Rabu, 19 Mei 2010

Takkan menyesal

"... Bila/ tak menjadi milikku/ aku takkan menyesal telah jatuh hati ..."

Itu sepenggal tembang "Kekasih Sejati" karya musisi favoritku, Mas Yovie Widianto yang dibawakan dengan manis oleh saudari Monita Tahalea.

Singkat, melodis, dan satu dari sedikit lagu 'C' yang tidak menyebut 'C' sedikitpun.

Dan penggalan lirik di awal itu untukmu, sahabatku.


--
F I N
written on 19. Mai 2010, 19.38 WIB (UTC +7)
Don't be sad. You may be lacking of height, but you'll never lack of heart.

Selasa, 18 Mei 2010

Ujian

Dalam pekan-pekan ini, ada beberapa ujian yang aku harus jalani.

Pertama, soal urusan hatiku dengan beliau. Kalau ini, aku memutuskan akan menempuh cara 'curang'. Akan kudekati Dia dulu, lagi. Yah, lama sudah aku jauh dari Dia, padahal telah diterangkan padaku kalau Dia selalu di kedudukanNya. Dan kalau kudekati dengan berjalan, maka Dia akan mendekatiku berlari.

Dan urusanku dengan beliau tentu Dia yang paling tahu kelanjutan dan akhirnya. Mudah-mudahan. Berdoa dan berusaha saja yang bisa kuperbuat.

Kemudian ujian dengan peranti lunak pengolah 3D (yang ternyata tetap berat ampun-ampunan di komputer tua kami yang telah ditingkatkan kapasitas RAM-nya).

Bayangkan saja, menjelajahi satu hutan, dengan peta yang telah pudar oleh hujan, dengan lilin di tangan, satu orang saja. Nah, kira-kira begitu urusanku dengan peranti Sol**Wor*s itu. Hiiiy.. Alhamdulillah berhasil mengatasinya, tetapi laporan Pembuatan Cetakannya jelek. Sangat. Mudah-mudahan saja.

Lalu pekan ini dan pekan depan, ada Ujian Akhir Semester.

Ya, tanpa terasa siklus perkuliahan telah berputar kembali ke tiga kata yang sedikit banyak membuat bulu roma berdiri itu. Apalagi persiapanku semester ini, jujur saja, kurang. Pelatihan WI di Maret-April kemarin mengacaukan UTS, dan terbawa sampai ke UAS. Tapi dengan mengulangi kuliah-kuliah yang diberikan dan berdoa, yah, mudah-mudahan.

Alhamdulillah, akhir pekan depan akan berangkat ke Jogjakarta (lagi). Hei, aku suka Jogjakarta, kota di mana pengendara dan penumpang sepeda motor berhelm, berhenti di belakang garis di persimpangan, dan keluar gang dengan lebih "wow" dari Jakarta (:D). Sepupuku (agak jauh) akan menikah Jum'at 27. Mai mendatang.

Yah, kali ini semoga si Twendy (kamera digitalku) berguna. Dan mungkin aku akan mengisi Neopan yang teronggok di kedai fotokopi tak jauh dari rumah ke kamera peninggalan ayahku. :)

Sedikit dulu kali ini. Tidak baik mengeluh. Tidak Dia sukai orang-orang yang tidak bersyukur itu.


--
F I N
written on 18. Mai 2010, 20.23 WIB (UTC +7)
Aku sayang Dia (lagi). Ke mana saja aku selama ini ya? (-_-")

Jumat, 14 Mei 2010

Sebut saja namanya Putri

Ya, daripada menggunakan beliau atau dia, mari kita sebut saja subjek kita yang terakhir ini Putri. Nama yang jamak digunakan gadis di negeri ini.

10. Mai 2010, permainan kata-kata yang biasa kupergunakan untuk mencoba mendekat dengan perempuan menjadi bumerang. Baru sekali ini aku mendapati seorang perempuan yang membaca tanda-tanda-tanda yang kutebarkan dengan hati-hati dengan tepat. Sempurna. Jadi, terbukalah segala yang kusimpan sebelumnya, dan pada hari itu juga Putri mengetahui apa yang kurasa padanya.

Tetapi beliau bilang perlu waktu. Memang itu sebabnya mengapa aku menyimpannya. Coba bayangkan, dua hari setelah memutuskan hubungan dengan kekasih sebelumnya, aku datang menyampaikan hal itu? Gila apa aku ini. (-_-").

12. Mai lalu, sesi perbincangan (chat) dan curhat kembali kami gelar. Kali ini dengan bantuan Yahoo! Messenger (Y!M). Saat itu, kami baru saja menyelesaikan kesibukan di tempat masing-masing. Putri dengan tugasnya, bersama kawan-kawannya, aku berkutat dengan peranti lunak untuk menggambar benda cetak untuk disimulasi -- yang semestinya telah disimulasi entah sejak kapan.

Tak dinyana, Putri membuat pernyataan: "Eh, kamu dapat pesaing". yang setelah pertanyaan-jawaban berikutnya terjawab bahwa yang Putri maksud pesaing di sini adalah mantan kekasihnya (yang lain lagi). Yang berikutnya kutahu adalah beliau meminta visi misi hidupku (jangan salah, bukan hanya pemilihan presiden dan seterusnya yang memerlukan ini), dan aku menceritakan semuanya. Panjang. Lebar.

Dan keesokan harinya, Putri mengirim pesan singkat. Agak tidak singkat juga, mengingat layar ponsel tuaku harus digulung banyak kali untuk menyelesaikan membaca pesannya. Pada intinya, sebuah penolakan. Halus. Sangat halus.

Baru sekali ini aku mengalami penolakan yang sedemikian anggun. Harus kuakui, Putri mahir juga merangkaikan pelbagai kata untuk menerangkan maknanya. Jelas dan tegas. Tapi tidak sakit sama sekali.

Dan setelah sekarang sepertinya kesempatan kami bertemu akan sangat terpangkas, maka yang bisa kuperbuat adalah yang seharusnya kuperbuat dari dulu. MenemuiNya lagi. mendekatiNya kembali. Sedikit bertanya tentang apakah Putri ini yang akan digariskan untukku. Karena entah mengapa hatiku dan kepalaku satu suara untuk hal ini: Iya.

Entahlah. Putri memintaku membuka mata, hati, dan telinga untuk 'C' yang bisa datang dari mana saja. Karena beliau tidak bisa berjanji, besok, lusa, atau 3-4 tahun lagi rasa itu masih akan tinggal. Mungkin akan kucoba. Mungkin juga akan kucoba kembali padanya, entah kapan. Karena hati dan kepalaku bilang "iya".

Doaku dekatkanlah, mudahkanlah, sempurnakanlah.


--
F I N
written on 14. Mai 2010, 21:14 WIB (UTC +7).
I want my very first to last, and to be my last. Will you?

Ibu, aku cinta Ibu sepenuhnya

Memang, kata orang, "sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna" belum pernah salah.

Kejadiannya telah lama. Waktu itu, ponselku si biru Motorola C650 yang sekitar 4 tahun sebelumnya beliau belikan tiba-tiba saja hilang salah satu tombolnya. Jangan bayangkan ponsel ini seperti ponsel merk N itu yang keypad-nya bisa diganti sesuka hati. Jadilah selama sekitar 3 hari aku menekan tombol utama itu menggunakan pensil mekanikku yang, syukurlah, telah bertahan selama sekitar 5 tahun pada masa itu.

Malam sebelum kehilangan tuts itu, aku tengah iseng mencoba memotret garis bintang (star trail). Waktu itu dengan kamera film dan lensanya milik ayah yang kuurus. Saat itu ponselku terlepas dari tanganku dan jatuh. Sudah biasa dan terbukti tahan banting si Biru itu.

Berhubung keadaan balkon atas di sisi kamarku sengaja kugelapkan agar tidak mengganggu pengambilan gambar, aku tidak menyadari kalau ada yang kurang dari ponselku. Saat turun ke bawah, barulah kusadari ada yang hilang di situ.

Selidik punya selidik, setelah sekitar 5 harian, tuts itu kutemukan masih di balkon yang sama. Saat terang saja sulit melihatnya. Setelah kutemukan, aku tidak melaporkannya ke Ibu. Suatu kesalahan karena beliau melihatku sebelumnya menggunakan pensil untuk menekan di tempat tuts yang hilang itu.

Sekitar dua hari setelahnya, tiba-tiba Ibu pulang dan membawa sebuah kotak dalam kantung plastik. Saat kulihat, oh tidak. Itu sebuah ponsel lainnya, Motorola W388. Saat itu, aku jauh dari keadaan tenang, dan langsung terucapkan ketidaksukaanku pada ponsel itu. Jujur kepalaku panas saat itu. Terlalu panas. Kalau dibandingkan dengan sekarang, mungkin ibarat suhu Sahara dibandingkan dengan suhu Bogor.

Saat itu tidak terpikir seperti apa perasaan Ibuku. Salahku. Salahku.

Kemudian, hari ini, 14. Mai 2010. Saat tengah di kelas Metode Komputasi, kulihat si Uthy memakai arloji. Yah, arloji yang kelihatannya bagus, dan digital. Bukan, bukan seperti itu yang kuingin. Yang aku ingin adalah arloji berbingkai logam, dengan jarum yang berputar sinambung, dan ukuran yang pas. Yang terakhir ini yang selama ini menjadi kendala. Kerjaku kebanyakan berhubungan dengan komputer dan pergelangan tanganku, yah, kecil. Sempat terpikir juga mungkin akhir bulan ini atau bulan depan aku akan mencari arloji yang kuinginkan.

Tapi tidak perlu menunggu sampai bulan depan ternyata. Mungkin Dia membisikkan keinginanku pada Ibuku. Lepas Isya', Ibuku pulang bersama Ayah. Kali ini, ada lagi sebuah bungkus plastik yang terisi sebuah kotak biru.

"Mas*, ini Ibu tadi beli di Senen. Kelihatannya bagus. Mudah-mudahan mas suka."

Ketika kulihat kotak tersebut dibuka, terlihatlah sebuah arloji yang bagus, berbingkai logam bentuk segi empat, dan rantai logam juga. Meskipun demikian, memang pergerakan jarumnya masih konvensional, masih berdetak-detik sih. Tapi kali ini kepalaku dingin. Jauh, jauh lebih dingin, dan hatiku hangat karena apa yang terjadi dalam pekan terakhir ini. Dan reaksiku yang bisa kuperlihatkan adalah, "Wah, bagus kok, Bu." sembari mencium kembali tangan Ibu, dan binar mata bahagia tersirat di wajah Ibuku.

Ibu, maafkan aku atas yang dulu, dan yang dulu, dan semua yang kulakukan dan kukatakan dulu. Benar pulalah ucapan lama, "Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan," tiada akan berakhir. Ibu. Maafkan aku tak bisa meminta maaf kemarin dulu. Semoga penerimaanku kali ini bisa mengobati sedikit yang dulu itu. Aku cinta Ibu, sebagai Ibuku, sepenuhnya, sepenuh hati dan segenap jiwaku.


--
F I N
written on 14. Mai 2010, 20.38 WIB (UTC +7)
Yes, Mum. It's my stubbornness that prohibited me from apologising. Please, forgive me. For I deeply regret that time, when I rejected your gift. I ♥ you, Mum.

Nota bene:
*) Jangan protes. (-_-"). Mas itu panggilanku di rumah. Mbak untuk adikku yang pertama, dan Adek untuk adikku yang paling kecil.

Senin, 10 Mei 2010

Tentang waktu, dan sedikit lainnya

Ya, mengenai waktu, pewaktuan, dan keluarganya, bukan keistimewaanku. Tapi biasanya, menutupi apa yang terjadi di dalam adalah salah satunya.

Kecuali kemarin. Perbincangan entah-apa yang mengarah ke urusan hati, dan terbaca telak oleh beliau.

Yah, tidak semua perempuan membaca peta, dan tanda-tanda lainnya, tetapi sekali kamu temukan yang dapat membaca tanda-tanda, mereka dapat membacanya dengan sangat teliti - dan betul sama sekali.


--
F I N
written on 10. Mai 2010, 08:26 WIB (UTC +7)
I am sorry for being insensitive.

Jumat, 07 Mei 2010

Datang Lagi

Aku tahu. Mungkin sudah bosan kamu mendengar aku begini dan begitu pada anak perempuan ini atau itu. Mungkin juga kamu bosan dengan langkahku yang terbatas pada skala mikrometer per langkah. Mungkin nantinya kamu bosan mendengarku menyesali lambatnya inisiatifku. Tapi bacalah, kalau kamu berkenan.

Beliau, sebut saja X, belum lama kukenal. Perkenalan pun berlangsung tidak formal dan seperti biasa, lambat. Kami dipertemukan keadaan. Saban pekan, untuk beberapa jam dalam sehari, kami bersama-sama.

Pada mulanya, seperti kebiasaanku yang segan/malas/lambat/ogah-ogahan (tandai yang benar) mengenal orang lain, aku tidak begitu memperhatikan beliau. Tetapi bukan aku tidak mengenal. Untuk nama, aku dapat dengan cepat mengingat dan menyebutkan kembali, dan perlu beberapa pertemuan untukku bisa mengingat wajah.

Waktu berlalu, berbagai hal terjadi di hari-hariku, dan mungkin hari beliau, dan sekonyong-konyong kami berbincang. Perbincangan sederhana, -- di mana kami bersekolah -- yang ternyata menyeret rekanku yang jauh di sana juga. Yah, memang dunia ternyata sempit. Selanjutnya, cerita itu dimulai. Kami bertukar nomor, berkomunikasi per pesan singkat (sankat), dan juga jejaring pertemanan yang didominasi warna biru tua itu.

Sampai akhirnya, waktu jua beranjak ke tepi di mana kami akan terpisah sementara. Satu petang dan kami (berenam) menyempatkan diri menggelar 'perpisahan' di sebuah mal di tepian Jakarta. Masih, bukan beliau yang paling kuperhatikan. Ada seorang lagi yang nampak jauh lebih indah di mataku.

Tapi itu sebelum hari-hari ketika kami berbincang via fasilitas obrolan di situs yang tadi kusebutkan. Di sana kami bercerita, tentang apa saja. Dan di sana juga terkuak beberapa rahasia dan 'rahasia'. Di sana kami berbincang, dan kurelakan waktuku beranjak tidur untuk menunggunya menyapa, atau aku yang mulai menyapa. Dan dari sapaan itu, perbincangan panjang hampir selalu terjadi. Ya, beliau - si X - memang pada saat itu tidak bersendirian. Tetapi dari sedikit ceritanya, ah, tak perlu kuceritakan padamu.

Dan waktu berlari, hingga suatu pagi ponselku berdering, dengan berita yang sebagian hatiku menyayangkannya, tetapi sebagian lain bersiap menggelar pesta dan perjamuan.

Entah. Sekali lagi keadaan ini terjadi. Dan setiap kali itu pula aku bimbang. Jujur saja, perempuan bukan lawan bicara yang sepadan untukku. Aku selalu merasa mereka ciptaan yang amat tinggi, tapi rapuh. Dan tugasku sebaiknya adalah tidak mendekati mereka, mengingat lisanku demikian tajamnya. :(

Entahlah. Yang jelas, untuk saat ini, biar kuendapkan dulu yang kali ini datang lagi. Biar terang semuanya. Biar kuyakinkan dulu sebelum aku melangkah ke tepi yang tak pernah kujelajahi sebelumnya. Maafkan aku juga, tak bisa jujur untuk beliau, setidaknya saat ini.


--
F I N
written on 7. Mai 2010, 20:32 WIB (UTC +7)
Milady... I'm sorry. Deeply sorry.


Minggu, 02 Mei 2010

Bedah Foto: Tetes (Bagian 2)

Jadi, bagaimana ceritanya gambar yang ada di bawah ini bisa bertransformasi? Langkah-langkah di bawah foto ini mungkin bisa sedikit menjelaskan. Semuanya dikerjakan dengan bantuan GIMP 2.2.13. Versi terbaru -- 2.6 kalau tak salah -- dengan berbagai fitur baru yang sudah lama tak kuikuti perkembangannya dapat diunduh melalui situs resminya. Psst.. GRATIS dan terbuka untuk berbagai modifikasi oleh pengguna di seluruh dunia lho. ;)


Langkah pertama adalah membuka gambar tersebut di GIMP, lalu untuk berjaga-jaga (kalau mengikuti langkah pengguna "toko foto") buat lapisan/layer duplikat. Kalau boleh dibilang langkah ke-nol, maka langkah ke-nol yang kulakukan adalah dengan memotong (crop) bagian gambar yang tak diinginkan atau mengganggu pusat perhatian kamu dan aku, yang pada foto tersebut adalah tetesan air.


Langkah berikutnya adalah mengganti warna. Warna bak mandiku, harus kuakui, jelek. Warnanya sudah bercampur hijau-merah-cokelat tidak jelas. Untuk mengganti warna, gunakan Filter > Channel Mixer dan ubah nilai-nilai pada jalur/channel warna merah dan hijau seperti di bawah ini.




Berikutnya adalah penambahan lapisan vinyet, atau semacam bingkai hitam di tepi gambar. Untuk memperkuat kesan, aku memilih bentuk gradasi hitam-putih radial, dan berikan transparansi (opacity) 20.0%. Modus pencampuran lapisan vinyet sendiri boleh bermacam-macam, tetapi aku memilih grain merge. Sesuaikan selera masing-masing ya. :)




Setelah penambahan lapisan vinyet (pada gambar di atas disebut "Vignette"), maka gabungkan lapisan tersebut dengan lapisan di bawahnya, "background copy". Hasil akhirnya seperti di bawah ini. Tetapi ukurannya masih lumayan besar, dan tidak diperbolehkan sesuai aturan pengunggahan di FN.



Nah, oleh karena itu kita lakukan pengubahan ukuran. Pengubahan ukuran dilakukan sampai ukuran panjang 900 piksel (tingginya mengikuti), dengan modus tertinggi, kubik). Biarkan resolusi tetap sedemikian, karena gambar hanya akan dilihat di monitor. Lain perkara bila gambar hendak dicetak.



Setelah pengubahan ukuran, sering terjadi kehilangan ketajaman pada gambar. Untuk itu kita lakukan perbaikan dengan Filter > Enhance > Unsharp Mask (selanjutnya kusebut USM). Berikan jejari (radius) yang besar dan nilai (amount) kecil seperti di bawah ini untuk meningkatkan kontras tanpa menimbulkan efek halo di sekitar batas-batas terang-gelap.


Hasilnya setelah diproses USM adalah gambar yang kamu lihat di bawah ini. Lebih baik daripada gambar yang dihasilkan dari kamera, tetapi masih banyak kekurangan. Satu di antaranya adalah, wadah yang nampak dan terlihat percikan air di wadah (karena sudut pengambilan terlalu rendah). Maklum, saat pengambilan gambar, rasa malas menyerang sehingga yang terjadi adalah aku mengambil jalan pintas dengan berjongkok. He he he.



Demikian kira-kira yang kulakukan hingga mendapatkan foto "Tetes". Perlu diingat, aku masih belajar, tetapi sebagian besar otodidak dan tidak dari kursus. Bukan aku tidak percaya kursus -- kursus malah dapat mempercepat masuknya ilmu kalau diikuti dengan serius, serius -- tapi memang waktu dan keuanganku sulit. *malu*

Semoga bisa memberikan sedikit pengetahuan. Akhirnya semua berpulang padamu, apa yang akan kamu lakukan dengan kamera (digital)mu. Jangan takut lah, meskipun ada 'hantu' berupa shutter count/shutter actuation, tetapi sepanjang terbukanya rana itu membuka pengetahuanmu, mengapa tidak?


--
F I N
written on 15.20 WIB (UTC +7)
To fellow picture takers OR photographers, have you felt the sense of urgency building inside you?

Bedah Foto: Tetes (Bagian 1)

Kali ini izinkan aku membahas fotoku yang termuat di situs Fotografer.net (mendaftarlah menjadi anggota untuk melihat ukuran besarnya, dan lebih banyak foto yang jauh lebih bagus). Foto yang akan kubahas berjudul "Tetes". Foto tersebut dibuat pada saat iseng, karena frustrasi dari niat sebelumnya membuat lampu sein untuk sepedaku. Langsung saja, ini foto yang kumaksud.
Maaf ya, ukurannya kecil. Kalian mengerti lah, internet, kebebasan, kadang disalahartikan oleh beberapa orang. Nah, kalau kamu ingin berkomentar, boleh gunakan fasilitas yang ada di bawah, setelah tulisan ini.

Pada laman foto yang URL-nya kutuliskan di atas, beberapa mempertanyakan bagaimana cara menghasilkan foto yang demikian. Kalau kamu cukup rajin membaca dan melihat foto-foto serupa, mungkin kamu sudah cukup mafhum dengan istilah "high speed photography" (fotografi kecepatan tinggi, FKT). Pada dasarnya, foto di atas dibuat dengan menggunakan teknik itu.

Alat dan bahan
* Kamera (dan lensa) dengan kecepatan rana dan bukaan diafragma yang dapat diatur.
Aku menggunakan kamera Canon EOS 20D, lensa EF 50 mm f/1.8 Mark II.
* Lampu kilat, akan sangat baik kalau tersedia pengaturan FP (Sinkronisasi lampu kilat terhadap rana "Focal Plane").
Yang kupergunakan adalah Vitacon 828 for EOS. Digunakan pada modus manual dengan menutup pin lain selain pin untuk X-Synch.
* Sensor (cahaya, gerak, atau bunyi).
Aku tidak punya sensor luar, sehingga kugunakan mataku. Hehe.
* Air yang bisa menetes, dan wadahnya yang telah diisi.
Aku gunakan bak air di kamar mandiku, yang kerannya bisa diatur cukup kecil

Pengambilan gambar
Pertama kali, pastikan kamera dan lampu kilat dapat bekerja baik. Ambillah beberapa gambar percobaan dengan lampu kilat. Ini untuk memastikan agar nanti sesi pengambilan gambar tidak terganggu.

Berikutnya, meskipun tidak betul-betul kukerjakan, adalah menyalakan air dengan debit yang kecil. JANGAN bawa kamera dulu, benda elektronik dan air bukan sahabat baik, kawanku. :P

Setelah dipastikan air cukup kecil untuk menetes. Amati karakteristik jatuhan air, dan persiapkan kamera. Penggunaan kaki tiga bisa membantu, tetapi mengingat penggunaan kecepatan rana tinggi dan bantuan cahaya lampu kilat, sepertinya agak sia-sia dan kuduga bisa sedikit mengganggu pergerakan saat mengambil gambar. Kebetulan kamar mandiku kecil, jadi aku memilih tidak menggunakan kaki tiga.

Berikutnya adalah pengaturan variabel pengambilan gambar. Ada tiga variabel utama dalam FKT, dan fotografi pada umumnya. Nilai sensitivitas film/sensor (dalam ASA/ISO/DIN/dsb), bukaan diafragma (f/x atau 1:x), dan kecepatan rana (lihat manual kameramu tentang bagaimana kecepatan rana/shutter speed ditampilkan). Sesuai namanya, FKT, aku menggunakan kecepatan rana 1/320 detik (ditampilkan sebagai angka 320 pada kamera), diafragma f/8.0 (ditampilkan sebagai 8.0), dan ASA 100.

Sebelum ada yang lebih mengerti memprotes kecepatan rana yang kugunakan (pada buku manual EOS 20D tercantum bahwa X-synch maksimum untuk kamera tersebut adalah 1/250 det.), biar kujelaskan. Sebelum mengambil gambar, aku mencoba beberapa kecepatan dengan kombinasi kamera dan lampu kilatku, dan kudapati bahwa pada kecepatan 1/320 det. tidak didapati garis hitam di sebagian foto, yang artinya masih aman dipergunakan. Telah dijelaskan di awal, bahwa lampu kilat digunakan manual, artinya, kamera tidak mengetahui ada lampu kilat terpasang, sehingga kamera 'tertipu' dan menganggap keadaan pemotretan adalah tanpa lampu kilat.

Untuk mengambil gambar, tentukan sudut pengambilan yang tepat, dan kemudian persiapkan diri untuk menekan tombol rana pada saat yang dirasa tepat. Kuanjurkan modus berondong/burst, tetapi berhubung lampu kilatku ditenagai baterai alkalin yang sudah terpakai, maka aku tidak melakukannya. Lagipula, waktu isi ulang energi bola lampu kilat cukup memakan waktu bila digunakan pada kekuatan yang cukup besar. Selesai. Hasilnya? Seperti di bawah ini.



Aneh ya? Harap maklum, foto ini tidak begitu direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu perlu beberapa langkah lagi sebelum foto hasil dari kamera dapat ditunjukkan kepada khalayak.

Untuk mengakhiri bagian perdana ini, kalau kameramu digital, jangan takut bereksperimen. Dan jangan selalu menghapus foto yang diasumsikan jelek. Kalau kamu menggunakan film, nah, lain ceritanya. Hehehe.

--
Bersambung ke bagian 2
written on 2. Mai 2010, 14.50 WIB (UTC +7)
I've used film before, and I do experiment quite a lot. But being not able to develop the colour film by yourself is the major drawback for colour film.

Sabtu, 01 Mei 2010

Saudara

Jum'at, 30. Apr 2010, Masjid Ukhuwah Islamiyyah (M.UI), Depok.

Seperti Jum'at-Jum'at yang normal, aku 'memaksakan' kaki-kakiku melangkah, kali ini cepat, ke M.UI. Satu hal yang tak biasa adalah, aku membawa tas kecil yang kuisi dengan 'twendy' kameraku. Rencananya, selepas dari M.UI dan Shalat Jum'at, aku langsung ke Balai Sidang BNI, untuk peluncuran tim Shell Eco-Marathon UI yang dijadwalkan setengah dua siang. Meskipun pada akhirnya, setelah Shalat Jum'at dilangsungkan dan aku berjalan ke sana dan memutuskan kembali. Sebabnya? Sepinya aktivitas dan kurangnya publikasi yang menunjukkan ada acara besar di gedung itu. (-_-)

Dua belas kurang seperempat atau sepuluh, aku sudah sampai, dan selepas berwudhu', aku mencari tempat. Seperti biasa, di sisi kanan (kalau menghadap arah kiblat) dan agak keluar. Biasa. Cari angin di Jum'at yang selalu panas. Hehe.

Saat pengumuman-pengumuman, ada satu hal yang tak selalu terjadi setiap Jum'at. Pengumuman pertama adalah mengenai permintaan Shalat Ghaib untuk dua orang almarhum, entah siapa aku lupa (maaf). Tapi pengumuman kedua menggelitik hatiku.

"Setelah Shalat Jum'at ini, insya Allah akan ada pengucapan dua kalimat syahadat dari seorang saudara kita. Apabila berkenan, jama'ah diharapkan hadir dan menyaksikan."

Kira-kira demikian pengumuman tersebut. Ini yang kedua kalinya aku menyaksikan seorang insan mengucap kesaksian tersebut, dan kedua kalinya pula di Masjid yang sama: M.UI.

Oh iya, sebelum kulanjutkan, sedikit yang bisa kusarikan dari Khutbah Jum'at kemarin adalah pesan dari khatib mengenai 22 hal yang menjadi imbas dari perbuatan Maksiat.

Tidak semuanya kuingat memang (bukan karena ketiduran, lho ;) ). Yang paling kuingat terutama sekali yang di awal, lebih kurang adalah bahwa maksiat itu, kalau dibuat jembatan keledainya, menjauhkan dari AIROb (Allah, iImu, rizqi, dan orang baik). Selain itu bahwa perbuatan demikian mendekatkan pada kesulitan, dan perbuatan maksiat lain. (wah, hit rate-nya rendah amat... -_-").

Nah, saat khutbah dibacakan, mataku dan pikiranku yang sering kurang fokus menyempatkan diri memandang menyapu M.UI. Seperti biasa, ada yang tertidur, ada yang menyimak serius, ada yang terkantuk-kantuk dibuai angin yang kebetulan agak kencang, dan macam-macam lagi. Tapi satu hal yang agak menarikku adalah seorang pemuda yang berbaju krem (merah muda? Maafkan persepsi warnaku yang buruk) dan bercelana denim panjang terlihat agak-agak celingukan, mirip aku juga, tapi pandangannya seperti takjub melihat berbagai kelakuan anak manusia di bawah atap M.UI. Entahlah, sepertinya ada yang berbeda saja dari beliau.

Khutbah berakhir, Shalat Jum'at berakhir, dan tiba saatnya yang bersejarah bagi beliau. Beliau, belakangan kuketahui bernama Ronal(-d?) Y(ohanes) Wattimena, duduk bersila menghadap imam M.UI, Pak M. Fitrullah, yang kebetulan pernah satu lab dengan kami. Ternyata benar, beliau yang menghadapi Pak Fitrullah itu adalah yang tadi aku sempat perhatikan. Betapa intuisiku kadang menyaingi perempuan. Hihihi.

Mulanya beliau sepertinya enggan menggunakan lagi nama tengahnya, sehingga enggan pula memberitahukan nama tengahnya. Tetapi Pak Fitrullah sukses meyakinkan beliau bahwa itu tak mengapa. Dan setelahnya, pembimbingan itu pun berjalanlah. Satu kalimat, dan kalimat berikutnya. Bahasa aslinya dan dalam bahasa Indonesia menyusul. Takbir menggema segera setelah Mas Ronald menyelesaikan dua kalimat tersebut. Kami yang menyaksikan pun menyalami beliau, bahkan ada seorang dari jama'ah yang memberikan tanda mata berupa satu mushaf al-qur'an. Beberapa menjabat tangan beliau dan kemudian merangkul erat beliau. Meyakinkan bahwa kami memang bersaudara sekarang.

Jujur, dalam hati aku iri, sebesar-besarnya iri. Beliau yang berasal entah dari keyakinan apa, bisa Dia beri petunjuk agar menjadi saudara kami. Tidak seperti aku yang kebetulan dilahirkan dari sepasang orang tua yang muslim, sehingga mengaku-aku muslim. Iri, karena masih banyak yang belum kulakukan. Iri, tapi rasa iri tersebut menggetarkan dan mengentak kepalaku.

Dan bulir-bulir air mata pun membasahi pipiku.


--
F I N
written on 1. Mai 2010, 19.40 WIB (UTC +7)
Yes, I envy him. For now, will You please remind me everytime my way swerved? Thank You.