Jumat, 31 Desember 2010

Setahun bersama (1)

29. Dezember 2009, senjakala. Saat itu, aku berangkat ke daerah Permata Hijau, Jakarta Selatan/Barat untuk 'menebus' satu alat yang telah setahun lebih aku idamkan: Kamera digital refleks lensa tunggal. Bekas, memang, tetapi tak mengapa pikirku saat itu. Sebab pilihan lain yang tersedia adalah kamera yang, meskipun baru, tetapi dalam beberapa hal kemampuannya tidak menyamai pilihanku saat itu.

Senja itu Alfian dan aku menempuh perjalanan Depok - PH bermotor, pada dua sepeda motor yang berbeda. Di tengah jalan, kaca helm Fian tiba-tiba terbang dan raib entah ke mana. Ha ha! Bayangkan helm yang menutupi wajah seluruhnya lalu kehilangan kaca? Dan kaca tersebut baru diganti hampir setahun kemudian? Begitulah.

Oh iya, kami tiba di sana, di kantor tempat pemilik kamera tersebut bekerja, tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Kami disambut rekan beliau, mempersilakan kami masuk, dan kami pun dipertemukan dengan pemilik kamera tersebut. Adi namanya, karyawan di kantor tersebut. Coba kuingat, kalau tidak salah, beliau pernah satu semester kuliah kedokteran, meskipun akhirnya berakhir mengambil jurusan arsitektur. Perubahan yang drastis. Beliau juga telah menikah, dan kalau tidak salah, belum mempunyai anak.

Saat pertama kali diperlihatkan kamera tersebut - EOS 20D, terus terang aku agak terhenyak. Besar juga ya? Maklum sebelumnya hanya pernah berinteraksi dengan kamera ayah EOS 500N (film) yang ukurannya relatif kecil untuk pegangan tanganku. Kesan pertama saat memegang 20D itu: Berat. Ha ha! Tetapi pegangannya ukurannya agak besar, sehingga kelingkingku - yang bila memegang kamera ayah kehilangan pegangan - mendapat tempat nyaman di pegangan kamera tersebut.

Saat pertama kali kamera tersebut kuterima, keadaannya sangat (-amat) baik. Terawat dengan sempurna. Tidak ada gores cacat, kecuali pada 'accessory shoe' tempat meletakkan lampu kilat yang telah dikerik lapisan cat hitamnya. Sesuai dengan deskripsi yang beliau berikan pada iklan daringnya, lebih baik malah. Saat aku melihat di bagian dasar kamera tersebut, tempat biasanya rawan terdapat bekas kaki tiga/tripod, tidak ada. Menurut beliau, saat akan mempergunakan kaki tiga yang seperti itu, sebaiknya berikan alas tisu/kain agar tidak mudah meninggalkan bekas. Wow. Baiknya beliau. Ilmu itu masih kupakai sampai sekarang.

Agar lebih yakin, aku melakukan pengujian pada kamera tersebut. Aku membawa serta lensa kecil kesayanganku 50mm 1:1.8 II, dan media penyimpanan format CF yang baru kubeli sore itu, khusus untuk kamera yang akan kupinang. Aku mengambil beberapa foto, dan Mas Adi tersebut juga mencoba beberapa. Ini dia gambar yang dihasilkan kombinasi itu. Semua foto aku yang ambil, kecuali disebutkan lain.

Fian yang jadi subyek perdana kamera tersebut || obyek 'standar' berupa tutup lensa 50mm yang mungil.

Ki-ka: Fian (lagi), lewat cermin; Lampu ornamental di ruang tempat kami bertemu. [foto: oleh mas Adi]

Kira-kira demikian gambar pertama yang diambil kamera tersebut. Masih gagal fokus, dan berantakan. Ibarat belajar sambil berjalan, lah. Mudah-mudahan (dan terasanya demikian) semakin ke sini semakin baik. Kita lihat di tulisan tulisan berikutnya saja, ya?

Jadi setelah mengambil gambar-gambar tersebut, menyelesaikan transaksi, dan kami pun pulanglah. Alfian saat itu beranjak ke rumahnya untuk kemudian berlatih silat, sedangkan aku musti memberanikan diri menembus macetnya Jalan Panjang - Sultan Iskandar Muda - Pondok Indah. Dan belum Maghrib. Aduh.

Beruntung (jangan ditiru) masih mendapat seujung waktu Maghrib di Masjid Pondok Indah. Masjid beratap biru yang teduh. Singkat cerita, Maghrib masih didapat dan tak berapa lama, masuklah waktu Isya', yang kutunaikan di masjid itu juga.

Tapi perjalanan belum berakhir, sebab aku ketika itu perlu pulang, mengambil helm meletakkan tas, dan menjemput adikku yang tengah bimbingan belajar di Pasar Minggu. Ha ha. Jadilah akhir hari itu aku berputar-putar setengah Jakarta mungkin.

Demikian awal perjalananku dengan kamera ini. Ambillah minum, rehat sejenak, akan kita lanjutkan setelah ini.


--
BERSAMBUNG
written on 31. Dez 2010, 22.20 WIB (UTC +7), 23.20 WITa (UTC +8)

5 hal dari M. UI Jum'at ini

Jum'at ini, seperti biasa dua kaki ini melangkah cepat ke salah satu tempat paling teduh di kampus: Masjid Ukhuwah Islamiyyah (M. UI). Masjid yang dirancang terbuka di tiga sisinya ini memang tempat langgananku menunaikan Shalat Jum'at bila tengah di kampus. Lantai pualamnya dingin, dan udara Jum'at yang selalu cerah berangin membuat M. UI semakin nyaman saja.

Baiklah, langsung saja. Setelah tiba di dalam, khutbah belum dimulai. Beberapa pengumuman diberikan, dan adzan pun dikumandangkan. Sebagai Khatib adalah Pak M. Salman dari Teknik Komputer FTUI, dan isi khutbah beliau secara ringkas adalah tentang lima hal yang (mudah-mudahan tidak salah) perlu ditanamkan agar menjadi manusia yang lebih baik.

Baiklah, langsung saja. Lima hal tersebut adalah:
  • Muhasabah (menghitung diri) dan mengambil hikmah
  • Mengingat janji dan utang pada Allah
  • Mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam setiap perbuatan untukNya
  • Merasa selalu diawasi oleh Allah, dan
  • Memecut diri untuk lebih baik dari hari kemarin.
Terus terang saja, pada awal khutbah aku terkantuk-kantuk karena suara beliau yang lembut (ditambah tiga hari ini terasa lelah berlebihan). Meski demikian, pada akhir khutbah pertama, aku terbangun dan bertahan seterusnya, alhamdulillah.

Jadi mari kita lihat, dari kelima poin tersebut, yang masih berat terasa ada di poin pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Hmm.. Semuanya kalau begitu.

Yang pertama, berhitung diri serta mengambil hikmah. Selama ini, aku tidak berhitung. Aku takut kalau yang aku perbuat kurang. Kalau terlalu banyak menyakiti hati orang, tapi tanpa terasa. *Ampuni aku, Allah...* Dan mengambil hikmah, sejauh ini belum berhasil. Boleh dibilang terjebak di masa lalu. Padahal, teman baikku berkata untuk mengambil hikmah dan melangkah. Mulai sekarang harus bisa mengambil hikmah dan terus melangkah. Tidak boleh membiarkan diri larut dalam masa lalu. Biar yang telah lalu jadi kenangan, dan letakkan di tempat yang sepantasnya: Masa lampau.

Yang kedua, tentang janji dan hutang pada Allah. Khatib mengingatkan bahwa kita banyak berjanji padaNya. Setiap saat, setiap waktu. Setiap shalat kita, setiap doa kita. Janji itu, kalau boleh disebutkan sedikit yang masyhur di antaranya adalah, "Bahwa sesunguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, sesembahan semesta. Penuhilah, jangan dilupakan.

Ketiga, tentang bersungguh-sungguh dalam perbuatan untukNya. Ini berat, tetapi dapat dilakukan. Harus dimulai, kalau tidak ingin terlambat. Ilustrasi dari Khatib adalah seperti perumpamaan bahwa setiap shalat itu yang terakhir, tiada yang tahu apakah waktu shalat berikut masih dapat kita temui Allah dalam keadaan bernyawa. Sungguh-sungguh.

Lalu empat, selalu merasa diawasi Allah. Untuk ini beliau mengisahkan kisah seorang gembala yang kambingnya ditawar Khalifah Umar. Ketika terus didesak, dan diyakinkan bahwa tidak ada yang tahu, anak gembala tersebut menjawab, "Lalu, di mana Allah? Allah senantiasa Melihat apa-apa yang dikerjakan manusia." (atau kira-kira demikian ucapannya). Ya, kira-kira seperti itulah semestinya. Ada (manusia) yang melihat ataupun tidak, semestinya kadar kebaikan seorang tidak berkurang, dan malah bertambah. Selalu diawasi Allah.

Dan terakhir, memecut diri untuk menjadi lebih baik. Bahwa hari ini belum menyentuh Qur'an sama sekali, atau shalat di akhir waktu, atau hal lainnya harus terus diperbaiki. Beri sanksi sendiri dan beri motivasi untuk terus menjadi lebih baik. Memecut diri.

Juga beliau tekankan bahwa ladang amal itu terbentang luas di muka bumi. Bahkan di jalan, sekadar memperlambat laju kendaraan untuk memberi jalan ke penyeberang, atau lain-lain hal sederhana dapat menjadi ladang amal. Mudah-mudahan kamu dan aku semakin didekatkan padaNya. Mudah-mudahan.


--
F I N
written on 31. Dez 2010, 20:20 WIB (UTC +7), 21:20 WITa (UTC +8)
Dear my very Owner, I humbly ask you to shine your light upon my path, so that the path I take leads to You only, Amin.

Rabu, 29 Desember 2010

Monolog tutup buka

Dua pekan lebih berlalu sejak kiriman beliau yang pertama. Sepekan lebih sejak 'sepakan' kedua beliau, dan yang terjadi? Entahlah. Ada hal-hal baru yang aku ketahui tentang beliau. Tidak penting. Lebih penting adalah kenyataan bahwa sampai jangka waktu demikian, rasanya beliau masih terlalu lekat di kepala.

Kenapa? Kalau itu tanyamu, aku pun tiada bisa menjawabnya. Bahwa hal ini pernah terjadi sebelumnya itu benar, tetapi hanya ke seorang yang demikian dekat di hati. Butuh lima tahun lebih untuk meredakannya kemarin itu. Padahal kami bukan apa-apa. Teman, mungkin, tapi yang dulu terasa lebih dari itu. Searah, yang kembali terulang sekarang ini. Ck.

Kalau boleh menilai diri, golongkan aku ke dalam mereka yang melihat dan percaya. Berat untuk merasa. Berat. Dan sekali merasa, tak mau lepas. Tak mau pergi. Menjadi.... Obsesi? Ah, jangan sampai.

Bagaimana kalau berdamai (lagi) dengan diri. Padamkan bara yang masih menyala di dalam. Tidak, tidak melulu bara perasaan itu. Bara yang lain, bara dari masa lalu. Lalu kemudian, tutup mata, biar dibukakan mata yang lain. Mata yang lebih dalam, lebih perasa.

Allah, bukakan hatiku, lapangkan dadaku, beri keringanan dan jalan pada problemaku.

Lalu kalau telah terbuka, maka bukalah mulutmu pula. Kirimkan kata yang tiada menyakiti. Sapaan hangat, dan ucap penyejuk. Dan mudah-mudahan beliau berbahagia.


--
F I N
written on 29. Dez 2010, 17.42 WIB (UTC +7), 18.42 WITa (UTC +8).
Dear miss, I never realise that to say even a thing when I'm before you is corundum-hard.

Sabtu, 18 Desember 2010

Doa sebelum tidur

Allah, Pemilik diriku... Aku minta padaMu, tunjukkan padaku dengan cara yang kumengerti, apa gunaku di muka bumi ini.

...

Kalau memang tiada gunaku lagi di sini, maka kembalikan aku hanya padaMu.

Kamis, 16 Desember 2010

Traktiran patah hati

Ha ha.. Maaf judulnya provokatif. Tapi kira-kira begitulah. Petang ini, setelah kemarin mendapatkan hadiah hiburan dari rekreasi jurusan - dan tetap utuh isinya karena merangkap jadi seksi dokumentasi, aku diberi kesempatan mentraktir kawan karibku Alfian, Reza dan Odi di sebuah rumah makan di suatu mal tak berapa jauh dari Terminal Depok. Adapun, selain amplop itu masih utuh, juga ada sesuatu yang perlu aku luruskan di antara kami. Tidak jauh, masih tentang beliau yang itu.

Kebetulan juga kami berempat tadi berpuasa, seperti kebiasaan kami tiap Kamis dan Senin. Untuk Kamis ini, bertepatan dengan tanggal 10 bulan pertama Hijriyah yang diriwayatkan memiliki banyak keistimewaan. Yah, jadi ambillah ini traktiran buka puasa untuk kami berempat.

Setelah berputar-putar -- pusat perbelanjaan itu seperti labirin, kalau mengutip Reza -- akhirnya kami mendapati tempat makan yang konon murah dan mengenyangkan itu. Mencari tempat duduk, membiarkan Fian yang memilih tempat tak jauh dari kumpulan "stabilo" (istilahnya untuk perempuan berhijab yang warnanya mengingatkan pada pena warna itu), kemudian memesan dengan gegas. Tinggal kurang dari 15 menit sebelum waktu Maghrib tadi.

Syukurlah pelayanan di resto tersebut tergolong cepat. Tak 10 menit, empat gelas teh manis dingin telah tersaji, dan menyusul kemudian nasi dan menu pesanan kami. Tunggu punya tunggu, waktu Maghrib pun tiba, ditandai berkumandangnya adzan maya dari ponsel Fian. Mudah-mudahannya jamnya tidak salah. Haha.

Nah, di tengah lahapnya mereka makan, aku meminta waktu sebentar. Singkat cerita, mengalirlah cerita tentang beliau, dan bahwa beliau menyatakan bahwa untuk saat ini.... Belum saatnya

Aku beruntung mendapati mereka bertiga -- yang mungkin tidak mampir dan membaca tulisan ini -- sebagai sahabatku. Aku beruntung. Itu saja. Dan nama yang kemudian mereka 'rekomendasikan' untuk menggantikan beliau, aku sanggah. Sementara tidak dulu. Terus terang aku masih meletakkan harap. Kosong, memang, tapi peluang kejadian nol apabila kejadian belum terjadi tidaklah nol. Tapi ya, entahlah. Mudah-mudahan beliau bahagia. Itu saja.


--
F I N
written on 16. Dez 2010, 22.15 WIB (UTC +7), 23.15 WITa (UTC +8)
Really, miss. It crossed my mind that you deliberately didn't want to see me. But I take it as you were taking your lunch. Just that. I'm sorry.

Minggu, 12 Desember 2010

Didengar, dan dijawab

Kamu tahu sifatNya yang Maha Mendengar. Aku percaya tentu saja, tetapi selama ini aku belum mendapati secara langsung. Sampai dini hari tadi, ternyata.

Entahlah apakah beliau masih sempat membaca tulisan ini, tetapi izinkan aku menulis sekali lagi tentang beliau.

Jadi tadi malam, lepas Isya', masih di atas sajadah aku terbaring. Tertidur. Sampai tiba waktu dini hari setengah dua aku terbangun. Di layar telepon selulerku ada penanda bahwa ada beberapa pesan teks masuk. Itu pembaruan dari beliau, dikirimkan melalui fasilitas twitter text. Sebentar menyempatkan diri membaca apa yang terjadi selama aku tertidur, menonton pertandingan Magpies - Anfield gang dan cukup senang juga Newcastle menang lagi - serta Andy Carroll mencetak gol yang bagus.

Kemudian aku pamit tidur (lagi), meskipun sebenarnya tidak langsung tidur juga. Kuambil waktu sedikit untuk menyapaNya. Aku sisipkan pertanyaan, bukan lagi permintaan untuk menjadikan beliau penyempurna separo din-ku. Pertanyaanku sederhana, apakah memang beliau? Iya maupun tidak, aku memintaNya memberikan jawaban yang jelas, yang sederhana, yang nampak dan dimengerti oleh manusia biasa sepertiku. Tidak berupa tanda yang tak bisa aku pecahkan.

Dan dalam rentang waktu itu, beliau memutuskan untuk mengirimiku pesan.

Sebuah pesan yang baru aku dapati pagi harinya, saat aku bersiap memulai perjalanan bersama keluarga besar jurusan kami. Pesan itu akhirnya aku buka juga di tengah perjalanan. Tapi baru dapat kubalaskan di akhir harinya.

Pesan yang jujur, sungguh. Aku hargai itu. Reaksiku? Seperti prosedur kerja standar: 1) menyandarkan kepala ke jendela bus, memandang keluar 2) berpura-pura tertidur dalam bus, 3) mengirim sinyal kepada Lacrimal apparatus untuk bekerja. 4) kembali ke kenyataan seolah tidak terjadi apa-apa. Ah, penyembunyi.

Maafkan hawa negatif yang menyelubungiku tadi ya, semuanya. Mengenai hasil foto, mudah-mudahan tidak terpengaruh. Saat memegang kamera dan tangan di tombol rana, aku bisa lupa banyak hal. Mudah-mudahan aman.

Terus terang saja, saat menulis balasan kiriman beliau, kepalaku serasa berpusing. Entah pengaruh perjalanan jauh atau memang perasaan saja, entahlah. Yang jelas, untuk saat ini, aku berharap beliau dengan yang tengah beliau taksir ini memang yang terbaik. Soal aku, biar saja lah. Aku masih perlu berkenalan lagi lebih baik dengan aku. Juga tentang bagaimana menyukai perempuan.

Bayangkan, sekitar 6-7 tahun yang lampau, temanku pernah berkata bahwa r5 (nama kode kesayangan yang aku berikan pada perempuan itu) berkata bahwa "Ini anak [aku, pen.] sebetulnya suka atau gimana sih?" terkait ketidakpahamanku mengenai hal itu.

Ah, terjadi lagi. Mengenaskan bahwa caraku menakuti beliau dan r5. Entahlah. Aku perlu banyak sekali belajar. Mungkin jawaban langsung ini mengarahkanku untuk kembali ke penelitian yang setengah terbengkelai itu. Mudah-mudahan.


--
F I N
written on 12. Dez 2010, 23.48 WIB (UTC +7), 13. Dez 2010, 00.48 WITa (UTC +8)
How can I thank You enough. Endlessly kind, You are. Endlessly loving, You are. Thank You.

Jumat, 10 Desember 2010

Sudah hampir lima hari

Ya, sudah hampir lima hari akunku di situs jejaring sosial yang didominasi warna biru itu aku non-aktifkan. Lima hari yang, yah, normal. Mengingat situs itu kemarin dulu sempat menjadi candu. Tapi tidak sepenuhnya normal. Masih ada lagi laman-laman candu yang lain. Dari satu candu ke candu lain, kalau boleh kubilang. Ha ha.

Selama lima hari ini, sepertinya tidak ada yang aneh. Tidak ada yang berkirim e-mail juga. Tidak ada yang mengirim pesan pendek juga. Tidak ada keluhan kehilangan foto, tidak ada. Tudak ada masalah.

Mungkin besok akan kuaktifkan kembali. Tidak. Tidak untuk mengintai lagi. Kamu tahu, pengintaian itu menguras tenaga. Membangkitkan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Terus menahanku. Menyiksa.

Mudah-mudahan semua baik, kamu baik, beliau baik. Ada yang ingin aku tanyakan. Sederhana sih. Nomor telepon saja kok. Mungkin akun Y!M. Siapa tahu.


--
F I N
written on 10. Dez 2010, 21.01 WIB (UTC +7), 22.01 WITa (UTC +8)
Persistence, is what I should bear in mind, should do, must do. Persistent affection. Must do.

Senin, 06 Desember 2010

Jarak aman

Teriring maaf untuk kawan-kawan yang sementara 'kehilangan' foto-foto kamu semua di situs jejaring sosial yang itu, aku pamit sementara dari laman-laman itu. Saat ini, terlalu banyak, terlalu banyak, hal tak baik yang kujaring di sana. Jauh lebih banyak dari menghidupkan kembali jalinan perkawanan yang lama terbenam.

Sementara ini, biarkan aku menjaga jarak yang aman dari situs tersebut, juga jarak aman dari beliau, perempuan yang (masih tetap) aku doakan di siang dan malam itu. Mudah-mudahan dengan begini lebih ringan lisanku menyapanya. Mudah-mudahan permintaanku dikabulkan. Mudah-mudahan.

Untuk saat ini, semoga jarak aman ini membahagiakan beliau. Aku sendiri, ya, tidak masalah.


--
F I N
written on 6. Dez 2010, 17.32 WIB (UTC +7) 18.32 WITa (UTC +8)
I'm lucky, in many aspects of life but that, that, that... Lov*.

Sabtu, 04 Desember 2010

Kerjakan yang kamu cintai

Tak terasa sudah lebih setahun diberikan kepercayaan membantu-bantu di jurusan. Hampir dua untuk mengerjakan tema penelitian yang - tadinya - pilihanku sendiri. Dan yang paling panjang? Hampir 22 tahun menjadi anak dari ibu dan ayahku.

Oh iya! Tulisan ini (sepertinya) akan ada kecenderungan negatif, masih ada kesempatan pergi dari laman ini dan mencari sesuatu yang lain kalau kamu sedang tidak ingin.

Selama tahun-tahun itu, ada tawa, ada air mata. Ada keriaan, ada tekanan. Berganti-ganti sesuai keperluan, sesuai waktu yang digariskan. Hanya saja, ada kecenderungan kalau keriaan dan tawa itu cepat menguap. Cepat terganti dan terlupa. Ah.

Selama tahun-tahun itu, ada keinginan yang terkendala, tetapi kadang terlepas tak terkendali. Misalnya saja kemarin dulu hingga sekarang, saat waktu ada dan dana tiada, anak ini justru rajin memperbarui informasi tentang perkomputeran dan teknologi informasi. Majalah dwi-mingguan tak pernah lepas dibelinya. Kartu grafis dibelinya dari tabungan sekitar setengah tahun "untuk meringankan beban kartu memori". Masalahnya saat itu, ternyata sumber daya si komputer yang tak mumpuni. Kartu grafis pun menganggur setengah tahun lagi sampai tabungannya cukup menebus sumber daya yang memadai. Terkendala memang, tetapi kendala-kendala itu yang membuat keinginan itu jadi keluar dari kendali.

Kemudian fotografi. Aku bukan dari kalangan seni, memang. Tetapi fotografi ini satu dari sedikit seni yang teknis. Yang masih bisa kugapai, dibandingkan seni yang lain. Dahulu sempat ingin mempergunakan kamera film milik ayah - yang tak pernah terpakai dan teronggok menganggur begitu saja. Usut punya usut, ternyata lensa berjamur. Keinginan tertunda lagi, cukup lama, menanti tabungan cukup untuk 'mencuci' lensa dan bisa mempergunakan kamera itu. Setelah kamera siap, masalah belum selesai. Kamera itu perlu sumber daya, batu baterai. Ah, bagaimana pula baterai yang dipergunakan bisa langka. Dua puluh lima ribu rupiah sekeping? Belum lagi seluloid yang dipergunakan. Ah. (~_~).

Tapi toh pada saat itu, aku lebih sering berjalan keluar dan memotret, apa saja yang aku sendangi, dibandingkan sejak Desember lalu saat pertama kali aku bersentuhan dengan kamera digital, saat semestinya kesempatan lebih terbuka.

Jangan sampai aku bercerita menyenangkannya memindahkan sepeda ke garasi, dan sekadar mengencangkan baut-baut dan mengatur mekanisme pemindahan gir. Juga tentang kelistrikan yang sepekan sekali kusentuh. Menyenangkan. Cinta.

Tapi begitulah, terkadang yang dicinta tak dapat dikejar. Dulu, berapa banyak mimpi terkait penelitian yang sekarang kubantu itu menjejali otak dan menumbuhkan semangat. Setelah mengenal tenggat, dan betapa prosesnya jauh dari mudah, ah...

Mungkin benar kalau semakin sedikit seseorang tahu, semakin baik. Dan semakin dekat seseorang, bisa jadi semakin besar takutnya karena semakin tahu ia. Aku khawatir.


--
F I N
written on 4. Dez 2010, 04.52 WIB (UTC +7), 05.52 WITa (UTC +8)
I am concerned, that I will only care for you, fall for you when I'm standing from far away from you, not yours.

Kamis, 02 Desember 2010

Berdamai dengan diri sendiri

Sepekan kemarin, entah mengapa rasanya gelap saja. Prospek mengenal beliau yang menarik itu rasanya makin mengecil dan mengecil. Sampai rasanya wajah ini ingin kutekuk saja selalu. Ah, memalukan rasanya kalau mengingatnya lagi. Padahal baru pekan kemarin.

Begini, pernahkah kamu mengalami hal kecil, misalnya sedikit senyum dari yang kamu rasa menarik di tengah-tengah hari yang keterlaluan sibuknya? Nah, kira-kira seperti itu rasanya kala ada surat elektronik berjudul "[Nama beliau di sini] confirmed you as a friend on [situs jejaring sosial yang itu]" saat sedang rehat di tengah mengurusi lokakarya. Ah.

Telah kembali senyumku dengan kejadian kecil itu. Kecil, tetapi berarti. Seperti banyak hal di dunia ini. Kecil, ringan, tak begitu terasa - awalnya, tetapi ternyata begitu berarti.

Yah, artinya juga sedikit agak aku lebihkan sih. Sebab sungguh itu hanya satu langkah kecil dari laman yang akan aku tulis, yang aku pintakan setiap siang, setiap malam padaNya. Kalau ini betul, bersama permintaan perlindungan untuk Ibu dan Ayahku, serta adik-adikku, dan permohonan ketetapan hati di jalannya, tentu.

Hadapilah. Si "Aku yang sempurna" itu mungkin memang sempurna, dan dia tinggal di dunia ideal, dunia yang sempurna. Sedangkan aku? Kamu? Tiada aku dan kamu yang sempurna. Tapi begitu juga dunia yang kamu dan aku pijak ini.

Biarkan sajalah si "Aku yang sempurna" berjalan, melompat, jungkir balik, menonton film, diambil gambarnya, makan siang bersama beliau. Itu kan di dunianya. Aku? Kamu? Jangan khawatir. Hidup ini indah dengan segala kurangnya kok.

Jadi, biarkan tulisan tanganku berubah dari "a" ketik menjadi "a" tanpa kepala, dan biarkan senyumku kembali. Izinkan aku berdamai dengan diriku, dan melangkah, tertatih, mencoba menggapai beliau. Dan bila memang tak disampaikan, setidaknya aku belum pernah seriang ini.


--
F I N
written on 2. Dez 2010, 20.24 WIB
(UTC +7), 21.24 (UTC +8)
Dear miss, maybe we can have a little time together, to cinema or some lunchtime talk, or whatever? I will look forward to having that time with you. *blush*