Jumat, 31 Desember 2010

Setahun bersama (1)

29. Dezember 2009, senjakala. Saat itu, aku berangkat ke daerah Permata Hijau, Jakarta Selatan/Barat untuk 'menebus' satu alat yang telah setahun lebih aku idamkan: Kamera digital refleks lensa tunggal. Bekas, memang, tetapi tak mengapa pikirku saat itu. Sebab pilihan lain yang tersedia adalah kamera yang, meskipun baru, tetapi dalam beberapa hal kemampuannya tidak menyamai pilihanku saat itu.

Senja itu Alfian dan aku menempuh perjalanan Depok - PH bermotor, pada dua sepeda motor yang berbeda. Di tengah jalan, kaca helm Fian tiba-tiba terbang dan raib entah ke mana. Ha ha! Bayangkan helm yang menutupi wajah seluruhnya lalu kehilangan kaca? Dan kaca tersebut baru diganti hampir setahun kemudian? Begitulah.

Oh iya, kami tiba di sana, di kantor tempat pemilik kamera tersebut bekerja, tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Kami disambut rekan beliau, mempersilakan kami masuk, dan kami pun dipertemukan dengan pemilik kamera tersebut. Adi namanya, karyawan di kantor tersebut. Coba kuingat, kalau tidak salah, beliau pernah satu semester kuliah kedokteran, meskipun akhirnya berakhir mengambil jurusan arsitektur. Perubahan yang drastis. Beliau juga telah menikah, dan kalau tidak salah, belum mempunyai anak.

Saat pertama kali diperlihatkan kamera tersebut - EOS 20D, terus terang aku agak terhenyak. Besar juga ya? Maklum sebelumnya hanya pernah berinteraksi dengan kamera ayah EOS 500N (film) yang ukurannya relatif kecil untuk pegangan tanganku. Kesan pertama saat memegang 20D itu: Berat. Ha ha! Tetapi pegangannya ukurannya agak besar, sehingga kelingkingku - yang bila memegang kamera ayah kehilangan pegangan - mendapat tempat nyaman di pegangan kamera tersebut.

Saat pertama kali kamera tersebut kuterima, keadaannya sangat (-amat) baik. Terawat dengan sempurna. Tidak ada gores cacat, kecuali pada 'accessory shoe' tempat meletakkan lampu kilat yang telah dikerik lapisan cat hitamnya. Sesuai dengan deskripsi yang beliau berikan pada iklan daringnya, lebih baik malah. Saat aku melihat di bagian dasar kamera tersebut, tempat biasanya rawan terdapat bekas kaki tiga/tripod, tidak ada. Menurut beliau, saat akan mempergunakan kaki tiga yang seperti itu, sebaiknya berikan alas tisu/kain agar tidak mudah meninggalkan bekas. Wow. Baiknya beliau. Ilmu itu masih kupakai sampai sekarang.

Agar lebih yakin, aku melakukan pengujian pada kamera tersebut. Aku membawa serta lensa kecil kesayanganku 50mm 1:1.8 II, dan media penyimpanan format CF yang baru kubeli sore itu, khusus untuk kamera yang akan kupinang. Aku mengambil beberapa foto, dan Mas Adi tersebut juga mencoba beberapa. Ini dia gambar yang dihasilkan kombinasi itu. Semua foto aku yang ambil, kecuali disebutkan lain.

Fian yang jadi subyek perdana kamera tersebut || obyek 'standar' berupa tutup lensa 50mm yang mungil.

Ki-ka: Fian (lagi), lewat cermin; Lampu ornamental di ruang tempat kami bertemu. [foto: oleh mas Adi]

Kira-kira demikian gambar pertama yang diambil kamera tersebut. Masih gagal fokus, dan berantakan. Ibarat belajar sambil berjalan, lah. Mudah-mudahan (dan terasanya demikian) semakin ke sini semakin baik. Kita lihat di tulisan tulisan berikutnya saja, ya?

Jadi setelah mengambil gambar-gambar tersebut, menyelesaikan transaksi, dan kami pun pulanglah. Alfian saat itu beranjak ke rumahnya untuk kemudian berlatih silat, sedangkan aku musti memberanikan diri menembus macetnya Jalan Panjang - Sultan Iskandar Muda - Pondok Indah. Dan belum Maghrib. Aduh.

Beruntung (jangan ditiru) masih mendapat seujung waktu Maghrib di Masjid Pondok Indah. Masjid beratap biru yang teduh. Singkat cerita, Maghrib masih didapat dan tak berapa lama, masuklah waktu Isya', yang kutunaikan di masjid itu juga.

Tapi perjalanan belum berakhir, sebab aku ketika itu perlu pulang, mengambil helm meletakkan tas, dan menjemput adikku yang tengah bimbingan belajar di Pasar Minggu. Ha ha. Jadilah akhir hari itu aku berputar-putar setengah Jakarta mungkin.

Demikian awal perjalananku dengan kamera ini. Ambillah minum, rehat sejenak, akan kita lanjutkan setelah ini.


--
BERSAMBUNG
written on 31. Dez 2010, 22.20 WIB (UTC +7), 23.20 WITa (UTC +8)

5 hal dari M. UI Jum'at ini

Jum'at ini, seperti biasa dua kaki ini melangkah cepat ke salah satu tempat paling teduh di kampus: Masjid Ukhuwah Islamiyyah (M. UI). Masjid yang dirancang terbuka di tiga sisinya ini memang tempat langgananku menunaikan Shalat Jum'at bila tengah di kampus. Lantai pualamnya dingin, dan udara Jum'at yang selalu cerah berangin membuat M. UI semakin nyaman saja.

Baiklah, langsung saja. Setelah tiba di dalam, khutbah belum dimulai. Beberapa pengumuman diberikan, dan adzan pun dikumandangkan. Sebagai Khatib adalah Pak M. Salman dari Teknik Komputer FTUI, dan isi khutbah beliau secara ringkas adalah tentang lima hal yang (mudah-mudahan tidak salah) perlu ditanamkan agar menjadi manusia yang lebih baik.

Baiklah, langsung saja. Lima hal tersebut adalah:
  • Muhasabah (menghitung diri) dan mengambil hikmah
  • Mengingat janji dan utang pada Allah
  • Mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam setiap perbuatan untukNya
  • Merasa selalu diawasi oleh Allah, dan
  • Memecut diri untuk lebih baik dari hari kemarin.
Terus terang saja, pada awal khutbah aku terkantuk-kantuk karena suara beliau yang lembut (ditambah tiga hari ini terasa lelah berlebihan). Meski demikian, pada akhir khutbah pertama, aku terbangun dan bertahan seterusnya, alhamdulillah.

Jadi mari kita lihat, dari kelima poin tersebut, yang masih berat terasa ada di poin pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Hmm.. Semuanya kalau begitu.

Yang pertama, berhitung diri serta mengambil hikmah. Selama ini, aku tidak berhitung. Aku takut kalau yang aku perbuat kurang. Kalau terlalu banyak menyakiti hati orang, tapi tanpa terasa. *Ampuni aku, Allah...* Dan mengambil hikmah, sejauh ini belum berhasil. Boleh dibilang terjebak di masa lalu. Padahal, teman baikku berkata untuk mengambil hikmah dan melangkah. Mulai sekarang harus bisa mengambil hikmah dan terus melangkah. Tidak boleh membiarkan diri larut dalam masa lalu. Biar yang telah lalu jadi kenangan, dan letakkan di tempat yang sepantasnya: Masa lampau.

Yang kedua, tentang janji dan hutang pada Allah. Khatib mengingatkan bahwa kita banyak berjanji padaNya. Setiap saat, setiap waktu. Setiap shalat kita, setiap doa kita. Janji itu, kalau boleh disebutkan sedikit yang masyhur di antaranya adalah, "Bahwa sesunguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, sesembahan semesta. Penuhilah, jangan dilupakan.

Ketiga, tentang bersungguh-sungguh dalam perbuatan untukNya. Ini berat, tetapi dapat dilakukan. Harus dimulai, kalau tidak ingin terlambat. Ilustrasi dari Khatib adalah seperti perumpamaan bahwa setiap shalat itu yang terakhir, tiada yang tahu apakah waktu shalat berikut masih dapat kita temui Allah dalam keadaan bernyawa. Sungguh-sungguh.

Lalu empat, selalu merasa diawasi Allah. Untuk ini beliau mengisahkan kisah seorang gembala yang kambingnya ditawar Khalifah Umar. Ketika terus didesak, dan diyakinkan bahwa tidak ada yang tahu, anak gembala tersebut menjawab, "Lalu, di mana Allah? Allah senantiasa Melihat apa-apa yang dikerjakan manusia." (atau kira-kira demikian ucapannya). Ya, kira-kira seperti itulah semestinya. Ada (manusia) yang melihat ataupun tidak, semestinya kadar kebaikan seorang tidak berkurang, dan malah bertambah. Selalu diawasi Allah.

Dan terakhir, memecut diri untuk menjadi lebih baik. Bahwa hari ini belum menyentuh Qur'an sama sekali, atau shalat di akhir waktu, atau hal lainnya harus terus diperbaiki. Beri sanksi sendiri dan beri motivasi untuk terus menjadi lebih baik. Memecut diri.

Juga beliau tekankan bahwa ladang amal itu terbentang luas di muka bumi. Bahkan di jalan, sekadar memperlambat laju kendaraan untuk memberi jalan ke penyeberang, atau lain-lain hal sederhana dapat menjadi ladang amal. Mudah-mudahan kamu dan aku semakin didekatkan padaNya. Mudah-mudahan.


--
F I N
written on 31. Dez 2010, 20:20 WIB (UTC +7), 21:20 WITa (UTC +8)
Dear my very Owner, I humbly ask you to shine your light upon my path, so that the path I take leads to You only, Amin.

Rabu, 29 Desember 2010

Monolog tutup buka

Dua pekan lebih berlalu sejak kiriman beliau yang pertama. Sepekan lebih sejak 'sepakan' kedua beliau, dan yang terjadi? Entahlah. Ada hal-hal baru yang aku ketahui tentang beliau. Tidak penting. Lebih penting adalah kenyataan bahwa sampai jangka waktu demikian, rasanya beliau masih terlalu lekat di kepala.

Kenapa? Kalau itu tanyamu, aku pun tiada bisa menjawabnya. Bahwa hal ini pernah terjadi sebelumnya itu benar, tetapi hanya ke seorang yang demikian dekat di hati. Butuh lima tahun lebih untuk meredakannya kemarin itu. Padahal kami bukan apa-apa. Teman, mungkin, tapi yang dulu terasa lebih dari itu. Searah, yang kembali terulang sekarang ini. Ck.

Kalau boleh menilai diri, golongkan aku ke dalam mereka yang melihat dan percaya. Berat untuk merasa. Berat. Dan sekali merasa, tak mau lepas. Tak mau pergi. Menjadi.... Obsesi? Ah, jangan sampai.

Bagaimana kalau berdamai (lagi) dengan diri. Padamkan bara yang masih menyala di dalam. Tidak, tidak melulu bara perasaan itu. Bara yang lain, bara dari masa lalu. Lalu kemudian, tutup mata, biar dibukakan mata yang lain. Mata yang lebih dalam, lebih perasa.

Allah, bukakan hatiku, lapangkan dadaku, beri keringanan dan jalan pada problemaku.

Lalu kalau telah terbuka, maka bukalah mulutmu pula. Kirimkan kata yang tiada menyakiti. Sapaan hangat, dan ucap penyejuk. Dan mudah-mudahan beliau berbahagia.


--
F I N
written on 29. Dez 2010, 17.42 WIB (UTC +7), 18.42 WITa (UTC +8).
Dear miss, I never realise that to say even a thing when I'm before you is corundum-hard.

Sabtu, 18 Desember 2010

Doa sebelum tidur

Allah, Pemilik diriku... Aku minta padaMu, tunjukkan padaku dengan cara yang kumengerti, apa gunaku di muka bumi ini.

...

Kalau memang tiada gunaku lagi di sini, maka kembalikan aku hanya padaMu.

Kamis, 16 Desember 2010

Traktiran patah hati

Ha ha.. Maaf judulnya provokatif. Tapi kira-kira begitulah. Petang ini, setelah kemarin mendapatkan hadiah hiburan dari rekreasi jurusan - dan tetap utuh isinya karena merangkap jadi seksi dokumentasi, aku diberi kesempatan mentraktir kawan karibku Alfian, Reza dan Odi di sebuah rumah makan di suatu mal tak berapa jauh dari Terminal Depok. Adapun, selain amplop itu masih utuh, juga ada sesuatu yang perlu aku luruskan di antara kami. Tidak jauh, masih tentang beliau yang itu.

Kebetulan juga kami berempat tadi berpuasa, seperti kebiasaan kami tiap Kamis dan Senin. Untuk Kamis ini, bertepatan dengan tanggal 10 bulan pertama Hijriyah yang diriwayatkan memiliki banyak keistimewaan. Yah, jadi ambillah ini traktiran buka puasa untuk kami berempat.

Setelah berputar-putar -- pusat perbelanjaan itu seperti labirin, kalau mengutip Reza -- akhirnya kami mendapati tempat makan yang konon murah dan mengenyangkan itu. Mencari tempat duduk, membiarkan Fian yang memilih tempat tak jauh dari kumpulan "stabilo" (istilahnya untuk perempuan berhijab yang warnanya mengingatkan pada pena warna itu), kemudian memesan dengan gegas. Tinggal kurang dari 15 menit sebelum waktu Maghrib tadi.

Syukurlah pelayanan di resto tersebut tergolong cepat. Tak 10 menit, empat gelas teh manis dingin telah tersaji, dan menyusul kemudian nasi dan menu pesanan kami. Tunggu punya tunggu, waktu Maghrib pun tiba, ditandai berkumandangnya adzan maya dari ponsel Fian. Mudah-mudahannya jamnya tidak salah. Haha.

Nah, di tengah lahapnya mereka makan, aku meminta waktu sebentar. Singkat cerita, mengalirlah cerita tentang beliau, dan bahwa beliau menyatakan bahwa untuk saat ini.... Belum saatnya

Aku beruntung mendapati mereka bertiga -- yang mungkin tidak mampir dan membaca tulisan ini -- sebagai sahabatku. Aku beruntung. Itu saja. Dan nama yang kemudian mereka 'rekomendasikan' untuk menggantikan beliau, aku sanggah. Sementara tidak dulu. Terus terang aku masih meletakkan harap. Kosong, memang, tapi peluang kejadian nol apabila kejadian belum terjadi tidaklah nol. Tapi ya, entahlah. Mudah-mudahan beliau bahagia. Itu saja.


--
F I N
written on 16. Dez 2010, 22.15 WIB (UTC +7), 23.15 WITa (UTC +8)
Really, miss. It crossed my mind that you deliberately didn't want to see me. But I take it as you were taking your lunch. Just that. I'm sorry.

Minggu, 12 Desember 2010

Didengar, dan dijawab

Kamu tahu sifatNya yang Maha Mendengar. Aku percaya tentu saja, tetapi selama ini aku belum mendapati secara langsung. Sampai dini hari tadi, ternyata.

Entahlah apakah beliau masih sempat membaca tulisan ini, tetapi izinkan aku menulis sekali lagi tentang beliau.

Jadi tadi malam, lepas Isya', masih di atas sajadah aku terbaring. Tertidur. Sampai tiba waktu dini hari setengah dua aku terbangun. Di layar telepon selulerku ada penanda bahwa ada beberapa pesan teks masuk. Itu pembaruan dari beliau, dikirimkan melalui fasilitas twitter text. Sebentar menyempatkan diri membaca apa yang terjadi selama aku tertidur, menonton pertandingan Magpies - Anfield gang dan cukup senang juga Newcastle menang lagi - serta Andy Carroll mencetak gol yang bagus.

Kemudian aku pamit tidur (lagi), meskipun sebenarnya tidak langsung tidur juga. Kuambil waktu sedikit untuk menyapaNya. Aku sisipkan pertanyaan, bukan lagi permintaan untuk menjadikan beliau penyempurna separo din-ku. Pertanyaanku sederhana, apakah memang beliau? Iya maupun tidak, aku memintaNya memberikan jawaban yang jelas, yang sederhana, yang nampak dan dimengerti oleh manusia biasa sepertiku. Tidak berupa tanda yang tak bisa aku pecahkan.

Dan dalam rentang waktu itu, beliau memutuskan untuk mengirimiku pesan.

Sebuah pesan yang baru aku dapati pagi harinya, saat aku bersiap memulai perjalanan bersama keluarga besar jurusan kami. Pesan itu akhirnya aku buka juga di tengah perjalanan. Tapi baru dapat kubalaskan di akhir harinya.

Pesan yang jujur, sungguh. Aku hargai itu. Reaksiku? Seperti prosedur kerja standar: 1) menyandarkan kepala ke jendela bus, memandang keluar 2) berpura-pura tertidur dalam bus, 3) mengirim sinyal kepada Lacrimal apparatus untuk bekerja. 4) kembali ke kenyataan seolah tidak terjadi apa-apa. Ah, penyembunyi.

Maafkan hawa negatif yang menyelubungiku tadi ya, semuanya. Mengenai hasil foto, mudah-mudahan tidak terpengaruh. Saat memegang kamera dan tangan di tombol rana, aku bisa lupa banyak hal. Mudah-mudahan aman.

Terus terang saja, saat menulis balasan kiriman beliau, kepalaku serasa berpusing. Entah pengaruh perjalanan jauh atau memang perasaan saja, entahlah. Yang jelas, untuk saat ini, aku berharap beliau dengan yang tengah beliau taksir ini memang yang terbaik. Soal aku, biar saja lah. Aku masih perlu berkenalan lagi lebih baik dengan aku. Juga tentang bagaimana menyukai perempuan.

Bayangkan, sekitar 6-7 tahun yang lampau, temanku pernah berkata bahwa r5 (nama kode kesayangan yang aku berikan pada perempuan itu) berkata bahwa "Ini anak [aku, pen.] sebetulnya suka atau gimana sih?" terkait ketidakpahamanku mengenai hal itu.

Ah, terjadi lagi. Mengenaskan bahwa caraku menakuti beliau dan r5. Entahlah. Aku perlu banyak sekali belajar. Mungkin jawaban langsung ini mengarahkanku untuk kembali ke penelitian yang setengah terbengkelai itu. Mudah-mudahan.


--
F I N
written on 12. Dez 2010, 23.48 WIB (UTC +7), 13. Dez 2010, 00.48 WITa (UTC +8)
How can I thank You enough. Endlessly kind, You are. Endlessly loving, You are. Thank You.

Jumat, 10 Desember 2010

Sudah hampir lima hari

Ya, sudah hampir lima hari akunku di situs jejaring sosial yang didominasi warna biru itu aku non-aktifkan. Lima hari yang, yah, normal. Mengingat situs itu kemarin dulu sempat menjadi candu. Tapi tidak sepenuhnya normal. Masih ada lagi laman-laman candu yang lain. Dari satu candu ke candu lain, kalau boleh kubilang. Ha ha.

Selama lima hari ini, sepertinya tidak ada yang aneh. Tidak ada yang berkirim e-mail juga. Tidak ada yang mengirim pesan pendek juga. Tidak ada keluhan kehilangan foto, tidak ada. Tudak ada masalah.

Mungkin besok akan kuaktifkan kembali. Tidak. Tidak untuk mengintai lagi. Kamu tahu, pengintaian itu menguras tenaga. Membangkitkan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Terus menahanku. Menyiksa.

Mudah-mudahan semua baik, kamu baik, beliau baik. Ada yang ingin aku tanyakan. Sederhana sih. Nomor telepon saja kok. Mungkin akun Y!M. Siapa tahu.


--
F I N
written on 10. Dez 2010, 21.01 WIB (UTC +7), 22.01 WITa (UTC +8)
Persistence, is what I should bear in mind, should do, must do. Persistent affection. Must do.

Senin, 06 Desember 2010

Jarak aman

Teriring maaf untuk kawan-kawan yang sementara 'kehilangan' foto-foto kamu semua di situs jejaring sosial yang itu, aku pamit sementara dari laman-laman itu. Saat ini, terlalu banyak, terlalu banyak, hal tak baik yang kujaring di sana. Jauh lebih banyak dari menghidupkan kembali jalinan perkawanan yang lama terbenam.

Sementara ini, biarkan aku menjaga jarak yang aman dari situs tersebut, juga jarak aman dari beliau, perempuan yang (masih tetap) aku doakan di siang dan malam itu. Mudah-mudahan dengan begini lebih ringan lisanku menyapanya. Mudah-mudahan permintaanku dikabulkan. Mudah-mudahan.

Untuk saat ini, semoga jarak aman ini membahagiakan beliau. Aku sendiri, ya, tidak masalah.


--
F I N
written on 6. Dez 2010, 17.32 WIB (UTC +7) 18.32 WITa (UTC +8)
I'm lucky, in many aspects of life but that, that, that... Lov*.

Sabtu, 04 Desember 2010

Kerjakan yang kamu cintai

Tak terasa sudah lebih setahun diberikan kepercayaan membantu-bantu di jurusan. Hampir dua untuk mengerjakan tema penelitian yang - tadinya - pilihanku sendiri. Dan yang paling panjang? Hampir 22 tahun menjadi anak dari ibu dan ayahku.

Oh iya! Tulisan ini (sepertinya) akan ada kecenderungan negatif, masih ada kesempatan pergi dari laman ini dan mencari sesuatu yang lain kalau kamu sedang tidak ingin.

Selama tahun-tahun itu, ada tawa, ada air mata. Ada keriaan, ada tekanan. Berganti-ganti sesuai keperluan, sesuai waktu yang digariskan. Hanya saja, ada kecenderungan kalau keriaan dan tawa itu cepat menguap. Cepat terganti dan terlupa. Ah.

Selama tahun-tahun itu, ada keinginan yang terkendala, tetapi kadang terlepas tak terkendali. Misalnya saja kemarin dulu hingga sekarang, saat waktu ada dan dana tiada, anak ini justru rajin memperbarui informasi tentang perkomputeran dan teknologi informasi. Majalah dwi-mingguan tak pernah lepas dibelinya. Kartu grafis dibelinya dari tabungan sekitar setengah tahun "untuk meringankan beban kartu memori". Masalahnya saat itu, ternyata sumber daya si komputer yang tak mumpuni. Kartu grafis pun menganggur setengah tahun lagi sampai tabungannya cukup menebus sumber daya yang memadai. Terkendala memang, tetapi kendala-kendala itu yang membuat keinginan itu jadi keluar dari kendali.

Kemudian fotografi. Aku bukan dari kalangan seni, memang. Tetapi fotografi ini satu dari sedikit seni yang teknis. Yang masih bisa kugapai, dibandingkan seni yang lain. Dahulu sempat ingin mempergunakan kamera film milik ayah - yang tak pernah terpakai dan teronggok menganggur begitu saja. Usut punya usut, ternyata lensa berjamur. Keinginan tertunda lagi, cukup lama, menanti tabungan cukup untuk 'mencuci' lensa dan bisa mempergunakan kamera itu. Setelah kamera siap, masalah belum selesai. Kamera itu perlu sumber daya, batu baterai. Ah, bagaimana pula baterai yang dipergunakan bisa langka. Dua puluh lima ribu rupiah sekeping? Belum lagi seluloid yang dipergunakan. Ah. (~_~).

Tapi toh pada saat itu, aku lebih sering berjalan keluar dan memotret, apa saja yang aku sendangi, dibandingkan sejak Desember lalu saat pertama kali aku bersentuhan dengan kamera digital, saat semestinya kesempatan lebih terbuka.

Jangan sampai aku bercerita menyenangkannya memindahkan sepeda ke garasi, dan sekadar mengencangkan baut-baut dan mengatur mekanisme pemindahan gir. Juga tentang kelistrikan yang sepekan sekali kusentuh. Menyenangkan. Cinta.

Tapi begitulah, terkadang yang dicinta tak dapat dikejar. Dulu, berapa banyak mimpi terkait penelitian yang sekarang kubantu itu menjejali otak dan menumbuhkan semangat. Setelah mengenal tenggat, dan betapa prosesnya jauh dari mudah, ah...

Mungkin benar kalau semakin sedikit seseorang tahu, semakin baik. Dan semakin dekat seseorang, bisa jadi semakin besar takutnya karena semakin tahu ia. Aku khawatir.


--
F I N
written on 4. Dez 2010, 04.52 WIB (UTC +7), 05.52 WITa (UTC +8)
I am concerned, that I will only care for you, fall for you when I'm standing from far away from you, not yours.

Kamis, 02 Desember 2010

Berdamai dengan diri sendiri

Sepekan kemarin, entah mengapa rasanya gelap saja. Prospek mengenal beliau yang menarik itu rasanya makin mengecil dan mengecil. Sampai rasanya wajah ini ingin kutekuk saja selalu. Ah, memalukan rasanya kalau mengingatnya lagi. Padahal baru pekan kemarin.

Begini, pernahkah kamu mengalami hal kecil, misalnya sedikit senyum dari yang kamu rasa menarik di tengah-tengah hari yang keterlaluan sibuknya? Nah, kira-kira seperti itu rasanya kala ada surat elektronik berjudul "[Nama beliau di sini] confirmed you as a friend on [situs jejaring sosial yang itu]" saat sedang rehat di tengah mengurusi lokakarya. Ah.

Telah kembali senyumku dengan kejadian kecil itu. Kecil, tetapi berarti. Seperti banyak hal di dunia ini. Kecil, ringan, tak begitu terasa - awalnya, tetapi ternyata begitu berarti.

Yah, artinya juga sedikit agak aku lebihkan sih. Sebab sungguh itu hanya satu langkah kecil dari laman yang akan aku tulis, yang aku pintakan setiap siang, setiap malam padaNya. Kalau ini betul, bersama permintaan perlindungan untuk Ibu dan Ayahku, serta adik-adikku, dan permohonan ketetapan hati di jalannya, tentu.

Hadapilah. Si "Aku yang sempurna" itu mungkin memang sempurna, dan dia tinggal di dunia ideal, dunia yang sempurna. Sedangkan aku? Kamu? Tiada aku dan kamu yang sempurna. Tapi begitu juga dunia yang kamu dan aku pijak ini.

Biarkan sajalah si "Aku yang sempurna" berjalan, melompat, jungkir balik, menonton film, diambil gambarnya, makan siang bersama beliau. Itu kan di dunianya. Aku? Kamu? Jangan khawatir. Hidup ini indah dengan segala kurangnya kok.

Jadi, biarkan tulisan tanganku berubah dari "a" ketik menjadi "a" tanpa kepala, dan biarkan senyumku kembali. Izinkan aku berdamai dengan diriku, dan melangkah, tertatih, mencoba menggapai beliau. Dan bila memang tak disampaikan, setidaknya aku belum pernah seriang ini.


--
F I N
written on 2. Dez 2010, 20.24 WIB
(UTC +7), 21.24 (UTC +8)
Dear miss, maybe we can have a little time together, to cinema or some lunchtime talk, or whatever? I will look forward to having that time with you. *blush*

Senin, 29 November 2010

Terjadi lagi

Sabtu, 27. November 2010.

Beliau di sana, di tempatnya di lab seberang. Aku di tempatku, duduk, (berpura-pura) menelaah jurnal. Bimbang setengah mati. Ada yang perlu kutanyakan, ya, tetapi tak yakin berhasilku. Lagipula seorang rekannya ada di sisinya, tak enak aku.

Skenario untuk "aku yang sempurna" adalah aku keluar dengan langkah ringan, satu tangan tersembunyi di dalam kantung celana, dan satu tangan membantu ekspresi. Kalimat yang keluar, yah, pelbagai basa-basi yang berpangkal dari ajakan perkenalan, meminta nomor telepon, dan macam-macam itulah.

Tapi yang terjadi, ya, aku (saja, aku yang tidak sempurna) yang tidak kunjung keluar dari cangkang.

Kemudian, saat aku sadar, beliau telah melangkah pulang, bersama rekannya tentu saja - apa yang kamu harapkan dari seorang gadis? Berjalan sendiri saja?

Sekonyong-konyong muncul beraniku sedikit. Segera aku berlari. Betul. Berlari menuruni tangga. Tiga lantai penuh, melompati beberapa anak tangga, menghela langkah.

Tapi di pintu itu aku tercekat. Ingin hati meneriakkan - oke, memanggil saja, tidak berteriak - "Mbak!" begitu. Tapi tidak satu kata pun keluar dari tenggorokanku. Bahkan tidak satu bisikan pun.

Dan setelah itu, beliau keluar dari pintu, aku mendapati keadaan yang sulit - dosen pembimbingku yang telah berjanji menemui kami siang itu sedang berbincang dengan mahasiswanya yang lain. Dan aku memilih mendekati beliau, dosen pembimbingku.

Dan beliau berlalu.

Dan sakit lebih lanjut dalam perjalanan kembali ke rumah, beliau kembali ke kampus. Akan berangkat ke acara "Malam Keakraban" rupanya.

Dan aku mau jadi batu saja.

--
F I N
written on 29. Nov 2010, 19.20 WIB (UTC +7), 20.20 WITa (UTC +8)
This imaginarily perfect me is killing me slowly, yet surely. At this rate, I won't have meaningful relationship with a lady.

Minggu, 28 November 2010

Waktunya...

Terlalu malu sampai beliau bisa memotong segera, "Aku ke sana lagi ya?"
Terlalu terpesona sampai tidak bisa berkata lain selain, "Oh, iya. (silakan)"


F I N
written on 28. Nov 2010, 14.10 WIB (UTC +7), 15.10 (UTC +8)
And that hand was soft, yet so cold, yet I couldn't see her eyes her expression. Tsk. :(

Sabtu, 20 November 2010

Sesal dahulu, pendapatan

Beberapa waktu yang lalu, aku menemukan kembali komik web xkcd edisi 235. Judulnya "Kite" ("Layang-layang"). Ini komiknya, kalau sekiranya kamu tak sempat mampir ke URL yang kuberikan.



(klik di gambar untuk melihat ukuran asli)

Tulisan pengganti (alt text) dari komik ini sederhana agak kompleks: "It's easier to regret your awkward conversations but hard to regret the ones you didn't have."

Perlu diterjemahkan? Baiklah, baiklah. Mudah menyesali perbincangan yang kikuk, tetapi berat menyesali yang tidak pernah terjadi. Oke. Mungkin lebih pas berikut ini: Mudah melupakan perbincangan yang kikuk, tetapi sulit melupakan yang tak pernah terjadi.

**

Pernahkah situasi ini terjadi padamu? Aku pernah. (jelas, itu alasan mengapa aku meminjam komik ini untuk tulisan ini).

Coba tengok, menerbangkan layang-layang sampai ketinggian cukup, kemudian menaikinya "hanya karena aku bisa", lalu mendapati ada seorang di sana, tetapi tiba-tiba menyapa menjadi hal yang jauh lebih sulit. Bahkan lebih daripada kegilaan menaiki layang-layang itu.

Atau misalnya, ada seorang di sebelahmu dalam sebuah bus. Dia membaca buku bagus yang telah kamu baca. Rasanya ingin sekadar berkata, "Hei, sudah baca sampai mana? Bagus ya, bukunya. Eh, karakter X itu matinya diracun siapa ya?" atau seputaran itu. Yang terlintas di pikiran ternyata malah "Ah, nanti dia terganggu. Biarkan saja." atau sejenisnya.

Atau kasus lain, ada penawaran yang kelihatan (dan kedengaran, dan sebagainya) menarik. Tetapi yang terjadi justru pergolakan batin, pikiran, argumentasi dengan diri sendiri. Pada akhirnya, kesempatan tersebut terlewatkan, dan yang tertinggal hanya "sekiranya dulu aku..."

**

Tidak, tak pantas aku menyarankan ini dan itu untuk kamu. Aku sendiri mengalami hal tersebut. Setiap waktu. Berbagai urusan. Laki-laki, perempuan. Pertemuan formal, tak resmi. Dalam bus, di jurusan sendiri. Di ujung selasar. Ah.

Ada beberapa pepatah mengenai hal ini. Yang cukup dikenal misalnya, "nasi sudah menjadi bubur" - meskipun bila diolah lebih lanjut dan disajikan baik, bubur pun bisa terasa lumayan. Ya, lumayan. Lainnya misal "sesal dahulu, pendapatan. Sesal kemudian, tak berguna." yang lebih langsung.

Kembali ke komik tersebut, beberapa orang membahas komik tersebut. Betul, dibahas. Di sana. Salah satu yang menarik adalah pendapat bahwa angan-angan, pada panel tengah bawah dari komik yang ditampilkan di atas misalnya, tiada berarti tanpa usaha nyata. Apapun hasil usaha tersebut. Bahwa pikiran-pikiran tersebut menghasilkan ujung cerita yang tak terbatas (infinite), sedangkan bila usaha dilakukan, maka ujungnya akan terbatas.

Ujung cerita yang terbatas ini dapat menjadi bahan nostalgia di masa mendatang. Tertawa atas kekikukan pada perbincangan pertama. Menyatakan semestinya kamu begini, begitu. Tetapi itu saja. Mudah, ringan, dan tidak ada yang perlu disesali - semuanya sudah terjadi, bagaimanapun.

Cerita akan jauh beda bila tiada kerja yang terjadi. Maksudnya, apa? Apakah dua orang tersebut tidak akan bertemu lagi lain waktu? Apakah dua orang akan pergi menonton di bioskop, misalnya? Apakah begini? Apakah begitu? Sesal ini yang menyakitkan. Dan ya, aku terlalu sering menyakiti diri dengan sesal.


--
F I N
written on 20. Nov 2010, 06.15 WIB (UTC +7), 07.15 WITa (UTC +8)
Miss, I deeply regret my cowardice. Maybe I should have said "hi, what's your name?" just that easily, and that carelessly.

Rabu, 17 November 2010

"Resep": teh teman berpikir

Ya, kira-kira itu yang tebersit di kepalaku saat pertama kali menyeduhnya. Rasanya secara singkat bisa disebut sepet, tetapi enak. Ada efek menenangkan sepertinya di setiap gelasnya. Sungguh, siapapun yang memilihkan teh ini harus bertanggung jawab (teh ini asalnya dari paket 'Idul Fitri dari Jurusan). Sampai sekarang masih senang sekali dengan teh ini. Mari kita sajikan di sini, yuk?


Yellow label tea (etiket kuning?) dari Lipton.

Nah, itu dia gambarnya sudah muncul (kalau belum, coba periksa pengaturan di perambanmu). Berhubung teh pemberian, jadi kotak ini tadinya masih terbungkus plastik sampai pekan lalu. Sekali pembungkusnya terbuka, ternyata laju habisnya cenderung cepat. He he.

Kalau menurut pembuatnya, teh ini adalah campuran dari macam-macam daun teh yang memberikan rasa yang konsisten (kira-kira demikian). Hmm.. Kalau konsistensi, tergantung kepada konsistensi pembuatan juga, tentu saja. Contoh beratnya adalah saat ibu mengangkat kantung tehnya saat baru sekitar semenit tercelup. Rasanya? Amburadul. Duh.

Baiklah, kembali ke "resep". Membuat teh (dari kantung teh celup) ternyata mudah tapi sulit. Dari lebih dari 10 gelas yang kubuat -termasuk yang amburadul tadi- yang "pas" paling banyak hanya 4 gelas. Rata-rata di bawah 50% tetapi membuat resep? Oh, baiklah. "Resep". Menurutku, teh bisa dikatakan enak apabila perpaduan manis dan sepet pada satu gelas tersebut pas. Untuk mendapatkannya, itu tadi, relatif sederhana tetapi agak rumit juga.

Yang diperlukan untuk satu gelas besar (bukan mug juga. Seperti gelas bir [?] yang kecil): satu kantung dari teh etiket kuning tersebut, dan 4-6 butir gula batu ukuran sebesar kelereng (normal). Prosedurnya? Kira-kira seperti berikut ini:

  1. Kantung teh dicelupkan dalam gelas berisi air panas 3/4 penuh, diamkan 3-5 menit
  2. Gula batu dimasukkan satu persatu
  3. Air panas ditambahkan sampai gelas penuh, lalu diaduk sedikit dan gula dibiarkan larut
  4. Berdoa, mudah-mudahan hasilnya cukup enak. :D


Ini yang menemaniku kemarin saat sedikit sedih. Padukan keduanya dan berdoa, mudah-mudahan cukup enak


PS: {Foto-foto: koleksi pribadi. Silakan kirim surat ke arif.rahman91[at]ui[dot]ac[dot]id
sekiranya diperlukan foto ukuran besar}

PPS: Kebetulan warnanya kuning juga ya? He he he.

PPPS: Maaf, untuk foto hasil jadinya... Telanjur habis tehnya sebelum sempat difoto. Teman mengolah gambar juga. He he he.

--
F I N
written on 17. Nov 2010, 13.20 WIB, 14.20 (UTC +7), WITa (UTC +8)
Thank You and thank you for keeping me company through one toughest time in my days. :)

Selasa, 16 November 2010

Stigma anak baik

Ada kontradiksi di sini. Mari kita bahas satu demi satu.

stig·ma (n) ciri negatif yg menempel pd pribadi seseorang krn pengaruh lingkungannya; tanda: anak itu menjadi betul-betul nakal krn diberi -- nakal oleh orang sekelilingnya

Ya, stigma. Kalau diterjemahkan lebih bebas lagi mungkin arahnya sama dengan citraan, meskipun citraan memiliki nilai rasa yang lebih netral daripada stigma. Akan tetapi, untuk sementara, peganglah dulu kalau aku menyebutkan stigma, aku menyebutkan soal citraan. Begitu pula sebaliknya. Bertahanlah.

**

Mari menghitung diri lagi.

Ada citra yang seolah lekat dengan diriku: anak baik. Citra yang baik ya, kedengarannya. Anak baik yang tidak macam-macam. Yang rajin begini, begitu. Yang pintar, yang senang membantu.

Aku bersyukur, di satu sisi, mendapat stigma ini. Andaikan dulu aku disebut nakal, bandel, mungkin entah seperti apa aku sekarang. Tetapi dengan citraan demikian, ternyata Dia memberikan lebih dari yang orang-orang harapkan kepadaku, dan keinginan-keinginan, pikiran-pikiran, dan kawan-kawannya yang cenderung gelap, kelam, hampir semua bisa tertahan dalam kandangnya di kepala saja.

Tapi di sisi lain, citraan ini sedikit banyak menghambat. Coba tengok ucapan ini: "Yee.. Bisa juga dia ngatain [bercanda, pen.] begitu." dan ucapan-ucapan senada dengan itu.

Ah...

Mungkin ini hanya di pikiranku. Mungkin ini tidak nyata. Tetapi apa betul, si "anak baik" tidak berhak punya sisi yang berbeda? Maksudku, toh semua - maksudku, semua - orang punya sisi baik dan sisi yang kurang baik, bukan? Kalau begini caranya, aku ingin jadi anak normal saja. *bercanda, ha ha!*

Tenang saja. Aku mencoba mempertahankan stigma ini, kok. Biarpun rasanya seperti agak membatasi gerak. Ah, entahlah.


--
F I N
written on 16. Nov 2010, 19.15 WIB (UTC +7), 20.15 WITa (UTC +8)
Some say that good guy are quasi-extinct. I'll prove them wrong. :>

Sesuatu di luar kuasa

Mbak,
Kalau kamu kebetulan membaca tulisan ini, perkenankan aku minta maaf. Maaf karena sampai sejauh ini, aku tidak bergerak lebih dekat dari lima meter darimu. Maaf juga karena waktu itu aku lari saat pandangan kita bertemu. Maaf karena aku punya rencana-rencana-rencana tentang kita, yang tak kunjung dilaksanakan.

Ada sesuatu yang mengenai telak di ranah pikirku. Sesuatu yang di luar kuasaku.
Sesuatu yang spiritual, kalau boleh kusebut demikian.

Sampai hari ini, dalam doaku kusematkan namamu, dengan pengharapan pada sang Maha Pencinta. Kumohonkan tentang sesuatu yang sederhana, tetapi tak mudah juga. Tentang, ah, tak penting lah.

Tapi aku takut.
Apakah yang aku rasakan pada kamu ini nyata?
Apakah ini bukan tipuan mata yang silap?

Sedangkan sejatinya Cinta setiap hari aku terima. Hela nafas, sinaran mentari, tetes embun dan hujan, rimbunnya pepohonan dan wanginya bunga, semuanya.

Takut aku.
Yang kurasa padamu menutupi Cinta yang acap terlewati begitu saja.
Yang kurasa menggelapkan pandangan mata rabun ini.

Ya. Sesuatu di luar kuasa membuatku berpikir lebih keras lagi. Jangan khawatir, namamu akan tetap ada di doaku.

Doa untuk... Kita.


--
F I N
written on 16. Nov 2010, 17.45 WIB 1845 (UTC +7), WITa (UTC +8)
I'm sorry. I'm sorry. I'm sorry Miss F. :'(

Aku yang sempurna

Mungkin ini terjadi tidak pada banyak orang. Mungkin malah cuma terjadi padaku. Sering.

Rencananya sederhana. Datang, dekati, dan bicara. Rencana yang mudah bukan? Banyak skenario yang disiapkan, berbagai suasana, dan waktu, dan lain-lain secara mendetail.

Tapi sesuatu menahanku menjalankan rencana-rencana-rencana itu semua. Lebih jauh lagi, di kepala melintas bayang-bayang "aku yang sempurna" yang melaksanakan rencana-rencana itu semua. Tanpa cela. Sempurna

Imaji "aku yang sempurna" itu - menyakitkan.


--
F I N
written on 16. Nov 2010, 12.40 WIB (UTC +7) 13.40 WITa (UTC +8)
I was early. And I didn't wait. Can You arrange us some other time? With some courage, please? X_X

Senin, 15 November 2010

Takut sukses

Ya, kamu tidak salah membacanya. Takut sukses. S-u-k-s-e-s, sukses. Aneh, kedengarannya. Di saat orang-orang dihantui kegagalan, ada beberapa orang *ehem. aku* dihantui takut sukses.

suk·ses /suksés/ a berhasil; beruntung.

Ah iya, lebih mudah begitu. Takut dengan keberhasilan. Ada yang punya istilahnya, mungkin latinisasi sebagian semacam anufobia begitu? Boleh beritahukan kepadaku. Aku ingin tahu.

Banyak cara seseorang mendefinisikan keberhasilan. Bisa mempunyai kemeja polos baru, sepasang kaus kaki, atau sekadar dapat menunjukkan jalan ke orang yang nampak tersesat misalnya, bisa saja didefinisikan berhasil. Kalau yang demikian, aku tidak takut. Malah, rasanya cenderung kurang. He he he. *malu*

Ada satu hal yang agak kutakutkan dulu: soal hubungan pribadi. Relationship, kalau menurut orang-orang di negerinya Ratu Elizabeth II. Soal ini, berat. Sebab definisi berhasil dalam hal hubungan antar manusia ini menurutku adalah bukan bagaimana mendapatkannya (teman, kawan, kekasih, sahabat, ... [boleh dilanjutkan sendiri]), tetapi bagaimana membuatnya awet, tahan lama, tak habis ditempa zaman.

Nah, untuk hal yang satu ini tergolong sulit. Tanyakan kawan-kawanku semasa SD, aku hilang ditelan bumi. Maklum, tempatku bersekolah lanjutan jauh dari kawan-kawanku. Berangkat saat matahari masih gelap, dan kembali menjelang kembali gelap. Tambahkan faktor belum maraknya telepon seluler, apalagi internet di masa itu. Jadilah saat bertemu kembali mereka mendapatiku (dan sebaliknya) berbeda jauh dari masa SD dulu, bahkan beberapa ada yang terlupa. Duh.. Ha ha!

Yah, itu satu contoh (jangan ditiru!) tidak mampunya mempertahankan hubungan yang dulunya sempat terjalin. Kalau sekiranya semua dituliskan di sini, aku khawatir malah menjadi preseden buruk yang diikuti. Jangan ya?

**

Mungkin ini juga yang pertama kali hadir di kepalaku saat ada perempuan yang - yah - menarik perhatianku. Penolakan itu - yah - biasa. Pahit hanya singgah sebentar di lidah. Berhubung sampai saat ini belum pernah berhasil, jadi aku belum paham juga bagaimana bisa beberapa kawan karibku bisa langgeng sampai, um, 5 tahun ke atas. Hmm...

Coba bayangkan kalau sekiranya aku yang cuma seadanya ini sampai dapat menjalin hubungan khusus dengan perempuan itu, misalnya. Selanjutnya apa?

Entahlah, sepertinya harus kita coba dulu ya?


--
F I N
written on 20.12 WIB (UTC +7) 21.12 WITa (UTC +8)
I pray harder by the day, Miss. And I secretly wish you noticed me looking at you. And you'll ask and I'll answer. That simple.

Sabtu, 13 November 2010

Perempuan selalu tahu

Memancing ya? Minta maaf terlebih dahulu, tetapi demikianlah yang sering kudapati.

Pada mulanya nama, kemudian akun pada situs jejaring sosial berlatar belakang biru itu, dan kemudian ke mana-mana tempat. Dari 'penelusuran' mengenai hal-hal di ranah maya yang berkaitan dengan perempuan itu, aku berakhir pada situs penyedia jasa blog mikro twitter.

Beberapa bulan terakhir ini, daya tarik situs ini terasa demikian besar, sehingga akunku akhir-akhir ini jadi agak terlalu aktif. He he.

Ah, maaf. Perhatian teralih. Baiklah. Kembali ke soal perempuan ini. Genap sebulan beliau menerima pembaruan berita dariku. Beberapa hari sebelum itu, aku yang terlebih dulu meminta izin beliau agar dapat menerima pembaruan berita darinya. Seperti beberapa pengguna lain yang kuikuti, beliau menuliskan berbagai hal: keluhan, kegiatan, lokasi, serta pertanyaan-pertanyaan.

Nah, yang terakhir ini: Pertanyaan. Sesuai prosedur Seperti kebiasaanku apabila berada dalam situasi seperti ini, aku mengamati dan mendengar dari kejauhan, dan menyusun rencana. Ya, ya. Rencana. Rencana yang baik yang kecil peluang gagalnya - apabila bukan aku yang melaksanakan.

Selain mengamati, aku terkadang mendapati keadaan aku sedikit tahu, dan beliau tidak begitu tahu (baca: beliau melontarkan pertanyaan). Kamu yang juga menggunakan blog mikro itu semestinya mengerti rasa 'gatal'nya ingin menjawab pertanyaan dengan menyertakan nama penanya (reply). Aku pun tak berbeda. Hanya saja, berhubung sedang dalam fasa pengintaian, semestinya pula aku tidak diketahui. Jadilah, 'trik' no mention atau menjawab tanpa menyertakan akun penanya secara spesifik yang kupergunakan.

Sebentar. Sedikit tentang no mention ini, terkadang hal ini bisa berguna sekiranya jumlah penanya cukup banyak (misal: X: "ada di mana" Y: "serius? di mana? Z: "di D? Kapan?" yang dijawab langsung sekaligus).


Permasalahannya, cara seperti ini terkadang menimbulkan multitafsir, beberapa orang dapat jadi terlalu perasa dan merasa bahwa tulisan terakhir dialamatkan pada mereka - secara implisit tentu saja. Nah, kira-kira ini yang terjadi pada beliau. Bukan, beliau tidak salah menafsirkannya. Terlalu tepat malah, membuat detak jantung tiba-tiba melaju saat kubaca tulisan beliau yang kira-kira berbunyi, "Hmm... Sepertinya ada yang menjawab tweet-ku tanpa menyertakan namaku."

Yah, sekali lagi kecenderungan mengintai ini terbaca sang subyek. Harus merevisi beberapa pandangan umum tentang perempuan sepertinya. Karena, seperti yang terulang lagi, perempuan selalu tahu.


--
F I N
written on 13. Nov 2010, 15.10 WIB (UTC +7), 16.10 WITa (UTC +8)
Dear miss. I have no question to ask, for I think that you are my answer to it all.

Rabu, 10 November 2010

Setengah itu, diakah?

Aku punya rencana. Segudang rencana. Tentang hidup, tentang kehidupan. Dari hal semacam kemeja, kaus kaki, dan sandal jepit hingga beberapa lensa kamera, perjalanan ibadah, dan - ehem - setengah agamaku.

Tapi tentu saja, sebaik-baik manusia berencana, ada yang jauh, jauh paling Ahli Berencana. Mengenai kemeja, kaus kaki, sandal jepit, sementara ditunda dulu karena, yah, ada penundaan dari sisi hulu. He he he. Untuk rencana yang agak panjang, penundaan dari hulu itu ada juga pengaruhnya, tetapi berhubung masih (agak) panjang waktunya, tidak demikian masalah.

Nah yang terakhir itulah...

Cerita bermula dari masa-masa menjelang proses asesmen dari jejaring universitas se-ASEAN.Saat itu, keramaian terus terjadi di jurusan kami. Bolak-balik tiga lantai dalam 10 menit hal biasa.

Biasa sampai suatu hari mata yang kurang awas ini mendapati paras ayu di lantai 3 yang dulu jadi 'lantai kami'. Rambut hitam panjang terurai sebahu. Senyumnya membingkai sebaris gigi yang bersih. Kacamata minus menegaskan sepasang bola mata itu.

Ah, tidak... Mulai lagi.

Yang kuperbuat saat itu? Kau takkan percaya. Melihat daftar nama asisten lab tersebut. Dari pengetahuan dasarku tentang rekan-rekan dengan tahun masuk di bawahku, aku memperkirakan dari angkatan mana beliau. Kudapatkan dua nama, dan melalui 'bantuan' situs jejaring sosial karya M. Zu'berg, kudapatkan nama beliau, dengan beberapa data sampingan, yang terus dipantau sampai sekarang. *ups*

Kalau kamu tanya, "mengapa tak kau halangi saja jalannya dan tanyakan namanya?" ini jawabnya.

Selasa, 9. November 2010, menjelang tengah hari, lab lantai 3 di seberang lab yang diasisteninya. Aku 'mengantar' seorang kawan keluar pintu. Ternyata, di ujung koridor itu, beliau duduk dengan setidaknya seorang rekannya. Aduh, aduh, pandangan kami dipertemukan.

Dan yang terjadi? Balik kanan, langkah seribu, jalan!

Scene berikutnya seharusnya untuk perempuan. Ada sesosok tubuh menyandarkan diri ke pintu, bersembunyi, jantung berdegup lebih kencang, mulut mengutuk ketidakberdayaan dirinya. Masalahnya, yang ada di scene itu... Aku. Ah! :(

Itulah mengapa. Menjawab pertanyaanmu?

Baiklah. Pekerjaan rumah berikutnya adalah, bagaimana bisa memperkenalkan diri kepadanya. Yang aku ingin katakan sederhana saja, kok.

"Hei, aku Arif. Mmm.. Dari beberapa waktu lalu, aku sering lihat kamu. Boleh tahu namamu? Kalau tak keberatan, mungkin nomor telepon? Ini nomorku, kalau kamu berkenan, aku akan kirim pesan nanti petang, ya!"


--
F I N
written on 10. Nov 2010, 21.12 WIB (UTC +7), 22.12 WITa (UTC +8)
In this case, I heartily wish that it's as easier done as it is said, miss.

Selasa, 09 November 2010

Mata jendela hati (?)

Sepasang mata itu menatap mataku. Sedetik, dan terasa seperti, yah, sedetik. Sedetik itu otak tak bisa berpikir, dan detik berikutnya memerintahkan seluruh badanku berbalik dan sembunyi. Sembunyi di balik pintu, bersandar, jantung berdebar tiada aturan, nafas tersengal lebih dari melompati anak tangga tiga lantai. Tak bisa duduk aku, berdiri pun tidak.

Anak macam apa aku ini, bahkan anak perempuan pun ada yang bisa lebih dari itu.

Hanya kurang dari sepuluh langkah, dan pembicaraan kecil mestinya bisa mengawali satu cerita yang lain dalam lembaranmu. Meskipun juga bisa mengakhirinya sama sekali.

Kurang dari sepuluh langkah, di hadapan sekurangnya empat pasang mata yang lain, satu benang bisa terjalin. Sepuluh langkah yang berat, dan lebih mudah untuk kembali dan menyimpannya.

Langkah yang dapat jadi sesal seterusnya.

Maaf, aku tak sopan. Semestinya aku tak memandangmu. Semestinya aku tak mengetahui dirimu ada di hariku. Mestinya. Ah, mestinya.

--
F I N
written on 9. Nov 2010, 14:10 WIB (UTC +7) 15:10 WITa (UTC +8)

Dear, miss F. I wish my message is conveyed clearly through the air, between our eyes. :(

Sabtu, 30 Oktober 2010

Ulasan: Venom Camera Cover (M)

Jadi, 17 Oktober 2010 kemarin, aku berkesempatan ikut berpartisipasi dalam acara komunitas fotografi Fotografer.net (FN) bertajuk "Jakarta Street Hunting VI" (JaSH VI). Ini kedua kalinya aku ikut serta. Tahun kemarin aku pertama kali ikut dengan kamera EOS 500N milik ayah, lensa 50mm/1.8 yang beberapa waktu sebelum hari-H JaSH V berhasil terbeli, dan tiga rol film hitam putih Lucky SHD. Sebagian foto-fotonya (JaSH V & VI) bisa dilihat di laman twitpic-ku (maaf, aku pengguna twitter dan hal-hal terkait yang tergolong 'kelas berat').

Lepas acara hunting berkeliling kawasan Kota dan sekitarnya, sebagian peserta mengistirahatkan diri di Kantin Megarasa kawasan kota tua Jakarta (KKJ). Saat itulah ada 'pengundian' hadiah-hadiah. Aku termasuk beruntung mendapatkan sebuah kantung untuk menempatkan kamera. Kantung (soft pouch/pouch) ini dihadiahkan oleh toko kamera V3 technology (URL di sebelah bukan URL iklan per klik atau iklan manapun, aku tidak terkait dengan penjual manapun).

Oke, menuju ulasan. Menurut laman produk tersebut di situs v3, kantung ini adalah...

Camera covers provide the best lightweight,compact protection for your travels,outdoor activites and storage.The elastic and foam padding qualities of neoprene protect your valuable camera equipment from bumps,moisture and dirt.

The stretching ability of the Camera cover enable an SLR camera with a lens up to 5.6 inches long to slip into the form fitting cover.

Kedengarannya bagus. Melindungi dari benturan, kelembaban, dan debu. Sepertinya akan berguna untuk orang yang cenderung ceroboh mengelola kepemilikannya seperti, yah, aku sendiri. Tapi mari kita lihat saja.

Kamera yang kupunya kamera EOS 20D, dengan lensa 50mm/1.8. Kombinasi yang kecil, relatif (sekali lagi, relatif) ringan. Selama ini kutempatkan mereka dalam tas ransel besar (kelewat besar) yang memiliki kompartemen untuk peralatan fotografi - beserta lensa 28-200mm milik ayah, dan terkadang lampu kilat yang juga milik ayah yang sudah tak pernah beliau pakai lagi.

Kendalanya adalah, kombinasi ini membuat tas menjadi terlihat besar dan seolah berat. Besar memang, tapi berat relatif tidak sebetulnya. Masalah volume ini juga cukup memusingkan, karena besarnya ruang yang dikonsumsi oleh kompartemen fotografi ini membuat ruang untuk keperluan lain berkurang. Keperluan lain di sini termasuk komputer jinjing (kojing), alat tulis, baju, sandal, senter (?), dan sendok (?) menjadi berkurang, dan kalau dipaksakan malah membuat tas terlihat jauh lebih besar lagi.

Terima kasih kepada FN dan V3 untuk pemberian berupa kantung ini. Perlindungan kantung yang relatif kecil ini membuat ada ruang untuk perkakas lain yang mungkin kumasukkan. Lensa dan lampu kilatnya? Bisa diselipkan di antara pakaian kok. Tasnya sendiri cukup tebal dan tahan air.

Satu hal yang membuatku agak kurang puas adalah, ukurannya. Di tengah-tengah menjamurnya minat dan 'minat' fotografi, lensa prime (satu panjang fokal seperti 50mm milikku) menjadi terkucil di rimba lensa vario. Mungkin alasan mengapa kantung ini cukup panjang adalah untuk mengakomodasi lensa vario yang cenderung lebih besar. Aku mungkin akan mempertimbangkan kalau ada kantung yang lebih kompak untuk kamera yang dipasangkan dengan lensa "prime". Tapi itu sekadar saran saja.


Soft pouch yang untuk keperluan foto diisi EOS 500N (kelas pemula) dan lensa Sigma 28-200mm milik ayah

Yang jelas, sejauh ini aku cukup puas dengan kantung pemberian ini. Hati terasa lebih tenang karena lebih yakin kameraku yang diperjuangkan lama tidak akan tergores sia-sia. Memang kantung ini belum pernah teruji lapangan, tetapi ada kemungkinan Ahad (31/10) ini akan kubawa berjalan-jalan menemani kameraku. Akan kuperbarui kalau sudah terjadi.

kalau boleh memberi nilai: **** dari *****, hanya karena ukurannya terlalu besar. :)

--
F I N

written on 30. Oktober 2010, 14.12 WIB (UTC +7), 15.12 WITa (UTC +8)
:)

Jumat, 22 Oktober 2010

Sedikit saja

Lama rasa-rasa itu tak singgah.
Kini singgah lagi ia ke beranda pikiranku.
Dari sudut jendela buram lab tempatku bernaung.
Ke seberang selasar ku memandang.
Kuharap makhlukMu itu duduk di sana.
Dan kuharap padaMu, pandangan kami dipertemukan.
Dan kuharapkan sedikit saja dariMu.

Selasa, 19 Oktober 2010

Opini: Berlalu lintas di Jakarta

Sebagai permulaan, anggap saja ini surat dariku untuk kita semua, pengguna jalan, yang sedikit banyak menyumbang merah hitam lalu lintas di Jakarta (dan kota-kota penyangga di sekitarnya).

***
Jakarta, 19. Oktober 2010,

Petang ini, seperti petang-petang lainnya antara Senin hingga Jum'at, aku melajukan sepeda motor dari tempatku beraktivitas sehari-hari di kampus yang rimbun di tepi Jakarta. Sweater, jaket, celana panjang, helm, semua siap. Tidak bersarung tangan aku karena dua hal: membatasi pergerakan jari jemari di atas tombol kendali sepeda motor, dan perjalananku tak demikian jauh. tak sampai 10 km sehari-hari.

Keluar dari pintu jurusan, melewati pintu fakultas, dan memutari putaran untuk melaju ke arah pintu keluar kampus. 100 meter bergerak, terlihat di kaca spionku ada pengendara motor lain yang gelagatnya akan mendahului. Tetapi, mengapa hendak mengambil jalur kiri? Segera kumasukkan tanda berbelok ke kiri, kupastikan aman, dan kubiarkan dia melewatiku. Dari kanan.

Itu baru sekali, kawan. Kamu yang menempuh perjalanan jauh lebih panjang pasti lebih sering mengalaminya. Mendahului dari kiri, kalaupun tidak ada aturan tertulisnya, pada lalu lintas setir kanan seperti di sini sebenarnya berbahaya. Siapa yang tahu kalau ada pedagang baso tengah berjalan di sisi kiri? Atau ada lubang dalam di lajur yang sama? Pun demikian, terkadang 'kesalahan' juga ada pada pengguna jalan di depan yang tidak awas pada adanya kendaraan lain yang hendak mendahului. Ketidakawasan ini membuat pengguna jalan tersebut tidak memberi kesempatan pengguna lain untuk mendahului. Saranku, pengguna yang hendak mendahului sebaiknya memberi tanda lampu (sein kanan) sebelum mendahului. Bila tidak terlihat itikad baik dari pengguna di depan, boleh lah, diberikan isyarat lampu (dim) atau klakson pendek sekadar untuk mengingatkan. Mudah-mudahan baik hasilnya.

Kemudian, selepas gerbang kampus, sepeda motorku masih melaju kira-kira 50 kpj. Mengambil lajur kiri, dan tetap di jalurnya. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba ada sepeda motor menyeberang, memotong jalan hendak melintasi pembatas jalan yang telah disulap menjadi landaian. Sontak aku mengerem dan membunyikan klakson panjang dan lampu dim. Cuma itu yang bisa kuperbuat saat itu (meskipun 10 meter ke depan sempat memberi 'isyarat jari' dengan tangan kiri yang bebas ke arah belakang).

Jalan itu sebetulnya satu arah, tetapi terdiri dua bagian kiri dan kanan yang terpisah pembatas. Jalan baru, memang yang di sisi kanan. Tetapi entah mengapa sebagian pengguna malah menyeberangi jalan baru tersebut untuk melintasi rel kereta. Padahal perlintasan kereta api lain ada tak sampai 2 km dari situ. 2 km di atas kendaraan tentu tidak terasa, semestinya.

Mungkin ini salah satu bentuk kerakusan yang kurang disadari pengguna jalan: kerakusan waktu. Bahwa ingin cepat sampai sebelum terlambat, itu niat baik. Tetapi apabila pelaksanaan niat tersebut dengan jalan yang tidak baik, apalagi sampai membahayakan pengguna jalan lain? Ah, entahlah. Mungkin rasa ke-aku-an yang menjadi raja di berbagai segi sekarang ini menyumbang banyaknya kecelakaan lalu lintas.

Tak 100 meter dari situ, ada lagi kejadian 'lucu'. Pengendara sepeda motor lain, dalam satu massa besar, yang baru melintasi rel kereta yang sama dari arah berlawanan, hendak memotong dan kemudian berjalan melawan arus! Sekali lagi klakson panjang, dan lampu dim menyambut mereka. Salam dariku.

Pertama. Mereka tidak hanya memotong perlintasan KA, tetapi juga dua lajur di jalur kanan demi mendekati ujung pembatas jalan. Masalahnya: jalur kanan yang tadinya dua lajur dalam beberapa puluh meter setelah ujung pembatas jalan tersebut menyempit menjadi satu, bersatu kembali dengan dua lajur dari jalur kiri. Terbayang bukan, huru-hara yang terjadi saat beberapa belas sepeda motor beramai memotong jalur tersebut?

Kedua, mereka memutar untuk melawan arus. Memotong dua lajur lagi. Eee... Mengerikan. Betapa sering mereka memaksakan demikian padahal kendaraan dari arah yang mereka lawan tidak sedikit. Bahaya untuk mereka, bahaya untuk mereka yang arahnya dilawan. Berbahaya juga untuk pejalan kaki, karena di situ tidak tersedia trotoar yang memadai. Bahaya. Diabaikan.
***

Sedikit kasus yang kupaparkan itu hanyalah potongan kecil dari gambar besar apa yang dikerjakan sebagian pengguna jalan. Berlebihan? Mungkin. Tetapi biaya bila terjadi kecelakaan juga seringkali lebih dari kemampuan pengguna jalan yang menjadi korban.

Mungkin sekarang saatnya menanggalkan baju ke-aku-an dan menggantinya dengan busana ke-kita-an. Mudah-mudahan baik untuk kamu, aku, semua.


F I N
written on 19. Okt 2010, 19.45 WIB (UTC +7), 20.45 WITa (UTC +8)
Yes, it's a cliché, but if you want something right, do it yourself (first). I'll try to.

Kamis, 22 Juli 2010

Ulasan: Komputer jinjing ASUS K40IJ VX-266

Ini dia yang kujanjikan. Terlambat dari jadwal yang saat itu kutetapkan ya? Eh, kutetapkan dalam hati saja ternyata. Tadinya rencana akan kubuat tulisan ini dalam sepekan sejak pertama kali komputer ini kupergunakan. Ternyata mulur sampai sekarang ini. Aduh, maafkan, maafkan.


Kojing Asus K40IJ-VX266 (mati) terbuka dengan buku petunjuk di depannya

Untuk menyingkat cerita, langsung saja kita mulai. Pertama kali, data dari komputer jinjing (kojing) ini, kira-kira sebagai berikut:

Merk : ASUS
Tipe : K40IJ-VX266
CPU : Intel Pentium Dual Core T4500 2,3GHz
RAM : 2GB DDR2 800
GPU : Intel GMA 4500M
HDD : WD 320GB, 8MiB buffer, 5400rpm
ODD : 8X Super-Multi dual layer
WLAN : 802.11 a/b/g/n (atau draft n ya? Entah)
Monitor : 14" HD (lampu latar: LED)
Baterai : 6 sel
Papan ketik : QWERTY tata letak AS (Amerika Serikat)
OS : Tidak ada

Harga pembelian kojing ini pada saat itu adalah empat juta enam ratus ribu rupiah. Tipe ini (J) adalah yang paling murah dari keluarga ASUS K40I. Berturut-turut dari yang termahal hingga ke yang termurah (kalau tidak salah ingat): K40ID, N, E, J. Spesifikasi lain - bentuk, besaran memori, besaran kandar keras (HDD), WLAN, ODD, layar monitor, dsb - pada dasarnya sama. Mungkin ini yang membuat Asus bisa menekan harga keluarga kojing ini.

Perbedaan utama tipe-tipe ini adalah pada peranti proses grafis (yang secara langsung atau tidak, memengaruhi
chipset/north bridge dan south bridge yang digunakan). Tiap-tiap tipe memiliki subtipe yang dibedakan oleh jenis prosesor yang digunakan. Tipe K40IJ sendiri ada yang ditenagai peranti proses utama dari keluarga "core 2 duo" dan "pentium dual core" dari Intel. Seri dengan prosesor core 2 duo (T6xxx) berharga lebih mahal daripada seri dengan prosesor dual core. Pada kasusku, bedanya cukup lumayan, sekitar lima ratus ribu rupiah.


Kojing dalam keadaan tertutup dan tersambung ke jaringan listrik

Sepintas pandang

Dari pandangan luar, komputer ini terkesan rapi, dan sederhana. Kulit luarnya tidak bertekstur, hanya diberi motif titik-titik, dan cenderung mengilap (glossy). Dari pengalamanku, jenis yang seperti ini mudah mengundang sidik jari untuk menempel.

Tata letak papan ketik juga logis, dengan semua tuts untuk keperluan mengetik berukuran seragam dan serupa dengan papan ketik komputer meja. Meskipun demikian, letak tuts "delete" yang berdekatan dengan "home" bisa menjadi gangguan untuk beberapa orang.


Sisi kanan K40IJ-VX266, kanan ke kiri: lubang pengisi daya, RJ45/LAN, keluaran VGA, dua USB, masukan mikrofon, serta keluaran audio

Komputer ini mempunyai 4 lubang untuk perangkat USB. Dua di sisi kanan, dan dua di kiri. Tidak terlihat ada selot ekspansi lain seperti PCMCIA, "express card" atau semacamnya. Meskipun demikian, lubang USB yang berjumlah 4 sepertinya tergolong cukup 'langka' dan banyak untuk standar kojing masa kini.


Sisi depan dan tata letak papan kunci K40IJ (dan seri K40I umumnya)

Penempatan tombol saklar nyala/mati di pojok kanan atas juga cukup membantu pengguna bertangan kanan, meskipun agak kurang ramah untuk pengguna kidal. Lampu-lampu indikator juga tidak banyak, hanya ada enam (tiga di dekat saklar nyala/mati, tiga di tepi yang nampak meskipun saat kojing dalam keadaan tertutup). Di bawah lampu indikator yang dekat dengan pengguna, ada tonjolan. Tidak, ini bukan semacam kenop untuk membuka kojing. Tonjolan itu berasal dari replika kartu memori SD/MMC yang dimasukkan ke dalam lubang pembaca memori flash. Menurut tulisan di dekat lubang tersebut, kojing ini diklaim dapat membaca kartu memori tipe MMC, SD, dan MS. Sementara di kanan dan kirinya ada lubang pengeras suara.

Kojing ini cukup berbobot, dalam artian berat. Diklaim memiliki berat 2,4 kilogram. Ukuran layar yang besar dan integrasi kandar optik sepertinya merupakan penyumbang utama berat kojing ini.


Sisi kiri (dari pengguna) (dari kiri ke kanan) diisi kandar optik, dan dua lubang USB

Adapun rancangan kojing ini yang juga agak berbeda dari kojing yang banyak dijumpai adalah penempatan baterai. Rancangan lubang buangan panas yang sepenuhnya di belakang layar monitor tidak memungkinkan baterai dengan ukuran yang cukup untuk ditempatkan di sisi yang sama. Baterai yang diklaim memiliki 6 sel ini pun akhirnya diletakkan di bawah palm rest di sisi kanan pengguna. Penempatan baterai pun cukup baik, tersembunyi di bawah penutup, sehingga tidak mengesankan kekosongan saat baterai dicabut.


Sepanjang jalan

Dari pandangan tadi, saatnya mengulas hal-hal terkait kinerja kojing ini. Tidak, tidak. Tak ada tolok ukur kuantitatif di sini, kecuali beberapa yang sederhana yang bisa kuakses. Mengingat awalnya kojing ini tidak dilengkapi sistem operasi (SO), tentu hal pertama yang diperbuat adalah mengisi kojing ini dengan SO. Untuk kepentingan prinsip dan masa mendatang (siapa tahu ada rizki untuk menambah ukuran RAM), aku memilih Linux Mint 9 (nama kode: Isadora) x64 (versi 64-bit).


Stiker yang ditempel di sebelah kanan touchpad menyatakan "IceCool Palm Rest, serta keterangan lain

Oke, kita awali dengan pembuktian klaim 'sedingin es' (biasa lah, bahasa pemasar) dari pabrikan. Menurut Asus, seri K40I ini dioptimasi agar tetap nyaman bagi pengguna. Kenyamanan ini berupa suhu tempat kita meletakkan tangan untuk mengetik (palm rest) yang diklaim 25% lebih rendah dari suhu tubuh. Kalau suhu normal adalah 37 centigrade, maka setidaknya suhu palm rest berada pada kisaran 28 °C. Aku tidak punya termometer, tetapi dari yang kurasakan, setidaknya rasa panas yang kadang timbul di daerah palm rest bisa dibilang tidak ada. Rancangan pembuangan panas keluarga kojing ini yang diletakkan seluruhnya di sisi belakang, dan tidak ada lubang pembuangan di sisi kanan maupun kiri, sepertinya sangat membantu.


Stiker klaim dari pabrikan, touch pad, serta lampu indikator (kiri-kanan) aktivitas HDD (mengedip tidak teratur, warna hijau LED); baterai lemah (jingga mengedip teratur)/mengisi baterai (menyala jingga), dan; keadaan kojing (saat stand-by mengedip)

Sejauh ini, aku belum pernah mengalami suhu yang tinggi (dalam artian panas yang terasa berlebihan) pada komputer ini, baik di sisi palm rest tersebut, maupun sisi lain. Bahkan lubang buangan panas di sisi belakang pun maksimum hanya terasa hangat, tidak ada yang berlebihan. Bahkan setelah waktu berjalan sampai dua hari lewat, tidak terasa panas yang berlebihan - hal yang baik untuk barang elektronik, tentu saja.


Ah, Mark Twain. Kadang jenaka. Eh, maksudku, kojing cukup sering ditinggal dalam modus stand by pada akhir pekan. Misalnya kali itu, dua seperempat hari

Layar bergetar

Adapun mengenai monitor, ada dua hal yang kukeluhkan, meskipun mungkin tidak umum. Yang pertama adalah kontras monitor yang kurasa berlebihan. Saat pengaturan kecerahan melalui kombinasi tombol fungsi (fn+F5 untuk meredupkan, F6 untuk mencerahkan) sudah mencapai titik terendah, monitor ini masih terlalu terang. Putih yang dihasilkan habis (white wash) dan hitam juga. Hal ini mengganggu, terutama saat menyunting foto dengan beda kekontrasan yang keras.

Hal ini bisa diatasi dengan pengaturan kontras melalui peranti lunak (yang selalu kujalankan di awal menyalakan komputer). Untuk sistem GNU/Linux, bisa gunakan peranti "xcalib". 80% dari kekontrasan terendah cukup. Untuk "kalibrasi" yang gratis bisa berkunjung ke photofriday, andalanku.

Yang kedua mengenai monitor adalah, bahwa monitor terkadang seperti mengedip atau bergetar. Sebab pastinya belum kuketahui, mengingat kemunculannya yang tiba-tiba dan tak terduga. Yang jelas, gambar seperti bergetar/beriak selama kurang dari sedetik sebelum kembali normal. Sejauh ini tidak terlalu sering, tetapi kalau sekiranya nanti menjadi-jadi, tentu ini harus kukonsultasikan dengan penyedia layanan perbaikan.

Lanjut ke bagian kedua ya? Daya tahan baterai, sampai kesimpulan. Maaf terpaksa diputus. :)

--
Bersambung
written on 21. Jul 2010

NB: Semua merk dagang adalah milik pemiliknya yang sah, dan dipergunakan hanya untuk kepentingan penerangan.

Ulasan: Komputer jinjing ASUS K40IJ VX-266 (bagian II)

Daya tahan

Oke, dari bagian pertama, kita sampai pada layar monitor. Pada bagian kedua ulasan pribadi saya tentang kojing ASUS K40IJ VX266 ini kumulai dari daya tahan baterai. Baterai kojing ini sendiri diklaim memiliki enam sel. Tidak kutemukan klaim daya tahan baterai untuk kojing ini, tetapi dari pabrikan lain mengklaim kojing dengan baterai sejenis dapat bertahan selama 3 jam.

Uji cobanya sederhana saja. Kojing dipergunakan dulu sampai Isadora (Linux Mint 9) memperingatkan bahwa daya hampir habis dan akan segera berhibernasi. Keadaan baterai menurut indikator/applet baterai berada pada posisi tersisa lima menit. Kemudian, pengisi daya disambungkan ke jala-jala listrik PLN. Lampu indikator baterai berwarna oranye pun menyala menunjukkan pengisian tengah berlangsung. Pengisian selesai ditandai dengan lampu indikator yang mati

Kemudian, kojing dinyalakan, sistem operasi dimuat, dan digunakan seperti biasa. Definisi biasa di sini adalah: pengetikan dokumen dengan OpenOffice.org writer 3.2, perambahan internet dengan Mozilla Firefox 3.6, WLAN aktif, pembaruan/update otomatis berjalan di latar belakang, tidak menyetel musik maupun video, serta aplikasi IM (pidgin) pun siaga.

Hasilnya? Bervariasi. Kadang saat sedang merambah, aku pun iseng menjalankan permainan online (zuma, inca balls, bejeweled). Saat itu, baterai hanya bertahan mungkin sekitar 1 jam 30 menit hingga 2 jam. Tetapi saat murni bekerja (dan merambah internet), fungsi uptime menunjukkan peringatan untuk mengisi ulang daya baterai tiba saat SO telah berjalan sekitar 2 jam 45 menit hingga 3 jam kurang beberapa menit dengan rerata beban antara 0,6 (60%) hingga 90%. Menawan. Peran lampu latar LED sepertinya cukup besar di sini.

PEMBARUAN: Penggunaan tanpa WLAN memperpanjang waktu komputer dapat berjalan, tanpa penambahan panas buangan. Perpanjangan sampai dengan 45 menit untuk penggunaan ringan, atau total 3 jam 45 menit untuk membaca buku elektronik dan mengetik/membuat dokumen.

Tombol-tombol cepat

Ketiadaan kenop-kenop ataupun tombol kendali luar selain tombol daya membuat komputer ini banyak mengandalkan kombinasi tombol untuk mengatur peranti kerasnya. Tombol fungsi (Fn) yang dikombinasi tombol lain menmegang peran di sini. Tombol berwarna biru (maaf untuk kamu yang tidak membedakan warna) yang diapit tombol 'Ctrl' dan tombol jendela/bendera berkibar (logo windows) ini dapat mengaktifkan 19 fungsi berbeda (dibagi dalam 11 kelompok fungsi).

Fungsi tersebut tersebar di deret atas (F1, F2, F5-F12, serta Insert dan Delete di pojok kanan atas) untuk memerintahkan pelbagai fungsi terkait komputer: sleep, mengaktifkan WLAN, touchpad, volume suara (mati, naik ,turun), pengaturan kecerahan layar, pemilihan keluaran tampilan (monitor atau layar/presentasi), serta dua kunci papan angka dan pergeseran (Num. Lk dan Scroll. Lk).

Adapun emulasi tombol angka seperti pada papan ketik komputer meja ada di sebagian deret angka dan huruf di papan kunci yang akan aktif bila menekan Fn+Insert (Num. Lk). Fungsi Scr. Lk belum berhasil aku jalankan di Isadora, juga di beberapa versi Linux Mint yang sebelumnya di komputer meja.

Berikutnya pengendali multimedia. Suara/musik lebih tepatnya. Tombol panah dapat beralih fungsi menjadi tombol mainkan, hentikan, lagu selanjutnya, maupun lagu sebelumnya.

Meski demikian, ada 3 fungsi lagi yang tidak berhasil bekerja di lingkungan Isadora yang kupegang. Ada gambar monitor komputer meja bertuliskan huruf S, kamera (kamera web sepertinya), dan tombol "ASUS 4 Power Gear" (pengaturan manajemen daya, kalau tidak salah mengartikan). Sepertinya itu terkhusus untuk SO berlogo bendera berkibar itu.

Sejauh ini, respon tiap-tiap tombol yang beroperasi cukup baik, kecuali pengaturan kecerahan layar. Tapi itu tidak masalah untukku, kecerahan kuatur di posisi terendah (yang ternyata terlihat terlalu terang juga), kemudian kecerahan lebih rendah didapat melalui peranti lunak. xcalib nama peranti itu, kecil ringan dan berbasis baris perintah. Tetapi tetap efektif.

Multimedia

Dari stiker (ee.. Sablonan?) yang ada di pojok kiri atas papan ketik, keluaran suara dipegang oleh Altec, salah satu merk yang jamak ditemui, meskipun bukan merk papan atas seperti HK, JBL, atau yang lainnya (kata @panji sih begitu :D). Suara yang dihasilkan jernih, cukup jelas untuk mendengar pembicaraan atau percakapan, dari film misalnya. Akan tetapi, begitu beralih ke musik, baru terasa suaranya ternyata datar. Frekuensi rendah (bass) tidak keluar, dan frekuensi tinggi rasanya masih agak kurang (jangan tanya kurang apa. Kurang, kalau dibanding suara dari pelantang yang menengah yang diturunkan dari ayahku). Penempatan lubang pengeras suara di dekat tempat meletakkan tangan dan menghadap ke bawah sepertinya memengaruhi keluaran suara. Sebab permukaan yang berbeda menghasilkan suara yang lain pula.

Mengenai kamera 1,3 megapiksel yang tersedia di atas tengah layar monitor, pendapatku masih cukup baik. Pada keadaan cahaya yang cukup. Menggunakan aplikasi 'cheese', dalam temaram lampu 11W CFL di ruanganku hasilnya penuh noise (pasir). Tetapi, di ruang yang sama pada siang hari, hasilnya cukup lah untuk sensor kecil. Berikut gambar-gambar yang pernah diambil di berbagai pencahayaan. Klik untuk versi lebih besar. Dari kiri searah jarum jam: lampu CFL ~20W ruangan luas, cahaya matahari, beberapa lampu TL 40/60W di lab.





Simpulan

Sejauh aku menggunakan kojing ini, aku masih puas. Poin plus untuk daya tahan baterai dan touchpad yang mengenali sentuhan beberapa jari (satu untuk geser juga klik, dua jari menggulung, tiga jari klik kanan) merupakan fitur yang sangat berguna untuk kegunaan sehari-hari. Meskipun penggunaan tablet/digitiser lebih disarankan saat mengolah foto. Tombol kombinasi multimedia juga berguna, saat tiba-tiba ada keperluan, musik bisa ditahan dulu dengan dua sentuhan saja. Tidak repot.

Meski demikian, hal yang menjadi kendala adalah struktur papan ketik. Pengetik buta seperti aku (maksudnya, tidak melihat papan ketik saat mengetik) sering salah menekan tombol delete menjadi home (lalu terhapus dari depan), atau panah kanan dengan end, juga panah atas alih-alih enter/return. Pada kojing yang kupakai, tombol backspace terkadang menghapus banyak huruf sekaligus, meskipun hanya mendapat sentuhan ringan. Ini cukup mengganggu, meskipun bisa diatasi dengan menekan tombol tersebut dengan mantap.

Mengingat ini kojing pertamaku dan ulasan pertamaku, kurasa tidak patut ku mengkuantifikasi penilaian tadi. Mudah-mudahan bermanfaat.


--
F I N
written until 15. Okt 2010, 20.54 WIB (GMT+7), 21.54 WITa (GMT+8)
Mengulas lagi atau tidak ya? Hmm.. :D

Kamis, 15 Juli 2010

Idealis Pemimpi (Dreamy Idealist)

Ehm. Ini agak remeh, mungkin. Jadi kalau ada yang mau melewatkan tulisan ini, silakan. Sebelum terlambat.

Berangkat dari tulisan temanku, Deena di blognya, aku mendapatkan tautan yang menarik. Yah, menarik karena sampai sekarang aku masih tidak begitu mengerti siapa aku sebetulnya *malu*. URL-nya ada dari ipersonic.com, aslinya berbahasa Inggris, tetapi telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Menurutku sih, sesuai dengan persepsiku terhadap aku selama ini.

Tidak berpanjang lebar lagi, ini hasilnya (dalam bahasa Indonesia tidak begitu lengkap, tapi cukup).


Tipe Idealis Pemimpi sangat berhati-hati dan oleh karenanya tampak pemalu dan pendiam bagi orang lain. Mereka berbagi kehidupan emosional mereka yang kaya serta pendapat-pendapat kuat mereka dengan sedikit sekali orang. Namun orang sering keliru menilai mereka dingin dan pendiam. Mereka memiliki sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang murni dan mulia yang menonjol di dalam diri mereka yang demi hal-hal itu mereka bersedia mengorbankan banyak hal. Joan of Arc atau Sir Galahad adalah contoh tipe kepribadian ini. Tipe Idealis Pemimpi selalu berusaha keras memperbaiki dunia. Mereka dapat sangat memikirkan orang lain dan melakukan banyak hal untuk mendukung mereka dan membela mereka. Mereka tertarik dengan sesama mereka, penuh perhatian dan murah hati terhadap mereka. Begitu antusiasme mereka akan suatu hal atau orang bangkit, mereka dapat menjadi pejuang yang tak kenal lelah.

Bagi tipe Idealis Pemimpi, hal-hal praktis tidak benar-benar penting. Mereka hanya menyibukkan diri dengan tuntutan-tuntutan harian yang duniawi saat benar-benar perlu. Mereka cenderung hidup sesuai dengan semboyan „yang jenius mengendalikan kekacauan“ – yang biasanya memang demikian sehingga biasanya mereka memiliki karir akademik yang gemilang. Mereka kurang tertarik dengan detail; mereka lebih suka melihat sesuatu secara keseluruhan. Ini artinya mereka masih memiliki pandangan menyeluruh yang baik ketika sesuatu mulai menjadi rumit. Namun demikian, sebagai akibatnya, sesekali dapat terjadi tipe Idealis Pemimpi melewatkan sesuatu yang penting. Karena mereka menyukai kedamaian, mereka cenderung tidak terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan atau kejengkelan mereka melainkan memendamnya. Ketegasan bukan salah satu kekuatan mereka; mereka membenci konflik dan persaingan. Tipe Idealis Pemimpi lebih suka memotivasi orang lain dengan sifat ramah dan antusias mereka. Barangsiapa mendapatkan mereka sebagai atasan tidak akan pernah mengeluh kekurangan pujian.

Di tempat kerja, tipe Idealis Pemimpi adalah teman dan pasangan yang suka menolong dan setia, orang-orang yang memiliki integritas. Kewajiban sangat sakral bagi mereka. Perasaan orang lain penting bagi mereka dan mereka senang membuat orang lain bahagia. Mereka puas hanya dengan lingkaran kecil pertemanan; kebutuhan mereka akan kontak sosial tidak begitu menonjol karena mereka juga butuh banyak waktu untuk diri sendiri. Basa-basi kecil bukan keahlian mereka. Jika seseorang berharap berteman dengan mereka atau memiliki hubungan dengan mereka, orang itu harus mau berbagi dunia pemikiran mereka dan bersedia berpartisipasi dalam perbincangan mendalam. Jika Anda berhasil melakukan itu Anda akan dianugerahi dengan kemitraan yang luar biasa intensif dan kaya. Karena tuntutan-tuntutan mereka yang tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain, tipe kepribadian ini kadang-kadang menjejali hubungan dengan gagasan-gagasan romantis dan idealis hingga tingkat tertentu sehingga membuat pasangan merasa terbebani atau minder. Tipe Idealis Pemimpi tidak jatuh cinta dengan mabuk kepayang namun ketika mereka jatuh cinta mereka menginginkannya menjadi cinta sejati yang tak berkesudahan.
======
Adjectives which describe your type: introverted, theoretical, emotional, spontaneous, idealistic, dreamy, effusive, pleasant, reserved, friendly, passionate, loyal, perfectionist, helpful, creative, composed, curious, obstinate, with integrity, willing to make sacrifices, romantic, cautious, shy, peace-loving, vulnerable, sensitive, communicative, imaginative


Bagaimana menurutmu?


--
F I N
written (& pasted) on 23:52 WIB (UTC +7)
Those adjectives... -_-