Selasa, 23 September 2008

D -130:Penimbang atau Peragu?

Yap, dua kata serupa tapi tak sama di atas tepat sekali menggambarkanku. Sekarang, kemarin, kemarin dulu, entah esok. Peragu adalah orang yang ragu-ragu, sedangkan penimbang adalah orang yang memberi pertimbangan --menurut KBBI dalam jaringan. Kalau dipertajam lagi, penimbang kuartikan orang yang penuh pertimbangan. Sedikit bukan, selisihnya?

Saat ada dua jalan membentang di hadapan, dan kaki melangkah perlahan melalui satu jalan, dan tak bisa berhenti menatap ke perpisahan jalan, itulah saat penuh keraguan, menurutku. Saat ada dua jalan membentang, dan kaki tertahan di perpisahan jalan itu sebelum melangkah tegap melalui salah satu jalan, itulah jalan yang dipilih atas pertimbangan. Sedikit bukan, selisihnya?

Yah, mari kembali ke kehidupan. Tugas akhir yang belum (juga) dimulai karena bahan yang dipesan tak kunjung datang. Keperluan bahan lain datang, dan bahan itu mengundang keraguan --atau pertimbangan? Zat itu elektrolit (kompleks?) triiodida/iodida. Menurut kepala kerasku, itu *hanya* didapat dari persenyawaan ion Iodin, I-, dan Iodium, I2. Bapak yang memperjualbelikan bahan itu menyatakan tak ada KI3- itu, dan hanya ada kalium/potasium Iodat KIO3. Dini, rekanku di tugas ini, mempersamakan kedua zat itu. Aku? Kukuh di pendirianku bahwa yang ditawarkan tak sama dengan keperluan, dan bilapun dipaksakan, bisa jadi tak kami dapat hasil yang kami inginkan.

Dan, jadilah kemarin itu setengah hari aku berdebat dengan Dini, aku di Rumah Sakit --menjenguk nenekku yang kambuh penyakit parunya-- dan Dini di kampus --bersama Pak Herman. Kebetulan Senin hari tanpa jadwal kuliah untukku. Yahh, pada akhirnya memang aku yang --kalau boleh dibilang-- menang, dan bahan itu belum dipesan dulu, setidaknya sekarang.

Keraguan, penghambat perkembanganku, aku tahu itu. Masalahnya kenapa tak kunjung kubuang kata yang satu itu dari kamusku yah? Entahlah. Tercampur dengan lema pertimbangan, kuduga. Ragu saat memilih sekolah menengah pertama jauh dari kawanku dulu? Tidak juga, pertimbanganku sederhana:hari Sabtu libur --hal yang langka di masa itu. Menarik berkas pendaftaran dari sekolah yang (juga) banyak dipilih temanku selepas SMP? Itu karena nilai tak mencukupi --meskipun entah bagaimana caranya, namaku dan nilaiku masih terpampang di daftar siswa diterima di papan bawah urutan di hari terakhir pendaftaran-- juga karena tempatnya *cukup* jauh dari rumah. Jadi, aku penuh keraguan?

Mari menilai lagi.. Boleh aku minta waktu bicara dengan diriku yang lain? "Kartu ucapan 'Id Fitri itu, mengapa tak kunjung kau selesaikan?" "Entahlah, tebersit rasa tak yakin kartu itu akan pernah sampai ke penerimanya nun di seberang lautan sana." "Kata-kata 'itu', janji-janji 'itu', mengapa tak kau tepati dulu?" "Entah, aku takut kalau kata 'itu' benar terwujud, benar diterima dengan penerimaan yang baik, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. 'Itu' bukan puncak pencapaian apapun kan?" "
Tak heran tiada seorang pun pernah mendapat gelar 'mantan' itu darimu yach? Heyy... Tak boleh ada yang tersakiti, tahu?!" Jadi, aku penuh pertimbangan, bukan?

Ahh... Entahlah. Satu yang bisa kutarik sementara ini adalah, kesimpulan bahwa pertimbangan mempergunakan hati dan otak sama besarnya. Memaksimalkan logika, menghitung dengan seksama. Sedang keraguan, tak jauh dari hati. Karena keraguan itu tak pernah beralasan kuat.. Kalau beralasan kuat, tentu ia akan menjadi pertimbangan, bukan?


F I N
written on 23. September 2008, 18.49 WIB
So, give up the cam and games and work harder, will you? Your Final won't finish on its own... Btw, don't let the receiver wait for his/her card too long, will you? :-P

Tidak ada komentar: