Rabu, 31 Oktober 2007

Tulisan Spontan

Entah berapa lama sudah aku menulis di blog. Baik di sini, di sini, maupun di sini. Selama itu pula (sampai tulisan ini ditulis, kecuali di tempat terakhir -kalau kamu bisa menemukannya :p) aku tidak pernah menulis on-line. Yang selalu kuperbuat adalah, membuat draf di waktu senggang, kemudian mengunggahnya ketika sudah terkoneksi.

Pertama masalah memakan waktu. Dulu, ketika masih terhubung ke internet dengan koneksi dial-up, waktu terlalu berharga untuk menghadapi penyunting teks di masing-masing situs. Memang lebih mudah mengerjakan berbagai macam perubahan format di penyunting teks yang tersedia, tetapi sekali lagi masalah waktu, dan alasan berikutnya.

Kedua, aku menyukai tantangan, dan tantangan dalam menyunting tulisan secara off-line adalah bagaimana agar dari (sedikit) kode-kode yang kuingat, bisa tampil lumayan di blog-ku. Memang sedikit aneh pada mulanya, melihat dari kode-kode , dan lainnya bisa "menghilang" dan digantikan dengan format-format seperti tulisan miring, tebal, tautan, dan lainnya.

Ketiga, ide tak datang setiap saat, tetapi setiap saat, ide bisa datang. Jadi, kupilih "jaring penangkap ide"-ku adalah penyunting teks bawaan sistem operasi (bisa notepad, atau gedit).

Tapi sekarang, hm... Mungkin bisa kunafikan masalah waktu koneksi dengan adanya koneksi tidak tak terbatas di kampus (senangnya jadi mahasiswa :D). Jadi, (kalau ada yang mau) nantikan tulisan (spontan) selanjutnya dariku ya?

Ditulis setelah 'dicambuk' iLm@n cs dengan gerakan yang banner-nya kupasang di samping itu.

F I N
written on 31. Okt 2007
Almost 1. Nov 2007.

Sabtu, 20 Oktober 2007

Idul Fitri Nan Dangkal

DISCLAIMER: Penulis adalah sangat membenci Rokok, perokok yang sedang merokok di sisi penulis, dan juga asap rokok itu sendiri. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk obyektif, tetapi mewakili keprihatinan penulis akan penetrasi rokok di Indonesia, dan diusahakan sebias (baca: bias, tidak obyektif, tendensius) mungkin. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, penulis tidak dapat dikenai tuntutan apa-apa. Apabila anda tidak setuju, segera tinggalkan halaman ini!

Ada tulisan menarik yang kutemui di sini. Menggelitik mengingat Ibu Hanum Salsabila(yang sudah cukup lama tak nampak di layar kaca, kembali ke ruang praktik, mungkin?) juga memberi tekanan di baris ini:
Waduuh.. apalagi ininih... iklan [red]rokok[/red] yang satu ini.. yang tiap tahun di 17an selalu berganti ganti versi iklan dengan menampilkan semangat patriotisme yang luar biasa dan lagu backsound yang menggetarkan hati...
Yap, produk ini menuai masalah lagi, setidaknya untukku. Selain masalah rutin yang loyal ditulis (dalam huruf kecil-kecil sekali), ditampilkan di televisi (tak sampai 10 detik di ujung promosinya yang luar biasa): "MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN". Kali ini masalahnya benar-benar menggelitik jari jemariku untuk menulis ini.

Aku teringat sebuah dialog di radio swasta (maaf aku lupa tanggal, narasumber dan waktunya. Tapi aku ingat radio mana-mana saja itu), antara penyiar, dokter spesialis paru, dan pendengar. Sang dokter mengeluh bahwa pasiennya yang divonis radang paru, ketika ditanya apakah sang pasien merokok, justru marah-marah dan bertanya-tanya apa hubungan rokok dan penyakitnya (maaf, ini seingat aku). Juga seingatku, dokter tersebut menyatakan bahwa rokok bukanlah produk yang perlu dipromosikan.

Jelas, perusahaan-perusahaan tersebut mungkin sering lupa mencantumkan organ-organ yang justru dapat langsung terimbas asap -panas- rokok tersebut pada kemasan produk mereka. Jelas pula bahwa mereka sangat peduli pada keuntungan yang mereka peroleh -sehingga tak henti berpromosi. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Ini kubaca dari dua situs berita:

Pembagian sedekah ini adalah program rutin PT G (baca tautan). Setiap orang mendapat uang Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Tahun ini, perusahaan itu menyiapkan dana sebesar Rp 180 juta. Angka ini meningkat dibanding tahun lalu yakni Rp 120 juta (tautan)
dan
Dewasa mendapat Rp 20 ribu sedangkan anak-anak Rp 10 ribu. (tautan)

Lalu aku melihat iklan dari (perusahaan) rokok tersebut, yang (sekali lagi mungkin) memanfaatkan kesamaan nama produk dan perusahaannya untuk mencuri waktu iklan di siang hari. Iklannya, seperti halnya iklan menyambut 17 Agustus yang ditulis Ibu Hanum, iklan itu berkesan megah, meriah, lucu, dan menyenangkan. Sayangnya aku selalu antipati dengan iklan apapun yang berlama-lama seperti itu (entahlah, aku tak pernah berhitung, mungkin sekitar 120"?). Sebab hampir dipastikan iklan itu berasal dari perusahaan rokok.

Iklan semacam itu -dengan koreografi yang indah, pemain yang banyak, musik yang meriah- tentu memakan biaya tak sedikit. Jangan dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan untuk "memberi sedekah" kepada fakir miskin. Tentu biaya "memberi sedekah" itu hanya seujung kuku dibanding promo yang memakan 4 spot iklan (seingatku 1 spot = 30 detik, maaf bila salah) dan tayang rutin (dan sering) di semua stasiun televisi yang ada di bumi Indonesia ini. Dengan kemampuan seperti itu -dan banyaknya orang yang sudah mereka racuni- entah mengapa mereka "hanya" mampu menyisihkan 200 juta rupiah kurang untuk orang yang tidak mampu.

Mungkin uang mereka tidak sepenuhnya habis untuk promosi, mungkin mereka mengemban "misi mulia" dengan mempekerjakan pekerja yang teramat banyak -dan sering menjadi alasan mereka menolak pelarangan rokok. Mereka juga membayar cukai yang tinggi. Tapi tidakkah ironis, di saat perusahaan tersebut sudah cukup mapan, mereka tak henti-henti mempromosikan diri, dan kemudian meninggalkan orang-orang miskin. Bukankah amanat konstitusi negara ini begitu mulia menyatakan: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara" -dengan negara selalu kutafsirkan sebagai "pemerintah, dan seluruh warga negara". Amat disayangkan bila nurani dikesampingkan hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya -yang sebetulnya sudah besar.

Mungkin karena aku tidak merasakan "nikmatnya" menghirup asap? Mungkin karena aku tidak pernah mencoba? Tidak! Aku sudah berjanji pada diriku (dan pada "kakakku"), sebuah janji yang dalam dan sepenuh hati: Lebih baik mati daripada batang tercela itu pernah terselip di bibirku.

Jadi, semoga semangat perusahaan itu "ber'Idul Fitri" ( yang mungkin dengan maksud-maksud tertentu) tidak menjangkiti (setidaknya) aku. Semoga Ramadhan yang berlalu memberi jejak yang dalam di hati kita, mendorong kita berbagi, menyunggingkan senyum di wajah orang lain, dan semoga kita dapat dipertemukan dengan Ramadhan selanjutnya, Amin.

DISCLAIMER: Penulis adalah sangat membenci Rokok, perokok yang sedang merokok di sisi penulis, dan juga asap rokok itu sendiri. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk obyektif, tetapi mewakili keprihatinan penulis akan penetrasi rokok di Indonesia, dan diusahakan sebias (baca: bias, tidak obyektif, tendensius) mungkin. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, penulis tidak dapat dikenai tuntutan apa-apa. Apabila anda tidak setuju, segera tinggalkan halaman ini!

F I N
Finished this writing on early hours of 20. Okt 2007

Kamis, 18 Oktober 2007

Partners in Crime

Kasus gagal terkoneksi dengan internet masih berlanjut (baca sebelum ini). Sabtu yang lalu (13/10), sebuah ide melintas di kepalaku. Siapa tahu Access Point (AP) di kampus tidak dimatikan. Jadilah hari Minggunya, aku berbalas pesan singkat dengan kawanku Panji (yang juga "haus bandwidth"). Jadilah diputuskan, hari Selasa, pukul 9.00 kami akan bergerilya menuju kampus dan berinternet "gratis" di sana. Masih "gratis" karena memang tidak sepenuhnya gratis, tetapi lebih sebagai fasilitas karena membayar mungkin.

Sudahlah, kita percepat saja. Hari berputar segera ke hari Selasa. Motor buatan Cina yang kukendarai dengan was-was (belum punya SIM, nih. Rencananya besok baru mau diajukan) kunyalakan. Laptop ayah masuk tas, lengkap dengan charger dan tetikusnya. Bismillah, aku berangkat dan langsung menuju stasiun kereta api UI. Ternyata kawanku sudah menunggu di sana. Baiklah, segera kuangkut dia dan kami pun berkendaralah sampai ke FT. Maksud hati lewat pintu belakang via kantin, ternyata pintu dirantai. Wah, wah. Sayang sekali kalau gagal, nih.

Berputar kami kemudian lewat pintu depan, ternyata gerbang dikunci dan oleh bapak-bapak satpam yang terhormat dikatakan, silakan kembali lagi Senin (22/10). Tak kurang akal, kawanku mengajak kembali ke belakang, menguji aktif-tidaknya AP. Sementara itu aku berkeliling sebentar. Ketika aku kembali, ternyata positif! Jadilah kami sedikit "bandel" dengan membuka palang di dekat lokasi pembangunan gedung baru (gedung jurusan Industri yang sedang dibangun), dan masuklah kami lewat jalan belakang.

Ah, satu tantangan sudah dilalui, tinggal satu lagi yang amat mengganggu: Nyamuk! Akhirnya sebentar kutinggalkan komputer jinjing (beserta Panji tentunya) untuk membeli anti nyamuk oles. Ketika kembali, aku sedikit ketar-ketir. Aku belum mendaftarkan komjing ayah ke jurusan, apa bisa aku tersambung. Ternyata kawanku (lebih sering menggunakan AP jurusan) memberitahu ada satu jaringan yang bisa digunakan, dengan alamat IP yang, ehm ehm, ilegal. Jadilah kuikuti sarannya, dan... Was wus... Koneksi yang amat sangat cepat tersaji di depanku. Segera saja aku menjelajah dengan kecepatan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Sekitar tiga jam kami di situ, matahari sudah beranjak siang, nyamuk sudah berganti lalat, akhirnya kuputuskan pulang saja. Pulang dengan membawa "beberapa" MB berkas, termasuk dua e-brochure tentang modem DSL yang -sayangnya baru aku sadari di rumah- hanya bisa "always-on". Tapi biarlah, biar kuberikan pada ayah, dan nanti biar beliau yang memutuskan.

Oh iya, ada yang terlupa:

"Selamat Idul Fitri, Mohon dimaafkan kesalahanku, biar lancar jalanku kepada-Nya. TQM (Taqabbalallahu minna wa minkum), Shiyamana wa shiyamakum, dst" (maaf lupa... :p)

F I N
written on 16. Okt 2007
.life.with.no.internet.connection.is.starting.to.kill.me. OUCH...

Selasa, 16 Oktober 2007

C650 + GPRS + LinuxMint = Internet (Mahal)

Hm... Modem DSL di rumah entah kenapa ngambek dan mogok beroperasi. Tersangka utama ada dua, entah itu AC/AC Adapter atau malah si modem itu
sendiri. Jadilah aku sedikit senewen karena rutinitas pagiku terganggu.

Biarlah, nanti modem itu biar ayah yang mengurus. Sekarang, aku teringat, bukankah di OS yang masih kuutangi itu C650 setiaku bisa berfungsi sebagai modem? Tapi bagaimana caranya di LinuxMint?

Akhrinya aku jalankan gnome-ppp, mengganti user name menjadi wap, password menjadi wap123 (pengaturan standar GPRS Telkomsel :p). Kemudian masuk ke menu setup, atur modem device menjadi /dev/ttyACM0 (nol, bukan huruf O). Oh iya, ttyACM0 itu didapat dari hasil dmesg | tail, dan mungkin saja berbeda untuk setiap ponsel ataupun distro. Lalu mengatur baud rate ke angka 115200, dan close.

Kemudian aku bingung. Berapa nomor telepon yang perlu dihubungi? Kucoba biarkan 080989999 (nomor dial-up TelkomN(y)et instan, dan connect. Dor... Yang terjadi adalah error, dengan kode "NO CARRIER".

Pikir punya pikir, akhirnya masuklah aku ke OS berlogo jendela berkibar itu, lalu dari start menu, pilih connect to, Telkomsel GPRS (diatur oleh Motorola phone tools). Lalu muncullah angka "keramat itu": *99***3#. Daripada harus bolak-balik OS, sekalian saja aku lihat pengaturan di situ, dan kudapatkan juga nilai baud rate yang diperlukan itu 230400.

Kembali ke Bianca, aku ganti pengaturan-pengaturan yang salah sama sekali itu dengan yang kudapat dari jendela dan... Tersambung! Wah, ternyata tidak terlalu sulit 'mengubah' C650 kesayangan jadi modem. Walaupun mungkin hanya sementara, karena dikhawatirkan usia pakai ponsel jadi menurun. Di samping itu juga mencegah jebolnya pulsa :p. Sebabnya jelas, 1 kb (atau kB?) oleh Telkomsel dihargai Rp. 12, 00. Bisa gawat
seandainya terlalu asyik berselancar.

DISCLAIMER: Penulis tidak merangkap sebagai penjual voucher pulsa. Kehabisan pulsa tidak ditanggung penulis, seandainya pulsa habis, silakan tanyakan penjual voucher terdekat, dan jangan lupa: DIBAYAR!

Semua merk dagang dan yang lainnya adalah milik pemegang merk yang sah. Penggunaannya di sini hanya berfungsi sebagai ilustrasi.