Sabtu, 30 Oktober 2010

Ulasan: Venom Camera Cover (M)

Jadi, 17 Oktober 2010 kemarin, aku berkesempatan ikut berpartisipasi dalam acara komunitas fotografi Fotografer.net (FN) bertajuk "Jakarta Street Hunting VI" (JaSH VI). Ini kedua kalinya aku ikut serta. Tahun kemarin aku pertama kali ikut dengan kamera EOS 500N milik ayah, lensa 50mm/1.8 yang beberapa waktu sebelum hari-H JaSH V berhasil terbeli, dan tiga rol film hitam putih Lucky SHD. Sebagian foto-fotonya (JaSH V & VI) bisa dilihat di laman twitpic-ku (maaf, aku pengguna twitter dan hal-hal terkait yang tergolong 'kelas berat').

Lepas acara hunting berkeliling kawasan Kota dan sekitarnya, sebagian peserta mengistirahatkan diri di Kantin Megarasa kawasan kota tua Jakarta (KKJ). Saat itulah ada 'pengundian' hadiah-hadiah. Aku termasuk beruntung mendapatkan sebuah kantung untuk menempatkan kamera. Kantung (soft pouch/pouch) ini dihadiahkan oleh toko kamera V3 technology (URL di sebelah bukan URL iklan per klik atau iklan manapun, aku tidak terkait dengan penjual manapun).

Oke, menuju ulasan. Menurut laman produk tersebut di situs v3, kantung ini adalah...

Camera covers provide the best lightweight,compact protection for your travels,outdoor activites and storage.The elastic and foam padding qualities of neoprene protect your valuable camera equipment from bumps,moisture and dirt.

The stretching ability of the Camera cover enable an SLR camera with a lens up to 5.6 inches long to slip into the form fitting cover.

Kedengarannya bagus. Melindungi dari benturan, kelembaban, dan debu. Sepertinya akan berguna untuk orang yang cenderung ceroboh mengelola kepemilikannya seperti, yah, aku sendiri. Tapi mari kita lihat saja.

Kamera yang kupunya kamera EOS 20D, dengan lensa 50mm/1.8. Kombinasi yang kecil, relatif (sekali lagi, relatif) ringan. Selama ini kutempatkan mereka dalam tas ransel besar (kelewat besar) yang memiliki kompartemen untuk peralatan fotografi - beserta lensa 28-200mm milik ayah, dan terkadang lampu kilat yang juga milik ayah yang sudah tak pernah beliau pakai lagi.

Kendalanya adalah, kombinasi ini membuat tas menjadi terlihat besar dan seolah berat. Besar memang, tapi berat relatif tidak sebetulnya. Masalah volume ini juga cukup memusingkan, karena besarnya ruang yang dikonsumsi oleh kompartemen fotografi ini membuat ruang untuk keperluan lain berkurang. Keperluan lain di sini termasuk komputer jinjing (kojing), alat tulis, baju, sandal, senter (?), dan sendok (?) menjadi berkurang, dan kalau dipaksakan malah membuat tas terlihat jauh lebih besar lagi.

Terima kasih kepada FN dan V3 untuk pemberian berupa kantung ini. Perlindungan kantung yang relatif kecil ini membuat ada ruang untuk perkakas lain yang mungkin kumasukkan. Lensa dan lampu kilatnya? Bisa diselipkan di antara pakaian kok. Tasnya sendiri cukup tebal dan tahan air.

Satu hal yang membuatku agak kurang puas adalah, ukurannya. Di tengah-tengah menjamurnya minat dan 'minat' fotografi, lensa prime (satu panjang fokal seperti 50mm milikku) menjadi terkucil di rimba lensa vario. Mungkin alasan mengapa kantung ini cukup panjang adalah untuk mengakomodasi lensa vario yang cenderung lebih besar. Aku mungkin akan mempertimbangkan kalau ada kantung yang lebih kompak untuk kamera yang dipasangkan dengan lensa "prime". Tapi itu sekadar saran saja.


Soft pouch yang untuk keperluan foto diisi EOS 500N (kelas pemula) dan lensa Sigma 28-200mm milik ayah

Yang jelas, sejauh ini aku cukup puas dengan kantung pemberian ini. Hati terasa lebih tenang karena lebih yakin kameraku yang diperjuangkan lama tidak akan tergores sia-sia. Memang kantung ini belum pernah teruji lapangan, tetapi ada kemungkinan Ahad (31/10) ini akan kubawa berjalan-jalan menemani kameraku. Akan kuperbarui kalau sudah terjadi.

kalau boleh memberi nilai: **** dari *****, hanya karena ukurannya terlalu besar. :)

--
F I N

written on 30. Oktober 2010, 14.12 WIB (UTC +7), 15.12 WITa (UTC +8)
:)

Jumat, 22 Oktober 2010

Sedikit saja

Lama rasa-rasa itu tak singgah.
Kini singgah lagi ia ke beranda pikiranku.
Dari sudut jendela buram lab tempatku bernaung.
Ke seberang selasar ku memandang.
Kuharap makhlukMu itu duduk di sana.
Dan kuharap padaMu, pandangan kami dipertemukan.
Dan kuharapkan sedikit saja dariMu.

Selasa, 19 Oktober 2010

Opini: Berlalu lintas di Jakarta

Sebagai permulaan, anggap saja ini surat dariku untuk kita semua, pengguna jalan, yang sedikit banyak menyumbang merah hitam lalu lintas di Jakarta (dan kota-kota penyangga di sekitarnya).

***
Jakarta, 19. Oktober 2010,

Petang ini, seperti petang-petang lainnya antara Senin hingga Jum'at, aku melajukan sepeda motor dari tempatku beraktivitas sehari-hari di kampus yang rimbun di tepi Jakarta. Sweater, jaket, celana panjang, helm, semua siap. Tidak bersarung tangan aku karena dua hal: membatasi pergerakan jari jemari di atas tombol kendali sepeda motor, dan perjalananku tak demikian jauh. tak sampai 10 km sehari-hari.

Keluar dari pintu jurusan, melewati pintu fakultas, dan memutari putaran untuk melaju ke arah pintu keluar kampus. 100 meter bergerak, terlihat di kaca spionku ada pengendara motor lain yang gelagatnya akan mendahului. Tetapi, mengapa hendak mengambil jalur kiri? Segera kumasukkan tanda berbelok ke kiri, kupastikan aman, dan kubiarkan dia melewatiku. Dari kanan.

Itu baru sekali, kawan. Kamu yang menempuh perjalanan jauh lebih panjang pasti lebih sering mengalaminya. Mendahului dari kiri, kalaupun tidak ada aturan tertulisnya, pada lalu lintas setir kanan seperti di sini sebenarnya berbahaya. Siapa yang tahu kalau ada pedagang baso tengah berjalan di sisi kiri? Atau ada lubang dalam di lajur yang sama? Pun demikian, terkadang 'kesalahan' juga ada pada pengguna jalan di depan yang tidak awas pada adanya kendaraan lain yang hendak mendahului. Ketidakawasan ini membuat pengguna jalan tersebut tidak memberi kesempatan pengguna lain untuk mendahului. Saranku, pengguna yang hendak mendahului sebaiknya memberi tanda lampu (sein kanan) sebelum mendahului. Bila tidak terlihat itikad baik dari pengguna di depan, boleh lah, diberikan isyarat lampu (dim) atau klakson pendek sekadar untuk mengingatkan. Mudah-mudahan baik hasilnya.

Kemudian, selepas gerbang kampus, sepeda motorku masih melaju kira-kira 50 kpj. Mengambil lajur kiri, dan tetap di jalurnya. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba ada sepeda motor menyeberang, memotong jalan hendak melintasi pembatas jalan yang telah disulap menjadi landaian. Sontak aku mengerem dan membunyikan klakson panjang dan lampu dim. Cuma itu yang bisa kuperbuat saat itu (meskipun 10 meter ke depan sempat memberi 'isyarat jari' dengan tangan kiri yang bebas ke arah belakang).

Jalan itu sebetulnya satu arah, tetapi terdiri dua bagian kiri dan kanan yang terpisah pembatas. Jalan baru, memang yang di sisi kanan. Tetapi entah mengapa sebagian pengguna malah menyeberangi jalan baru tersebut untuk melintasi rel kereta. Padahal perlintasan kereta api lain ada tak sampai 2 km dari situ. 2 km di atas kendaraan tentu tidak terasa, semestinya.

Mungkin ini salah satu bentuk kerakusan yang kurang disadari pengguna jalan: kerakusan waktu. Bahwa ingin cepat sampai sebelum terlambat, itu niat baik. Tetapi apabila pelaksanaan niat tersebut dengan jalan yang tidak baik, apalagi sampai membahayakan pengguna jalan lain? Ah, entahlah. Mungkin rasa ke-aku-an yang menjadi raja di berbagai segi sekarang ini menyumbang banyaknya kecelakaan lalu lintas.

Tak 100 meter dari situ, ada lagi kejadian 'lucu'. Pengendara sepeda motor lain, dalam satu massa besar, yang baru melintasi rel kereta yang sama dari arah berlawanan, hendak memotong dan kemudian berjalan melawan arus! Sekali lagi klakson panjang, dan lampu dim menyambut mereka. Salam dariku.

Pertama. Mereka tidak hanya memotong perlintasan KA, tetapi juga dua lajur di jalur kanan demi mendekati ujung pembatas jalan. Masalahnya: jalur kanan yang tadinya dua lajur dalam beberapa puluh meter setelah ujung pembatas jalan tersebut menyempit menjadi satu, bersatu kembali dengan dua lajur dari jalur kiri. Terbayang bukan, huru-hara yang terjadi saat beberapa belas sepeda motor beramai memotong jalur tersebut?

Kedua, mereka memutar untuk melawan arus. Memotong dua lajur lagi. Eee... Mengerikan. Betapa sering mereka memaksakan demikian padahal kendaraan dari arah yang mereka lawan tidak sedikit. Bahaya untuk mereka, bahaya untuk mereka yang arahnya dilawan. Berbahaya juga untuk pejalan kaki, karena di situ tidak tersedia trotoar yang memadai. Bahaya. Diabaikan.
***

Sedikit kasus yang kupaparkan itu hanyalah potongan kecil dari gambar besar apa yang dikerjakan sebagian pengguna jalan. Berlebihan? Mungkin. Tetapi biaya bila terjadi kecelakaan juga seringkali lebih dari kemampuan pengguna jalan yang menjadi korban.

Mungkin sekarang saatnya menanggalkan baju ke-aku-an dan menggantinya dengan busana ke-kita-an. Mudah-mudahan baik untuk kamu, aku, semua.


F I N
written on 19. Okt 2010, 19.45 WIB (UTC +7), 20.45 WITa (UTC +8)
Yes, it's a cliché, but if you want something right, do it yourself (first). I'll try to.