Selasa, 20 Mei 2014

Perbankan-Asuransi. Perlukah?


Bismillah, alhamdulillah. Shalawat dan salam kita sampaikan untuk Rasul-Nya (s.a.w*), begitu juga untuk keluarganya dan Sahabatnya.
Baiklah, tulisan berikut tidaklah merupakan tulisan ilmiah, melainkan sebagian besarnya merupakan pendapat penulis.

Perbankan. Asuransi. Dua kata yang jamak terdengar pada kehidupan 'modern' atau masa kini. Dua kata yang sepertinya tidak bisa lepas dari keseharian. Tapi apa benar demikian?

Perbankan, berdasarkan yang penulis pahami, merupakan suatu institusi yang menjadi perantara keuangan yang 'dipercaya'. Uang yang ada pada bank, umumnya dari simpanan nasabah nantinya disalurkan kepada orang yang memintanya. Penyaluran dan penyimpanan tersebut lazim dilakukan dengan pertambahan, baik pada besar simpanan ataupun pinjaman.

Di lain pihak, asuransi -- juga sesuai yang penulis pahami -- merupakan lembaga yang 'menjamin' adanya pendanaan untuk kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (kecelakaan, sakit, meninggal dunia, kecurian, ...) pada diri pelanggannya. Pelanggan membayar uang sedemikian dan sedemikian, dan berhak meng-'klaim'  sejumlah uang yang diperlukan untuk kejadian tersebut.

Dari pemahaman tersebut, dan dengan pengalaman penulis terkait kedua lembaga tersebut, penulis memandang bahwa kedua institusi ini cenderung 'redundant' (berlebihan). Barangkali muncul dan berkembangnya kedua jenis lembaga ini bermula dari lunturnya semangat saling menolong di tengah-tengah masyarakat. Penulis akan coba membahas keduanya satu persatu.

PERBANKAN
Sebagai seorang muslim (penganut agama Islam), penulis mengetahui bahwa "riba" merupakan hal yang diharamkan, alias dilarang, atau tidak boleh dikerjakan. Dan di antara definisi riba yang sampai kepada penulis adalah adanya tambahan pada pengembalian pinjaman. Definisi ini masuk langsung kepada praktik yang lazim pada perbankan. Pelanggan (nasabah ? ) menyimpan (meminjamkan) uang kepada bank, dan bank memberikan tambahan, yang dikenal sebagai bunga, pada jangka waktu tertentu. Begitupun pada praktik pinjaman dari bank. Dengan demikian, maka praktik tersebut tidak boleh dikerjakan sama sekali. Dari sini maka semestinya perbankan tersebut ditinggalkan.


Sebelum kita memasuki pintu Bank Syari'ah, yang diklaim merupakan 'solusi' bagi perbankan -- yang penulis sendiri belum memahami cara kerjanya, penulis akan mencoba menawarkan sebuah solusi yang bukan perbankan sama sekali. Sebab bagaimanapun 'Syari'ah' namanya, bila ternyata praktiknya tidak sesuai dengan yang disyari'atkan, maka syari'ah lama kelamaan bisa jadi hanya sekadar tempelan. Dan lebih ngeri lagi bila tempelan tersebut ternyata digunakan untuk upaya melegalkan sesuatu yang tidak boleh dilegalkan. Solusi tersebut akan penulis sampaikan di akhir pembahasan, bersama dengan sub pembahasan berikut.

ASURANSI
Asuransi, seperti pengertian di atas, memberikan 'solusi' kebutuhan dana pada keperluan mendesak. Tapi kenyataan yang penulis ketahui, solusi tersebut kadang tidaklah "ada kebutuhan = ada dana", karena kaitannya dengan prosedur atau aturan yang berbelit-belit-belit dari penyedia asuransi. Belum lagi, sebagai contohnya 'asuransi pendidikan', apabila ternyata si anak tidak pernah mencapai usia pendidikan (karena keburu dipanggil Allah Yang Maha Kuasa), maka gugurlah asuransi tersebut tanpa pernah orang tua mendapat manfaat yang diinginkan. Dari itu, dan dari yang penulis pahami, ada unsur 'perjudian' pada asuransi. Sementara, Allah telah mengharamkan judi untuk hamba-Nya. Lalu harus bagaimana?

TETANGGA
Inilah yang ingin penulis sampaikan. Ada yang mengatakan bahwa "tetangga itu saudara yang tinggal dekat dengan kita" atau semacam demikian. Tentu kita yang hidup bertetangga merasakan berapa seringnya bila suatu ketika kita ingin mengganti lampu namun tidak ada tangga, kita datang ke tetangga yang mempunyainya. Atau, apabila tetangga hendak mengadakan acara besar, kita bersedia urun membantu memasakkan makanannya. Lalu seandainya ada penghuni rumah sebelah yang mengalami serangan penyakit berat, dan tidak memiliki kendaraan, kita bersukarela mengantarkan ke rumah sakit.

Sebagai muslim, kita barangkali pernah mendengar bagaimana akhlaq (budi pekerti) Rasul kita (s.a.w) kepada tetangganya. Dari situ, disarikan berbagai hak (dan kewajiban) tetangga yang semestinya dipenuhi. Silakan merujuk ke tautan ini. Di antaranya adalah semangat berbagi kepada tetangga.

Penulis ingin sekali mengulangi gagasan bahwa dengan kehidupan bertetangga yang baik, maka kedua institusi di atas tidak diperlukan. Bahkan, penulis akan mengatakan, kebutuhan kedua lembaga tersebut lebih merupakan khayalan belaka (selain keinginan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar).

Dalam lingkungan bertetangga yang baik, seseorang dapat menyimpan hartanya di rumah. Kekhawatiran terhadap pencurian tentu ada, namun akan lebih berkurang. Apabila seorang memiliki kebutuhan mendesak, tetangganya akan datang memberikan pinjaman (yang harus tidak bertambah pengembaliannya), atau malah memberikan bantuan/sedekah bila memang musibah itu berat. Dan kebaikan lainnya, apabila setiap muslim menyadari dan melaksanakan hak-hak orang lain.

Terdengar seperti mimpi, ya? Kehidupan sedemikian pernah terjadi pada masa Rasulullah (s.a.w) dan para Sahabatnya. Apa lagi yang menghalangi hal tersebut terjadi lagi, selain jauhnya muslim dari mengilmui Islam dengan sebenar-benarnya?

Wallahu A'lam bisshawab

--
20/7/1435 = 19/5/2014; 20.29 CEST
+33 | 56100 | 1RNA 1033
Saudara seimanmu,
'Arif


*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, mohon dibaca lengkap setiap penanda ini. Singkatan hanya untuk meringkas penulisan.

Minggu, 18 Mei 2014

Tidak ada Tuhan selain Allah [?] (2)

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam untuk rasul-Nya (s.a.w*) beserta Keluarga beliau, serta Sahabat beliau.

Sebelumnya, sedikit penulis menulis tentang apa yang penulis pahami tentang kalimat ringkas yang selalu dan selalu kita ulangi setiap hari bahkan setiap saat. Untuk kesempatan kali ini, penulis hendak membagi sebuah tulisan yang membahas lebih lanjut, secara bahasa, tentang kalimat tersebut. Ini sekaligus sebagai pengingat juga bagi penulis dan untuk kita semua, mengenai bermanfaat dan pentingnya mengerti Bahasa yang Al-Qur_an diturunkan dengannya.

Tulisan disalin dari : http://badaronline.com/artikel/menilik-makna-yang-benar-dari-laa-ilaaha-illallah-dengan-kaidah-bahasa-arab.html. Mudah-mudahan bermanfaat. Hanya Allah yang memberi Taufiq.


Menilik Makna Yang Benar Dari “Laa Ilaaha Illallah” Dengan Kaidah Bahasa Arab [1]

Sebagaimana masyhur di kalangan masyarakat muslim Indonesia, bahwa kalimat tauhid laa ilaaha illallah (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) diartikan dengan “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, benarkah terjemahan kalimat tauhid tersebut?

Pembaca yang semoga Allah Ta’ala merahmati Anda, tentunya kita tahu bahwa kalimat tauhid tersebut adalah kalimat dalam bahasa Arab. Ketahuilah, pemahaman yang benar tentang kalimat laa ilaaha illallah tergantung pada benarnya pemahaman kita terhadap asal kalimat ini yaitu dari sisi bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kita ingin mengetahui terjemahan dan makna yang benar dari kalimat tersebut, mau tidak mau kita harus menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Mari kita lihat bagaimanakah terjemahan dan makna yang benar dari kalimat laa ilaaha illallah. I’rob kata laa ilaaha illallah yaitu:

لاَ: لاَ النَّافِيَةُ لِلْجِنْسِ تَعْمَلُ عَمَلَ إنَّ وَهِيَ تَنْصِبُ الإِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ
Laa: laa naafiyah liljinsi (menafikan semua jenis) beramalan inna yaitu memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya.

إِلهَ: اِسْمَ لاَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْفَتْحِ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ
Ilaah: isim laa yang mabni (tetap) atas fathah, menempati kedudukan nashob.[2]

Asal kata “ilaah” adalah dari kata alaha (أَلَهَ) yang bersinonim dengan kata ‘abada (عَبَدَ) yang artinya menyembah/beribadah, wazannya fa’ala-yaf’alu (فَعَلَ – يَفْعَلُ) sehingga tashrif isthilahinya menjadi alaha-ya’lahu-ilaahan (أَلَهَ – يَعْلَهُ – إِلاهًا). “Ilaah” adalah isim mashdar, yaitu kata yang menunjukkan atas suatu makna yang tidak terikat oleh waktu, dan mashdar adalah asal dari fi’il (kata kerja) dan asal dari semua isim musytaq (kata jadian).[3] Isim mashdar terkadang dapat bermakna fa’il (subjek/yang melakukan suatu perbuatan) dan dapat bermakna maf’ul bih (objek/yang dikenai suatu perbuatan). Berikut ini contoh suatu mashdar yang dapat bermakna fa’il dan dapat bermakna maf’ul bih, diambil dari hadits riwayat Muslim tentang larangan berbuat bid’ah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun“.

Kata “roddun” (رَدٌّ) adalah mashdar. Terdapat beberapa penjelasan ulama tentang apakah makna “roddun” di sini. Sebagian ulama menjelaskan bahwasanya mashdar “roddun” di sini bermakna fa’il, yaitu “rooddun” (رَادٌّ) yang artinya “orang yang menolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka dia adalah orang yang menolak.” Maksudnya adalah menolak syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lain memaknai “roddun” dengan makna maf’ul bih, yaitu “marduudun” (مَرْدُوْدٌ) yang artinya “sesuatu yang ditolak”. Sehingga makna hadits menjadi “Barangsiapa siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amal itu ditolak.” Maksudnya adalah amalan tersebut tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak memenuhi syarat diterimanya amal [4].

Kemudian kembali ke “ilaah“, apakah “ilaah” dalam kalimat tauhid bermakna fa’il atau maf’ul bih?

Kata “ilaah” di sini ada yang mengartikannya sebagai mashdar bermakna fa’il, dan ini adalah makna yang keliru yang didukung dengan bukti-bukti yang sangat banyak yang membantah kekeliruan makna tersebut. Ada yang memaknai “ilaah” dengan makna maf’ul bih, dan inilah makna yang benar. Mengapa demikian? Mari kita lihat makna “ilaah” sebagai fail dan sebagai maf’ul bih, sehingga kita tahu makna yang benar.

Yang memaknai “ilaah” dengan makna fa’il mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “laa ilaaha illallah” adalah “laa khooliqo illallah” (لَا خَالِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pencipta selain Allah” atau “laa robba illallah” (لَا رَبَّ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pengatur alam semesta selain Allah” atau “laa rooziqo illallah” (لَا رَازِقَ إِلَّا اللهُ) yaitu “tidak ada pemberi rizki selain Allah” dan makna-makna yang lain yang merupakan makna rububiyyah[5]. Ini adalah makna yang sangat bathil, karena kalau “ilaah” di sini dimaknai sebagai fa’il maka makna seperti ini telah diyakini dan disetujui oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum musyrikin Arab meyakini  bahwa yang menciptakan, yang memberi rizki, dan yang mengatur urusan alam semesta dan sisi-sisi rububiyyah yang lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrikin Arab itu beriman kepada rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sungguh jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”…” (QS. Luqman:25)

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَنيُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَاللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

Akan tetapi pengakuan tersebut tidaklah memasukkan mereka ke dalam agama Islam. Buktinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi mereka, menghalalkan harta dan darah mereka. Sehingga kalau “ilaah” ini dimaknai dengan fa’il maka konsekuensinya kaum musyrikin Arab adalah orang-orang muslim. Namun, tidaklah demikian. Mengapa? Karena mereka hanya beriman kepada sifat-sifat rububiyyah saja, tetapi mereka menyekutukan Allah dalam beribadah.

Oleh karena itu makna yang benar untuk “ilaah” adalah mashdar bermakna maf’ul bih, “ilaah” bermakna “ma’luuh” (مَأْلُوْهٌ) atau sinonimnya yaitu “ma’buud” (مَعْبُوْدٌ) yang artinya adalah “sesuatu yang disembah/diibadahi”. Sehingga makna “laa ilaaha” adalah “laa ma’buuda“.

Tadi disebutkan bahwa laa beramalan memanshubkan isimnya dan memarfu’kan khobarnya. Lantas, di mana khobar dari laa?

وَخَبَرُ لاَ مَحْذُوْفٌ تَقْدِيْرُهُ حَقٌ أَوْ بِحَقٍّ
Khobar laa dibuang (mahdzuuf), dan takdirnya adalah “haqqun” atau “bihaqqin“.

Mengapa khobar laa dibuang? Suatu kata boleh dibuang jika makna kalimat sudah dapat diketahui meskipun ada kata yang dibuang dari kalimat tersebut. Saya ambilkan contoh dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti. Misalkan ada orang yang bertanya, “Siapa Nabimu?” maka jawabannya adalah “Muhammad”. Di sini tentu sudah diketahui maksud dari jawaban yang sangat ringkas tersebut, yang hanya terdiri dari satu kata “Muhammad” saja, yang mana kalimat lengkapnya yaitu “Nabi saya adalah Muhammad.” Meskipun ringkas tetapi kita dapat menangkap maksud dari kalimat tersebut. Suatu kalimat yang ringkas tetapi dapat dipahami maknanya tentu lebih efisien daripada kalimat yang panjang. Nah, demikian juga dalam bahasa Arab. Maka khobar laa pada kalimat tauhid dibuang karena orang-orang Arab pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dapat memahami maknanya, karena mereka adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh karena itu pulalah orang-orang musyrik Arab zaman dulu tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah robb mereka, karena mereka paham akan makna dan konsekuensi dari kalimat tauhid tersebut.

Sebagian orang mentakdirkan bahwa khobar laa yang dibuang itu takdirnya adalah “maujuudun” (مَوْجُوْدٌ) yang artinya “ada”, sehingga mereka memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “laa ilaaha maujuudun illallahu” (لَا إِلهَ مَوْجُوْدٌ إِلَّا اللهُ) artinya “tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah”. Jika demikian maka ada beberapa konsekuensi yang fatal, di antaranya adalah:

Kalau khobar laa yang dibuang ditakdirkan dengan “maujuudun” maka hal ini tidaklah sesuai dengan realita yang sesungguhnya. Karena realita menunjukkan bahwasanya selain Allah masih banyak sesembahan yang lain. Ada orang yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang shalih, malaikat, patung, dewa, dan sebagainya.

Kalau dimaknai dengan “laa ilaaha maujuudun illallah” maka konsekuensinya semua sesembahan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah Allah. Contoh: karena patung berhala adalah sesembahan kaum musyrikin Arab dulu maka patung berhala adalah Allah, karena Yesus adalah sesembahan kaum Nasrani maka Yesus adalah Allah, karena ‘Uzair adalah sesembahan Yahudi maka ‘Uzair adalah Allah, karena dewa-dewa adalah sesembahan orang Hindu maka dewa-dewa adalah Allah. Tentunya tidak demikian bukan?

Oleh karena itu, yang benar adalah mentakdirkan khobar laa yang dibuang dengan “haqqun” atau “bihaqqin“. Sehingga kalimat tauhid yang lengkap sebenarnya adalah

لَا إِلهَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ilaaha haqqun illallahu

dan maknanya yang benar yaitu

لَا مَعْبُوْدَ حَقٌّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda haqqun illallahu
atau

لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ
laa ma’buuda bihaqqin illallahu.

Maknanya adalah “tidak ada sesembahan yang haq selain Allah” atau “tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”. Hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah dengan benar. Hanya kepada Allah-lah kita menujukan semua amal ibadah kita, bukan kepada selain-Nya.

إِلاَّ: أَدَاة الإِسْتِثْنَاءِ
Illa: alat istitsna (untuk mengecualikan).

لَفْظُ الْجَلاَلَةِ “اللهُ” : بَدَلٌ مِنْ خَبَرِ لاَ
Lafadz jalalah “Allah” sebagai badal (pengganti) dari khobar laa yang dibuang. Karena sebagai badal, maka i’rob lafadz jalalah “Allah” adalah sesuai dengan mubdal minhu (yang digantikan)nya yaitu khobar laa. Ingat, khobar laa mempunyai i’rob marfu’, maka badalnya yakni lafadz jalalah “Allah” juga ikut marfu’, yang mana lafadz jalalah “Allah” ini adalah isim mufrod (kata tunggal) yang marfu’ dengan tanda dhommah sehingga berbunyi “Allahu”.

Antara badal dengan mubdal minhu bendanya adalah sama. Maka khobar laa yaitu “haqqun” digantikan dengan “Allah” menunjukkan bahwa yang haq itu ialah Allah, Allah itulah yang haq.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنََّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنََّ اللَّهَ هُوَالْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq, dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah bathil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Luqman: 30)

Demikianlah, semoga apa yang kami sampaikan dapat membantu kita dalam memahami kalimat tauhid yang sangat agung ini. Betapa suatu kenikmatan yang sangat besar jika kita dapat memahami makna kalimat laa ilaaha illallah dan mengamalkannya, sehingga berbuah surga-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang mati dalam keadaan dia mengilmui bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.”[6]

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush sholihat.

Wal ‘ilmu ‘indallaah

Selesai disusun di wisma ceRIa, 12 April 2010 pukul 3:13 a.m.

Yang selalu membutuhkan ampunan dari Rabb-nya

[1] Kami mendapatkan faidah yang agung ini dari Ust. M. Saifuddin Hakim hafizhohullah pada saat pelajaran baca kitab “Minhaj Al-Firqotu An-Najiyah wa Ath-Thoifatu Al-Manshuroh” Ma’had al-’Ilmi Akhowat.
[2] Karena “ilaah” adalah isim nakiroh mufrod dan bukan mudhof atau syibhul mudhof, maka hukumnya sebagai isim laa adalah mabni atas tanda nashobnya, yaitu fathah.
[3] Lihat Mulakhkhosh Qowa’idu Al-Lughoti Al-’Arobiyyati (1/30-31)
[4] Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan ittiba’ (mengikuti tata cara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Adapun pada hadits ini, amalan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan lebih lengkap bisa dilihat di Syarah Hadits Arba’in. Wallahu a’lam.
[5] Yang berkaitan dengan perbuatan Allah seperti mencipta, mengatur alam semesta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dll.
[6] HR. Muslim (26), Ahmad (464), An Nasa’I dalam “Al Kubra” (109252), Al Bazzar (4150, dan Ibnu Hibban (201).
Sumber: http://pengenkemadinah.wordpress.com

18/7/1435 = 18/5/2014; 12.15 CEST
+33 | 56100 | 1RNA 1033
Saudara seimanmu,
'Arif

*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, mohon dibaca lengkap setiap penanda ini. Singkatan hanya untuk meringkas penulisan.

Senin, 12 Mei 2014

Ada Orang Enggan Masuk Surga

Bismillah, shalawat dan salam kami sampaikan kepada Utusan Allah, Muhammad (s.a.w*) beserta keluarga beliau, para Sahabat beliau (semoga allah meridhai mereka semuanya), dan mereka yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Kalau mendengar "Surga", tentu kita sebagai orang beriman akan membayangkan kenikmatan tiada taranya dan tiada akhirnya. Gambaran Surga ini terserak di berbagai tempat di Al-Qur'an, di antaranya tentang pakaian, tempat tinggal, pasangan hidup, ... [1]. Meski demikian, perlu juga diingat bahwa kenikmatan Surga yang kita bayangkan itu merupakan dasar (baseline) agar kita dapat sedikit menerka seperti apa nikmat kehidupan kekal di surga.

Bagaimana kenikmatan Surga yang sesungguhnya? Dari [Sahabat] Abu Hur[a]ir[a]h, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Allah telah berfirman : Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang sh[a]leh (di surga) kenikmatan-kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata-mata, dan tidak pernah terdengar oleh telinga-telinga, dan tidak pernah terbetik dalam benak manusia”, Jika kalian ingin maka silahkan bacalah (firman Allah) [yang terjemahnya]:
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan” (QS As-Sajdah : 17)
(HR Al-Bukhari no 3072 dan Muslim no 7310) [2].

Dengan kenikmatan yang bisa manusia bayangkan hanya sebatas tertentu, dan kenikmatan Surga jauh melebihinya, bagaimana menurutmu bila dikatakan ada orang yang enggan masuk ke dalamnya? Sungguh, ini bukan perkataanku sendiri melainkan Sabda Rasul Allah (s.a.w).

Masih dari Sahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadits Nabi (s.a.w) walaupun bukan yang terlama bersama beliau, ia berkata {?**} Rasulullah bersabda, “Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku pasti masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan (tidak mau masuk surga, pent.)” (HR. Al-Bukhari no.6851, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu) [3].

Dan dengan demikian tulisan singkat ini penulis akhiri, dengan doa untuk kamu sekalian dan penulis juga agar Allah berkenan 'mencoret' kita dari daftar orang yang enggan masuk ke Surga-Nya.

Hikmah yang mudah-mudahan tepat yang penulis ingin sampaikan juga, adalah apabila kita mendapati ada orang enggan mengikuti aturan yang disepakati bersama dalam perkara dunia (misal penggunaan helm, lampu lalu lintas, rambu-rambu, jembatan penyeberangan, ...) demi kenyamanan bersama, maka:
1) jangan bersedih, karena itu 'cuma' perkara dunia. Surga saja ada kok yang enggan memasukinya;
2) jangan mengikuti orang-orang yang enggan;
3) jangan juga berkeinginan orang lain, apalagi saudara kita, terjerumus akibat keengganan mereka.
WAllahu a'lam.

Seorang muslim yang baik menginginkan bagi saudaranya (kebaikan) yang ia inginkan untuk dirinya [4]. Tentu akan menyenangkan bila kelak di Surga kita bersama dengan orang-orang yang kita cinta. Maka andaikata saat ini kita sudah mengenal ilmu yang benar, pelajarilah dan ajaklah serta orang-orang yang kita cinta untuk juga mengenalnya.

Wabillahi taufiq

--
AR
15:53 CEST / 12. 07. 1435 / 12. 05. 2014
+33 / 56100 / 1RNA 1033

==
Catatan kaki:
[1]: QS Al-Kahf (18): 31, Al-Rahman (55): 43-78, dapat dirujuk daring di http://quran.com/18/31 dan http://quran.com/55/
[4]: Sebagaimana tertulis pada Hadits No. 13, Arbain an-Nawawiyah pada aplikasi Hadith Arbain untuk ponsel cerdas Android, terjemah bahasa Inggris: Abu Hamzah Anas bin Malik, radiyallahu 'anhu, who was the servant of the Messenger of Allah, sallallahu 'alayhi wasallam, reported that the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, said:

"None of you truly believes (in Allah and his religion) until he loves for his brother what he loves for himself". Terjemah bahasa Indonesia melewatkan huruf "lam" (dibaca "li"), yang pada bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "for".
==
*): Shallallahu 'alayhi wa sallam. Sebuah singkatan untuk menghemat waktu penulisan, namun hendaklah dibaca selalu bila membaca/mendengar nama Rasul Allah, Muhammad (s.a.w).
**) Ada beberapa klasifikasi periwayatan, misalnya: Fulan meriwayatkan kepada kami (haddatsana), atau dari ('An) Fulan, atau aku mendengar (sami'tu) Fulan berkata (yaquulu). Masing-masing berbeda 'kelas'-nya dan dapat memengaruhi ke-shahih-an hadits. Bukan bagian ilmuku (pada saat ini ditulis).

Rabu, 07 Mei 2014

Tidak ada Tuhan selain Allah [?] (1)

Bismillah, alhamdulillah. Shalawat dan salam kami sampaikan untuk Utusan-Nya, penutup para Nabi, Muhammad (s.a.w*), beserta keluarga beliau dan Sahabat beliau.

Sering kita dengar, bahkan sering kita ucapkan kalimat berikut ini:
لا اله الا الله
[transliterasi: La ilaha illa Allah]
sering diterjemahkan sebagai "Tidak ada Tuhan selain Allah".

Kali ini, mari kita bahas sedikit tentang kalimat singkat yang tidak akan bosan kita lafalkan ini.

Pertama kali, mengenai penerjemahan "tidak ada Tuhan/sesembahan selain Allah, apakah sudah tepat? Hal ini penting diketahui mengingat kalimat inilah yang semestinya menjadi pembeda antara kita, muslim pengikut rasul Allah (s.a.w) dengan umat lain yang tidak/belum mengikuti beliau. Perhatikan kalimat ini: "Tidak ada orang di kelas selain Budi". Apa yang terbayang di kepala mendengarnya? Tentu yang terbayang adalah sebuah ruang kelas lengkap dengan perabotnya, yang di dalamnya Budi sedang beraktifitas sendirian saja, tidak kita temukan teman-temannya atau gurunya. Ditinjau dari segi ini, maka bisa jadi umat lain tersebut menertawai muslimin atas dasar penerjemahan (yang bisa jadi sudah 'merasuk' jadi pemahaman) ini. "Lho, kalau tidak ada tuhan selain Allah-nya mereka, tuhan/dewa/nyi roro/sanghyang/[dst] apaan, dong?" bisa mereka lontarkan. Tentu hal ini tidak benar.

Lalu bagaimana yang benar?

Ringkasnya, yang lebih benar barangkali "tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah (saja)". Dengan begini, اله (ilah) diterjemahkan sebagai "sesembahan yang berhak/layak disembah". Dan pemaknaan kalimat tersebut menjadi seperti ini, sebagaimana mestinya setiap pernyataan anak Adam, memiliki konsekuensi (akibat-akibat) yang banyak. Baik berupa hak-hak yang akan pengucapnya terima maupun kewajiban. Di antara hak tersebut, secara singkat, antara lain adalah kebebasan yang sebenarnya, serta jaminan surga di kehidupan kelak. Dan, di antara kewajiban, adalah menjalankan apa yang diperintahkan ilah tersebut (Allah, yang Ia Maha Suci dan Maha Kuasa). Sederhana, simpel, dan itu ciri khas agama Islam yang lurus ini.

Pembahasan ini akan panjang, dan Allah yang tahu kapan akan bisa aku lanjutkan. Namun, sementara aku cukupkan di sini. Mudah-mudahan Allah beri kesempatan meneruskan pembahasan penting dan mendasar ini. Untuk yang ingin, ingin menggali kebenaran, bisa menelusuri daftar situs yang ada pada tautan ini, masih dalam bahasan mengenai kalimat ini.

Dan Allah saja yang dapat memberikan petunjuk yang benar.

--
07. 07. 1435 / 07. 05. 2014, sekitar saat matahari terbit
+33 / 56100 / 1RNA 1033
Saudara seimanmu,
'Arif

*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, mohon dibaca lengkap setiap penanda ini. Singkatan hanya untuk meringkas penulisan.

Selasa, 06 Mei 2014

Suntikan motivasi

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam dari kita untuk Utusan-Nya, Muhammad (shalatu wa salam 'alaihi) dan Keluarganya dan Sahabatnya.

Jadi begini.

Sudah lebih enam bulan aku tinggal di negeri yang asing ini. Kalau dilacak kembali apa motivasinya, dan melihat persiapan ke sini, maka boleh dikatakan minim sekali motivasi untuk 'bersekolah' lanjutan. Buku yang dibawa (dan sebagiannya terpaksa ditinggal, sebelum dikirim sebagiannya lagi): terjemah Shahih Sirah Nabi; terjemah Fathul Bari (beberapa jilid), Bulughul Maram, dan sebundel kecil kumpulan jurnal ilmiah.

Di kota kecil ini, bahkan belum ada bangunan khusus yang kita kenal sebagai Masjid. Yang ada, seperti sebelumnya telah kukisahkan, adalah ruangan untuk rukuk dan sujud yang 'meledak' pada hari-hari Jum'at (entah bagaimana nasibnya di hari raya kelak). Namun, semangat penduduknya yang Muslim untuk memakmurkannya amat membuat betah.

Kebetahan yang memakan 'korban', sayangnya.

Sejak ketibaan di sini, telah bulat keinginanku untuk tidak memasukkan kotak ajaib bernama televisi ke tempatku tinggal. Memang ada dari jaringan internet, tetapi tentu lebih sulit mengakses televisi melalui komputer dan internet. Dari internet ini pula aku biasanya mendengarkan siaran radio dari kampung halamanku.

Segala pujian dialamatkan untuk Allah, dan dari-Nya dibukakan jalan untukku memperbaiki kekurangan di soal agamaku melalui banyak jalan, di antaranya siaran radio tersebut. Mereka juga mengingatkanku kembali mana yang mestinya jadi prioritas, berdasarkan jangka waktunya: kehidupan di dunia, atau kehidupan di akhirat kelak.

Keimanan (keyakinan/kepercayaan) kehidupan mendatang ini yang mestinya membedakan muslim dari penganut agama lainnya (atau penganut tak beragama lain). Kehidupan akhirat, sebagaimana dijelaskan di banyak tempat di al-Qur'an, mu'jizat terbesar Rasul kita (s.a.w*), adalah kekal, abadi, selama-lamanya. Sementara dunia ini tidak lain memiliki batasnya yang kita kenal dengan kematian.

Selama ini, betapa kurang yang aku ketahui tentang Tuhanku, tentang Utusan-Nya (s.a.w), dan yang berkaitan dengannya. Dunia dan perhiasannya sukses melarutkanku merapal kaidah-kaidah fisika, kimia, dan matematika (walaupun, itu juga tidak ada apa-apanya). Tapi untuk bekal di kehidupan mendatang? Nyaris nol.

Jadilah hal ini seperti buah simalakama, saat aku sudah di sini, di atas tanggungan orang lain untuk 'belajar', justru melalaikan amanah tersebut. Allah yang menciptakan manusia (dan menciptakan segalanya) tentu mengetahui kondisi ciptaan-Nya. Salah satu yang menonjol dari manusia disebutkan dalam firman-Nya pada surat Al-Nisaa- (4):

يريد الله أن يخفف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا
(28) Allah menghendaki untuk meringankan bagi kalian (kesulitan-kesulitan kalian), dan diciptakan manusia (dalam keadaan) lemah. [dengan revisi terjemahan]

Ya, manusia diciptakan dengan kelemahan yang bisa jadi masing-masing memiliki kelemahan masing-masing, misalnya pengaturan waktu.
Padahal Allah juga berfirman pada surat al-Qashash:

.... وابتغ فيما آتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك
(77) dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan padamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. ....

Dengan demikian, bukan berarti fokus mengejar akhirat membuat dunia terbengkalai. Justru, dunia yang dicari harus menunjang pengejaran pada akhirat (bukan berarti dunia boleh secara mutlak, dan kita berlezat-lezat dengan yang boleh).

Dari itu, apa yang sekarang sedang aku pelajari saat ini adalah ciptaan-Nya (material komposit). Sejauh yang aku tahu apabila dipikirkan dengan benar dapat jadi membawa maslahat bagi umat, khususnya di kampungku. Juga, pengamatan padanya secara mendasar tidak membawa pertentangan dengan apa yang Ia inginkan. 
Baik rasanya bila mulai sekarang kita niatkan bukan 'sekadar' belajar (dan kegiatan pengiringnya), melainkan mempelajari makhluk-Nya untuk mengenal Pencipta-Nya. Mudah-mudahan dari situ Allah memberikan kemudahan pemahaman, kelancaran pelaksanaan, kesudahan yang baik, dan lain-lainnya bila tujuannya sudah benar (dan bisa dipersatukan dengan tujuan mencari kehidupan Akhirat).

-- 
F I N
05/07/35 | 06/05/14 ; vers 01h00
+33 / 56100 / 1RNA 1033

*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, disingkat pada tulisan ini, namun hendaknya dibaca lengkap demi manfaat besar dunia dan akhirat.

Kamis, 01 Mei 2014

[Reblog] Banyak vs Benar

Pengantar:
Di masa sekarang, sering kali pernyataan seperti "Lho, kan semua orang juga begitu", atau yang semacamnya. Barangkali ada pengaruh dari nilai suara mayoritas yang meluas menggantikan musyawarah untuk mufakat yang dulu dijunjung para pendiri negeriku Indonesia. Manakala dahulu mereka berbeda pendapat mengenai "Ketuhanan {Yang Maha Esa} [, dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat islam bagi pemeluknya]", bisa saja beliau itu memanfaatkan posisi 'mayoritas' mereka dan meneruskan gerakan tersebut. Namun yang kita dapati adalah sila pertama seperti yang kita kenal sekarang.
[walaupun, sebenarnya 7 kata tersebut dianggap 'mengerikan' lebih karena persepsi "mereka" yang berfokus pada potong tangan*, halalnya darah orang kafir*, hukum rajam bagi pelaku zina* dsb alih-alih penekanan hak-hak tetangga/jiran, peninggian hak-hak perempuan, dan keadilan yang niscaya tidak ditemukan di sistem kreasi siapapun. Dan dengan demikian, disayangkan ketidakhadirannya pada masa kini]
Berikut artikel dari situs muslim.or.id yang mengupas bagaimana sebenarnya kaitan [ke]banyak[an] dan [ke]benar[an]. Selamat membaca, dan sebelum benar-benar membaca, pesan dariku: buka hati dan pemikiranmu sebelum membuka mata dan telinga.
*****
Parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau sedikit. Akan tetapi, “kebenaran itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan dalil (al-Qur`an dan Hadits shahih dengan bertumpu pada pemahaman Salaful ummah) tanpa perlu menengok banyaknya orang yang menerima atau minimnya penolakan orang. Antipati manusia atau respon positif mereka tidak otomatis menunjukkan kebenaran atau penyimpangan satu pendapat. Tiap pendapat dan perbuatan haruslah berdasarkan dalil (yang shahih) kecuali pendapat (ucapan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karena ucapan beliau sudah menjadi hujjah (dasar, dalil)”. (Lihat Manhajul Istidlâl 2/695).
Allâh Ta’âla telah mengabarkan tentang umat terdahulu bahwa kaum minoritas bisa saja berada di atas al-haq. Allâh Ta’âlaberfirman:
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS Hûd/11:40).
Maka, siapa saja berada di atas al-haq yang berlandaskan dalil yang shahih dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam ucapan, perbuatan, keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar dan lurus, dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain. Bahkan, seandainya pun tidak ada seorang pun yang berpegang teguh dengan al-haq, selama itu merupakan kebenaran, tetaplah merupakan kebenaran dan menjadi sumber keselamatan. (Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah hlm. 61).
Apabila kebanyakan orang hanyut dalam kebatilan dengan melanggar syariat, tidak konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalla[m] yang diutus untuk menyampaikan ilmu dan hidayah kepada semua manusia, mengadakan hal-hal baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya yang jelas dan tidak pernah dikenal oleh generasi terbaik umat Islam, dalam kondisi demikian, pendapat mereka harus ditolak dan tidak boleh terpedaya dengan jumlah mereka yang ada di mana-mana.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga telah menggariskan pesan pentingnya, “Janganlah engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang jahil. Mereka itu mengatakan, ‘Jika orang-orang itu (yang berada di atas al-haq) betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak akan sedikit. Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan dengan mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedang orang-orang yang bertentangan dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia, bukan manusia. Manusia (sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq meskipun mereka berjumlah paling sedikit”. (Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/147).
Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
لاَ يَكُنْ أَحُدُكُمْ إِمَّعَةً يَقُوْلُ: “أَنَا مَعَ النَّاسِ”. لِيُوَطِّنَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَنْ يُؤْمِنَ وَلَوْ كَفَرَ النَّاسُ
Janganlah seseorang dari kalian menjadi latah (dengan) mengatakan, ‘Aku bergabung dengan (arus) manusia (saja)’. Hendaknya ia melatih diri untuk beriman walaupun orang-orang telah kafir”.
Maka, bertolak dari nasehat berharga di atas, mari kita tanamkan pada diri kita, “Hendaknya kita melatih diri (dan berusaha keras) untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun banyak orang telah meremehkan, mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal baru dalam Islam “.
Semoga Allâh Ta’âla memberikan hidayah, rasyâd dan taufik-Nya kepada kita semua.
Penulis: Ustadz Muhammad Ashim Musthafa
Artikel Muslim.Or.Id
*****
F  I  N
01. mai 2014 / 02 [?] Rajab 1435, Kamis
+33/56100/1RNA:1033
*) Syarat dan ketentuan berlaku, dipersilakan menuju mesin pencari yufid.com dan masukkan kata kunci yang bersesuaian untuk memperoleh keterangan selengkapnya tentang bagaimana semestinya syariat tersebut dijalankan.