Senin, 19 April 2010

Bipolar

Satu hari berlalu setelah reuni mini teman SD antara aku, Ginda, dan Arum, serta beberapa teman yang baru diperkenalkan padaku. Dua nama ini sudah lama tidak kujumpai. Harap maklum, dulu selepas SD, aku "mengungsi" ke SMP yang jauh, jauh, jauh di Rawamangun, Jakarta Timur, sementara mereka rata-rata masih berkisar di Ragunan-Pasar Minggu. Memang sebelumnya mereka pernah kutemui juga, tetapi waktu itu, saat acara resepsi pernikahan teman SD kami, Dewi Annisa, hanya sebentar saja kesempatan kami.

Kemarin, yah, diawali dari kemalasan berangkat ke bengkel untuk perawatan bulanan sepeda motorku yang mulai rewel. Setelah pergolakan batin, akhirnya berangkatlah aku menuju bengkel, jelang tengah hari, dan ternyata padat sungguh bengkel langgananku itu. Jadilah aku menunggu, menunggu, membaca majalah lama, mengirim tweets, menjawab beberapa pesan singkat, dan, ya menonton berita tentang perkembangan kasus di Tj. Priuk, ledakan tabung gas, dan pembuatan alat musik perkusi yang namanya sudah kulupakan.

Waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB, dan si RW (Rot-Weiss, nama kode dariku untuk sepeda motorku itu) masih belum dipegang mekanik. Lalu terdengar suara bel pintu yang kupilih jadi tanda ada pesan singkat yang masuk. Eh, Arum? SMS? Tumben! [pucuk dicinta ulam tiba :D]

"Rif, nonton [menyebut judul film] di [menyebut pusat perbelanjaan di seberang kantor Republika, Jak-Sel], yuk? Bareng Ginda juga," begitu isi tulisannya.

Balasanku singkat saja, "hmm.. Boleh, boleh. Kapan?"

Yang tak lama berbalas, "setengah tiga di sini".

---- Anda boleh lho, beristirahat dulu, mengambil minum, kudapan, atau bacaan lain kalau anda pembaca paralel, sebab perjalanan kita masih panjang. :D ----

Hmm.. Pikiran mulai bergerak lagi. Pukul 1300 WIB dan si RW masih diurusi montir. Pukul 1400 balap mobil Formula 1 di Cina dimulai, dan film yang akan ditonton, dari bocoran si Ilman, bercerita tentang hal yang tak kusuka. Tetapi yang mengajak seorang Arum. Yah, beliau bukan dari kalangan yang menggoda dengan gaya berbusana yang njelimet atau bagaimana. Beliau perempuan yang sederhana, dengan celana denim dan kaus oblong dan jaket dan sepatu kets. Beliau bukan perempuan dengan rok (panjang atau pendek), kaus menempel di badan atau baju tanpa bahu. Bukan.

Jadilah berpikir, berpikir, berpikir, dan sampai pada kesimpulan. Oke, aku akan tiba sekitar pukul 1500, setelah sebelumnya menonton permulaan GP F1 Cina (bagian yang paling seru dari F1, kalau kamu belum tahu, adalah seperempat awal balapan ;).)

Sedikit meleset dari perkiraan, ternyata si RW baru terselesaikan pada 1345, yang artinya setengah mengebut ke rumah yang sekitar dua kilometer dari situ. Ups. Maaf ya, anda yang terganggu di Ahad siang kemarin. :)

Dan, biarpun ketepatan waktu bukan kebiasaanku, kemarin Ahad adalah hari yang tidak biasa. Aku tiba di depan pintu, tepat saat balap akan dimulai (dan jadi saksi yang curiga bahwa Nando Alonso melakukan "jump start" [T_T]). Kemudian, setelah persiapan-persiapan, akhirnya berangkatlah aku, sekitar setengah tiga (he he) menuju tempat yang dimaksud.

Sekali lagi aku tidak terlambat (sebuah prestasi, he he). Dan di sana sudah ada Arum, Ginda, serta dua orang --Adit dan Suryo-- yang masing-masing adalah teman Arum dan Ginda. Ternyata, tiket (berbentuk voucher) masih ada di temannya Arum yang lain, yang masih di jalan. Yah, jadilah kami menunggu di atas, di lobi bioskop jaringan itu.

Singkat cerita, mengingat aku juga berusaha tampak tertidur dari awal film hingga pertengahan (hei, aku mendengar segala tawa dan cela kalian tentang aku di depan telingaku!), akhirnya kami pun pulanglah. Kami berenam (ditambah dengan seorang lagi teman Arum --Agun namanya-- yang ternyata telah kenal Ginda) pun beranjak pulanglah.

Oh iya, di sela-sela menjelang film dimulai, Ginda diperkenalkan Arum pada Friski, seorang rekan perempuannya (sesuai janji beliau :D). Sepulangnya, kami berkongsi mencoba membujuk si Friski ini untuk mau diantar Ginda ke rumah. Haha, dasar anak muda. Masih labil. :P

Usut punya usut, sepertinya Ginda tidak berhasil kali ini. Kami telah pulang terlebih dahulu, supaya tidak terlalu mencurigakan. Oh iya, kebetulan *yang disengaja* aku membawa helm untuk penumpangku yang *kebetulan* adalah Arum sendiri. Oh, rasanya ingin mencubit pipiku sendiri. Seperti mimpi rasanya bisa mengantarkan beliau pulang ke rumahnya, yang kebetulan tidak jauh -- mungkin sekitar 2 kilometer -- dari rumahku.

Sepanjang jalan, entah kenapa sepertinya percaya diriku berlipat -- hal yang sekali lagi tidak biasa -- dan dapatlah aku berbincang dan diselingi tawa dengan beliau. Yah, perbincangan masih perbincangan begitu saja. Bahkan tidak menyinggung hal yang baru sadar ingin kutanyakan saat menulis tulisan ini. Ah, sudahlah. Lain waktu saja. :">

Sesampai kami di depan pagar rumahnya (yang pura-puranya aku lupa), kami pun berhentilah. Sedikit bertukar cerita lagi, sembari beliau berusaha membuka kait pada helm yang beliau pakai. Ternyata helm yang mendapat sertifikasi SNI tersebut tidak cukup mudah untuk dibuka. Jadilah aku sekali lagi menawarkan untuk membukakan kait tersebut.

Bayangkanlah, kait tersebut pada helm setengah (half-face) terletak mengikuti kontur dagu dan menempel di pipi. Tidak sulit sebenarnya, kalau kamu sering membuka-tutup kait tersebut, tetapi entahlah. Beliau bilang "bisa pasangnya nggak bisa tutupnya". Yang sulit dari prosesi pembukaan tersebut adalah bagaimana agar tanganku tidak nakal dan melakukan tugasnya, dan hanya tugasnya *malu*. Yah, demikian yang kudapat hari kemarin, yang sampai aku pulang masih terasa tawa renyahnya di telingaku.

**

Senin, hari rutin macet di depan stasiun Lenteng Agung arah Pasar Minggu. Seperti biasa, mobil yang hendak masuk dari jalan utama ke turunan Pasar terhambat dengan adanya SEGEROMBOLAN angkutan nomor 83 dan 02. Bertambah parah apabila ada mobil yang hendak naik keluar dari Pasar. Yang hebat, seorang polisi yang seolah mengatur lalu lintas di situ TIDAK berbuat apa-apa pada angkutan-angkutan tersebut. Hhhhh...

Entah mengapa, setelah sebelumnya sepanjang jalan sangat ceria, dengan lagu "Kahitna" - "Tak Sebebas Merpati" sembari sedikit berandai-andai, suasana hati tiba-tiba saja berubah. Ditambah lagi di pertigaan Pabrik Ubin ada sepeda motor dari arah berlawanan yang masuk jalurku, dan malah terkesan kesal denganku. HEI! PLEASE! Siapa yang memotong jalur siapa?

Tapi itu awal dari sebuah kejadian nyaris. Di pertigaan berikutnya, di sebuah toko kelontong yang induk perusahaannya belum lama ini diakuisisi oleh pengusaha yang juga memiliki stasiun televisi, entah mengapa rem depan si RW mengunci, dan keadaan jalan yang setengah licin membuat kendali lepas sementara. Huff..

Alhamdulillah, aku masih diberi refleks yang baik (dibandingkan orang yang merokok sembari mengendara motor. Idih), dan syukurlah tidak terjadi kejadian yang mengkhawatirkan. Padahal itu tak 500 meter dari belokan menuju rumah. Memang sepertinya kecelakaan dominan terjadi tak jauh dari rumah, betul?

Mudah-mudahan besok suasana hati telah cukup normal, sebab aku khawatir. Hampir selalu setiap aku demikian gembira, atau sedih, ada saja caraNya mengingatkanku dan membalikkan suasana tersebut. Selalu.

F I N
Written on 19. April 2010, 1815-1830, und 2200-2255 WIB (= GMT+7)
Halo, apa kabar? Semoga baik. Dan terima kasih kakak, untuk suntikan semangatnya. :)

Tidak ada komentar: