Selasa, 20 Mei 2014

Perbankan-Asuransi. Perlukah?


Bismillah, alhamdulillah. Shalawat dan salam kita sampaikan untuk Rasul-Nya (s.a.w*), begitu juga untuk keluarganya dan Sahabatnya.
Baiklah, tulisan berikut tidaklah merupakan tulisan ilmiah, melainkan sebagian besarnya merupakan pendapat penulis.

Perbankan. Asuransi. Dua kata yang jamak terdengar pada kehidupan 'modern' atau masa kini. Dua kata yang sepertinya tidak bisa lepas dari keseharian. Tapi apa benar demikian?

Perbankan, berdasarkan yang penulis pahami, merupakan suatu institusi yang menjadi perantara keuangan yang 'dipercaya'. Uang yang ada pada bank, umumnya dari simpanan nasabah nantinya disalurkan kepada orang yang memintanya. Penyaluran dan penyimpanan tersebut lazim dilakukan dengan pertambahan, baik pada besar simpanan ataupun pinjaman.

Di lain pihak, asuransi -- juga sesuai yang penulis pahami -- merupakan lembaga yang 'menjamin' adanya pendanaan untuk kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (kecelakaan, sakit, meninggal dunia, kecurian, ...) pada diri pelanggannya. Pelanggan membayar uang sedemikian dan sedemikian, dan berhak meng-'klaim'  sejumlah uang yang diperlukan untuk kejadian tersebut.

Dari pemahaman tersebut, dan dengan pengalaman penulis terkait kedua lembaga tersebut, penulis memandang bahwa kedua institusi ini cenderung 'redundant' (berlebihan). Barangkali muncul dan berkembangnya kedua jenis lembaga ini bermula dari lunturnya semangat saling menolong di tengah-tengah masyarakat. Penulis akan coba membahas keduanya satu persatu.

PERBANKAN
Sebagai seorang muslim (penganut agama Islam), penulis mengetahui bahwa "riba" merupakan hal yang diharamkan, alias dilarang, atau tidak boleh dikerjakan. Dan di antara definisi riba yang sampai kepada penulis adalah adanya tambahan pada pengembalian pinjaman. Definisi ini masuk langsung kepada praktik yang lazim pada perbankan. Pelanggan (nasabah ? ) menyimpan (meminjamkan) uang kepada bank, dan bank memberikan tambahan, yang dikenal sebagai bunga, pada jangka waktu tertentu. Begitupun pada praktik pinjaman dari bank. Dengan demikian, maka praktik tersebut tidak boleh dikerjakan sama sekali. Dari sini maka semestinya perbankan tersebut ditinggalkan.


Sebelum kita memasuki pintu Bank Syari'ah, yang diklaim merupakan 'solusi' bagi perbankan -- yang penulis sendiri belum memahami cara kerjanya, penulis akan mencoba menawarkan sebuah solusi yang bukan perbankan sama sekali. Sebab bagaimanapun 'Syari'ah' namanya, bila ternyata praktiknya tidak sesuai dengan yang disyari'atkan, maka syari'ah lama kelamaan bisa jadi hanya sekadar tempelan. Dan lebih ngeri lagi bila tempelan tersebut ternyata digunakan untuk upaya melegalkan sesuatu yang tidak boleh dilegalkan. Solusi tersebut akan penulis sampaikan di akhir pembahasan, bersama dengan sub pembahasan berikut.

ASURANSI
Asuransi, seperti pengertian di atas, memberikan 'solusi' kebutuhan dana pada keperluan mendesak. Tapi kenyataan yang penulis ketahui, solusi tersebut kadang tidaklah "ada kebutuhan = ada dana", karena kaitannya dengan prosedur atau aturan yang berbelit-belit-belit dari penyedia asuransi. Belum lagi, sebagai contohnya 'asuransi pendidikan', apabila ternyata si anak tidak pernah mencapai usia pendidikan (karena keburu dipanggil Allah Yang Maha Kuasa), maka gugurlah asuransi tersebut tanpa pernah orang tua mendapat manfaat yang diinginkan. Dari itu, dan dari yang penulis pahami, ada unsur 'perjudian' pada asuransi. Sementara, Allah telah mengharamkan judi untuk hamba-Nya. Lalu harus bagaimana?

TETANGGA
Inilah yang ingin penulis sampaikan. Ada yang mengatakan bahwa "tetangga itu saudara yang tinggal dekat dengan kita" atau semacam demikian. Tentu kita yang hidup bertetangga merasakan berapa seringnya bila suatu ketika kita ingin mengganti lampu namun tidak ada tangga, kita datang ke tetangga yang mempunyainya. Atau, apabila tetangga hendak mengadakan acara besar, kita bersedia urun membantu memasakkan makanannya. Lalu seandainya ada penghuni rumah sebelah yang mengalami serangan penyakit berat, dan tidak memiliki kendaraan, kita bersukarela mengantarkan ke rumah sakit.

Sebagai muslim, kita barangkali pernah mendengar bagaimana akhlaq (budi pekerti) Rasul kita (s.a.w) kepada tetangganya. Dari situ, disarikan berbagai hak (dan kewajiban) tetangga yang semestinya dipenuhi. Silakan merujuk ke tautan ini. Di antaranya adalah semangat berbagi kepada tetangga.

Penulis ingin sekali mengulangi gagasan bahwa dengan kehidupan bertetangga yang baik, maka kedua institusi di atas tidak diperlukan. Bahkan, penulis akan mengatakan, kebutuhan kedua lembaga tersebut lebih merupakan khayalan belaka (selain keinginan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar).

Dalam lingkungan bertetangga yang baik, seseorang dapat menyimpan hartanya di rumah. Kekhawatiran terhadap pencurian tentu ada, namun akan lebih berkurang. Apabila seorang memiliki kebutuhan mendesak, tetangganya akan datang memberikan pinjaman (yang harus tidak bertambah pengembaliannya), atau malah memberikan bantuan/sedekah bila memang musibah itu berat. Dan kebaikan lainnya, apabila setiap muslim menyadari dan melaksanakan hak-hak orang lain.

Terdengar seperti mimpi, ya? Kehidupan sedemikian pernah terjadi pada masa Rasulullah (s.a.w) dan para Sahabatnya. Apa lagi yang menghalangi hal tersebut terjadi lagi, selain jauhnya muslim dari mengilmui Islam dengan sebenar-benarnya?

Wallahu A'lam bisshawab

--
20/7/1435 = 19/5/2014; 20.29 CEST
+33 | 56100 | 1RNA 1033
Saudara seimanmu,
'Arif


*) = shallallahu 'alaihi wa sallam, mohon dibaca lengkap setiap penanda ini. Singkatan hanya untuk meringkas penulisan.

Tidak ada komentar: