Minggu, 28 September 2008

Monas itu Monumen Nasional

Jadi, Monumen Nasional atau kita kenal karib sebagai Monas itu pertama kali dimulai secara resmi pada 1961, dengan pemancangan tiang perdana oleh Presiden pada masa itu, Pak Ir. Soekarno. Kemudian, pembangunannya memakan waktu lebih kurang 4 tahun dengan tugu selesai pada 1965. Ah, sudahlah! Mari kita maju sampai 27. September 2008...

***
Jadi tadi pagi aku pamit pada Ayah juga Ibu, ditanya pergi dengan siapa, dan kubilang sendiri saja. Demikian, jadilah berangkat aku lepas pukul 9.00. Perjalanan diawali dari rumah, ke gang depan, menyetop angkot nomor 17, yang sedikit banyak menasional karena kasus pembuangan mayat oleh R dari Jombang itu, menuju perhentian bus transjakarta di seberang Kantor Departemen Pertanian. Selembar kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol bertukar tempat dengan selembar ribuan dan sekeping limaratus rupiah, serta kertas tiket. Hm... Tiket kertas yang agak boros karena memang tak pernah diperiksa lagi sebetulnya. Lupakanlah.

Kemudian, lima menit duduk menanti, tibalah juga bus besar berpintu enam itu. Kosong, tentu saja, karena perhentian itu baru perhentian kedua setelah terminal Ragunan. **dipercepat** Tigapuluh lima menit berlalu, dan tibalah bus itu di perhentian Dukuh Atas (2), tempat berpindah bus jurusan Kota. Dari situlah nanti aku akan dibawa ke Monas tujuanku. Proses transitnya, tidak ada yang aneh, hanya saja karena memang hari cukup terik dan penumpang yang bermaksud sama denganku harus berjalan melewati jembatan yang cukup jauh.

Jadi, tiga (atau empat) perhentian, dan pengeras suara dalam bus pun berseru, "Pemberhentian berikutnya. Halte Monumen Nasional. Next Stop. Monumen Nasional Shelter." Maka aku pun turunlah. Menyeberang jalan, karena memang perhentiannya ada di tengah-tengah jalan, aku pun kemudian bingung. Ada yang bilang celingak-celinguk. Pintu masuknya di mana yah? Tuh kan, sudah kubilang, bahkan penduduk Jakarta pun bisa tersesat dengan sukses di kotanya sendiri! Jadilah berjalan aku ke arah Selatan, melalui pos polisi. Tetapi... Karena sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan, ups, maksudnya tak nampak ada yang berjaga di pos tersebut, jadilah aku berjalan terus saja sampai kutemukan tulisan, "Pintu masuk Monas -> 175 m". Hm... 175 meter? Jauh nggak sih?

Yah, masa bodoh lah, kaki melangkah terus, memandang gedung-gedung tinggi di jantung Jakarta, kemudian sedih juga melihat penjual makanan-minuman-dan-lain-lain (baca: pedagang asongan) yang berjuang sungguh-sungguh hanya demi bisa hidup di Ibu kota ini. Yahh, jadi khawatir sendiri kan.. Sebentar lagi akan ada satu penganggur baru lagi bergelar ST.. Na'udzubillahi min dzalik...

Jadi, setelah berjalan entah berapa meter, menemui bundaran entah-apa-namanya dan berbelok ke kiri, kutemukan juga akhirnya pintu gerbang yang di atasnya bertulis "pintu masuk" --walaupun di pagar baja itu tergantung tanda negatif putih berlatar merah, aduh... Kemudian, berjalan balik ke utara, menuju Monas yang berdiri tinggi di depan. 115 meter tingginya (seingatku tanpa tambahan efek api berlapis emas itu). Ada anak kecil bersepeda, dengan ayah dan ibunya sedang membuka pembungkus dari sepeda mereka.. Wuih... "Brand new", begitu pikirku sambil nyengir kuda. Ah, sudahlah.. Biar saja, toh sepertinya mereka keluarga ekspatriat juga. (Apa hubungannya?)

Kemudian, ketika Monas sudah semakin jelas terlihat, dengan taman di sekelilingnya "ditanami" bunga bangkai (A. titanum). Kenapa "ditanami"? Karena yang paling legendaris dari bunga itu adalah, ada yang tahu? Baunya tentu saja. Tapi karena aku di sana dan tidak tercium aroma apa-apa, maka.... Setelah kulihat lebih dekat ternyata itu kembang beton. Huhh.. Ada-ada saja. Mengecewakan nih, untuk yang belum pernah melihat rupa bunga bangkai yang katanya bisa tumbuh sampai dua-tiga meter ini.

Jadi, kaki terus melangkah, melewati jalan panas dari silang Monas, karena memang tak ada pohon peneduh di silang Monas itu. Kemudian sampailah aku di bagian utara tugu, menuju loket karcis masuk ke Monas. Yap, bagian utara. Jadi aku tadi berjalan menyusuri tepat seluruh bagian silang Monas Barat Daya, mengitari hampir setengah bagian tugu, kemudian baru tibalah aku ke menuju loket. Menuju, sebab masih perlu usaha lagi sampai ke tempat penjualan karcis di bawah jalan silang Monas. Duhh... Sabar, sabar..

Hmm... Dari mulut dan sepanjang tangga turun, kutemukan beberapa penjual dengan beragam jasa dan barang dijual. Masih agak sepi, mungkin karena waktu saat itu menunjukkan **sekitar** pukul 10.45 WIB. Oh iya, yang mereka jual itu, ada yang menjual jasa foto ("Foto dengan Monas, langsung jadi, Rp 20.000"), kemudian ada pula yang menjual bermacam cinderamata dari kayu dan plastik (eh, yang terakhir ini kurang yakin keberadaannya. :-P). Ah, sudahlah.. Tak cukup kubawa uang untuk cinderamata itu, dan soal foto, nanti saja setelah kita lihat Jakarta dari atas bukit, eh, Monas... He he he..

Jadi, tangga itu menurun, sekali masing-masing ke arah barat, utara, dan timur. Kemudian sampai di (bekas) loket karcis. Ada tulisan, seingatku "Pengunjung Monas langsung masuk. Loket ada di dalam". Di dalam di sini, maksudnya selepas terowongan yang (kuduga) melintas di bawah jalan di bagian utara tugu. Uff... Latihan kaki lagi nih, setelah lumayan lama tak berjalan **cukup** jauh. Akhirnya... Setelah jalan ke selatan (lagi), hanya kali ini dalam terowongan yang lebih sejuk (pastinya) daripada di luar, sampailah aku ke loket. Di sana, selain penjaga/penjual karcis yang selalu stand by, sudah ada sepasang wisatawan asal Jepang, dan wisatawan lokal, lalu aku. Wisatawan Jepang itu cukup bingung juga ketika diminta uang kecil (seorang di antaranya hendak membayar dengan selembar seratus ribuan). Disebutkan oleh pak Penjaga "Tujuhbelas ribu, Seventeen thousand". Yang dikeluarkan? Tujuh ribu saja, saudara-saudari. Kemudian, ketika diminta sepuluh ribu yang kurang lagi, malah dia hendak mengeluarkan kembali kertas bergambar duet Ir. Soekarno-Mr. M Hatta. Yah, akhirnya setelah dipandu (baca: dipilihkan uang di tangannya yang sesuai oleh Bapak Penjaga loket), lunaslah transaksi beda negara ini.

Kemudian... Naik tangga lagi (kebalikan formasi tangga awal, he he) kemudian melihat Monas hanya sepelemparan batu jauhnya (hey! Jangko lempar-lempar batu sembunyi tangan! :-P). Kemudian, yang pertama terpikir.. "Naik ke puncak, lihat Jakarta, ambil foto, turun, Dzuhur, pulang". Ups, yah, jadinya yang pertama dan seterusnya deh..

Kemudian, masuk aku ke pintu yang terbuka di bagian utara tugu, di dasar cawan. Kedua pria Jepang tadi dengan segera disambut dengan keramahan pemandu wisata yang cas-cis-cus berbahasa Jepang ria dengan kedua orang itu. Duh, daripada bingung, jadi naiklah aku ke tangga yang ada di sisi kanan ruangan itu (karena pintu ke kiri dikunci). Saat naik.... DOR!!! Yang ada adalah "Ruang Kemerdekaan" (menurut yang kudengar, seharusnya ada pemutaran film di sini). Tapi... Ruang itu setengah gelap. Yang ada malah sepasang pria dan perempuannya, entah siapa mereka bagi yang lain. "Duh.. Pikirkan Rif... Jangan sampai terlihat seperti orang tersasar." Ha ha... Memang kadang malu juga dengan ungkapan "malu bertanya sesat di jalan", tetapi karena memang aku sedang berjalan-jalan, jadilah itu kupelintir jadi "nggak usah tanya, namanya juga jalan-jalan". He he he...

Jadi, aku memandang sekitar, melihat ada tulisan dan membacanya, kemudian turun kembali. Ada untungnya kadang berkulit agak gelap, mengingat temanku Annisa --yang kebetulan **jauh** lebih cerah dariku-- demikian mudah merona merah kalau sedang tersipu. Syukur deh, jadi lolos dari maut, eh, malu... ^_^

Kemudian, karena **sudah** sadar aku memasuki pintu yang salah --yang hanya berisi maket Monas dan sekitarnya-- aku pun berputarlah ke pintu yang satunya lagi di sisi selatan tugu. Hmm... Sepi sekali, lain dengan terakhir kali aku kemari waktu itu. Yang dimaksud sepi di sini, sepi pada antrian elevator (beberapa lebih mengenalnya sebagai lift) menuju puncak tugu. Yap, sepi sekali sampai saat elevator tiba (kosong) hanya aku sendiri, dan penunggu elevator yang naik ke lantai 3. Hush, penunggu di sini bukan apa-apa, hanya seorang bapak pengantar elevator yang kecapaian dan sepertinya tidak hendak mengobrol dan setengah mengantuk. Juga soal lantai ini agak tidak umum juga, sebab di gedung bertingkat, biasanya jarak tiap lantai sama sehingga waktu tempuhnya relatif sama pula. Di tugu Monas ini, yang disebut lantai 3 adalah puncak tugu, 2 adalah cawan monas, dan 1 adalah dasar cawan. Yah, jadilah aku malah komat-kamit sendiri, khawatir kejadian dulu saat elevator monas mengalami gangguan terulang pada saat aku di dalam elevator itu. Hiiy...

Dan...... Sampailah kami di puncak tugu monas, di bawah "api" yang nampak menyala yang memuncaki Monas sepenuhnya. Wahh... Pemandangannya luas. Tidak indah sih, karena sepertinya semakin ke sini Jakarta semakin diselubungi berbagai asap. Asap-asap itu menutupi pemandangan yang semestinya bisa sangat luas. Di selatan, di daerah Kuningan dan Jl. Jenderal Sudirman-MH Thamrin, gedung-gedung perkantoran dan rumah susun tinggi menjulang. Sayang tidak nampak lagi apa yang ada di baliknya. Itu tadi, asapnya cukup tebal.. Kemudian arah Barat, ada gedung-gedung yang relatif lebih pendek dari gedung di daerah bisnis tadi, juga menyempil gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang megah dan berpenampilan eksentrik di tengah-tengah bangunan yang sebagian besar berwarna putih. Gedung MK ini, sendirian, bernuansa keabu-abuan, bergaya seperti bangunan romawi (atau yunani yah? Entah) dengan pilar-pilar yang tinggi, dan ditutupi kubah di atas atapnya. Wah, arsiteknya atau siapa ya, yang kurang memperhatikan penyatuan dengan lingkungan sekeliling... Hmm...

Lalu di Timur, nampak Stasiun Gambir. Stasiun di mana kereta rel listrik (KRL) Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) kelas ekonomi berlaku sebagaimana KRL ekspres di stasiun lain: tidak berhenti! Lalu di utara, ada Mahkamah Agung, Sekretariat Negara, Bina Grha, Markas Besar TNI (AD? Maaf lupa...), dan tak ketinggalan, Istana Negara. Lebih jauh ke utara, kuduga semestinya kita bisa melihat laut, tapi karena awan dan asap itu menutupinya, jadilah hanya hotel-hotel tinggi dan bangunan lain yang nampak. Ahh... Sayang sekali. Ya sudah, jadilah 25 frame yang tersisa dibantai sebagian besar di situ.

Ada yang unik. Pemandu wisata (lain?) yang memandu wisman entah-dari-mana-yang-jelas-mereka-pirang berkata, "Do you know my house?" (kurasa mestinya: "Do you want to know my home?"). "That is my house, yes, that." (mungkin: There is my home, yes, that one.") sambil menunjuk arah barat laut. Ha ha... Senangnya bisa sedemikian komunikatif.

Kemudian, setelah sekitar 15 menit di atas, dan puas memotret, maka turunlah aku dan beberapa orang lain sampai memenuhi elevator turun. Bel berbunyi dan sampai di cawan. Hanya aku yang turun (siapa lagi orang aneh yang mau berpanas-panas di cawan tanpa perlindungan selain kamu, Rif?). Satu gambar lagi diambil, dan turunlah aku kemudian lewat tangga. Tujuan berikut: Museum di lantai bawah.

*** Akan berlanjut. Maaf agak capai juga menulis ini, dan aku juga masih perlu tidur dulu... Maaf yahh...***

(sementara) F I N
written 'til 28. Sep 2008, 01.07 WIB
** Hoahem.. Ngantuk.. Ih, panjang juga yah? Dasar Melayu! :P Ups, bercanda kok..**

Tidak ada komentar: