakan...

tulisan ringan model begini lebih enak dibaca rif, dibanding yang kemarin-kemarin, menurutku yaa..