Senin, 29 September 2008

Monas itu.... (bagian 2)

Ya... Jadi sampai di mana kita kemarin (dulu). :p Oh iya, "Tujuan berikut: Museum di lantai bawah", ya? Baik, baik.. Mari kita lanjutkan...

***
Jadi, museum itu bernama "Museum Sejarah Nasional". Hah? Museum? Pasti membosankan. Yah, boleh lah disebut demikian. Yang jelas, museum yang berada satu lantai di bawah cawan tugu ini adalah tempat yang PALING sejuk di Monas hari kemarin itu. Kombinasi ruangan yang tertutup, pengatur udara, dan lampu yang temaram membuat suasana di luar rasanya seperti matahari demikian dekat saja.

Museum ini dapat dimasuki dari sisi barat dan timur tugu, dengan tangga yang dilengkapi sistem mutakhir untuk penyandang cacat. Sistem ini seperti elevator, tetapi dioperasikan dengan menekan tombol-tombol yang ada di boks untuk satu kursi roda beserta penumpangnya. Sayangnya.... Satu: Tidak ada petunjuk jelas mengenai fungsi tiap-tiap tombol itu. Dua: Ini yang paling penting. Bagaimana caranya penyandang cacat tubuh dengan kursi roda bisa naik ke bawah lindungan cawan kalau tidak ada lereng di tangga untuk mereka naiki? Jadi, seperti juga lereng curam di jembatan penyeberangan, trotoar yang tidak disediakan lereng untuk mereka menyeberang, dan banyak lagi, sistem ini SIA-SIA.

Mungkin kalau dilakukan analisis mendalam sebelum sistem ini diterapkan bisa jadi tidak sia-sia, tapi mau berkata apa kalau nasi sudah jadi bubur? Ini juga kekurangan banyak pengambil kebijakan sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat seolah tak sinkron satu dan lainnya, dengan kata lain: Berpikir linier. Ah, cukuplah masalah berpikir linier vs siklik/sirkuler, nanti saja kalau aku ingat akan kubahas.

Jadi, kembali ke museum tadi, apa saja sih, isinya? Sebagian besar adalah diorama, yang dibagi dalam 6 sisi diorama --satu di masing-masing dari empat sisi, dan dua lagi ada di tengah-tengah (di fondasi monas, kuduga). Diorama itu disusun secara kronologis, jadi terurut skala waktulah, mudahnya. Sisi pertama terletak di selatan (entahlah, di dalam aku kehilangan kesadaran arah sih... :-P). Pada sisi ini, digambarkan manusia-manusia Purba (bah, tak rela aku berasal dari mereka), juga mulai masa awal kerajaan di Nusantara, terutama Majapahit. Begitu pula di sisi kedua, masih ada dari Masa Majapahit, Kerajaan Islam Demak, dan semacamnya. Di sisi ini barulah aku tahu arti Palapa dalam Sumpah Gajah Mada itu. Palapa, yang dalam keterangan diorama Bahasa Indonesia dibiarkan sebagai Palapa, diartikan sebagai "rice with side dishes" dalam Bahasa Inggris. Jadi, Palapa itu bukan buah (seperti yang diajarkan guruku dulu), tetapi nasi dan lauk-pauknya. Nasi timbel mungkin kalau dipadankan dengan masa sekarang.

Kemudian masih di sisi kedua adalah masa pergerakan. Dari Perang Diponegoro yang berlangsung selepas Maghrib. Ups, maksudnya dari tahun 1825-1830, Perang Paderi di Bonjol, Perang Aceh yang paling lama, Perang Balige, Puputan Jagaraga di Bali, Perang Banjar oleh Pangeran Antasari, Perang di Sulawesi, hingga jatuhnya benteng Saparua di Maluku oleh Kapitan Pattimura.

Kemudian beranjak ke sisi ketiga, adalah masa Revolusi kecerdasan. Di sini digambarkan rapat-rapat pelajar di STOVIA membentuk organisasi Budi Oetomo, Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara, RA Kartini yang bukunya di luar negeri disebutkan berjudul "The Javanese Princess", dan banyak lagi yang aku lupa. :P

Lalu di sisi keempat, lima, dan enam, ada masa-masa kemerdekaan, juga perjuangan mempertahankannya. Kemudian juga masa-masa relatif modern, semisal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian (sekarang Papua), juga KTT Gerakan Non-Blok, dan banyak lagi sampai Hari Teknologi Nasional yang dicanangkan jatuh pada hari diselesaikannya (betulkah? Perbaiki kalau aku salah) pesawat N-250 "Gatot Kaca" produksi anak negeri.

Tapi... Kalau ada salah penyebutan diorama dan tempatnya..... Ya maaf! He he he... Biarpun aku (merasa) punya ingatan fotografis (he he...), tapi kalau tidak betul-betul diingat ya jatuhnya lupa lagi, lupa lagi... Yah, begitulah. Diorama-dioramanya agak menyeramkan juga sebetulnya, karena pencahayaannya relatif minim di sebagian besar diorama. Tapi kalau dikunjungi beramai-ramai, apalagi ada yang lebih mengerti sejarah dan rela menjelaskannya, bisa jadi menyenangkan juga berkunjung ke bawah situ.

Dann... Setelah puas (baca: capai) berkeliling museum itu, ditambah ternyata fasilitas komputer berinternet sedang tidak berfungsi (huh...), aku pun memutuskan menyudahi kunjungan ke Monas. Lagipula, waktu saat itu sudah di angka setengah duabelas siang. Jadi, tujuan berikut: Masjid Istiqlal. Sebelumnya... Wahh.. Masih ada sisa 4 frame di kamera. Jadilah dua gambar dari sisi, um... utara mungkin, dan satu dari arah timur laut. Satu lagi? Hm.. Jatah kembang kertas (bougenville) di sisi timur laut Monas deh. Kan ceritanya foto makro... (Tapi baru sadar sekarang, kenapa latarnya bukan tugunya yah? Huh.. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna).

Nah, setelah terdengar suara klik tanda rol film selesai digulung, aku pun berjalanlah ke Masjid yang (dulu) terbesar di Asia Tenggara (sekarang masihkah?). Karena ukurannya yang besar, seolah-olah Istiqlal itu demikian dekat dari Monas. Tapi ternyata... Di arah timur laut Monas tidak ada penyeberangan (zebra cross). Waduh? Jadilah aku berjalan dulu ke depan Departemen Dalam Negeri, di sana ada satu zebra cross. Tapi entah karena memang tanganku tak lagi sakti atau mereka yang memang bebal, tak ada yang berhenti memberi jalan? Mana nih, filosofi zebra cross dibuat tidak di persimpangan/lampu lalu lintas agar kendaraan berhenti untuk memberi jalan pembuatnya, manusia? Ah, bukan di sini mungkin, tapi di negeri-negeri tempat Pak Herman bersekolah lanjut dulu.

Sudah, lupakan. Kemudian jalan terus melewati Markas Besar TNI (AD?) yang di depan kompleksnya ada papan bertulis "dilarang memotret". Hiy.. Coba kalau masih ada frame di kamera, dan aku terlambat membaca peringatan itu. Bisa-bisa dikepruk dengan kamera kepalaku. Sayang kamera ayah dong... He he he..

Dan kemudian, setelah berjalan lebih kurang sepuluh-duabelas menit, sampailah aku ke Masjid Istiqlal. Masjid ini besar, masif, "bulky", berat, dan semuanya deh. Bangunannya besar, ditopang pilar-pilar yang tak kalah besarnya. Kesannya memang agung, tetapi entah mengapa berkesan angkuh pula. Ahh.. Sepertinya yang paling baik yang pernah kukunjungi adalah Masjid UI Depok, dengan pilar-pilar kecilnya menopang, ketiadaan dinding membuat kesan Masjid UI ini lebih terbuka. Ups, sudahlah. Toh saat itu kita di Istiqlal.

Jadi, tempat berwudhu'nya ada di dalam, lantai dasar. Sayap timur (???) untuk laki-laki, barat (sama-sama bingung arahnya, jadi "???" juga) untuk perempuan. Kerannya berbeda, ada pembatas untuk masing-masing keran yang disusun serupa segi enam beraturan. Pembatas ini bagus, berguna sekali untuk mencegah orang yang wudhu' menciprati orang lainnya. Lalu, lepas berwudhu', naiklah aku ke lantai dua yang luas, sangat luas malah. Entah berapa buah kamarku bisa masuk ke dalamnya. Di ruang shalat ini, seluruh lantainya dilapisi karpet, berwarna merah, um, merah darah yang tidak menyolok. Di depan, di atas mihrab, ada penunjuk waktu digital --yang kurasa bisa memecah konsentrasi kalau sudah mendekati Maghrib karena keakuratannya, n_n. Dan untuk shalat Dzuhur ini, jama'ah perempuan ditempatkan di sisi selatan bersisian dengan jama'ah laki-laki. Agak aneh memang, sebab biasanya jama'ah perempuan ditempatkan di sebelah belakang jama'ah laki-laki.

Dan... Tak perlu kuceritakan tentang shalat Dzuhur yah? Jadi intinya, selesai Dzuhur, aku pulang, memutuskan menaiki TransJakarta, alih-alih kereta, lagi --yang terbukti salah karena ternyata menunggunya lama minta ampun--, Kemudian setengah tiga sore, sudah sampailah aku di rumah. Berganti pakaian, menyalakan kipas angin, dan.... terkaparlah aku langsung karena banyak berjalan hari itu. Saat terbangun, ternyata sudah setengah jam Maghrib! Duh. Sudah deh, dicukupkan saja sampai di sini. Selamat berbuka puasa... Eh.. Masih lama, ding! :-P


F I N
written on 29. September 2008, 16.30 WIB
Libur telah tiba.. Surat sudah dikirim.. Horey! Horey! Horey! Horee....



Tidak ada komentar: