Kamis, 29 April 2010

Positif

Bukan, ini bukan tulisan yang akan membahas bagaimana cara jadi positif, atau mengenai uji kehamilan, atau uji pengaruh obat-obatan atau semua itu. Ini cuma akan jadi keluhan (lagi) dariku, pengguna kacamata negatif kelas berat. Kacamata negatif di sini boleh diartikan harfiah, boleh juga kiasan.

Jadi pekan ini termasuk paling banyak aku membuka laman-laman di situs jejaring facebook. Biasanya aku membuka, tapi sebatas sampai pada permainan Airline Manager, membuat pengaturan-pengaturan, dan kemudian kutinggalkan begitu saja.

Tapi Senin-Selasa-Rabu kemarin berbeda. Saat menunggu "pesawat berikutnya siap diberangkatkan", seorang rekan kursus Bahasa Jermanku menyapa. Mulanya mengenai teman kami bersama yang sepertinya tidak dapat melanjutkan kursus bersama kami lagi. Kucoba jelaskan duduk perkaranya pada dia - kebetulan perempuan. Berlagak tua, singkatnya. Padahal ditilik dari segi usia, kami sebaya. Maklum, pergaulan menuakanku jauh lebih cepat. Hehe.

Itu Senin. Selasa, aku menyengajakan diri 'kelepasan' mengatakan ada seseorang yang menarik buatku, rekan kursus kami yang lain lagi. Dan hari itu, perbincangan kami kemudian bergeser ke hal yang lebih kurang ada di judul ini.

Yap, positif. Pikiran positif, lebih tepatnya. Saat perbincangan belum bergeser ke arah ini, kami berbincang tentang cerita kehidupan, yah, C, C, C.. Itulah. Kehidupan 'C'-nya. Sampai akhirnya, selepas waktu offline yang coba kutetapkan untuk diriku pada pukul 22.00 WIB, kami bergeser ke topik mengenai diri masing-masing. Betapa aku demikian negatif memandang berbagai hal, dan ternyata dia juga menggolongkan diri sebagai pemalu, introvert (yang jelas tak kupercaya pada awalnya. Duh).

Pada akhirnya, ada satu 'kesimpulan' yang kami tarik. Aku harus lebih ramah, tersenyumlah pada orang-orang di sekitarku. Jujur saja, itu sulit. Itu juga yang coba kulakukan setiap pagi di hadapan cermin, tersenyum. Sulit, tak kudapati raut senyum dari dalam, melainkan senyum kecut saja yang tampak.

Yah, semoga bisa ya, Put. Semoga.


--
F I N
written on 21.02 WIB (UTC +7)
And I don't know whether to laugh or cry, for I knew she and her current alpha male is on the verge of ending a relation. I don't know.

Senin, 26 April 2010

Memulai Kembali

Jadi, hari ini diawali dengan agak off. Bangun lagi setelah subuh lumayan jauh. Bermotor (sudah dicoba hati²), masih diklakson orang buru-buru. Padahal di jalan kampung. Mau ke mana sih pengemudi Honda Freed entah nopol berapa itu. Alhamdulillah menghindari seorang yang menyeberang membawa balok kayu. Huff.. Ah, lupakan saja. Anggap saja sedikit tumpahan kopi di koran pagi, ya? Yah, intinya, aku selamat sampai di kampus, dengan segala keanehan jalan Jakarta-Depok di hari Senin... Eh, setiap hari dan lebih parah di hari-hari libur deh.

Nah, sampai di kampus, tak biasanya Fian sudah hadir dan absen mendahuluiku. Sehari-hari sih, dia juaranya, juara datang terakhir. Hehe. Tapi dia tak hadir di ruangan kami di pojok jurusan. Menurut Reza, dia sudah ke lantai 3, bersama Pak Herman. Yah, baiklah, sekali lagi aku tidak diminta untuk hadir, maka aku tidak hadir di sana. Agak gerah sih, mengingat aku juga dimasukkan sebagai bagian tim riset beliau, tapi biar kutunggu waktunya sajalah.

Dan waktunya ternyata pada hari tadi juga. Setelah makan siang, kuputuskan bahwa kalau aku tidak segera memulai, sekarang, maka niscaya tidak akan ada waktu bersantai-santai kelak di belakang hari. Mengapa demikian? Ternyata alasannya sederhana, dan sering melatarbelakangi pelbagai sikapku: Iri.

Iri? Ya, begitulah. Kawanku Nisa belum lama ini mendapat kabar gembira. Beliau akan (di)berangkat(kan) ke Eropa, Malta dan Belanda tepatnya, untuk bersekolah di sana. Senang sih, tapi tetap saja sebagai laki-laki ada tebersit iri juga, bagaimana ceritanya aku kalah dari beliau?

Jadilah aku sekali lagi mencari informasi tentang beasiswa serupa, tentang bidang ilmu yang sedikit-sedikit aku coba pahami. Ternyata ada, dan universitas yang menyediakan program tersebut ada di dua Negeri yang, sungguh, ingin aku menyinggahi atau meninggalinya: Jerman dan Spanyol. Aduh! Mereka mensyaratkan gelar magister untuk bisa masuk. Hm...

Maka aku kemudian memberanikan diri naik ke lantai 3, sedikit menyapa Pak Herman dan Fian, sebelum melihat-lihat lemari peralatan dan perlengkapan. Kubuat catatan-catatan, dan akhirnya aku pamit ke beliau dan Fian, belum shalat! *malu*

Maka setelahnya, aku mulai-mulai membaca jurnal digital yang kupengang lagi, dan mencoba mengira-ngira peralatan apa-apa yang diperlukan dan masih kurang di lab. Yah, hal-hal kecil yang kadang terlupakan itu siapa tahu perlu.

Melihat-lihat jurnal, baru teringat aku kalau ada jurnal yang belum kupegang salinan digitalnya. Kebetulan beberapa waktu lalu aku pernah meminta tolong Mbak Idham untuk mengunduhkan artikel jurnal tersebut. Hmm.. Saat hendak menulis surat elektronik untuk meminta tolong lagi, tiba-tiba saja terlintas pikiran untuk menyalakan internet messenger Yahoo! Messenger. Entah mengapa.

Setelahnya baru aku mengerti. Mbak Idham sedang tidak terhubung. Tetapi beruntung, ada Jordan teman kami yang juga diberi anugerah belajar ke Negeri Ginseng. Jadilah kuminta tolong dia, dan sedikit bincang-bincang. Sedikit mengobati kangen juga dengannya. Padahal saat dia masih di sini, aku tidak terlalu akrab juga dengannya. Jadi malu. Kadang jarak malah membantu meningkatkan kualitas hubungan ya? Hehe.

Setelah jurnal didapat, maka saatnya membaca dan membuat catatan-catatan. Bismillah, permisi dulu ya, ceritanya ku akhiri di sini. Hendak memaksa diri membaca untuk masa depanku. Semoga.


--
F I N
written on 26. April 2010, 20.20 WIB (UTC +7)
And today, the Sun seems like shining a bit brighter, and my saving is finally stuffed again.
Alhamdulillah.


Rabu, 21 April 2010

21. April 2010

Tulisan berikut ini mencerminkan pendapat pribadi, hampir tanpa referensi, dan lebih berupa curahan hati. Mohon maaf, akan kuawali tulisan ini.

21. April. Di negeri ini, pada tanggal tersebut, diperingati sebuah hari yang istimewa. Hari Kartini, sebagian menyebutnya. Merupakan hari kelahiran dari seorang perempuan dengan impian yang besar, tetapi mendapati bahwa kenyataan dapat jadi sangat jauh dari mimpinya.

Dari yang aku dengar, beliau ingin dapat bersekolah sampai tingkat yang tinggi, seperti halnya lelaki pada masa itu. Dan beliau pun berkorespondensi dengan seorang rekannya di negeri Belanda. Dari yang kuketahui, kumpulan surat beliau dipublikasikan menjadi sebuah buku, "Dari kegelapan menuju cahaya" (bukan judul yang kebanyakan orang kenal, tetapi aku lebih yakin kalau beliau ingin menyampaikan hal tersebut).

Berangkat dari buah pikiran beliau terjadi perubahan, dari kebijakan yang membedakan (pribumi - eropa, dan sebagainya) menjadi kebijakan yang memperhatikan etika. Dan sampai sekarang, banyak perempuan yang menggaungkan hal yang sama dalam satu kata: "emansipasi".

**

Wahai perempuan, ciptaanNya yang tinggi, mengapakah kamu hendak disetarakan dengan kami lelaki?

Sungguh, kami sudah mengetahui betapa banyak yang dapat kamu lakukan, bahkan dalam kerangka waktu yang sama dengan yang kami lelaki punya. Dengan begitu, sungguh, kamu tidak setara dengan kami -- kamu lebih tinggi dari kami.

Coba kita lihat. Di mana Dia menitipkan ciptaannya, generasi berikutnya dari kita manusia, kalau bukan padamu? Bagaimana mungkin Dia memilih kamu, kalau kamu tidak dapat mengemban titipan itu?

Dan padamulah generasi berikut dari manusia pertama kali belajar, mengenal dunia. Sebab saat dulu manusia diciptakan, Dia sendiri yang mengajarkan manusia pertama berbagai hal. Lalu, setelah manusia bertambah, dan terus bertambah, pada siapa Dia mendelegasikan tugas memperkenalkan dunia kalau bukan padamu?

Yang kusayangi, perempuan seluruhnya. Bisakah kamu mengerti, kalau kamu bisa ini, itu, bisa mandiri, lalu untuk apa kami ada? Sudikah kiranya kamu membiarkan kami menjalankan hal yang remeh-temeh seperti pekerjaan, uang, dan semacamnya sementara kamu menanggung urusan yang jauh lebih besar?

**

Dan batu pun tertawa mendengar celotehku.

--
F I N
written on 21. April 2010, 20:38 WIB (GMT/UTC +7)
Untukmu, perempuan di luar sana.


Senin, 19 April 2010

Bipolar

Satu hari berlalu setelah reuni mini teman SD antara aku, Ginda, dan Arum, serta beberapa teman yang baru diperkenalkan padaku. Dua nama ini sudah lama tidak kujumpai. Harap maklum, dulu selepas SD, aku "mengungsi" ke SMP yang jauh, jauh, jauh di Rawamangun, Jakarta Timur, sementara mereka rata-rata masih berkisar di Ragunan-Pasar Minggu. Memang sebelumnya mereka pernah kutemui juga, tetapi waktu itu, saat acara resepsi pernikahan teman SD kami, Dewi Annisa, hanya sebentar saja kesempatan kami.

Kemarin, yah, diawali dari kemalasan berangkat ke bengkel untuk perawatan bulanan sepeda motorku yang mulai rewel. Setelah pergolakan batin, akhirnya berangkatlah aku menuju bengkel, jelang tengah hari, dan ternyata padat sungguh bengkel langgananku itu. Jadilah aku menunggu, menunggu, membaca majalah lama, mengirim tweets, menjawab beberapa pesan singkat, dan, ya menonton berita tentang perkembangan kasus di Tj. Priuk, ledakan tabung gas, dan pembuatan alat musik perkusi yang namanya sudah kulupakan.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB, dan si RW (Rot-Weiss, nama kode dariku untuk sepeda motorku itu) masih belum dipegang mekanik. Lalu terdengar suara bel pintu yang kupilih jadi tanda ada pesan singkat yang masuk. Eh, Arum? SMS? Tumben! [pucuk dicinta ulam tiba :D]

"Rif, nonton [menyebut judul film] di [menyebut pusat perbelanjaan di seberang kantor Republika, Jak-Sel], yuk? Bareng Ginda juga," begitu isi tulisannya.

Balasanku singkat saja, "hmm.. Boleh, boleh. Kapan?"

Yang tak lama berbalas, "setengah tiga di sini".

---- Anda boleh lho, beristirahat dulu, mengambil minum, kudapan, atau bacaan lain kalau anda pembaca paralel, sebab perjalanan kita masih panjang. :D ----

Hmm.. Pikiran mulai bergerak lagi. Pukul 1300 WIB dan si RW masih diurusi montir. Pukul 1400 balap mobil Formula 1 di Cina dimulai, dan film yang akan ditonton, dari bocoran si Ilman, bercerita tentang hal yang tak kusuka. Tetapi yang mengajak seorang Arum. Yah, beliau bukan dari kalangan yang menggoda dengan gaya berbusana yang njelimet atau bagaimana. Beliau perempuan yang sederhana, dengan celana denim dan kaus oblong dan jaket dan sepatu kets. Beliau bukan perempuan dengan rok (panjang atau pendek), kaus menempel di badan atau baju tanpa bahu. Bukan.

Jadilah berpikir, berpikir, berpikir, dan sampai pada kesimpulan. Oke, aku akan tiba sekitar pukul 1500, setelah sebelumnya menonton permulaan GP F1 Cina (bagian yang paling seru dari F1, kalau kamu belum tahu, adalah seperempat awal balapan ;).)

Sedikit meleset dari perkiraan, ternyata si RW baru terselesaikan pada 1345, yang artinya setengah mengebut ke rumah yang sekitar dua kilometer dari situ. Ups. Maaf ya, anda yang terganggu di Ahad siang kemarin. :)

Dan, biarpun ketepatan waktu bukan kebiasaanku, kemarin Ahad adalah hari yang tidak biasa. Aku tiba di depan pintu, tepat saat balap akan dimulai (dan jadi saksi yang curiga bahwa Nando Alonso melakukan "jump start" [T_T]). Kemudian, setelah persiapan-persiapan, akhirnya berangkatlah aku, sekitar setengah tiga (he he) menuju tempat yang dimaksud.

Sekali lagi aku tidak terlambat (sebuah prestasi, he he). Dan di sana sudah ada Arum, Ginda, serta dua orang --Adit dan Suryo-- yang masing-masing adalah teman Arum dan Ginda. Ternyata, tiket (berbentuk voucher) masih ada di temannya Arum yang lain, yang masih di jalan. Yah, jadilah kami menunggu di atas, di lobi bioskop jaringan itu.

Singkat cerita, mengingat aku juga berusaha tampak tertidur dari awal film hingga pertengahan (hei, aku mendengar segala tawa dan cela kalian tentang aku di depan telingaku!), akhirnya kami pun pulanglah. Kami berenam (ditambah dengan seorang lagi teman Arum --Agun namanya-- yang ternyata telah kenal Ginda) pun beranjak pulanglah.

Oh iya, di sela-sela menjelang film dimulai, Ginda diperkenalkan Arum pada Friski, seorang rekan perempuannya (sesuai janji beliau :D). Sepulangnya, kami berkongsi mencoba membujuk si Friski ini untuk mau diantar Ginda ke rumah. Haha, dasar anak muda. Masih labil. :P

Usut punya usut, sepertinya Ginda tidak berhasil kali ini. Kami telah pulang terlebih dahulu, supaya tidak terlalu mencurigakan. Oh iya, kebetulan *yang disengaja* aku membawa helm untuk penumpangku yang *kebetulan* adalah Arum sendiri. Oh, rasanya ingin mencubit pipiku sendiri. Seperti mimpi rasanya bisa mengantarkan beliau pulang ke rumahnya, yang kebetulan tidak jauh -- mungkin sekitar 2 kilometer -- dari rumahku.

Sepanjang jalan, entah kenapa sepertinya percaya diriku berlipat -- hal yang sekali lagi tidak biasa -- dan dapatlah aku berbincang dan diselingi tawa dengan beliau. Yah, perbincangan masih perbincangan begitu saja. Bahkan tidak menyinggung hal yang baru sadar ingin kutanyakan saat menulis tulisan ini. Ah, sudahlah. Lain waktu saja. :">

Sesampai kami di depan pagar rumahnya (yang pura-puranya aku lupa), kami pun berhentilah. Sedikit bertukar cerita lagi, sembari beliau berusaha membuka kait pada helm yang beliau pakai. Ternyata helm yang mendapat sertifikasi SNI tersebut tidak cukup mudah untuk dibuka. Jadilah aku sekali lagi menawarkan untuk membukakan kait tersebut.

Bayangkanlah, kait tersebut pada helm setengah (half-face) terletak mengikuti kontur dagu dan menempel di pipi. Tidak sulit sebenarnya, kalau kamu sering membuka-tutup kait tersebut, tetapi entahlah. Beliau bilang "bisa pasangnya nggak bisa tutupnya". Yang sulit dari prosesi pembukaan tersebut adalah bagaimana agar tanganku tidak nakal dan melakukan tugasnya, dan hanya tugasnya *malu*. Yah, demikian yang kudapat hari kemarin, yang sampai aku pulang masih terasa tawa renyahnya di telingaku.

**

Senin, hari rutin macet di depan stasiun Lenteng Agung arah Pasar Minggu. Seperti biasa, mobil yang hendak masuk dari jalan utama ke turunan Pasar terhambat dengan adanya SEGEROMBOLAN angkutan nomor 83 dan 02. Bertambah parah apabila ada mobil yang hendak naik keluar dari Pasar. Yang hebat, seorang polisi yang seolah mengatur lalu lintas di situ TIDAK berbuat apa-apa pada angkutan-angkutan tersebut. Hhhhh...

Entah mengapa, setelah sebelumnya sepanjang jalan sangat ceria, dengan lagu "Kahitna" - "Tak Sebebas Merpati" sembari sedikit berandai-andai, suasana hati tiba-tiba saja berubah. Ditambah lagi di pertigaan Pabrik Ubin ada sepeda motor dari arah berlawanan yang masuk jalurku, dan malah terkesan kesal denganku. HEI! PLEASE! Siapa yang memotong jalur siapa?

Tapi itu awal dari sebuah kejadian nyaris. Di pertigaan berikutnya, di sebuah toko kelontong yang induk perusahaannya belum lama ini diakuisisi oleh pengusaha yang juga memiliki stasiun televisi, entah mengapa rem depan si RW mengunci, dan keadaan jalan yang setengah licin membuat kendali lepas sementara. Huff..

Alhamdulillah, aku masih diberi refleks yang baik (dibandingkan orang yang merokok sembari mengendara motor. Idih), dan syukurlah tidak terjadi kejadian yang mengkhawatirkan. Padahal itu tak 500 meter dari belokan menuju rumah. Memang sepertinya kecelakaan dominan terjadi tak jauh dari rumah, betul?

Mudah-mudahan besok suasana hati telah cukup normal, sebab aku khawatir. Hampir selalu setiap aku demikian gembira, atau sedih, ada saja caraNya mengingatkanku dan membalikkan suasana tersebut. Selalu.

F I N
Written on 19. April 2010, 1815-1830, und 2200-2255 WIB (= GMT+7)
Halo, apa kabar? Semoga baik. Dan terima kasih kakak, untuk suntikan semangatnya. :)

Apa kabar?

Lama tak mampir ke halamanku, sepertinya ilalang telah merambah ke mana-mana. Beri waktu beberapa saat, dan akan coba kutebas ilalang tersebut, biar tenang. Bersabar ya? :)

F I N
quickerly written on 19. Apr 2010, 08.30
Und, sie schreibt jetzt doch wieder.