Selasa, 24 Juni 2014

Kritis di Era Informasi

Bismillah, walhamdulillah


Sekarang ini banyak disebut sebagai era informasi, katanya. Atau kadang disebut juga zaman informasi. Begitu banyak sarana tersedia untuk memperoleh informasi, dan lebih banyak lagi informasi yang bisa diperoleh dari sarana yang ada. Berita yang datang dari kolong langit sebelah Afrika, bisa sampai ke nelayan di Natuna lebih cepat dari kedipan mata — tentu apabila ada sarana informasinya. Tentu saja, setiap sarana seperti itu bisa mengandung keburukan atau mengantarkan kebaikan bagi penggunanya.

Ambil contoh, dari 'hobi-terpaksa' yang belakangan ini menghinggapi penulis: Memasak. Sudah bukan zamannya lagi buku-buku memasak karya Rudi Choiruddin, atau Ibu Sisca Soewitomo, atau yang lainnya menghiasi rak-rak yang seadanya. Sekarang, tinggal membuka peramban (perambah ? browser !), masukkan alamat situs pencari terkemuka, lalu cari "Resep nasi uduk enak sedap gurih" atau semisalnya. Ia akan menampilkan hasil pencarian yang (di)sesuai(kan) untukmu.

Nah, permasalahan timbul karena banyak sebab. Sebab yang paling utama dalam kasus ini adalah, capain penulis kemarin dulu yang paling hebat adalah memasak mi instan dengan telur dan sosis. Lalu singkat kata, penulis berkeinginan memasak RENDANG.

Bagi penggemar masakan Padang barangkali akrab dengan makanan ini. Makanan dari daging, santan dan berbagai bumbu rempah ini bisa dikatakan salah satu favorit di restoran masakan Padang — selain ayam pop atau gulai kepala kakap, misalnya. Tapi bagi ibu-ibu di luar sana, niscaya kalau si bapak atau anak-anak meminta rendang, maka boleh dibilang itu medan juang yang berat. Penulis ingat bagaimana Ibu dulu memeras 2 kg santan dengan tangan lalu mengaduk hampir setiap 5 menit sekali untuk menjaga santan tidak 'pecah'. Selama 3-4 jam. Semua untuk menjadi paling banyak 1 kg rendang yang enak lagi sedap. Beruntung bumbu halus sudah dibantu oleh penjual bumbu langganan di pasar.

Baik, penulis terlalu melebar di situ.

Akhir kata, penulis menemukan beberapa resep. Bahan-bahan yang harus digunakan mirip, tapi tidak persis sama. Yang mana yang benar? Penulis memilih menelepon Ibu, untuk memastikan bahan apa saja yang minimal ada pada rendang. Dari situ, bisa nampak, tautan mana yang menulis daftar yang paling mirip, beserta cara memasak yang paling bisa dikerjakan. Singkat cerita (satu jam 'meng-ulek' bumbu dan hampir 3 jam mengaduk), jadilah masakan paling efisien yang pernah penulis hasilkan: 1/4 kg rendang untuk sepekan lebih.

Soal rasa? Jangan ditanya. Jangan ditanya karena memang lain, ajaib, dan hanya fisiknya saja yang rendang. Tapi berhubung ini adalah masakan sendiri, maka kemiripan segitu saja sudah cukup untuk bangga telah bisa memasaknya.

Itu cerita soal rendang.

Lalu bagaimana dengan informasi, misalnya ada warga yang bertikai di mana. Apakah kita telan bulat begitu saja? Tentu semestinya tidak. Harus ditanyakan, kenapa, bagaimana reaksi supaya tidak terulang lagi, siapa yang terlibat, sejak kapan dimulainya, ... dan seterusnya agar kita tidak terbatas hanya pada 'ada warga yang bertikai'. Atau 'ada pelaku korupsi yang ditangkap'. Tahu sebatas itu tidaklah menutup kemungkinan besok, lusa pelaku lainnya ditangkap. Syukur kalau masih orang lain, kalau kita sendiri yang ditangkap? Nah lho!

Karena itu, penulis berwasiat untuk diri penulis sendiri. Bila ada informasi datang, maka selalu tanyakan apakah ada sumber yang sahih tentang cerita itu. Bagaimana misal kalau ada seorang dari pedalaman Toraja (sebagai contoh), mengatakan bahwa Masjid Istiqlal di Jakarta itu ada megah dengan 7 tingkat. Sementara pergi ke Makassar saja dia tidak pernah !

Bila ada informasi datang, maka periksalah asal-muasal datangnya berita. Bukan menghakimi orang tersebut tidak jujur. Tetapi namanya manusia sangat berpotensi salah. Bisa jadi seseorang baru setengah terbangun, lalu diminta korek api, tiba-tiba langsung berlari keluar ketakutan – karena salah memahami pertanyaan, "ada api?".

Apalagi kalau menyangkut agama, Islam terutama. Bagaimana menurutmu tentang orang yang mengajarkan Qur'an, hadits, sementara alif ba ta tsa saja tertukar-tukar?

Semoga keterbukaan informasi ini, dan kemudahan mendapatkannya, mempertajam pola pikir kita semua.


25 Sya`ban 1435
+33 / 56100 / 1RNA 1033

AR

Kamis, 19 Juni 2014

Tentang Hati/Qalb (1)

Bismillah, segala pujian tertuju untuk Allah, Penguasa Seluruh Alam.

Shalawat dan salam teruntuk rasul-Nya, Muhammad ṣallallahu `alayhi wa sallam, beserta keluarganya, para Sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir masa.

Penerjemahan, barangkali merupakan bidang ilmu sekaligus seni yang amat rumit. Tidak perlu dari satu bahasa asing ke bahasa lainnya, penutur bahasa yang sama pun tidak jarang menghadapi kendala dalam "menerjemahkan" apa yang ingin disampaikan lawan bicaranya. Demikian, barangkali karena komunikasi tidak sekadar mengucapkan suatu bahasa, tetapi ada juga makna yang terkandung yang hendak disampaikan.

Berangkat dari hal itu, sedikit penulis akan membahas tentang "qalb(un)", yang berasal dari bahasa al-Qur'an, yaitu bahasa Arab. Pada terjemah al-Qur'an ke bahasa Indonesia, kata tersebut sering diterjemahkan sebagai "hati".

Sebelum beranjak lebih jauh, perlu dipahami bahwa ilmu yang datang pada penulis masih sangat sedikit sekali. Apa-apa yang ditulis dibawah ini merupakan gambaran keterbatasan penulis, sesuai apa yang sampai kepada penulis.

"Hati" sebagai sebuah lema dalam KBBI daring (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, Kamis, 20 Sya'ban 1435) adalah sebuah nomina (kata benda) yang memiliki arti sampai dengan 7 macam. Di antaranya, penulis pilihkan yang berkaitan dengan pembahasan tentang "qalb" ini, adalah sebagai berikut:
4) sesuatu yg ada di dl tubuh manusia yg dianggap sbg tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb): segala sesuatunya disimpan di dl --; membaca dalam -- , membaca dalam batin (tidak dilisankan); berbicara dr -- ke -- , dng jujur dan terbuka;
5) apa yg terasa dalam batin: sedih -- ku memikirkan nasib kawanku itu;
6) sifat (tabiat) batin manusia: orang itu baik -- nya;

1) Anat[omi] organ badan yg berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dl darah dan menghasilkan empedu; 
3) jantung: -- nya berdebar-debar;
Barangkali, tiga yang pertama (nomor 4-6) sudah mafhum (dipahami) oleh pembaca. Meskipun demikian, mengapa penulis memasukkan dua yang terakhir (nomor 1 dan 3)? Hal ini dikarenakan, sepengetahuan penulis, bahasa dalam al-Qur'an adalah harfiah (tekstual, denotatif, tidak diarahkan ke makna kiasan/konotatif) sampai ada yang menunjukkan bahwa diperlukan makna konotatif untuk meninjau subyek bahasan.

Penerjemahan sebagai "hati", merupakan suatu upaya yang telah amat baik dari penerjemah al-Qur'an ke bahasa Indonesia (semoga Allah memberikan rahmat kepadanya). Meskipun demikian, adanya makna hati sebagai organ liver/lever [?] dan juga organ jantung menimbulkan permasalahan yang rumit. Jantung sendiri, ditemukan dalam lema "jantung" pada KBBI daring (Kamis, 20 Sya`ban) memiliki dua makna, masing-masing satu makna harfiah dan kiasan. Makna harfiah "jantung" (nomina) sendiri adalah:
bagian tubuh yg menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dl rongga dada sebelah atas): darah bersih mengalir dr --.
Dengan demikian, kita dapati dua organ yang berbeda yang disebut sebagai "hati". Hal ini merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan kebingungan pada pemahaman al-Qur'an, terutama bagi muslimin (penganut ajaran agama Islam).

Bahasa Arab
Penulis berkesempatan berinteraksi dengan seorang penutur bahasa Arab sebagai bahasa kedua (dan sekali juga dengan penutur asli bahasa Arab) dalam rangka pelajaran "tajwid" (tata cara membaca al-Qur'an). Ada salah satu hukum/kaidah tajwid, yaitu apabila ada huruf nun bertanda sukun (نْ) bertemu dengan huruf ba' (ب), yang (dalam pelajaran yang diterima penulis semasa kecil) disebut "iqlab".

Ternyata, kedua penutur tadi mengatakan bahwa hukum tersebut dapat juga disebut sebagai "qalb". Disebutkan bahwa alasan penyebutan demikian adalah karena huruf nun tadi berbalik menjadi huruf mim (م). Dikatakan pula kepada penulis bahwa "qalb" sendiri artinya, lebih kurang, adalah sesuatu yang berbolak-balik.

Hati atau Jantung?
Dengan pemahaman baru tersebut, penulis melihat bahwa pengalihbahasaan "qalb" menjadi "hati" adalah kurang tepat. Kekurangan tersebut terutama ada pada adanya makna ganda pada makna harfiah "hati" itu sendiri. Dapat jadi penerjemah (semoga Allah merahmatinya) memaksudkan "hati" sebagai "jantung" pada makna harfiahnya, dan makna no. 4-6 di atas sebagai makna kiasannya.

Akan tetapi, dewasa ini penulis jarang mendapati pemaknaan seperti demikian. Apabila dikatakan "hati", maka kecenderungan lawan bicara akan memahami "hati" secara harfiah sebagai organ hati, bukan kepada jantung. Hal ini tentu tidak bersesuaian dengan makna "qalb" sebagai sesuatu yang berbolak-balik. Terlebih, Allah ta'aala berfirman pada al-Hajj (22) ayat 46:
فإنها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب التي في الصدور

Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
(teks Qur'an diambil dari http://quran.com/22/46, terjemah bahasa Indonesia dari http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/ dengan memasukkan ayat 46 pada surat 22 pada kolom pencarian).
Sesuai definisi KBBI di atas, maka yang lebih tepat – yang berada di dada – adalah jantung, dan bukan hati. Meskipun demikian, penulis belum menemukan bagaimana mengatasi agar penggunaan kata "jantung" secara harfiah bisa terkait dengan kata "hati" secara kiasan. Tadinya penulis ingin memberikan saran berupa penggunaan kata majemuk "jantung hati", tetapi rasanya ini justru akan semakin membingungkan. Terlebih pada tempat lain, "qalb" yang dimaksud memang makna kias (berupa apa yang terasa dalam batin), sebagai contoh pada surat asy-syu`araa' (26) ayat 89, yaitu:
إلا من أتى الله بقلب سليم

menurut tafsir jalalain, saliim ditafsirkan sebagai "selamat dari perbuatan Syirik dan Nifaq" lihat http://quran.com/26/89. Dengan demikian, pemaknaan hati secara kiasan dapat digunakan di sini.

Barangkali untuk sementara ini, yang diperlukan adalah pemasyarakatan pemaknaan "hati" sebagai organ jantung secara harfiah, dan "sesuatu yang ada dalam batin" secara kiasan untuk pembaca. Memang demikianlah 'seni' penerjemahan yang, tidak bisa tidak, membuka banyak celah tidak tersampaikannya makna yang dimaksudkan.

Untuk kali ini penulis cukupkan sampai di sini. Pembahasan tentang "qalb" berikutnya adalah tentang sebuah ayat yang menarik, namun penulis masih menunggu jawaban dari kawan penulis yang beraspirasi menjadi dokter spesialis jantung ("qalb"). Mari juga kita doakan agar ia dapat meraih yang ia citakan.

Wallahu a`lam

20 Sya`ban 1435 = 19 Juni 2014
+33 / 56100 / 1RNA 1033
Saudaramu dalam Iman,
Arif Rahman

Kamis, 12 Juni 2014

Sederhana

Bismillaah, ṣalawat dan salaam teruntuk Rasul-Nya yang mulia.

Permisi, izin menulis beberapa baris yang ingin ditulis. Ini bukan tulisan yang perlu dibaca, namun barangkali ada gunanya sedikit ditulis di sini.

**

Barangkali menurut pembaca, penulis adalah orang yang rumit, yang tidak bisa dipahami dengan mudah, dalam sekali dua kali bertemu. Bisa jadi demikian. Namun, semakin lama penulis tinggal di atas bumi Allah ini, rasanya semakin sedikit yang penulis inginkan.

Penulis sudah lupa apa yang penulis cita-citakan dulu semasa kecil. Entah, barangkali kombinasi berbagai sebab dari dalam dan luar penulis menyumbang kelupaan ini. Tapi setidaknya penulis bisa mengingat cita-cita saat masa sekolah (bukan dasar) dulu.

"Mau jadi peneliti", begitu kira-kira.

Cita-cita yang rumit di antara cita-cita 'normal' sebagai dokter, atau barangkali tentara atau polisi, atau barangkali 'sekadar' sebagai jutawan (atau miliuner). Namun alẖamdulillaah, sampai tulisan ini ditulis, penulis kelihatannya masih berada di "jalur yang benar" menuju cita-cita tersebut.

Atau seperti demikian kelihatannya.

Pada kenyataannya, belakangan ini penulis berpikir ulang dan memandang cita-cita tersebut, yang semestinya dijalani sungguh-sungguh agar tercapai, kurang relevan. Rasanya terlalu rendah. "Kalau sudah jadi, lalu mau apa?" kira-kira demikian yang terlintas di kepala. Barangkali jawabnya sesederhana melanjutkan hidup, berumah tangga, lalu menjadi tua dan mati.

Sudah, begitu saja?

Rupanya ada yang penulis kurang perhatikan selama ini. Mau ke mana setelah mati? Apakah penulis akan terbawa pengaruh dengan peneliti pada umumnya yang 'percaya' bahwa mati adalah "peristirahatan terakhir"? Belakangan ini pertanyaan itu berulang-ulang melintas, dan jawabannya "klise": "Kalau sudah mati, ya maunya masuk surga".

Sesederhana itu saja.

Namun, seperti banyak hal di alam semesta yang kelihatannya sederhana, mewujudkan asa 'baru' ini tidak semudah kelihatannya. Masuk surga tidaklah gratis, masuk WC umum saja umumnya harus membayar. Dan tahun-tahun kehidupan penulis sudah terlalu lama habis untuk hal yang terlalu sia-sia.

Bukan masalah belajar, bersekolah sampai tinggi setinggi langit dunia. Perkara itu tidaklah sia-sia (setidaknya, tidak sepenuhnya). Ada hal-hal lain yang penulis tidak perlu sebutkan. Dan sebagian besar dari itu bermuara pada 'kegagalan' menggunakan waktu untuk mengetahui dan mengamalkan yang perlu diamalkan untuk 'mengamankan' tiket menuju surganya Allah.

Dan salahnya adalah, penulis sampai berpikir terlalu terlalu terlalu banyak dan ada satu segi yang macet pada saat ini: 'pekerjaan' (baca: penelitian, pendidikan tingkat akhir). Dan saat penulis sebutkan macet, bukanlah macetnya Jalan Kebagusan-Jatipadang di pagi hari Senin, melainkan macet di periode buka-tutup Jalur Ciawi-Puncak di arah yang berlawanan dengan jalur prioritas.

Saat ini, penulis ingin sekali melempar semua gelar (yang sebagiannya penulis rasa tidak pantas penulis sandang) ke tembok, dan kembali ke rumah. Kembali ke negeri di mana Masjid ada kurang dari jarak perjalanan kaki 30 menit. Di mana Adzan berkumandang pada waktunya. Di mana penulis ingin 'nge-warung' saja, barangkali. Yang buka setiap hari kecuali Jum`at pagi. Di mana penulis ingin tinggal mengontrak saja di kamar yang cukup untuk meluruskan badan untuk empat-enam jam sehari-semalam.

Kalau ramai warung itu, maka alẖamdulillaah. Apabila sepi dia, maka alẖamdulillaah penulis bisa duduk tenang bersama buku-buku dan radio untuk belajar mengejar ketinggalan penulis pada antrean tiket menuju cinta Allah.

Apakah permintaan semacam ini diperbolehkan? Semoga...

Hanya pada Allah aku memohon (tulisan ini hanyalah pressure release valve)

--
12/08/35 = 11/06/14
AR

Kamis, 05 Juni 2014

Pedoman Transliterasi Arab-Latin (ke bahasa Indonesia sesuai SKB dua Menteri)

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam teruntuk Rasulillah (shallallahu 'alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan Sahabatnya dan para pengikutnya hingga hari akhir kelak.

Selama ini, penulis bertanya-tanya, apakah ada cara untuk menulis bahasa arab (huruf arab) ke dalam bahasa Indonesia (huruf latin) yang terstandardisasi. Ternyata, penulis yang selama ini belum mencari dengan baik. Sebagai pemerintah yang baik, Pemerintahan Republik Indonesia cq. Kementerian (urusan) Agama dan Kementerian (urusan) Pendidikan (dahulu Pendidikan dan Kebudayaan) rupanya sudah membuat suatu keputusan bersama. Keputusan tersebut termaktub dalam SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 158 Tahun 1987 Nomor 0543 b/ u/1987 tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin.

Berkas elektroniknya dapat ditemukan di laman http://lajnah.kemenag.go.id/profil/peraturan-dan-perundangan.html berupa berkas elektronik ringkas dan jelas dalam satu halaman. Berikut ini penulis sajikan tangkapan layar berkas tersebut.


Demikian, semoga bermanfaat bagi penulis terutama, dan bagi pembaca umumnya. Mudah-mudahan mulai saat ini penulis bisa mempergunakan pedoman transliterasi ini dalam kesempatan berikutnya, dengan segala keterbatasan pedoman ringkas ini.

Wallahu waliyyuttaufiq


6/7 Sya'ban 1435 = 5 Juni 2014, sebelum tengah hari
+33 / 56100 / 1RNA 1033
AR

Waktu

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam teruntuk Rasul-Nya, Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan Sahabatnya.

Dalam waktu tidak lama dari tulisan ini diturunkan, akan timbul pertanyaan yang berulang selalu sepanjang tahun: "Kapan mulai puasa?" yang secara panjang dapat diterjemahkan menjadi, kapan kita memulai puasa wajib di bulan Ramadhan?

Tentu jawaban ringkas (dan 1/2 serius 1/2 bercanda) dari pertanyaan di atas adalah pada tanggal 1 Ramadhan tahun ini. Walaupun demikian, tentunya penanya tidak memaksudkan demikian. Yang ia maksudkan adalah kapan waktu tepatnya pada penanggalan Masehi.

Berikut ini penulis akan tampilkan kutipan dari beberapa sumber yang insya Allah shahih dan terpercaya, yang akan penulis akhiri dengan beberapa baris opini penulis sendiri.

Sebelum memulai, penulis menekankan bahwa tulisan ini mengutamakan pembahasan tentang penentuan awal puasa. Mengenai hal-hal terkait definisi, hukum-hukum puasa, syarat-syarat, dan semacamnya, penulis menyarankan kumpulan artikel ini.

Kapan mulai berpuasa?
Allah ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Barangkali kamu belum mengetahui, bahwa Ramadhan adalah nama salah satu bulan dari 12 bulan yang (semestinya) dikenal baik oleh muslimin semuanya. Perhitungan kalender ini berdasarkan peredaran bulan, yang secara kasar diperhitungkan mengalami satu siklus lengkap (bulan baru - sabit - purnama - ... kembali lagi) dalam 29 lebih sedikit hari (sekitar 1/6 hari, kalau tidak salah). Awal bulan sendiri ditentukan apabila anak bulan (hilal) sudah terlihat mata. Seperti demikianlah yang difirmankan Allah pada ayat di atas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” [HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar]
Dengan demikian, maka disyaratkan untuk keluar dan melihat ke langit di malam terakhir (atau sebelum terakhir) Sya'ban - bulan sebelum Ramadhan untuk mengetahui apakah bulan sudah berakhir atau belum. Bila telah nampak hilal, maka Sya'ban telah berakhir dan keesokan harinya adalah hari pertama berpuasa. Dan bila tidak terlihat, baik karena mendung seperti hadits di atas ataupun karena sebab lain seperti memang belum fasanya, maka disimpulkan bahwa bulan Sya'ban masih ada satu hari lagi.

Sehubungan dengan penentuan hari pertama Ramadhan di atas, ada satu syariat yang perlu diperhatikan. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini menjelaskan tentang larangan berpuasa di hari-hari yang meragukan (seperti di hari terakhir atau sebelum terakhir dari bulan Sya'ban). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا تقدموا رمضان بصوم يوم ، أو يومين إلا رجلا كان يصوم صوما فليصمه
“Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali salah seorang dari kita yang terbiasa berpuasa.” [sumber]
Lalu, apakah siapa saja boleh keluar melihat hilal? Pada dasarnya boleh, karena hilal adalah sesuatu yang nampak di langit sebagai hasil pergerakan bulan. Namun demikian, untuk memulai puasa (dan pada akhirnya, mengakhirinya), ada satu hal yang perlu diperhatikan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) bahwasanya beliau bersabda:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi, dan beliau menyatakannya sahih) [sumber]
Di sini, pandangan yang penulis ikuti adalah pandangan dari Imam Ahmad ibnu Hanbal (Imam Madzhab Hanbali/Hanabilah) bahwa yang demikian berarti kita berpuasa sesuai yang diputuskan oleh pemimpin kaum muslimin. Oleh karena itu, laporan hilal haruslah masuk ke kalangan penguasa, dan mereka yang memutuskan kapan bulan Ramadhan dimulai. Penguasa dapat menerima persaksian hilal, dan berhak pula menolak persaksian karena berbagai pertimbangan. Kita sebagai yang dipimpin? Ikutlah pemimpin kita untuk hal-hal yang baik dan bukan maksiat pada Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana dengan hasil perhitungan?

Masalah ini problematik, dan terkadang hasil perhitungan ini menyelisihi keputusan penguasa muslimin yang berlaku. Sejauh yang penulis dapatkan, tidak ada contoh dari Rasulillah (shallallahu 'alaihi wa sallam) maupun dari kalangan Sahabatnya dan ulama terdahulu yang masih dekat dengan zaman beliau. Alangkah baiknya jika pemimpin yang kita akui, kita ikuti. Terlebih lagi pemimpin tersebut telah berupaya menjalankan pengamatan hilal sesuai dengan yang dituntunkan Rasul kita (shallallahu 'alaihi wa sallam).

Hikmah penentuan awal bulan dengan rukyah

Kita ketahui bersama, bahwa Rasul (shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah seorang yang buta huruf, apalagi pada ilmu-ilmu perbintangan (navigasi dan sebagainya) yang kompleks. Beliau mendapatkan wahyu dari Allah dan itulah yang membedakan beliau dengan kita.

Pengamatan bulan untuk menentukan awal bulan merupakan suatu metode yang amat (sangat) sederhana. Metode ini juga bisa dilakukan oleh semua muslim yang sehat jasmani. Cukup keluar ke tempat terbuka, pandangi langit di mana bulan diperkirakan akan tampak, pada hari (sebelum) terakhir Sya'ban, lalu perhatikan. Apabila muncul hilal, maka bulan Ramadhan bisa dimulai; bila belum, maka tinggal tambahkan satu hari. Apabila ada yang lebih sederhana lagi dari itu, maka tolong beritakan pada penulis.

Sedangkan penentuan dengan sistem perhitungan (hisab falakiy), seperti namanya, memerlukan keahlian yang tidak semua muslimin memilikinya. Selain ketiadaan nash yang memperbolehkan metode ini, ada hikmah yang bisa ditarik yaitu adanya kemungkinan pembatasan pengetahuan pada sekelompok orang. Hal ini dapat menuntun pada eksklusifitas agama, sebagaimana telah terjadi pada agama lainnya, dan bukanlah hal ini yang diinginkan.

Kemudian, rasanya telah terlalu lama juga muslimin terlena dengan temuan-temuan berupa kalender ataupun jam. Andaikata kita mau menggali lebih baik, akan kita temukan banyak sekali penentuan waktu yang didasarkan pada keberadaan benda langit. Dihadapkan dengan jam yang presisi, tentu saja ini terlihat menyulitkan, tetapi ternyata pendahulu kita dapat hidup baik-baik saja tanpa jam.

Perhatikanlah waktu-waktu shalat yang lima waktu: Shubuh pada gelap yang tersisa di akhir malam sebelum matahari terbit. Dzuhur beberapa saat setelah matahari tepat di atas kepala. Ashar, ketika bayangan panjangnya sama dengan tinggi benda. Maghrib, setelah matahari terbenam, dan 'Isya' setelah malam telah gelap dan bintang telah bermunculan. Waktu-waktu ini ada dan nyata. Dan tidak diperlukan jam dalam bentuk apapun! Begitupun dengan penentuan awal bulan, yang semestinya kita mengenal baik sistem penanggalan yang alami dari ajaran agama kita sendiri.

Bila kita berada di tengah lautan, atau di tengah hutan, maka ada tanda-tanda alam yang akan menolong kita mengerjakan Shalat. Dan tanda-tanda tersebut juga akan makin mendekatkan kita dengan alam, yang apabila kita berpikir dengan baik, akan mendekatkan kita kepada Pencipta alam semesta seisinya, Allah ta'ala.

Wallahu a'lam


6/7 Sya'ban 1435 = 5 Juni 2014; beberapa saat lepas Isya' awal musim panas
+33 / 56100 / 1RNA 1033
AR