Selasa, 30 September 2008

Lepas Ramadhan Ini...

Tidak. Tidak hendak ku meminta maaf di sini.
Bukan ku egois, bukan ku tak tahu diri.
Tapi bukantah memaafkan itu jauh lebih baik?

Jadi kawanku, sahabatku, temanku, kakak-kakakku, saudara-saudariku, semuanya.
Segala khilafmu insya Allah sudah kumaafkan.
Teriring serta doa sederhana dariku untukmu:

"Semoga diterima apa yang telah aku dan kamu perbuat,
puasaku dan puasamu,
sujudku dan sujudmu,
ruku'mu dan ruku'ku,
semoga diterima olehNya yang Maha Tinggi

Semoga dipertemukan kita dengan bulan ini kembali,
bulan yang padanya kemudahan diberikan untuk manusia
kemudahan berjumpa denganNya
kemudahan melafadzkan berbagai ucapan yang baik
kemudahan-kemudahan seluruhnya.
Semoga, kawanku, sahabatku, temanku, kakakku, saudara-saudariku, semuanya, semoga...

Selamat jalan wahai tamu yang agung,
semoga sepeninggalmu kami bisa ajek,
biar saat kembalimu nanti,
akan kami sambut sama riangnya."

**
Jadi, sudah lunas ya?
Sudah kumaafkan kok..
Apa lagi yang kamu tunggu?
Lekas, muliakan namaNya.
bukantah sudah diperintahkan untuk itu?


F I N
written on 30. September 2008, 17:36 WIB
Selamat berhari raya, semuanya!! Ingat-ingat saudara dan tetangga kita yah? ^_^

Senin, 29 September 2008

Monas itu.... (bagian 2)

Ya... Jadi sampai di mana kita kemarin (dulu). :p Oh iya, "Tujuan berikut: Museum di lantai bawah", ya? Baik, baik.. Mari kita lanjutkan...

***
Jadi, museum itu bernama "Museum Sejarah Nasional". Hah? Museum? Pasti membosankan. Yah, boleh lah disebut demikian. Yang jelas, museum yang berada satu lantai di bawah cawan tugu ini adalah tempat yang PALING sejuk di Monas hari kemarin itu. Kombinasi ruangan yang tertutup, pengatur udara, dan lampu yang temaram membuat suasana di luar rasanya seperti matahari demikian dekat saja.

Museum ini dapat dimasuki dari sisi barat dan timur tugu, dengan tangga yang dilengkapi sistem mutakhir untuk penyandang cacat. Sistem ini seperti elevator, tetapi dioperasikan dengan menekan tombol-tombol yang ada di boks untuk satu kursi roda beserta penumpangnya. Sayangnya.... Satu: Tidak ada petunjuk jelas mengenai fungsi tiap-tiap tombol itu. Dua: Ini yang paling penting. Bagaimana caranya penyandang cacat tubuh dengan kursi roda bisa naik ke bawah lindungan cawan kalau tidak ada lereng di tangga untuk mereka naiki? Jadi, seperti juga lereng curam di jembatan penyeberangan, trotoar yang tidak disediakan lereng untuk mereka menyeberang, dan banyak lagi, sistem ini SIA-SIA.

Mungkin kalau dilakukan analisis mendalam sebelum sistem ini diterapkan bisa jadi tidak sia-sia, tapi mau berkata apa kalau nasi sudah jadi bubur? Ini juga kekurangan banyak pengambil kebijakan sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat seolah tak sinkron satu dan lainnya, dengan kata lain: Berpikir linier. Ah, cukuplah masalah berpikir linier vs siklik/sirkuler, nanti saja kalau aku ingat akan kubahas.

Jadi, kembali ke museum tadi, apa saja sih, isinya? Sebagian besar adalah diorama, yang dibagi dalam 6 sisi diorama --satu di masing-masing dari empat sisi, dan dua lagi ada di tengah-tengah (di fondasi monas, kuduga). Diorama itu disusun secara kronologis, jadi terurut skala waktulah, mudahnya. Sisi pertama terletak di selatan (entahlah, di dalam aku kehilangan kesadaran arah sih... :-P). Pada sisi ini, digambarkan manusia-manusia Purba (bah, tak rela aku berasal dari mereka), juga mulai masa awal kerajaan di Nusantara, terutama Majapahit. Begitu pula di sisi kedua, masih ada dari Masa Majapahit, Kerajaan Islam Demak, dan semacamnya. Di sisi ini barulah aku tahu arti Palapa dalam Sumpah Gajah Mada itu. Palapa, yang dalam keterangan diorama Bahasa Indonesia dibiarkan sebagai Palapa, diartikan sebagai "rice with side dishes" dalam Bahasa Inggris. Jadi, Palapa itu bukan buah (seperti yang diajarkan guruku dulu), tetapi nasi dan lauk-pauknya. Nasi timbel mungkin kalau dipadankan dengan masa sekarang.

Kemudian masih di sisi kedua adalah masa pergerakan. Dari Perang Diponegoro yang berlangsung selepas Maghrib. Ups, maksudnya dari tahun 1825-1830, Perang Paderi di Bonjol, Perang Aceh yang paling lama, Perang Balige, Puputan Jagaraga di Bali, Perang Banjar oleh Pangeran Antasari, Perang di Sulawesi, hingga jatuhnya benteng Saparua di Maluku oleh Kapitan Pattimura.

Kemudian beranjak ke sisi ketiga, adalah masa Revolusi kecerdasan. Di sini digambarkan rapat-rapat pelajar di STOVIA membentuk organisasi Budi Oetomo, Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara, RA Kartini yang bukunya di luar negeri disebutkan berjudul "The Javanese Princess", dan banyak lagi yang aku lupa. :P

Lalu di sisi keempat, lima, dan enam, ada masa-masa kemerdekaan, juga perjuangan mempertahankannya. Kemudian juga masa-masa relatif modern, semisal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian (sekarang Papua), juga KTT Gerakan Non-Blok, dan banyak lagi sampai Hari Teknologi Nasional yang dicanangkan jatuh pada hari diselesaikannya (betulkah? Perbaiki kalau aku salah) pesawat N-250 "Gatot Kaca" produksi anak negeri.

Tapi... Kalau ada salah penyebutan diorama dan tempatnya..... Ya maaf! He he he... Biarpun aku (merasa) punya ingatan fotografis (he he...), tapi kalau tidak betul-betul diingat ya jatuhnya lupa lagi, lupa lagi... Yah, begitulah. Diorama-dioramanya agak menyeramkan juga sebetulnya, karena pencahayaannya relatif minim di sebagian besar diorama. Tapi kalau dikunjungi beramai-ramai, apalagi ada yang lebih mengerti sejarah dan rela menjelaskannya, bisa jadi menyenangkan juga berkunjung ke bawah situ.

Dann... Setelah puas (baca: capai) berkeliling museum itu, ditambah ternyata fasilitas komputer berinternet sedang tidak berfungsi (huh...), aku pun memutuskan menyudahi kunjungan ke Monas. Lagipula, waktu saat itu sudah di angka setengah duabelas siang. Jadi, tujuan berikut: Masjid Istiqlal. Sebelumnya... Wahh.. Masih ada sisa 4 frame di kamera. Jadilah dua gambar dari sisi, um... utara mungkin, dan satu dari arah timur laut. Satu lagi? Hm.. Jatah kembang kertas (bougenville) di sisi timur laut Monas deh. Kan ceritanya foto makro... (Tapi baru sadar sekarang, kenapa latarnya bukan tugunya yah? Huh.. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna).

Nah, setelah terdengar suara klik tanda rol film selesai digulung, aku pun berjalanlah ke Masjid yang (dulu) terbesar di Asia Tenggara (sekarang masihkah?). Karena ukurannya yang besar, seolah-olah Istiqlal itu demikian dekat dari Monas. Tapi ternyata... Di arah timur laut Monas tidak ada penyeberangan (zebra cross). Waduh? Jadilah aku berjalan dulu ke depan Departemen Dalam Negeri, di sana ada satu zebra cross. Tapi entah karena memang tanganku tak lagi sakti atau mereka yang memang bebal, tak ada yang berhenti memberi jalan? Mana nih, filosofi zebra cross dibuat tidak di persimpangan/lampu lalu lintas agar kendaraan berhenti untuk memberi jalan pembuatnya, manusia? Ah, bukan di sini mungkin, tapi di negeri-negeri tempat Pak Herman bersekolah lanjut dulu.

Sudah, lupakan. Kemudian jalan terus melewati Markas Besar TNI (AD?) yang di depan kompleksnya ada papan bertulis "dilarang memotret". Hiy.. Coba kalau masih ada frame di kamera, dan aku terlambat membaca peringatan itu. Bisa-bisa dikepruk dengan kamera kepalaku. Sayang kamera ayah dong... He he he..

Dan kemudian, setelah berjalan lebih kurang sepuluh-duabelas menit, sampailah aku ke Masjid Istiqlal. Masjid ini besar, masif, "bulky", berat, dan semuanya deh. Bangunannya besar, ditopang pilar-pilar yang tak kalah besarnya. Kesannya memang agung, tetapi entah mengapa berkesan angkuh pula. Ahh.. Sepertinya yang paling baik yang pernah kukunjungi adalah Masjid UI Depok, dengan pilar-pilar kecilnya menopang, ketiadaan dinding membuat kesan Masjid UI ini lebih terbuka. Ups, sudahlah. Toh saat itu kita di Istiqlal.

Jadi, tempat berwudhu'nya ada di dalam, lantai dasar. Sayap timur (???) untuk laki-laki, barat (sama-sama bingung arahnya, jadi "???" juga) untuk perempuan. Kerannya berbeda, ada pembatas untuk masing-masing keran yang disusun serupa segi enam beraturan. Pembatas ini bagus, berguna sekali untuk mencegah orang yang wudhu' menciprati orang lainnya. Lalu, lepas berwudhu', naiklah aku ke lantai dua yang luas, sangat luas malah. Entah berapa buah kamarku bisa masuk ke dalamnya. Di ruang shalat ini, seluruh lantainya dilapisi karpet, berwarna merah, um, merah darah yang tidak menyolok. Di depan, di atas mihrab, ada penunjuk waktu digital --yang kurasa bisa memecah konsentrasi kalau sudah mendekati Maghrib karena keakuratannya, n_n. Dan untuk shalat Dzuhur ini, jama'ah perempuan ditempatkan di sisi selatan bersisian dengan jama'ah laki-laki. Agak aneh memang, sebab biasanya jama'ah perempuan ditempatkan di sebelah belakang jama'ah laki-laki.

Dan... Tak perlu kuceritakan tentang shalat Dzuhur yah? Jadi intinya, selesai Dzuhur, aku pulang, memutuskan menaiki TransJakarta, alih-alih kereta, lagi --yang terbukti salah karena ternyata menunggunya lama minta ampun--, Kemudian setengah tiga sore, sudah sampailah aku di rumah. Berganti pakaian, menyalakan kipas angin, dan.... terkaparlah aku langsung karena banyak berjalan hari itu. Saat terbangun, ternyata sudah setengah jam Maghrib! Duh. Sudah deh, dicukupkan saja sampai di sini. Selamat berbuka puasa... Eh.. Masih lama, ding! :-P


F I N
written on 29. September 2008, 16.30 WIB
Libur telah tiba.. Surat sudah dikirim.. Horey! Horey! Horey! Horee....



Minggu, 28 September 2008

Monas itu Monumen Nasional

Jadi, Monumen Nasional atau kita kenal karib sebagai Monas itu pertama kali dimulai secara resmi pada 1961, dengan pemancangan tiang perdana oleh Presiden pada masa itu, Pak Ir. Soekarno. Kemudian, pembangunannya memakan waktu lebih kurang 4 tahun dengan tugu selesai pada 1965. Ah, sudahlah! Mari kita maju sampai 27. September 2008...

***
Jadi tadi pagi aku pamit pada Ayah juga Ibu, ditanya pergi dengan siapa, dan kubilang sendiri saja. Demikian, jadilah berangkat aku lepas pukul 9.00. Perjalanan diawali dari rumah, ke gang depan, menyetop angkot nomor 17, yang sedikit banyak menasional karena kasus pembuangan mayat oleh R dari Jombang itu, menuju perhentian bus transjakarta di seberang Kantor Departemen Pertanian. Selembar kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol bertukar tempat dengan selembar ribuan dan sekeping limaratus rupiah, serta kertas tiket. Hm... Tiket kertas yang agak boros karena memang tak pernah diperiksa lagi sebetulnya. Lupakanlah.

Kemudian, lima menit duduk menanti, tibalah juga bus besar berpintu enam itu. Kosong, tentu saja, karena perhentian itu baru perhentian kedua setelah terminal Ragunan. **dipercepat** Tigapuluh lima menit berlalu, dan tibalah bus itu di perhentian Dukuh Atas (2), tempat berpindah bus jurusan Kota. Dari situlah nanti aku akan dibawa ke Monas tujuanku. Proses transitnya, tidak ada yang aneh, hanya saja karena memang hari cukup terik dan penumpang yang bermaksud sama denganku harus berjalan melewati jembatan yang cukup jauh.

Jadi, tiga (atau empat) perhentian, dan pengeras suara dalam bus pun berseru, "Pemberhentian berikutnya. Halte Monumen Nasional. Next Stop. Monumen Nasional Shelter." Maka aku pun turunlah. Menyeberang jalan, karena memang perhentiannya ada di tengah-tengah jalan, aku pun kemudian bingung. Ada yang bilang celingak-celinguk. Pintu masuknya di mana yah? Tuh kan, sudah kubilang, bahkan penduduk Jakarta pun bisa tersesat dengan sukses di kotanya sendiri! Jadilah berjalan aku ke arah Selatan, melalui pos polisi. Tetapi... Karena sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan, ups, maksudnya tak nampak ada yang berjaga di pos tersebut, jadilah aku berjalan terus saja sampai kutemukan tulisan, "Pintu masuk Monas -> 175 m". Hm... 175 meter? Jauh nggak sih?

Yah, masa bodoh lah, kaki melangkah terus, memandang gedung-gedung tinggi di jantung Jakarta, kemudian sedih juga melihat penjual makanan-minuman-dan-lain-lain (baca: pedagang asongan) yang berjuang sungguh-sungguh hanya demi bisa hidup di Ibu kota ini. Yahh, jadi khawatir sendiri kan.. Sebentar lagi akan ada satu penganggur baru lagi bergelar ST.. Na'udzubillahi min dzalik...

Jadi, setelah berjalan entah berapa meter, menemui bundaran entah-apa-namanya dan berbelok ke kiri, kutemukan juga akhirnya pintu gerbang yang di atasnya bertulis "pintu masuk" --walaupun di pagar baja itu tergantung tanda negatif putih berlatar merah, aduh... Kemudian, berjalan balik ke utara, menuju Monas yang berdiri tinggi di depan. 115 meter tingginya (seingatku tanpa tambahan efek api berlapis emas itu). Ada anak kecil bersepeda, dengan ayah dan ibunya sedang membuka pembungkus dari sepeda mereka.. Wuih... "Brand new", begitu pikirku sambil nyengir kuda. Ah, sudahlah.. Biar saja, toh sepertinya mereka keluarga ekspatriat juga. (Apa hubungannya?)

Kemudian, ketika Monas sudah semakin jelas terlihat, dengan taman di sekelilingnya "ditanami" bunga bangkai (A. titanum). Kenapa "ditanami"? Karena yang paling legendaris dari bunga itu adalah, ada yang tahu? Baunya tentu saja. Tapi karena aku di sana dan tidak tercium aroma apa-apa, maka.... Setelah kulihat lebih dekat ternyata itu kembang beton. Huhh.. Ada-ada saja. Mengecewakan nih, untuk yang belum pernah melihat rupa bunga bangkai yang katanya bisa tumbuh sampai dua-tiga meter ini.

Jadi, kaki terus melangkah, melewati jalan panas dari silang Monas, karena memang tak ada pohon peneduh di silang Monas itu. Kemudian sampailah aku di bagian utara tugu, menuju loket karcis masuk ke Monas. Yap, bagian utara. Jadi aku tadi berjalan menyusuri tepat seluruh bagian silang Monas Barat Daya, mengitari hampir setengah bagian tugu, kemudian baru tibalah aku ke menuju loket. Menuju, sebab masih perlu usaha lagi sampai ke tempat penjualan karcis di bawah jalan silang Monas. Duhh... Sabar, sabar..

Hmm... Dari mulut dan sepanjang tangga turun, kutemukan beberapa penjual dengan beragam jasa dan barang dijual. Masih agak sepi, mungkin karena waktu saat itu menunjukkan **sekitar** pukul 10.45 WIB. Oh iya, yang mereka jual itu, ada yang menjual jasa foto ("Foto dengan Monas, langsung jadi, Rp 20.000"), kemudian ada pula yang menjual bermacam cinderamata dari kayu dan plastik (eh, yang terakhir ini kurang yakin keberadaannya. :-P). Ah, sudahlah.. Tak cukup kubawa uang untuk cinderamata itu, dan soal foto, nanti saja setelah kita lihat Jakarta dari atas bukit, eh, Monas... He he he..

Jadi, tangga itu menurun, sekali masing-masing ke arah barat, utara, dan timur. Kemudian sampai di (bekas) loket karcis. Ada tulisan, seingatku "Pengunjung Monas langsung masuk. Loket ada di dalam". Di dalam di sini, maksudnya selepas terowongan yang (kuduga) melintas di bawah jalan di bagian utara tugu. Uff... Latihan kaki lagi nih, setelah lumayan lama tak berjalan **cukup** jauh. Akhirnya... Setelah jalan ke selatan (lagi), hanya kali ini dalam terowongan yang lebih sejuk (pastinya) daripada di luar, sampailah aku ke loket. Di sana, selain penjaga/penjual karcis yang selalu stand by, sudah ada sepasang wisatawan asal Jepang, dan wisatawan lokal, lalu aku. Wisatawan Jepang itu cukup bingung juga ketika diminta uang kecil (seorang di antaranya hendak membayar dengan selembar seratus ribuan). Disebutkan oleh pak Penjaga "Tujuhbelas ribu, Seventeen thousand". Yang dikeluarkan? Tujuh ribu saja, saudara-saudari. Kemudian, ketika diminta sepuluh ribu yang kurang lagi, malah dia hendak mengeluarkan kembali kertas bergambar duet Ir. Soekarno-Mr. M Hatta. Yah, akhirnya setelah dipandu (baca: dipilihkan uang di tangannya yang sesuai oleh Bapak Penjaga loket), lunaslah transaksi beda negara ini.

Kemudian... Naik tangga lagi (kebalikan formasi tangga awal, he he) kemudian melihat Monas hanya sepelemparan batu jauhnya (hey! Jangko lempar-lempar batu sembunyi tangan! :-P). Kemudian, yang pertama terpikir.. "Naik ke puncak, lihat Jakarta, ambil foto, turun, Dzuhur, pulang". Ups, yah, jadinya yang pertama dan seterusnya deh..

Kemudian, masuk aku ke pintu yang terbuka di bagian utara tugu, di dasar cawan. Kedua pria Jepang tadi dengan segera disambut dengan keramahan pemandu wisata yang cas-cis-cus berbahasa Jepang ria dengan kedua orang itu. Duh, daripada bingung, jadi naiklah aku ke tangga yang ada di sisi kanan ruangan itu (karena pintu ke kiri dikunci). Saat naik.... DOR!!! Yang ada adalah "Ruang Kemerdekaan" (menurut yang kudengar, seharusnya ada pemutaran film di sini). Tapi... Ruang itu setengah gelap. Yang ada malah sepasang pria dan perempuannya, entah siapa mereka bagi yang lain. "Duh.. Pikirkan Rif... Jangan sampai terlihat seperti orang tersasar." Ha ha... Memang kadang malu juga dengan ungkapan "malu bertanya sesat di jalan", tetapi karena memang aku sedang berjalan-jalan, jadilah itu kupelintir jadi "nggak usah tanya, namanya juga jalan-jalan". He he he...

Jadi, aku memandang sekitar, melihat ada tulisan dan membacanya, kemudian turun kembali. Ada untungnya kadang berkulit agak gelap, mengingat temanku Annisa --yang kebetulan **jauh** lebih cerah dariku-- demikian mudah merona merah kalau sedang tersipu. Syukur deh, jadi lolos dari maut, eh, malu... ^_^

Kemudian, karena **sudah** sadar aku memasuki pintu yang salah --yang hanya berisi maket Monas dan sekitarnya-- aku pun berputarlah ke pintu yang satunya lagi di sisi selatan tugu. Hmm... Sepi sekali, lain dengan terakhir kali aku kemari waktu itu. Yang dimaksud sepi di sini, sepi pada antrian elevator (beberapa lebih mengenalnya sebagai lift) menuju puncak tugu. Yap, sepi sekali sampai saat elevator tiba (kosong) hanya aku sendiri, dan penunggu elevator yang naik ke lantai 3. Hush, penunggu di sini bukan apa-apa, hanya seorang bapak pengantar elevator yang kecapaian dan sepertinya tidak hendak mengobrol dan setengah mengantuk. Juga soal lantai ini agak tidak umum juga, sebab di gedung bertingkat, biasanya jarak tiap lantai sama sehingga waktu tempuhnya relatif sama pula. Di tugu Monas ini, yang disebut lantai 3 adalah puncak tugu, 2 adalah cawan monas, dan 1 adalah dasar cawan. Yah, jadilah aku malah komat-kamit sendiri, khawatir kejadian dulu saat elevator monas mengalami gangguan terulang pada saat aku di dalam elevator itu. Hiiy...

Dan...... Sampailah kami di puncak tugu monas, di bawah "api" yang nampak menyala yang memuncaki Monas sepenuhnya. Wahh... Pemandangannya luas. Tidak indah sih, karena sepertinya semakin ke sini Jakarta semakin diselubungi berbagai asap. Asap-asap itu menutupi pemandangan yang semestinya bisa sangat luas. Di selatan, di daerah Kuningan dan Jl. Jenderal Sudirman-MH Thamrin, gedung-gedung perkantoran dan rumah susun tinggi menjulang. Sayang tidak nampak lagi apa yang ada di baliknya. Itu tadi, asapnya cukup tebal.. Kemudian arah Barat, ada gedung-gedung yang relatif lebih pendek dari gedung di daerah bisnis tadi, juga menyempil gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang megah dan berpenampilan eksentrik di tengah-tengah bangunan yang sebagian besar berwarna putih. Gedung MK ini, sendirian, bernuansa keabu-abuan, bergaya seperti bangunan romawi (atau yunani yah? Entah) dengan pilar-pilar yang tinggi, dan ditutupi kubah di atas atapnya. Wah, arsiteknya atau siapa ya, yang kurang memperhatikan penyatuan dengan lingkungan sekeliling... Hmm...

Lalu di Timur, nampak Stasiun Gambir. Stasiun di mana kereta rel listrik (KRL) Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) kelas ekonomi berlaku sebagaimana KRL ekspres di stasiun lain: tidak berhenti! Lalu di utara, ada Mahkamah Agung, Sekretariat Negara, Bina Grha, Markas Besar TNI (AD? Maaf lupa...), dan tak ketinggalan, Istana Negara. Lebih jauh ke utara, kuduga semestinya kita bisa melihat laut, tapi karena awan dan asap itu menutupinya, jadilah hanya hotel-hotel tinggi dan bangunan lain yang nampak. Ahh... Sayang sekali. Ya sudah, jadilah 25 frame yang tersisa dibantai sebagian besar di situ.

Ada yang unik. Pemandu wisata (lain?) yang memandu wisman entah-dari-mana-yang-jelas-mereka-pirang berkata, "Do you know my house?" (kurasa mestinya: "Do you want to know my home?"). "That is my house, yes, that." (mungkin: There is my home, yes, that one.") sambil menunjuk arah barat laut. Ha ha... Senangnya bisa sedemikian komunikatif.

Kemudian, setelah sekitar 15 menit di atas, dan puas memotret, maka turunlah aku dan beberapa orang lain sampai memenuhi elevator turun. Bel berbunyi dan sampai di cawan. Hanya aku yang turun (siapa lagi orang aneh yang mau berpanas-panas di cawan tanpa perlindungan selain kamu, Rif?). Satu gambar lagi diambil, dan turunlah aku kemudian lewat tangga. Tujuan berikut: Museum di lantai bawah.

*** Akan berlanjut. Maaf agak capai juga menulis ini, dan aku juga masih perlu tidur dulu... Maaf yahh...***

(sementara) F I N
written 'til 28. Sep 2008, 01.07 WIB
** Hoahem.. Ngantuk.. Ih, panjang juga yah? Dasar Melayu! :P Ups, bercanda kok..**

Kamis, 25 September 2008

Mau ke Monas

Sebuah grup musik asal Bandung (betul yah?) --The Changcuters-- menulis lagu berjudul "Hijrah ke London". Hihihi, seperti beberapa lagunya sebelumnya, liriknya sederhana, musiknya serasa iringan, umm.. Begitulah pokoknya, aku tak mengerti musik. Yang jelas, dalam syairnya, ada baris kata-kata, "London... Ku ingin pergi ke sana...". Yah, terserah deh apa kata kalian, yang jelas sekarang ini, "ku ingin pergi ke Monas".

Hmm... Kenapa Monas? Entahlah, tiba-tiba terlintas saja di kepalaku tugu bertatahkan emas tak jauh dari gedung Istana Negara dan Masjid Istiqlal ini. Kalau dipaksakan mengorek kepala lagi, mungkin ada beberapa alasan yang bisa kukemukakan. Pertama, aku butuh matahari! Ihh... Bukan berarti aku sehari-hari mengendap di tempat tidur atau di atas kursi di belakang layar yah, tapi sekarang-sekarang ini, memang aku lebih banyak ada dalam ruangan. Kuliah, dalam ruangan, TA, dalam laboratorium, selepas jam kuliah, tidur di rumah, he he he..

Kedua, aku ingin menghabiskan rol terakhirku semester ini. Yap, sejak 'menghidupkan kembali' kamera ayah, aku jadi agak-agak terobsesi dengannya. Hanya saja, karena ukuran dan bentuknya yang agak luar biasa, jadilah rasanya canggung mengeluarkan kamera itu untuk jepret sana sini. Salah-salah disangka pewarta foto nanti.. Jadi, menurutku tempat di mana kamera semacam itu tidaklah sedemikian mencolok adalah tempat wisata, dan seperti kubilang sebelumnya, yang terlintas pertama kali adalah: Monas! Lagipula setelah ini, aku juga akan (berusaha) mengurangi jatah ber-CM dan pelbagai keriaan lain demi lekas tuntasnya TA-ku, Amin...

Ketiga, apa yah? Sudah lama aku tak mengunjungi Monas (baca: dan tempat mencari angin lain, sebut saja, um.. Taman Mini, Ragunan --yang cuma sepelemparan batu dari rumah, bahkan Mal-mal dan toko-toko buku). Terakhir itu, duh, aku lupa. Yang jelas saat itu aku ke sana bersama Ibu, juga Ica, Ifa, dan Iqbal sepupuku. Menyenangkan sekali memandang luas dari puncak Nonas. Nyata sekali Jakarta semakin --sesuai keterangan di situs Pemerintah Provinsi DKI Jakarta-- padat dan semrawut. Rasanya seperti, apa ya, mungkin burung yang terbang tinggi, bebas --meskipun terkungkung troposfer tentu saja--, memandang ke mana ia suka.. Loh, kok seperti iklan salah satu partai politik ya? He he.. Semua itu hanya kebetulan belaka dan tidak ada kesengajaan kok.

Yah, jangan heran untuk kamu yang tidak di Jakarta. Jangan mengambil kesimpulan "Setiap warga Jakarta pernah berkunjung ke objek wisata di Jakarta". Tidak secepat itu. Ragunan saja, yang kusebut hanya sepelemparan batu dari rumahku, sudah tak pernah kukunjungi sejak lama. Bahkan terakhir kuingat berkunjung adalah ketika Pusat Primata Schmutzer, yang (kata orang) keren, belum selesai dibangun. Padahal setelah itu, Ragunan seperti menemukan kosmetik yang baru dan tampil lebih menarik menurutku... Dari luar tentu saja. ^_^

Jadi, ada yang mau ke Monas juga? Kutunggu di sana, sekitar akhir pekan (Sabtu-Ahad) atau Senin mendatang... Minta dibayarkan? Hey... Aku saja berencana menunjukkan Kartu Mahasiswaku waktu membayar tiket, kok kamu minta dibayarkan? Huh!! Dasar... Bayar sendiri dong! Kecuali kamu rela mencuci-cetakkan rol film berisi gambar-gambar sekitar Monas dan kemudian memindaikannya biar bisa kuunggah di sini, di halamanku yang tak seberapa ini. He he... (n_n) Selamat berbuka puasa, omong-omong, sebentar lagi...


F I N
written on 25. Sep 2008, 17.37 WIB
Du di dum... Monas, aku datang dengan kamera berbaterai baru. :-)
Sayangnya aku perlu menabung seumur hidup kalau ingin memiliki sebuah unit pemindai di sisi komputerku. Yahh... :-(

Rabu, 24 September 2008

Mimpi

Kalau kata orang, "bak mimpi di siang bolong" itu artinya suatu hal yang, boleh dibilang, mustahil. Tapi....... Karena sekarang waktu Maghrib hampir berlalu, dan malam mulai menjelang --senja kalau kata sebagian orang, tapi tidak juga. Sudah gelap sekarang. Saat badan capai, pikiran letih memikirikan berbagai-bagai urusan yang datang silih berganti, rebahkan badan dan biarkan mata terpejam.. Tapi, sebelum lelap, jangan lupa bacakan doa dulu, biar nanti mimpi yang datang membelai bukanlah mimpi yang... Aneh-aneh deh.

Jadi, sudah mengantuk, Rif? Tidak juga. Cuma ingin sedikit menuangkan mimpi (baca:impian) di sini, biar tak menguap tak berbekas. Layu, karena bagi beberapa orang, mimpi tak ubahnya kembang di kala mereka tidur. Ingat pula aku, ucapan seorang musisi --Anggun (C. Sasmi)-- di sebuah acara bincang-bincang televisi sekitar setahun-dua yang lalu. "Kalau sudah selesai mimpi, jangan hanya diam di tempat tidur! Bangun, mandi dengan air yang dingin, lalu berangkat kejar mimpi itu." Yah, kira-kira demikian yang kutafsirkan dari ucapan beliau itu. Hmm.. Perkataan yang baik, baik sekali. Jadi sebelum aku bangun dan mandi air dingin, biarkan sejenak ku bermimpi, boleh?

****
Aku bermimpi, suatu masa, di muka bumi, saat telah selesaiku dengan urusan pendidikan yang sekarang kujalani. Aku melangkah ke sebuah tempat yang asing bagiku, dan aku asing bagi penghuni tempat itu. Di sana, memperkenalkan diri aku, tanpa ada yang bertanya siapa aku dulu, tanpa aku bertanya siapa mereka dulu. Di sana, diterima aku sebagai diriku, bukan sebagai anak siapa, saudara siapa, murid siapa, suami siapa, dan seterusnya. Mungkinkah? Uff....

Bermimpi aku masih, saat kulihat halaman depan rumahku yang tak seberapa luas ditanami ragam kembang dan bunga. Kuning, merah, putih, warna-warna dunia yang aku dan istriku upayakan, kami pelihara agar, kalaupun layu, berganti dengan tunas-tunas baru yang tak kalah eloknya mewarnai hari kami. Kemudian, di halaman yang sama, di atas rumput yang terawat cermat, putra-putri kami berlarian, bergulingan, menendang bola karet, (mencoba) menangkap kupu-kupu dan capung.

** Ah, mati listrik tiba-tiba.. Syukur masih ada sisa daya dari UPS. Jadi, setelah menyimpan dan kemudian menanti menyalanya listrik kembali, kita lanjut? **

Duhh... Rumah itu mungil saja, tapi terasa lapang karena kelapangan hati penghuninya. Kecil, tapi berisi pelbagai gagasan besar dari manusia di dalamnya. Halamannya tak seberapa luas, berpagar tanaman serupa teh, dipangkas setiap akhir pekan. Tak ada kata yang terucap selain sapaan, salam, dan semuanya kala penghuninya menemui tetangganya, begitupun kala sang tetangga bersua dengan sang penghuni. Ahh... Nyaman nian hidup sedemikian. Riang gelak tawa anak-anak, riuh celoteh mereka memenuhi udara.

****
Mimpi? Impian? Utopia? Sebutlah yang di tengah. Yang pertama banyak dikata selimut malam, yang terakhir seolah tak pernah terwujud. Yang di tengah, ada untuk diraih, untuk dikejar, untuk diusahakan. Uff... Malam kian larut, kantuk mulai menyerang. Saatnya bangun dari mimpi tertulis ini untuk melompat ke mimpi yang lebih "realistis", lebih dekat dari bisikan, lebih hangat dari selimut wol tebal. Diiringi sisa-sisa tetes hujan, dan hembus lembab angin malam ini aku kan beranjak, berselimut waktu sampai esok menjelang. Semoga....


F I N
written on 24. Sep 2008, 18.30 WIB - blackout - 20.37 WIB.
Btw, I'd like to accessorise the house with both canary-yellow colored 1098 and 911, do you know?

Selasa, 23 September 2008

D -130:Penimbang atau Peragu?

Yap, dua kata serupa tapi tak sama di atas tepat sekali menggambarkanku. Sekarang, kemarin, kemarin dulu, entah esok. Peragu adalah orang yang ragu-ragu, sedangkan penimbang adalah orang yang memberi pertimbangan --menurut KBBI dalam jaringan. Kalau dipertajam lagi, penimbang kuartikan orang yang penuh pertimbangan. Sedikit bukan, selisihnya?

Saat ada dua jalan membentang di hadapan, dan kaki melangkah perlahan melalui satu jalan, dan tak bisa berhenti menatap ke perpisahan jalan, itulah saat penuh keraguan, menurutku. Saat ada dua jalan membentang, dan kaki tertahan di perpisahan jalan itu sebelum melangkah tegap melalui salah satu jalan, itulah jalan yang dipilih atas pertimbangan. Sedikit bukan, selisihnya?

Yah, mari kembali ke kehidupan. Tugas akhir yang belum (juga) dimulai karena bahan yang dipesan tak kunjung datang. Keperluan bahan lain datang, dan bahan itu mengundang keraguan --atau pertimbangan? Zat itu elektrolit (kompleks?) triiodida/iodida. Menurut kepala kerasku, itu *hanya* didapat dari persenyawaan ion Iodin, I-, dan Iodium, I2. Bapak yang memperjualbelikan bahan itu menyatakan tak ada KI3- itu, dan hanya ada kalium/potasium Iodat KIO3. Dini, rekanku di tugas ini, mempersamakan kedua zat itu. Aku? Kukuh di pendirianku bahwa yang ditawarkan tak sama dengan keperluan, dan bilapun dipaksakan, bisa jadi tak kami dapat hasil yang kami inginkan.

Dan, jadilah kemarin itu setengah hari aku berdebat dengan Dini, aku di Rumah Sakit --menjenguk nenekku yang kambuh penyakit parunya-- dan Dini di kampus --bersama Pak Herman. Kebetulan Senin hari tanpa jadwal kuliah untukku. Yahh, pada akhirnya memang aku yang --kalau boleh dibilang-- menang, dan bahan itu belum dipesan dulu, setidaknya sekarang.

Keraguan, penghambat perkembanganku, aku tahu itu. Masalahnya kenapa tak kunjung kubuang kata yang satu itu dari kamusku yah? Entahlah. Tercampur dengan lema pertimbangan, kuduga. Ragu saat memilih sekolah menengah pertama jauh dari kawanku dulu? Tidak juga, pertimbanganku sederhana:hari Sabtu libur --hal yang langka di masa itu. Menarik berkas pendaftaran dari sekolah yang (juga) banyak dipilih temanku selepas SMP? Itu karena nilai tak mencukupi --meskipun entah bagaimana caranya, namaku dan nilaiku masih terpampang di daftar siswa diterima di papan bawah urutan di hari terakhir pendaftaran-- juga karena tempatnya *cukup* jauh dari rumah. Jadi, aku penuh keraguan?

Mari menilai lagi.. Boleh aku minta waktu bicara dengan diriku yang lain? "Kartu ucapan 'Id Fitri itu, mengapa tak kunjung kau selesaikan?" "Entahlah, tebersit rasa tak yakin kartu itu akan pernah sampai ke penerimanya nun di seberang lautan sana." "Kata-kata 'itu', janji-janji 'itu', mengapa tak kau tepati dulu?" "Entah, aku takut kalau kata 'itu' benar terwujud, benar diterima dengan penerimaan yang baik, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. 'Itu' bukan puncak pencapaian apapun kan?" "
Tak heran tiada seorang pun pernah mendapat gelar 'mantan' itu darimu yach? Heyy... Tak boleh ada yang tersakiti, tahu?!" Jadi, aku penuh pertimbangan, bukan?

Ahh... Entahlah. Satu yang bisa kutarik sementara ini adalah, kesimpulan bahwa pertimbangan mempergunakan hati dan otak sama besarnya. Memaksimalkan logika, menghitung dengan seksama. Sedang keraguan, tak jauh dari hati. Karena keraguan itu tak pernah beralasan kuat.. Kalau beralasan kuat, tentu ia akan menjadi pertimbangan, bukan?


F I N
written on 23. September 2008, 18.49 WIB
So, give up the cam and games and work harder, will you? Your Final won't finish on its own... Btw, don't let the receiver wait for his/her card too long, will you? :-P

Senin, 22 September 2008

Foto-foto dari Buka Puasa Bersama Aksel

Yahh... Akhirnya ada juga yang unggah foto-foto ini. Tapi selusin foto ini baru dari kamera/ponselnya Aisyah. Ada lagi dari kamera/ponselnya Cempaka, dan juga ada foto lengkapnya, tapi di kameranya Micky. Tunggu Micky unggah ahh... Sementara, selamat menikmati. :-)

(gambar dari laman facebook Aisyah, link-nya... Malas ah, lambat betul antarmukanya yang baru. Huh...)

Iksan(Ican)-Rifqi-Aku-IisIksan(Ican)-Rifqi-Aku-Iis

Iis-Tyas-Erita-CempakaIis-Tyas-Erita-Cempaka

Atas: Iis-Tyas Erita-Cempaka; Bawah: Aku-Rifqi-IksanAtas: Iis-Tyas Erita-Cempaka; Bawah: Aku-Rifqi-Iksan

Idem, he he heIdem, he he he...

Idem, tapi Cempaka tuker AisyahIdem, tapi Cempaka tuker Aisyah

Erita-Iksan-Micky-Aku-RifqiErita-Iksan-Micky-Aku-Rifqi

Atas: Dito-Erita-Ican-Aku-Micky-Rifqi; Bawah: Gibran-CempakaAtas: Dito-Erita-Ican-Aku-Micky-Rifqi; Bawah: Gibran-Cempaka

Iis-Tyas-Cempaka-Aisyah-EritaIis-Tyas-Cempaka-Aisyah-Erita

Idem lagi, he he heIdem lagi, he he he...

Idem juga. :pIdem juga. :p

Atas: Dito-Iksan-Micky-Rifqi; Bawah: Cheppy-Aku Gibran. Cuma kurang Handika saja...

Cempaka-Aisyah-EritaCempaka-Aisyah-Erita

F I N
(originally) written on 21. September 2008, C 22.30 WIB.
Karena sambungan internet entah mengapa jadi sangat lambat, maka baru pagi inilah misi terlaksana.

Miss you all guys (and ladies, too! ^_^). Kumpul sama-sama lagi 9-11. Januar 2009, ya? Semoga...


Minggu, 14 September 2008

Trilogi BuBar Bagian Ketiga: Grande Finale

Hihi, heboh yah, judulnya. Yah, bagaimana lagi. Setelah Kamis (11. Sep) aku jumpa dengan saudara-saudaraku, yang paling lama tak bertemu tak lebih dari sebulan, begitu juga Jum'at (12. Sep) dengan kawan seangkatan Metal 2005 yang setiap hari bertemu (berlebihan...), hari Sabtu (13. Sep) kemarin aku dipertemukan kembali dengan kawan-kawan sekelas SMP dulu. Yah, sebagian besar --dari 24 orang, yang hadir ada 12 orang-- datang deh... Tak terasa telah 6 tahun lebih berlalu sejak kami lulus bersama dari perjuangan itu.

Jadi, pekan lalu kalau tak salah, Iis-Gibran-Cheppy mengadakan pertemuan Kolombo (eh, pertemuan pendahuluan maksudnya) untuk membicarakan soal acara ini. Akhirnya, panitianya terbentuk, ya mereka-mereka juga sih, he he... Yah, kalau begitu dipersingkat saja. Acara dijadwalkan Sabtu, 13. September 2008. Tempatnya? He he lagi... Rumah Micky (lagi)! Entahlah, entah rumah di Pulomas itu memang strategis (tidak juga kalau dihitung dari tempatku nun di Selatan Jakarta) atau memang kami memiliki semacam afinitas dengan rumah itu.

Jadi, dijadwalkan kami bertemu di Sekolah kami tercinta, di sebelah Uni. Negeri Jakarta persis, jam 4 sore. Karena agak nanggung, jadilah aku berangkat lepas 'Ashar. Tak lupa menyiapkan satu rol film untuk dokumentasi. Tapi.... Nanti lah, tunggu dulu. Jadi, berangkatku dengan angkutan karya pemda DKI --TransJakarta-- itu, yang kutahu berhenti tepat di depan UNJ. Mungkin karena hari Sabtu, bus tetap saja tertahan di beberapa persimpang jalan, jadilah ku tiba tepat.... Tepat pukul 16. 35 WIB. :P

Di halte itu, aku melongok ke depan sekolah. "Loh? Mana nih, anak-anak? Jangan-jangan pada gak datang..." Tapi tak hirau aku, dan melangkah --cepat seperti biasa-- meniti jembatan penyeberangan tanpa tangga itu. Sesak rasanya dadaku melihat bangunan gedung sekolah yang telah demikian lama kutinggalkan. Yah, kenangan-kenangan, indah-buruk, besar-kecil, manis-pahit, semuanya campur aduk menyesakkan. Seperti apa kira-kira kawanku sekarang yah?

Langkah terus tak henti, jembatan telah dititi, dan hendak berjalanku ke dalam, tetapi di halte, aku melihat seseorang yang sepertinya karib. Sedetik kemudian kuputuskan menepuk bahunya, dan benar saja: Cheppy!! Orang yang dulu meracuniku dalam perjalanan pulang sekolah dengan segala tentang tank-tank dan pesawat-pesawat tempur, dan darinya pertama kali kuingat mendengar kata "metalurgi". Yah, racun yang efektif, mengingat sekarang aku belajar di satu dari sedikit jurusan yang mengandung kata tersebut. (",).

Cheppy, dulu adalah anak yang paling jangkung di kelas kecil itu. Juga paling banyak digosipkan dulu. Hi hi... Tahu tidak, sekarang aku lebih tinggi beberapa sentimeter darinya. Tapi yang paling terlihat adalah: Bertambah gemuk dia! Aku sendiri --yang memang ingin menambah yah, 5-10 kilo(gram) lagi-- jadi agak iri melihatnya. Ah, sudahlah. Jadi kemudian kami memutuskan masuk ke dalam kompleks sekolah (SD-SMP-SMA), dengan iringan cerita-cerita. Dia yang sekarang --menurutnya-- bekerja di sebuah Departemen sebagai tenaga lepasan, aku yang akan mulai Tugas Akhir, dan semuanya.

Masuk ke dalam, agak miris juga melihat tempat kami diwisuda dulu, yang menumpang di Teater Besar UNJ, telah menjadi "bekas Teater Besar". Bekas, karena beberapa waktu yang lalu memang terbakar bangunan itu, dan merembet ke dalam. Masuk semakin dalam, pelataran bawah Masjid Baitul 'Ilmi belum berubah. Masih dipagari, dan dipakai terutama untuk Shalat Jum'at saja --karena sehari-hari dulu biasanya cukup lantai-lantai atas yang dipergunakan.

Dan.... Loh? Ke mana kelas kami? Kelas kecil di pojok atas lantai 3 itu telah lenyap. Telah diratakan lantai 3 itu dengan lantai 2, mungkin akan dibangun ulang. Komentar Cheppy singkat: "Lumayan, sekalian direnovasi. Udah lama nggak 'kan?" Yah, ada benarnya juga sih.. Jadilah aku dan Cheppy mengambil gambar tentang yang tersisa di bekas lantai tiga itu, dari bawah saja karena Iis dan Gibran sudah menunggu kami. Ah, foto-foto ya. Setelah dicetak-dipindai-diunggah dulu ya? Sekarang belum habis rol film itu.

Baiklah, Iis dan Gibran pun datanglah. Duh... Iis betul-betul berubah. Kacamata yang dulu identik dengannya, raib. Rambut hitam pendek keriting telah berganti rambut highlight panjang berombak. Badan gemuk pendek, yahh.. Tidak gemuk lagi deh, sekarang. (^_^). Kalau dia memilih nama e-mail mengandung kata bebek, bisa dibilang kini dia telah transformasi dari anak bebek buruk rupa menjadi angsa putih yang cantik. Untung sekitar tahun lalu kami pernah bertemu saat ia main-main ke kampusku. Jadi tak terlalu kaget melihat dia. :p

Kemudian Gibran. Hm.. Tetap berisi badannya, dan kacamatanya masih setia di sana. Bukan, bukan kacamata yang sama, tentu, tapi masih setia menggunakannya deh. Gayanya... Rapi jali, tipikal mahasiswa Kedokteran deh. Tak mungkin 'kan dokter lusuh, yang ada nanti pasien-pasiennya melarikan diri duluan melihat dokter yang "tak terawat". Yang jelas, mereka (Cheppy dan Gibran) setelah bertemu (lagi), langsung keluar aslinya: "Gila". :p

Dari sekolah, kami keluar, memutar menuju sebuah pusat perbelanjaan tak jauh* dari sekolah (*= relatif, kalau dengan jalan kaki tentu terasa jauh. n_n). Rencananya kami membeli beberapa makanan, berat dan ringan di sana saja. Wew, bukan hanya di jalan saja kemacetan melanda, di dalam pusat perbelanjaan itu juga! Tapi tak mengapa, setidaknya Gibran cukup nekat juga menyapa Iis (kami berpisah di dalam), "Mah, udah belanjanya?" Ha ha... Konyol! Tapi menyenangkan melihat reaksi orang-orang yang agak-agak, um, bagaimana yah? Begitulah... :-D

Dan... Menerobos kemacetan dalam mobil yang dikemudikan Gibran, sedikit heran dengan jalan yang dipilihkan GPS-nya, 15 menit kemudian kami berempat pun sampailah ke rumah itu. Besar, setidaknya cukup besar untuk kami beramai ke sana. Ah, di rumah itu pernah kami mengerjakan tugas kelompok, (aku) melihat gilanya Micky atas permainan Final Fantasy, banyak lagi...

Saat kami tiba, Ayah dan Ibu dari Tyas baru akan kembali ke rumah selepas mengantar putri mereka. Ibunya Tyas tak mengenali kami, sebagian besar. Duh, waktu kadang terlalu kuat yah? Seperti apa ya Tyas, yang dulu kecil, mungil, "kering", dan berkacamata. Hm... Penasaran harus ditahan dulu, karena kedatangan Cempaka! Cempaka yang dulu belum berhijab, sekarang tiba dalam balutan, um, blus (?) batik dan celana panjang putih, dengan hijab putih. Wah, tak pernah tahu aku. Hilang kontak sejak lama, dan belakangan aku juga baru tahu kalau dia sudah lulus! Lulus dari President University, jurusan Akuntansi kalau tak salah. Selamat ya, Cem.. Tapi waktu kutanya apa udah ada tawaran dari mana, begitu, dia menjawab "ntar dulu. Napas dulu gue, sekolah udah cepet, kerjanya nanti dulu deh" (atau semacam itu deh. :p). Yah, semoga sukses dengan apapun pilihanmu, Cem.

Jadilah kami masuk bersama, berlima, ke dalam rumah Micky. Dan..... Wah, Micky! Apa aku tidak salah lihat? Micky yang dulu setipe dengan Tyas dalam bentuk badannya kini bertambah lebar.. Duh, kenapa aku tidak bisa sih... Ah, sudahlah, yang jelas, sebelum kami ternyata sudah tiba Micky (loh, ini kan tuan rumahnya?), Rifqi, dan Tyas. Rifqi, masih tetap arab (he he, ada keturunan Arab, kalau tak salah), dan Tyas.. Kejutan! Masih belum banyak berubah. Masih "kering", kacamatanya juga masih di sana, hanya saja setelah lama ia membiarkan rambut pendeknya tumbuh panjang, dan gayanya: masih bisa dibilang kekanak-kanakan.

Kemudian, jelang 'Adzan, Ikhsan alias Bulet pun datang. Tak sesuai lagi aliasnya dengan keadaan sekarang. Tingginya hampir setinggiku, jadi kesan bundar itu sudah bisa dikatakan menghilang. Oh iya, terakhir bertemu kita di kelas MPK Apresiasi Film ya? Itu kapan ya? Hmm... Yah, lupakan. Setelahnya datang Aisyah. Masih sama, kacamata, rambut panjang --hanya saja tak ada lagi kuncir/kepang hasil karya ibunya, he he-- dan tetap berbadan subur.

Dan 'Adzan pun berkumandang, pun puasa diselesaikan. Berbincang kami semua, tentang segala hal. Betul-betul segala hal. Dari kehidupan sehari-hari, kenangan masa silam, "8 bidadari", "Musang Perak", Ratna-Gibran, Cheppy dan kisah kasihnya dulu, Aku dan guru matematika kami, wali kelas-wali kelas kami, guru-guru kami, semuanya deh. Ah... Kenangan, kenangan... Catatan hidupku takkan lengkap tanpa itu, dan takkan bisa kuhapuskan dengan mudah.

Kemudian datanglah Erita, sepaket dengan Dito. He he... Awet betul yap? Aku kapan?? Nanti deh, 'kan berjalan sendiri itu menyenangkan, lebih cepat, irit, semuanya. Entah dari kapan mereka sama-sama, tak penting deh. :p.

Lepas 'Isya', sebuah plot disusun. Jangan buruk sangka dulu, bukan plot yang aneh-aneh yang disusun kok, kecuali merencanakan reuni bisa dibilang persekutuan jahat, he he.. Yah, jadi diputuskan, setelah reuni kecil-kecilan ini, 9-11. Januari 2009 mendatang, kami akan bereuni. Rencananya sih, tempat Gibran di daerah Bogor yang akan dipinjam. Wah, semoga bisa berhasil. Nanti kalau siap, aku bikin acaranya. Yah, minimal cari perkara deh, kalau tidak acaranya kurang.. :p. Sama-sama mengingatkan dan membantu yach...

Ahh... Re-union, bersatu kembali. Yah, semuanya dipertemukan. Segala ingatan dariku, Gibran, Cheppy, Handika, Dito, Rifqi, Ikhsan, dan Micky. Juga dari Iis, Aisyah, Anes, Dita, Annisa alias Wanto, Tika, Cininta, Indah, Glenda, Cempaka, Muti, Eca, Rizky, Erita, Tyas, juga Ratna. Salam dari kami, duapuluh empat orang dari angkatan ketiga kelas akselerasi SMP Labschool, Rawamangun, Jakarta. (^_^)

--Edit: NB: Ternyata, sesampainya di rumah Micky, daya baterai di kamera sudah tiada. Padahal sudah berharap-harap. Duh.... Payah!


F I N
written on 14. September 2008, 'til 07:42
What a finale, what a finale... You've done better, Sire!


Sabtu, 13 September 2008

Trilogi BuBar Bagian Kedua: BUBAR Metal 2005!

Setelah Kamis (11. September) kemarin berbuka dengan keluarga nenekku yang kecil tapi besar itu, pada Jum'atnya (12. September) kami ber-66 orang (secara teoretis, tapi yang datang tak kurang dari 45 orang kuduga. Maaf tak sempat berhitung) berkumpul di rumahnya Himsky (yang juga menuliskannya dengan singkat, padat dan jelas di sini).

Jadi, cerita dimulai pada hari Selasa, 9. September kemarin dalam kelas Mekanika Perpatahan bersama Prof. Anne yang, hm....... (diisi sendiri deh, takut salah menyebutnya). Di situ, Himsky dan Ida (setidaknya) yang memulai pembahasan tentang acara ini. Ya, jadi acara kemarin itu bisa dibilang mendadak, dan semacamnya lah. Sayangnya rasa pesimis sempat muncul kala hari Rabu dan Kamis-nya. Masalah klasik sih: Banyak yang belum bayar.. Duh, mahasiswa, mahasiswa... (Padahal sama juga, aku juga nunda-nunda kok. Maaf ya, Kak Ida..).

Tapi ternyata eh ternyata, Jum'at sore, selepas kuliah (lagi-lagi) Prof. Anne, di tempat kami biasa berkerumun di bawah kanopi baru dan di gasebo itu, banyak juga yang berangkat. Belum semuanya sih, tapi setidaknya yang tidak ada kuliah selepas 'Ashar pun berangkatlah dengan bermobil beramai dan bermotor berdua-berdua. Di pasukan motor, aku kebagian mengangkut si Panji, ada Amin dan Aci, Alfian dan Dharma, Irwan dan Edu, Lulus dan Alid, banyak deh. Di barisan sopir (he he...) ada Himsky, Falahy, Riko, dan juga Agung alias Julung.

Kalau jalannya sih, tidak perlu diceritakan lah. Lagu lama dari Jakarta yang ada: MACET! Di Uni Pancasila, TB Simatupang, juga setelah berputar menuju rumah Himsky. Yang paling mengesalkan ya si berisik beroda tiga alias Bajaj. Sang pengemudi seolah tak sadar kalau ukuran kendaraannya tidak mencukupi untuk menyelip-nyelip di antara kemacetan. Huh!!

Ah, sudahlah yang jelas di rombongan motor yang berangkat dari kampus bersama selepas 'Ashar (sebab ada Abang Alfari yang dari rumah langsung), aku dan Panji jadi yang terbelakang, he he... Dasar Bajaj! Tapi.... sesampai di sana malah Himsky belum sampai, tidak mengambil jalan tol rupanya, jadilah dia dan penumpangnya datang setelah adzan Maghrib berkumandang. Ckckckck...

Baiklah, sekarang di inti acaranya, berbuka puasa bersama. Setelah semua yang hadir tiba dan berkumpul, kami shalat Maghrib terlebih dulu, untuk kemudian menuju halaman untuk icip-icip masakan dari Ibunya Hims. Wah, ada spaghetti.... Tapi sial, tak kebagian aku pada giliran pertama. Ternyata biar puasa, tenaga banyak di antara kami memang disimpan untuk makan! He he... Yah, jadilah meja di halaman itu medan tempur, di mana hampir semua anak (laki-laki) metal rusuh demi sepiring spaghetti untuk masing-masing.

Jadilah aku, juga Panji, Reza eMyU, kak Ida, dan kebanyakan anak perempuan Metal kebagian es buah saja.. Weleh.. Memang sih, kemudian Ibunya Hims memasakkan lagi pasta itu, dan aku juga masih kebagian sepiring (makasih banyak, Tante. Maaf kami semua rusuh. Sudah bawaan lahir, mungkin). Memang dasar kami-kami ini, tante meleng sedikit sudah langsung ludes beragam makanan-minuman itu.

Dan, setelah makanan 'kecil' --memang tidak kecil juga, sih-- tandas, kami pun makan berat di dalam, berkumpul dalam satu lingkaran besar di ruang tamu/ruang keluarga/ruang .... (maaf ya, Hims. Aku tak tahu ruang apa itu. :p). Sekotak nasi + ayam + sayur segar + sambal (yang ini tak kusentuh, he he...) habis dalam waktu yang berbeda-beda, ada juga yang membawanya pulang saja macam Edu, Uthy, dan banyak lagi deh. Yang cepat ada Mas Didi, sampai dikatakan padanya, "lho, nggak makan, Di?". Ah, anak-anak memang gila (baca: gila-gilaan. Kalau gila betul, alih-alih ke Depok, kami malah berangkat ke Grogol dong..). Yah, jadi kalau menurut filosofi Jawa, "Mangan ora mangan, sing penting ngumpul" (betul ya?). Nikmat memang, kami masih bisa berkumpul. Makan ataupun tidak, bersama-sama membuatnya jadi indah.

Selepas makan, ada usul dari Amin, Pak Ketua Angkatan 2005, kalau ada yang ingin dibicarakan yang masih mengganjal dalam 3 menjelang 4 tahun kami bersama, ungkapkanlah. Jadilah, waktu satu jam setengah itu kami bergantian, meskipun tak semuanya, mengungkapkan banyak hal. Ada Irul, "Kita yang berencana, Allah yang menentukan" terkait rencananya dulu pada semester 7 akan menikah. Amin sendiri, "Buat yang kuliah Daur Ulang Plastik, gw masih nyimpen duitnya kalau ada yang kurang", juga, "Kebiasaan jelek, misal nge'ceng'in (baca: mengolok-olok) orang, tinggalkanlah. Mungkin ada yang tidak bisa menerima tapi tak bisa diungkapkan".

Lalu ada banyak lagi, Agung dengan taklimat singkatnya, Panji dengan ucapan terima kasih atas penerimaan kami, Dian yang sampai tersedu-sedu terbawa emosi, Arya alias JaMet yang meminta maaf tentang barang-barang yang belum dikembalikan, sampai "si Mbah" 'Aliq yang mengingatkan supaya kami semua bukan sekedar bersama dan dekat antar sesama, tapi juga kepada dosen, dan semuanya, juga agar kami lebih peka pada masa depan bangsa --'makasih pengingatannya, Mbah. Aku sendiri? Hm.. Tak ada kata yang bisa terlontar selain ucapan maaf dan terima kasih, serta minta dukungan dan akan mendukung yang akan lulus, terbata-bata semuanya. Duh... Kenapa lidahku seolah bertulang, dan tak bisa mengungkap banyak hal karena terlalu berat ya... Uhh... Terima kasih kawan atas bantuannya, dan maaf kalau banyak hal yang tersembunyi dariku pada kalian.

Dan... Setiap pertemuan ada perpisahan. Setengah sembilan malam jam di dinding ruang itu, foto-foto bersama (aku tidak bawa kamera.. Berat dan belum ada film-nya), lalu kami pamit dan pulanglah. Aku membonceng Suryadi alias Odie sampai Tj. Barat, untuk dia menyambung dengan angkot ke Depok. Maaf Di, tidak bisa mengantar ke Depok. Hati-hati, semoga selamat selalu. Kami pulang paling awal, sepertinya. Maaf ya, kawan-kawan, aku sayang semuanya kok, dengan beberapa kekecualian (maksudnya, ada beberapa yang lebih kusayangi.. Maaf ya. :p).

Ahh... Momen-momen semacam ini. Kenangan yang tercatat dalam halaman-halaman hidupku yang sedang menuju tahun keduapuluh. Semoga pada halaman-halaman akhir hidupku, masih bisa kita berkumpul bersama, mengenang X tahun silam, di rumah Himsky, Mas Ii' (sayang tidak hadir kemarin...), juga Dini dulu dengan dibuka oleh kata-kata, "Eh, ingat nggak dulu di .........". Semoga kawanku, bukankah Bang Ikhsan alias Roy semalam mengatakan "Gue yakin, sepuluh (atau demikian yang kudengar) tahun yang akan datang, kita semua bakal sukses"?

Semoga, kawan.. Semoga...


F I N
written on 13. September 2008, 'til 11.41 WIB
....Harus.banyak.bicara.di.depan.audiens.lebih.luas.Riff....

Jumat, 12 September 2008

Trilogi BuBar Bagian Pertama: 11. September

Yap, tiga hari terhitung Kamis (11. September) kemarin sampai Sabtu ini, tak berbuka aku bersama Ayah, Ibu, Ica dan Ifa, juga Iqbal, Bundo dan Nenek Utih di rumah. Memang agak jarang sih, sampai harus berbuka di jalan, atau di kampus, atau di manalah. Selain jadwal kuliah yang, ehm, menguntungkan (jadi bisa menunggu waktu berbuka sembari mencari ilmu, begitu), aku lebih nyaman berbuka di rumah, dengan teh manis yang ditimpa tiga-empat butir es batu dan beberapa butir kurma. Yah, bersyukur aku karena masih banyak orang yang, karena satu dan lain hal jadi tidak dapat berbuka bersama keluarga yang mereka sayangi. Sabar ya, Ka Ve, juga semua yang senasib dengan Ka Ve.. (",)

Jadi, semua dimulai dari Kamis, 11. September 2008. Tepat pada tanggal itu, Nenekku dan Bulik (tante-)ku berulangtahun pada hari itu. Jadilah kemarin aku pulang lebih awal dari kampus, meninggalkan Panji, Irul dan Amri alias Amoy menjaga IT (Linux) Fair di Lobi Fakultas. Setibanya di rumah, mandi sebentar padahal badan masih panas, dan berangkat bersama Ifa dan Iqbal. Setibanya di rumah Mbah Ti (nenekku), tiada kutemui beliau, yang ada justru Syamil --keponakanku yang lucu walaupun, ehm, agak "unik"-- dan Mbak Lis, yang dipekerjakan membantu dan menemani Mbah Ti di rumah.

Yah, kebetulan. Jarang-jarang si Syamil kami temukan sendiri tanpa Ibunya --Mbak Lia-- yang pergi mngajar. Jadilah selama sekitar satu jam itu Syamil kami jadikan "mainan" dengan segala polahnya yang lucu. Mulai dari berkelojotan di atas kasur --yang akhirnya membuat dia bergerak maju, membuat dia mengejar ponselnya Ifa, bicara dengan bahasa bayi yang tak kumengerti, dan semuanya. Duh... Masih lamakah kan kutemui Ibu untuk (bakal) anak-anakku? (>_<)

Dan, saat waktu Maghrib mendekat, aku, Ifa, dan Iqbal --Juga Syamil dan Ibunya, serta Mas Syahrul-- berangkat menuju rumah Bulikku, tempat diadakannya acara buka bersama keluarga ini, yang jaraknya tak sepelemparan batu dari rumah Mbah Ti. Ibu, Ica, Ayah belum datang. Masih tertahan di jalan, pada saat itu. Yang jelas, saat kami membuka pintu rumah Bulik Eti' itu, langsung kami temukan Mbah Ti dan Bulik dan ucapan selamat serta doa dan peluk cium kami curahkan untuk mereka. Semoga diberikan kesehatan, dan diberkahi usianya.

Oh iya, ada lagi 'adik'ku di rumah itu. Di dalam tanda kutip karena memang hitung-hitungannya agak jauh dariku. Jadi, dia itu anak dari keponakan Mbah Ti, begitu. Ah, makin jadilah itu desir aneh di jantung. "Aku kapan yaa??" Hmm... Ah, sudahlah.. Sabar, karena semua ada waktunya, bukan? Sabar lah, Jang...

Ya, selepas Maghrib, lengkaplah keluarga kecil tapi besar kami ini. Ada Mbah Ti (minus Mbah Kung yang berpulang tepat pada hari Pemilihan Umum Legislatif 2004, pada 5. April malam), Ayah-Ibu serta aku-Ica-Ifa, Bulik Eti' dan Om Pendi serta De' Indi dan De' Citra (minus Lutfi, alias Upik yang masih sekolah di Sukabumi), serta Bulik Tonik dan De' Adit-De' Pipit plus Mbak Lia-Mas Syahrul dan Syamil. Sebagai bonus, ada Tante Ambar (anak angkat Mbah Kung dan Mbah Ti) serta Dylan, anak kedua beliau dari pernikahannya dengan Om Joe, seorang ekspatriat, juga ada Om Nanu dan Tante Dewi serta anak mereka Darel, juga Mas Lilik dan Mbak Vina, serta si kecil Adi. Duh... Bayi lagi, bayi lagi... Ampun deh...

Well, ceritanya menu utamanya adalah gulai jeroan, isinya babat, kerongkongan (sapi) dan semacamnya dalam kuah gulai yang kuning kental. Yah, biarpun belum semantap buatan Mbah Ti yang biasanya tersaji saat 'Id Fitri, tapi usaha Bulik Eti' patut dapat jempol deh, he he he.. Better luck next time, ya, Bulik? (n_n). Kemudian, selepas Isya', atas inisiatif Mbak Lia, dinyalakanlah DVD karaoke dan keluarlah berbagai-bagai suara. Dari "Sulis" à la Mbak Lia, "Ebiet"-nya Mas Syahrul, "Tetty Kadi"-nya Bulik Eti', tak ketinggalan Mas Lilik yang sedang batuk pun menyumbangkan satu lagu. Ya, me-nyum-bang-kan, me + sumbang +kan, dengan artian membuat satu lagu --"Manusia Bodoh", ADA Band-- jadi sumbang, he he... Banyak istirahat Mas Lilik, nanti kalau sudah sehat dicoba lagi. Dan penutupnya adalah koor(dinasi, he he) Ayah-aku, dengan "My Way" dari Frank Sinatra. (Kemudian terdengar tepuk tangan membahana, ups... Yang terakhir ini cuma mengarang saja, he he...).

Yah, foto-fotonya ada di kamera Tante Ambar. Aku juga ada sih, tapi masih dalam rol film yang besok akan naik cetak. Memang kadang agak sulit juga punya kamera film, tapi tak mengapalah.. Biar sekalian saat berangkat menuju ke SMP-ku di sebelah UNJ besok sekalian akan kucetak hasil foto kemarin dan kubeli rol baru. Duh... Scanner mahal sekali... Biar menumpang memindai di Jurusan saja lah, nanti akan kuunggah di tulisan ini, atau mungkin satu tulisan sendiri, supaya puas, he he he.. Oh iya, satu yang kupegang, fotografer "haram" difoto, jadi... Tak ada aku di banyak foto yang sudah dihasilkan kamera tua ayah itu. (^_^)

Ah, tidur Rif. Besok biar kutuliskan acara BUBAR (Buka pUasa BAReng) Metal 2005, sejauh yang kuingat. Ah, kawan-kawanku.. Waktu berlari tanpa terasa. Semoga itu bukan yang terakhir, dan bersama kita selalu mencapai tujuan yang besar yang diucap "Si Mbah" 'Aliq itu. (",). Sudah, sudah.. Topik Malam sudah berakhir, saatnya istirahat (sementara). 'Mat malam dan Assalamu'alaykum warahmatullahi. (^_^).


F I N
written 'til 23.59 WIB

Rabu, 10 September 2008

H -143: Apa, Ya?

Alter Ego> Sebetulnya apa sih yang kamu hitung, Rif? X hari menuju apa? Kalau tidak salah hitung 143 hari dari hari ini adalah tanggal 31. Januari 2009. Ada apa di tanggal itu? Tanggal pernikahankah, Rif? :p

Bukan... 31. Januari, atau mungkin lebih tepat Sabtu/Ahad terakhir Januari --sebagaimana Sabtu/Ahad terakhir Agustus-- adalah hari wisuda di UI, di mana sekian ratus (atau ribu yah?) sarjana baru di"resmi"kan. Yah, diresmikan sebab tak sedikit di antara mereka yang sudah lulus sebetulnya, tetapi belum diakui sarjana. Nah, di acara wisuda di Balairung seberang Masjid UI itulah puncak kerja belajar kami di sini. Yah, meskipun di atas langit ada langit lagi sehingga kata "puncak" itu agak kurang pas, tapi setidaknya itu "puncak sementara" deh. (^_^)V

Nah... karena kebetulan aku sekarang menginjak tahun ke-4 perkuliahan, dan dulu kami dijelaskan bahwa kami punya setidaknya empat dan sebanyaknya enam tahun di sini,
Jadi, dengan tema TA sudah di kepala, dan (baru) akan mulai, maka bolehlah kurasa aku menetapkan tenggat untukku sendiri. Belajar, Rif. Belajar...

Yah, itu niat awalnya. Target, dan kata orang target tak boleh rendah. Sekarang, sepekan berlalu, ternyata TA tak kunjung mulai. Kendalanya klasik: Finansial. Uhh... Payah, kenapa tak bisa kami menggunakan zat-zat untuk industri saja yang *jauh* lebih murah daripada beragam zat yang presisinya, misalnya 98.8% itu. Jadi, setelah aku jalan-jalan dan mencari informasi ke beberapa pedagang bahan-bahan itu, sekarang giliran Dini yang mencari. Semoga kita dapat yang kita cari ya, Din. (",) Andai semua sesuai yang direncanakan, Sebelum mid-semester kami sudah mulai masuk lab, semoga.

AE> Nah, sekiranya semua (baca: betul-betul semuanya) lancar dan 143 hari dari sekarang tiba dengan kamu tersenyum memasukinya, lalu apa?

Pertanyaan bagus. Itu belum masuk rencanaku. Maklum, aku lebih biasa membuat rencana jangka *sangat* pendek dan *sangat* panjang. Jadi, untuk beberapa hari ke depan, rencanaku bisa dikatakan baik lah, terserah bagaimana hasilnya. Untuk jangka *sangat* panjang itu, ehm... Jangan deh, kamu tak perlu tahu dulu. Yang jelas semoga aku dipertemukanNya dengan yang terbaik, dan kalaupun berpisah, maka pisahlah kami atas rencanaNya --tapi semoga tidak dipisahkan, deh.

AE> Kalau tidak?

Yah, kamu pasti tahu kalau rencana sering kandas karena berbagai hal, dan itu terjadi padaku (kuduga) lebih sering dari orang lain --membuatku segan membuat rencana untuk ini itu. Dulu, rencanaku sekolah di SMP tempat banyak teman SD-ku akan melanjutkan sekolah kandas, dan aku sekolah jauh-jauh ke Rawamangun, sebelah kampus UNJ. Kemudian saat melanjutkan ke SMA, juga sama. Temanku banyak melanjutkan ke sekolah yang *hampir* setiap tahun ada bonus libur karena banjir, aku? Di depan Rumah Sakit/Tempat Parkir Pasar Minggu saja. Kemudian, saat kawan-kawanku SPMB, aku tak (bisa) ikut, dan masuk ke tempatku belajar sekarang ini --atas "racun" kawanku yang sekarang begitu melindungi identitasnya, untuk keselamatan semuanya kukira. Ah, Cheppy... Sabtu ini jangan tidak datang, ya!

Sabtu? Oh iya.. Ah, syukurlah sepanjang sisa pekan ini ada yang kutunggu. Buka puasa/Reuni kawan-kawanku dua tahun di SMP. Sabar ya, Rif.. Ah, sudahlah. Tulisan tanpa rencana ini mulai kacau lagi. Nanti kusambung lagi, kalau sempat. (n_n)

F I N
written on 10. Sep 2008, 06:12 WIB
du di du... Amin saudara-saudariku, Amin... :-)

Jumat, 05 September 2008

H -148: Jum'at, seperti biasa

Oke, langsung saja. Hari ini tak ada yang berbeda. 5 hari telah berlalu sejak awal Ramadhan, dan ibadahku tidak bertambah baik dari hari biasa.. Payah... Sekitar 2 hari berlalu dari penawaran harga bahan dari itu perusahaan, dan kemudian ketika diperbandingkan dengan harga dari sebuah toko di Kramat, perbedaannya cukup mencengangkan. Lebih dari sekadar untuk ongkos jalan dan makan, um apa yang kusuka ya? Lebih dari sekadar jalan dan minum es jeruk deh. (n_n)

Hari ini, jika semua berjalan sesuai jadwal, pelaksanaan PPAM (semacam ospek, deh..) di Fakultas kami seharusnya berakhir. Tapi tak kulihat baju kaus biru tipis lengan panjang berbalut jaket kuning itu di kampus. Baru siangnya aku mengetahui sebabnya. Nantilah, akan kuceritakan. Kemudian, kuliah pertama dengan Ibu Yun, dosen yang disebut-sebut menakutkan, ternyata jauh dari yang terbayangkan. Sangat-amat jauh. Ibarat memperbandingkan seekor singa dengan seekor kucing, begitu.

Kemudian, seperti biasa juga, Shalat Jum'at. Masjid UI sebelah danau entah mengapa teramat ramai. Menurut si eM-yU, itu sudah terjadi sejak sepekan sebelumnya. Entahlah, pekan lalu tak pergi aku. Syukur masih dapat tempat aku di sayap kanan, tetapi sebelah belakang, Masjid. Wah, ada layar di belakang mimbar, dan ada slide presentasi di atas layar itu. Duh, ternyata Khatibnya Bapak Kalamullah Ramli, staf pengajar Teknik Elektro kalau itu bisa menjelaskan sesuatu. Bagus isinya, mengenai bulan baik ini sebagai bulan pembersihan, penyucian masing-masing diri. Juga bahwa ciri orang bertaqwa itu terwakili dengan sangat pada orang berpuasa.

Yang menarik, pesan yang secara gamblang beliau ceritakan adalah, bahwa pada masa awal perkuliahan ini, masa di mana berbagai nama kegiatan di berbagai fakultas --pada intinya masa orientasi mahasiswa baru, deh-- tengah ramai berjalan. Bahwa ada tiga (atau dua, menurut Tego) mahasiswa baru yang sampai harus membatalkan puasanya karena berbagai sebab. Wew, seketika itu juga suasana Masjid UI yang sebelumnya sedikit ramai -- ya, percayalah masih ada yang sempat berbincang di tengah-tengah kuliah agama gratis sepekan sekali ini-- menjadi lebih senyap. Kesenyapan yang canggung -- yang sering terjadi padaku kalau ada perempuan di hadapku. Perempuan yang, um... begitulah. [-_-']

Ah, dari situlah, selepas shalat ditunaikan dan manusia-manusia yang tadi memenuhi Masjid mulai bertebaran di muka bumi. Kami --Aku, Tego, dan eM-yU berjalan pulang ke kampus dan dari situlah terkuak alasan mengapa kampus kami seolah sepi dari mahasiswa baru. Kamis malam ternyata ada mahasiswa baru yang kejang. Malam sebelumnya, anak itu tidak sahur, kemudian mengikuti kegiatan itu seharian, diselingi dengan kuliah pula. Kemudian ketika berbuka, belum sempat makan, anak itu meminum obat -- entah apa obatnya. Dari situlah terjadi kasus kejang itu, dan sesuai anggapan beberapa orang -- bad news is good news, maka berembuslah kabar itu sampai ke jajaran petinggi rektorat, atau semacam itulah, dan tiadalah kegiatan orientasi hari Jum'at ini. Yah, apapun yang terjadi, semoga anak itu baik saja. Jangan sampai terjadi yang aneh-aneh.

Yah, tinggal kurang satu jam lagi hari Jum'at ini tersisa pada Waktu Indonesia bagian Barat. Mungkin sebentar lagi aku bisa memejamkan mata setelah tadi shalat Isya' nyaris seperti tak bertulang. Payah, mengapa setiap waktu-waktu itu justru mataku tak kompromi denganku, dan malah terbuka di waktu yang kurang tepat sih...

Kartu ucapan itu, masih berupa dua lembar karton dipotong seukuran lebih dari A4, menunggu untuk digoreskan gambar cakar-ayamku --Hei, biar begitu itu tetap hasil karyaku, bukan? Yah, tak tercapai tenggat yang telah kutetapkan untuk memicuku pada banyak hal. Mungkin harus mundur beberapa langkah dulu, menuliskan tenggat yang baru, dan berusaha lebih keras agar tercapai pelbagai tenggat itu.

Ah... Istirahatlah, besok ada perjalanan yang harus ditempuh -- tak biasa terjadi di akhir pekan, tentu saja, tapi biar. Semoga perjalanan besok bisa mendapati yang kucari, betul Pak Herman? Dini? Selamat istirahat, Rif.. Juga untuk semua yang padanya aku berkakak... Maaf menambah beban sebagai satu lagi 'adik' Mbak dan kakak... (-_-)


F I N
written on 5. Sep 2008, 23:08 WIB
wishing myself lots of luck, and for you, and for her --my precious pearl, too!

Kamis, 04 September 2008

Labil...

Duh......

Kenapa jadi ruwet semuanya yah? Semua dimulai dari bulan lalu, akhir bulan tepatnya, waktu hitung-hitungan SKS. Dihitung-hitung, ternyata ada (sedikit) peluang masa pendidikan sarjanaku berakhir semester ini. Jadilah, dengan PD-nya kulunasi sisa SKS itu --biarpun Pak Dedi sempat berkata juga, "Kamu yakin ambil segini?"...

Awal semester, selepas KP, sebelum mulai perkuliahan Senin (1. Sep) kemarin, rasanya semua demikian mulus. Bahan-bahan untuk memulai tugas akhir sudah ada yang tersedia, dan ada yang sudah akan datang. Kemudian soal laporan KP, hm.. Biar si Amin yang urus. :p

Tapi....

Waktu yang sangat singkat bisa membalik semuanya. Sekarang, setelah jurnal-jurnal dan artikel-artikel kubaca kembali, ada bahan tambahan yang perlu dicari --dan tidak murah... *keluh*. Kemudian, ada pula soal presentasi KP. Ditambah banyak lagi urusan penting-tidak penting --macam rencana merakit tempat lilin model baru, menulis kartu ucapan 'Id Fitri untuk kemudian kukirimkan via pos ke..... ada deh, mau-tau-aja... (",), dan banyak lagi.

Jangan lupa, tambahkan pula jadwal kuliah yang... Ah... menyebalkan... Selasa-Rabu, terutama. Bukan apa-apa, tetapi jadwal terakhir dua hari itu berakhir pada, coba tebak, 17.00 dan 17.30 WIB. Memang kalau pada bulan lain, itu tak masalah. Yang jadi masalah, jam-jam itu, pada bulan ini, bukan jam yang tepat untuk berada di jalan menjelang saat berbuka puasa. Semua orang, kalau boleh kukatakan demikian, berada di jalan, entah untuk mencari hidangan berbuka, juga untuk "absen" di rumah saat Adzan Maghrib menjelang. Yang jelas, kemarin di beberapa persimpangan jalan kemarin, aku yang bermotor hampir sebanyak itu pulalah terjebak di tengah keruwetan lalu lintas, di mana lema "mengalah" dan "memberi jalan" sudah dicoret dari kamus kebanyakan orang.

Uhh.... Sekian lama isi pikiranku tak pernah terasa demikian rumit. Biasanya, semua berlalu tanpa berisik, dalam diam. Sekarang, macam-macam isi kepala ini membuat seolah kepalaku hendak dipecah jadi banyak bagian. Mungkin kalau bisa demikian lebih baik, membuat masing-masing kepala bisa berpikir untuk urusannya masing-masing, tidak sekacau sekarang.

Ahh, sedikit yang bisa melegakan adalah, orang-orang tercinta di sekitarku masih bisa menatap dunia, menghirup sedapnya embun pagi, tersenyum, terbahak, tergelak. Biarlah, biar aku tersenyum bersama mereka. Tak perlu tahu mereka, apa yang sedang bergejolak di kepala, juga di hatiku --di mana kurasa ada sebutir benih tengah terkembang di padang tandus tak terurus...

Waktu.. Waktu... Tak bisakah kuputar kembali, biar bisa kulalui banyak jalan yang berbeda dari yang telah kujalani? Yah, biarpun tak tahu pula aku ke mana jalan-jalan itu menuju, tapi pastilah hasilnya lain dengan yang kuterima sekarang, kan? Uff....

F I N
written on 4. Sep 2008, 12.58 WIB

Tahukah, Kak? Senyummu bahagiaku.

Selasa, 02 September 2008

Obituari: Ir. Bustanul Arifin, M.Phil.Eng (4. Aug 1946 - 25. Aug 2008)

25. Agustus 2008, 21:00 WIB, Rumah Sakit Islam Pondok Kopi, Jakarta Timur. Saat itulah terakhir kali dosenku tercinta, ayah dari anak-anak beliau, suami dari istri beliau, Bapak Ir. Bustanul Arifin, M.Phil.Eng, atau lebih banyak dikenal sebagai Pak Bus, menghembuskan nafas terakhir beliau di atas bumi ini. Pak Bus, izinkan aku menulis sedikit tentangmu, dosen yang luar biasa yang mencintai jurusan Metalurgi ini dengan kecintaan yang besar. Dosen yang berpulang setelah berjuang melawan kanker paru yang merongrong kekuatan, kehangatan, dan keceriaan beliau.

Pertama kali aku menemui beliau adalah pada saat PPAM (Proses Pembekalan Anggota Muda, mungkin serupa ospek di tempat lain) yang berjalan melewati masa kuliah. Saat itu, kami yang lelah dengan tugas-tugas segala macam dari senior yang membuat kami 60-an orang (minus beberapa yang sakit) kumpul bersama dan terjaga semalam suntuk (meskipun aku tidur cepat juga, maaf ya semuanya, Cicis, Lulus, Bonex, semuanya deh). Lelah betul, karena sebelum masuk kuliah kami dibariskan, disemprot omelan senior, ditanya "berapa jumlah kalian, Dik?!" yang kalau dijawab sebanyak jumlah kami yang hadir, kami disemprot, kalau disebut satu maka kami pun disemprot pula.

Ah, lupakan itu, tak ikut aku --memenuhi ucapanku selepas acara itu-- pada tahun-tahun berikutnya. Yang jelas, hari itu, Rabu kalau tak salah, kelas Pengenalan Material Teknik (PMT) di ruang GK 302 saat itu, kami disambut dua orang dosen, seorang Ibu --Bu Bondan Tiara Sofyan, dan Pak Bus sendiri. Saat itu, cukup khawatir juga aku dengan pembawaan beliau yang terkesan "angker", keras, dan semacamnya. Demikianlah, kadang memang terlalu mudah menilai buku dari sampulnya.

Yang terjadi saat kelas dimulai, memang sedikit banyak membenarkan apa yang ada di kepalaku. Gaya bicara beliau tegas, juga agak keras. Tetapi yang terjadi kemudian, dengan semakin cairnya suasana, dan semuanya, nampaklah sisi lain beliau yang tak nampak pada pandangan pertama. Beliau ternyata gemar melemparkan guyonan segar, dan tak terduga. Banyak di antaranya memang mempermudah pemahaman kami terhadap apa yang beliau dan Bu Bondan ajarkan.

Sedikit yang kukenang di antaranya saat membahas tentang, um, ketahanan impak (benturan). Beliau mengambil contoh dari film "Titanic" (1998), dengan mengatakan. "Inget nggak lu (beliau banyak menggunakan lu-gue dalam keseharian dengan mahasiswa) film "Titanic"?". Tentu saja, mengingat populernya film itu dulu, kami menjawab dalam koor "Ingat, Pak..". Lalu apa yang beliau katakan? "Inget yang mana lu, bukan yang bagian begini" (sembari menirukan gerakan tangan tokoh Rose di dalam mobil itu). Kontan saja kami terbahak bersama, dan beliau pun kemudian menerangkan bahwa baja --bahan kapal HMS Titanic-- yang ulet pada suhu ruang bisa demikian getas (rapuh/mudah patah) pada suhu yang rendah.

Kemudian satu lagi terkait impak juga. "Lu kalau nggak tau soal begini (impak), bisa-bisa 'ngirim (kick-) starter Vespa ke Rusia, pas musim dingin. Lu genjot itu Vespa, nyala kagak, biji (ehm, maaf ini ucapan beliau menurut si Odie) Lu pecah yang ada." lebih kurang demikian ucapan beliau, maaf kalau redaksinya ada yang salah.

Sayang sekali jalan kami berbeda, karena peminatan Polimer yang kuambil tidak mewajibkan mata kuliah Logam (yang beberapa di antaranya beliau ajarkan), jadilah jarang kami bertemu di kelas, dan jarang pula kami bertemu di jalan. Tetapi sikap hangat beliau kepada kami tetap ada selalu. Saat hendak menuju mobilnya di belakang gedung jurusan, kami --yang sedang berkumpul di gazebo metalurgi-- selalu sempat bercanda dengan beliau. Ada saja yang bisa dijadikan bahan candaan, mulai dari, "Ngapain Lu di sini", "kapan Lu traktir Gue", dan banyak lagi.

Banyak cerita tentang beliau, karena beliau sendiri termasuk pionir bagi jurusan kami. Beliau adalah mahasiswa angkatan pertama (1965) dan termasuk lulusan awal jurusan kami ini. Beliau juga, menurut cerita yang kudengar, membantu Pak Topo, dosen kami yang lain --yang memberi si :-D buatku, uh...-- melamarkan (atau seperti itulah yang kudengar) istri beliau. Juga banyak cerita lain yang takkan cukup halaman ini membahasnya.

Yah, sayang beribu sayang, kini beliau telah pergi. Pun demikian, tetap hidup beliau dalam kenangan kami. Padahal semester ini, rencananya aku akan mengambil mata kuliah yang beliau ajar (kalau tak salah ingat) bersama Pak Bambang atau Pak Sri (maaf, aku lupa.. Ups..), tetapi kini sepertinya takkan kami temukan lagi dosen yang setaraf beliau.

Kini, tanah merah di pekuburan Tanah Merah, Pondok Kelapa telah menutupi jasad beliau. Kembali beliau kepada Sang Pencipta, dengan diiringi doa keluarga beliau, rekan-rekan dosen dan staf UI, dan terutama jurusan Metalurgi, dan juga kami, Mahasiswa beliau yang akan merindukan beliau --setidaknya aku. Air mata telah kering, tetapi mulut kami, semoga, tak henti basah dengan doa agar amal, ibadah, juga ilmu yang telah beliau berikan sepanjang hayatnya berguna bagi yang menerimanya, dan diterima di sisiNya, juga agar kelapangan yang beliau rasakan di alam setelah kehidupan ini. Selamat jalan, Pak Bus. Semoga tenang engkau dalam perjalanan panjang ini, dan semoga kembali engkau kepadaNya. Selamat jalan.


F I N
Maaf, Pak. Hanya C yang aku bisa raih di mata kuliah satu-satunya yang kita pernah engkau usahakan ajarkan pada kami. Maaf...