Selasa, 19 Oktober 2010

Opini: Berlalu lintas di Jakarta

Sebagai permulaan, anggap saja ini surat dariku untuk kita semua, pengguna jalan, yang sedikit banyak menyumbang merah hitam lalu lintas di Jakarta (dan kota-kota penyangga di sekitarnya).

***
Jakarta, 19. Oktober 2010,

Petang ini, seperti petang-petang lainnya antara Senin hingga Jum'at, aku melajukan sepeda motor dari tempatku beraktivitas sehari-hari di kampus yang rimbun di tepi Jakarta. Sweater, jaket, celana panjang, helm, semua siap. Tidak bersarung tangan aku karena dua hal: membatasi pergerakan jari jemari di atas tombol kendali sepeda motor, dan perjalananku tak demikian jauh. tak sampai 10 km sehari-hari.

Keluar dari pintu jurusan, melewati pintu fakultas, dan memutari putaran untuk melaju ke arah pintu keluar kampus. 100 meter bergerak, terlihat di kaca spionku ada pengendara motor lain yang gelagatnya akan mendahului. Tetapi, mengapa hendak mengambil jalur kiri? Segera kumasukkan tanda berbelok ke kiri, kupastikan aman, dan kubiarkan dia melewatiku. Dari kanan.

Itu baru sekali, kawan. Kamu yang menempuh perjalanan jauh lebih panjang pasti lebih sering mengalaminya. Mendahului dari kiri, kalaupun tidak ada aturan tertulisnya, pada lalu lintas setir kanan seperti di sini sebenarnya berbahaya. Siapa yang tahu kalau ada pedagang baso tengah berjalan di sisi kiri? Atau ada lubang dalam di lajur yang sama? Pun demikian, terkadang 'kesalahan' juga ada pada pengguna jalan di depan yang tidak awas pada adanya kendaraan lain yang hendak mendahului. Ketidakawasan ini membuat pengguna jalan tersebut tidak memberi kesempatan pengguna lain untuk mendahului. Saranku, pengguna yang hendak mendahului sebaiknya memberi tanda lampu (sein kanan) sebelum mendahului. Bila tidak terlihat itikad baik dari pengguna di depan, boleh lah, diberikan isyarat lampu (dim) atau klakson pendek sekadar untuk mengingatkan. Mudah-mudahan baik hasilnya.

Kemudian, selepas gerbang kampus, sepeda motorku masih melaju kira-kira 50 kpj. Mengambil lajur kiri, dan tetap di jalurnya. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba ada sepeda motor menyeberang, memotong jalan hendak melintasi pembatas jalan yang telah disulap menjadi landaian. Sontak aku mengerem dan membunyikan klakson panjang dan lampu dim. Cuma itu yang bisa kuperbuat saat itu (meskipun 10 meter ke depan sempat memberi 'isyarat jari' dengan tangan kiri yang bebas ke arah belakang).

Jalan itu sebetulnya satu arah, tetapi terdiri dua bagian kiri dan kanan yang terpisah pembatas. Jalan baru, memang yang di sisi kanan. Tetapi entah mengapa sebagian pengguna malah menyeberangi jalan baru tersebut untuk melintasi rel kereta. Padahal perlintasan kereta api lain ada tak sampai 2 km dari situ. 2 km di atas kendaraan tentu tidak terasa, semestinya.

Mungkin ini salah satu bentuk kerakusan yang kurang disadari pengguna jalan: kerakusan waktu. Bahwa ingin cepat sampai sebelum terlambat, itu niat baik. Tetapi apabila pelaksanaan niat tersebut dengan jalan yang tidak baik, apalagi sampai membahayakan pengguna jalan lain? Ah, entahlah. Mungkin rasa ke-aku-an yang menjadi raja di berbagai segi sekarang ini menyumbang banyaknya kecelakaan lalu lintas.

Tak 100 meter dari situ, ada lagi kejadian 'lucu'. Pengendara sepeda motor lain, dalam satu massa besar, yang baru melintasi rel kereta yang sama dari arah berlawanan, hendak memotong dan kemudian berjalan melawan arus! Sekali lagi klakson panjang, dan lampu dim menyambut mereka. Salam dariku.

Pertama. Mereka tidak hanya memotong perlintasan KA, tetapi juga dua lajur di jalur kanan demi mendekati ujung pembatas jalan. Masalahnya: jalur kanan yang tadinya dua lajur dalam beberapa puluh meter setelah ujung pembatas jalan tersebut menyempit menjadi satu, bersatu kembali dengan dua lajur dari jalur kiri. Terbayang bukan, huru-hara yang terjadi saat beberapa belas sepeda motor beramai memotong jalur tersebut?

Kedua, mereka memutar untuk melawan arus. Memotong dua lajur lagi. Eee... Mengerikan. Betapa sering mereka memaksakan demikian padahal kendaraan dari arah yang mereka lawan tidak sedikit. Bahaya untuk mereka, bahaya untuk mereka yang arahnya dilawan. Berbahaya juga untuk pejalan kaki, karena di situ tidak tersedia trotoar yang memadai. Bahaya. Diabaikan.
***

Sedikit kasus yang kupaparkan itu hanyalah potongan kecil dari gambar besar apa yang dikerjakan sebagian pengguna jalan. Berlebihan? Mungkin. Tetapi biaya bila terjadi kecelakaan juga seringkali lebih dari kemampuan pengguna jalan yang menjadi korban.

Mungkin sekarang saatnya menanggalkan baju ke-aku-an dan menggantinya dengan busana ke-kita-an. Mudah-mudahan baik untuk kamu, aku, semua.


F I N
written on 19. Okt 2010, 19.45 WIB (UTC +7), 20.45 WITa (UTC +8)
Yes, it's a cliché, but if you want something right, do it yourself (first). I'll try to.

Tidak ada komentar: