Sabtu, 20 Oktober 2007

Idul Fitri Nan Dangkal

DISCLAIMER: Penulis adalah sangat membenci Rokok, perokok yang sedang merokok di sisi penulis, dan juga asap rokok itu sendiri. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk obyektif, tetapi mewakili keprihatinan penulis akan penetrasi rokok di Indonesia, dan diusahakan sebias (baca: bias, tidak obyektif, tendensius) mungkin. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, penulis tidak dapat dikenai tuntutan apa-apa. Apabila anda tidak setuju, segera tinggalkan halaman ini!

Ada tulisan menarik yang kutemui di sini. Menggelitik mengingat Ibu Hanum Salsabila(yang sudah cukup lama tak nampak di layar kaca, kembali ke ruang praktik, mungkin?) juga memberi tekanan di baris ini:
Waduuh.. apalagi ininih... iklan [red]rokok[/red] yang satu ini.. yang tiap tahun di 17an selalu berganti ganti versi iklan dengan menampilkan semangat patriotisme yang luar biasa dan lagu backsound yang menggetarkan hati...
Yap, produk ini menuai masalah lagi, setidaknya untukku. Selain masalah rutin yang loyal ditulis (dalam huruf kecil-kecil sekali), ditampilkan di televisi (tak sampai 10 detik di ujung promosinya yang luar biasa): "MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN". Kali ini masalahnya benar-benar menggelitik jari jemariku untuk menulis ini.

Aku teringat sebuah dialog di radio swasta (maaf aku lupa tanggal, narasumber dan waktunya. Tapi aku ingat radio mana-mana saja itu), antara penyiar, dokter spesialis paru, dan pendengar. Sang dokter mengeluh bahwa pasiennya yang divonis radang paru, ketika ditanya apakah sang pasien merokok, justru marah-marah dan bertanya-tanya apa hubungan rokok dan penyakitnya (maaf, ini seingat aku). Juga seingatku, dokter tersebut menyatakan bahwa rokok bukanlah produk yang perlu dipromosikan.

Jelas, perusahaan-perusahaan tersebut mungkin sering lupa mencantumkan organ-organ yang justru dapat langsung terimbas asap -panas- rokok tersebut pada kemasan produk mereka. Jelas pula bahwa mereka sangat peduli pada keuntungan yang mereka peroleh -sehingga tak henti berpromosi. Tapi bukan itu yang ingin kubahas. Ini kubaca dari dua situs berita:

Pembagian sedekah ini adalah program rutin PT G (baca tautan). Setiap orang mendapat uang Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Tahun ini, perusahaan itu menyiapkan dana sebesar Rp 180 juta. Angka ini meningkat dibanding tahun lalu yakni Rp 120 juta (tautan)
dan
Dewasa mendapat Rp 20 ribu sedangkan anak-anak Rp 10 ribu. (tautan)

Lalu aku melihat iklan dari (perusahaan) rokok tersebut, yang (sekali lagi mungkin) memanfaatkan kesamaan nama produk dan perusahaannya untuk mencuri waktu iklan di siang hari. Iklannya, seperti halnya iklan menyambut 17 Agustus yang ditulis Ibu Hanum, iklan itu berkesan megah, meriah, lucu, dan menyenangkan. Sayangnya aku selalu antipati dengan iklan apapun yang berlama-lama seperti itu (entahlah, aku tak pernah berhitung, mungkin sekitar 120"?). Sebab hampir dipastikan iklan itu berasal dari perusahaan rokok.

Iklan semacam itu -dengan koreografi yang indah, pemain yang banyak, musik yang meriah- tentu memakan biaya tak sedikit. Jangan dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan untuk "memberi sedekah" kepada fakir miskin. Tentu biaya "memberi sedekah" itu hanya seujung kuku dibanding promo yang memakan 4 spot iklan (seingatku 1 spot = 30 detik, maaf bila salah) dan tayang rutin (dan sering) di semua stasiun televisi yang ada di bumi Indonesia ini. Dengan kemampuan seperti itu -dan banyaknya orang yang sudah mereka racuni- entah mengapa mereka "hanya" mampu menyisihkan 200 juta rupiah kurang untuk orang yang tidak mampu.

Mungkin uang mereka tidak sepenuhnya habis untuk promosi, mungkin mereka mengemban "misi mulia" dengan mempekerjakan pekerja yang teramat banyak -dan sering menjadi alasan mereka menolak pelarangan rokok. Mereka juga membayar cukai yang tinggi. Tapi tidakkah ironis, di saat perusahaan tersebut sudah cukup mapan, mereka tak henti-henti mempromosikan diri, dan kemudian meninggalkan orang-orang miskin. Bukankah amanat konstitusi negara ini begitu mulia menyatakan: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara" -dengan negara selalu kutafsirkan sebagai "pemerintah, dan seluruh warga negara". Amat disayangkan bila nurani dikesampingkan hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya -yang sebetulnya sudah besar.

Mungkin karena aku tidak merasakan "nikmatnya" menghirup asap? Mungkin karena aku tidak pernah mencoba? Tidak! Aku sudah berjanji pada diriku (dan pada "kakakku"), sebuah janji yang dalam dan sepenuh hati: Lebih baik mati daripada batang tercela itu pernah terselip di bibirku.

Jadi, semoga semangat perusahaan itu "ber'Idul Fitri" ( yang mungkin dengan maksud-maksud tertentu) tidak menjangkiti (setidaknya) aku. Semoga Ramadhan yang berlalu memberi jejak yang dalam di hati kita, mendorong kita berbagi, menyunggingkan senyum di wajah orang lain, dan semoga kita dapat dipertemukan dengan Ramadhan selanjutnya, Amin.

DISCLAIMER: Penulis adalah sangat membenci Rokok, perokok yang sedang merokok di sisi penulis, dan juga asap rokok itu sendiri. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk obyektif, tetapi mewakili keprihatinan penulis akan penetrasi rokok di Indonesia, dan diusahakan sebias (baca: bias, tidak obyektif, tendensius) mungkin. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, penulis tidak dapat dikenai tuntutan apa-apa. Apabila anda tidak setuju, segera tinggalkan halaman ini!

F I N
Finished this writing on early hours of 20. Okt 2007

Tidak ada komentar: