Rabu, 27 Agustus 2008

D -157: Sudah Datang...

-- sekaligus meralat jumlah hari yang ditargetkan sebelumnya. (n_n)

Iya, salah tulis... Seharusnya D -161 pada post yang terakhir. Ah, sudahlah. Hari ini, cukup menyenangkan. Pertama, aku bersepeda (lagi) ke Kampus, demi Ducati 1098 Tricolore yang diidamkan, dan melalui jalan yang relatif sepi. Kedua, bahan yang kami perlukan datang sebuah, dan satu lagi dalam dua-tiga pekan ke depan. Ketiga, mahasiswa baru (banyak, euy!) tur laboratorium. Keempat, sudah mengisi rol film ke dalam kamera 'peninggalan' ayah.

Hm... Bersepeda? Apa asyiknya sih, selain bisa mengatur waktu sendiri untuk sampai ke kampus, tanpa biaya sepeserpun (kecuali untuk segelas es teh manis sesampai di kampus, he he...). Sebetulnya dulu aku bersepeda juga, pada semester-semester awal kuliah dulu, sebelum diberikan SIM. Nah, setelah SIM didapat, jadilah aku bergantian dengan adikku berkendara dengan itu motor pinjaman dari Bulek Eti. Tapi... Selama masa itu, jadilah aku malas bersepeda lagi, terutama --karena kurang perawatan-- Fed hijau itu juga rusak di sana-sini, dan gaya mengayuhku masih norak (cepat sekali sampai lambat sekali). Tapi kemarin(-an), karena dari sekolah adikku --juga sekolahku dulu-- ada acara "Shaking Wheels", mengendarai sepeda dari sekolah ke Bundaran Hotel Indonesia, jadilah Fed itu diurus kembali, dan semangatku bersepeda kembali pula.

Yang jelas, andaikan aku tidak bermotor dan memilih jalan-angkot-kereta api-jalan lagi, waktunya bisa cukup lama, terutama setelah setrip kedua itu. Jadi ingat lagu dari Bang Iwan Fals, "... Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga, "Kereta tiba pukul berapa?"". Yap, KRL jurusan Jakarta-Kota/Manggarai/Tanah Abang menuju Bogor/Depok memang sulit diprediksi datangnya. Apalagi duduk pun belum tentu di kereta itu. Ditambah jalan cepat melintasi FISIP-FIB-Jembatan? Fiuh.. Keringat bisa membanjir. Bandingkan dengan bersepeda, waktu tempuh lebih kurang sama, bisa lebih cepat dengan kayuhan yang lebih kuat tentunya (^_^). Belum termasuk angin sepanjang jalan yang menimbulkan konveksi paksa keringat. Belum lagi kalau di jalan ada.... Ups, jangan disebutkan deh, rizki Tuhan yang satu itu. :-D

Yah, sebetulnya si Agung --alias Julung-- menyebut jam 10.00 WIB (atau WIR, Waktu Indonesia Raya? (",)) sebagai jadwal tur laboratorium untuk mahasiswa baru. Tapi sesampainya di kampus, jam 10 lewat, menuju lab, masih kosong saudara-saudara. Yang ada baru Enriko dan Edu yang juga menunggu si Julung. Selidik punya selidik, ternyata jadwal tur lab itu baru dimulai sekitar pukul 2-3(-an) petang, duh... Setidaknya ada yang kutunggu, sebetulnya. Kedatangan bahan antimoni(III) oksida, beserta kepastian akan datangnya timah untuk pelapisan kaca itu melegakan, dan itu juga yang kutunggu siang tadi.

Sekitar pukul 11 Pak Herman memanggil. Mencari mesin pencetak untuk lab kesayangan kami, lab polimer/nanoteknologi. Bujet, rahasia ya... (n_n). Yang jelas rencananya sore tadi kami akan mencari itu pencetak. Makan siang, biasa saja. Sepi sendiri lagi (-_-'). Selepas Dzuhur ternyata, pak entah-siapa (maaf ya, Pak?), kurir kiriman Pak Nur yang mengantar bahan kimia itu datangnya. Pak Herman menyelesaikan masalah finansialnya, dan berpindahlah zat itu ke lab kami. PR buatku: "Tolong cari MSDS (Material Safety Data Sheet) material ini ya, Rif?" begitu pesan Pak Herman. Yah, lega sedikit hatiku, nanti akan kuberitahu Dini.

Ya, pada akhirnya --setengah empat sore, dan belum 'Ashar... (-_-)-- tur lab pun dimulailah, begitupun ritual membuat "hitung-hitungan". Yah, sederhana sih, Jurusan kami --juga jamaknya jurusan di Fakultas Teknik, kecuali Arsitek, mungkin-- tergolong "kering" untuk urusan perempuan. Jadi ya, begitulah... Syukur di lab ada Ryan (non-Jombang tentu saja. ^_^), kemudian Edu untuk lebih membangkitkan minat adik-adik kami. Jadi... Hasil hitunganku sebagai berikut: Minimal mahasiswa perempuan ada 16 (setidaknya yang hadir pada tur lab hari ini), dan ada setidaknya 4 yang, ehm, spotted-on. Jadi berpikir juga mengapa tidak mengambil mata kuliah Pengenalan Material Teknik itu ya, memperbaiki nilai C sekaligus... :p. Hey, kalau kamu berani kubayarkan semua tabunganku di muka. Ups...

Yah, begitulah. Tur lab awalnya sedikit membosankan --baru Ryan dan aku yang memegang kendali. Maklum, kurang baik komunikasiku --jadi malu. Setidaknya ada Ryan, "Anak Komunikasi yang Nyasar di Metal". Aku ambil spesialisasi menerangkan mesin-mesin saja deh, sembari menatap ke satu titik di belakang gerombolan adik-adik kami laki dan perempuan (n_n). Baru setelah dua kelompok, hadirlah Edu alias Pepi yang, aku curiga dia baru habis makan gulai ikan (menurut versi Ryan: Mie) Aceh yang konon diramu dengan ganja (hehe... bercanda, insya Allah korps AsLab Metalurgi Fisik bersih, kok), menyambut adik-adik kami yang cantik-cantik dan laki-laki (he he...) dengan semangat '45. Menerangkan segala tentang "core competence", "ini kelebihan kita", dan semuanya yang disambut meriah adik-adik kami. Duh, sedikit iri jadinya, mengapa aku tak bisa seperti itu ya. Ada satu anak yang kuingat pernah muncul di lab yang sama sebelumnya, berseragam SMA dalam acara Metallurgical and Material's (MnM's) week sebelumnya. Berarti.... Kami SUKSES meracun adik-adik kami untuk masuk jurusan tercinta ini, he he...

Yah, hari beranjak petang, sepeda tak berlampu, tapi kaki belum lelah. Jadi, pulanglah akhirnya kami (aku dan korps pengunduh Metal, he he), mereka bersepeda motor, aku bersepeda minus motor saja. Di jalan pulang, masih dalam kompleks kampus, tepatnya di antara Gerbang Utama (Gerbatama) dan "Hollywood UI", aku, masih di atas si Fed, diberi acungan jempol oleh seorang ibu yang membonceng sepeda motor bersama (kuduga) suami dan anaknya, sambil beliau berkata "Yang semangat, Mas!". He he, jadi malu. Jadilah senyum saja yang bisa kulayangkan pada mereka. Oh iya, jadi, yang dimaksud Hollywood UI ini adalah papan nama, atau semacamnyalah, yang ada di tepi danau dekat Gerbatama. Pernah masuk FAKTA loh, sebagai latar bagi pemandu acaranya di episode pembunuhan mahasiswi UI bernama Anita Rahmat. Ups...

Hm... Entahlah, bersepeda sepertinya memang mengasyikkan. Sepanjang jalan bisa memandang kanan-kiri, melihat langit biru-kelabu (entah, kuduga asap yang kelabu itu), kereta yang melaju cepat, angkot yang ngetem sembarangan, diklakson oleh pengendara sepeda motor (hei, aku juga mau pulang cepat... Sabar sedikitmi!), dan banyak lagi. Semuanya itu, cuma bisa kusimpulkan dalam seulas senyum, sembari bersyukur atas banyak hal yang terjadi padaku. Persis seperti kalau aku menggoda Ida --dan delapan korps perempuan Metal lainnya: Senyum dong! (",)

F I N
written on 27. Aug 2008, 22.38 WIB
Senyum dong!

DITUNGGU: Obituari Pak Bus(tanul Arifin), Dosen/Alumnus Metal (1946-2008). Belum siap menulis lagi... *keluh*


Sabtu, 23 Agustus 2008

H -378: Tugas Akhir, Tahap Pertama

Hm... Masa perwalian (isi IRS/Isian Rencana Studi, minta tanda tangan Pembimbing Akademik/PA, dan sebagainya) hampir berlalu. Semestinya tanggal 15. 08 kemarin, tetapi karena satu dan lain hal, SIAk (Sistem Informasi Akademis, fasilitas mengisi IRS secara daring. Tautannya ada di kiri) belum menampilkan seluruh mata kuliah yang dibuka semester ini. Jadilah karena itu, masa perwalian diperpanjang sampai tanggal 21. 08, Kamis kemarin. Yah, bisa dibilang masa perwalian itu hampir semua pembicaraan mahasiswa di gazebo jurusan, angkatan 2005 --tahun terakhir... Entah apa yang kurasa, sedih atau senang-- 2006, juga 2007, peminatan logam ataupun polimer, didominasi kata-kata semacam, "Ambil berapa SKS?"; "Kuliah [nama_mata_kuliah] itu kayak gimana sih?", sampai "Pak [nama_dosen] itu yang mana yah?".

Yah, begitulah sedikit gambaran kesibukanku dan (hampir) semua warga Metal --terutama mahasiswa-mahasiswi-- di awal semester. Belum lagi bila ada teman yang sedang KP di entah-di-mana menitipkan pilihan-pilihan mereka pada kami yang di sini. Aku sendiri kebetulan dititipi Reza dan Odie yang sekarang sedang KP di Torobulu (di mana ya? Hm... Tidak tertera di petakah? :P). Lumayan repot, memang, tetapi senang juga bisa membantu. Yang jelas sementara mengurus IRS kami bertiga, diberikan kesempatan aku berbincang dengan Pak Dekan --yang ternyata sangat-amat ramah.

Waktu kemarin, 21. 08 pagi, aku langsung menuju ke ruang PA-ku, yang juga Wakil Dekan --jadilah ruangan beliau ada di gedung dekanat. Saat kutanyakan ke sekretaris beliau, diminta aku menunggu karena Pak Dedi masih ada bimbingan. Jadilah aku duduk, di sebelah anak yang baru semester ini mengecap bangku perkuliahan yang sedang mengurus keterlambatan pembayaran kuliahnya. Di sebelahnya duduk pula Pak Bambang Sugianto --Dekan FT-- mengajak anak yang masih nampak entah takut entah malu-malu. Ternyata anak ini datang dari jauh, bungsu dari 4 bersaudara yang sendirian mengurus masalah perkuliahannya, karena orangtuanya berada nun di Makassar sana. Teknik mesin jurusan yang menerimanya, jurusan yang sebelumnya dikepalai oleh Pak Bambang ini. Jadilah pembicaraan berlangsung, tentang sistem evaluasi (baca: penentuan DO-tidak DO) --yang disebut beliau cukup berat di tahun pertama, dan lebih ringan di tahun-tahun lanjut. Si anak ini --maaf aku lupa namanya, sebab saat dia menyebutkannya, aku terlanjur dipanggil Pak Dedi untuk masuk ke ruangannya-- kelihatan entah pucat entah takut entah bingung mendengar "ancaman" Pak Bambang itu.

Yah, apa mau kukata, memang sedikit banyak sulit juga tahun pertama itu, saat banyak teman-teman baru, cara belajar yang baru, dosen-dosen yang 'ajaib' --dari yang baik sekali, yang langsung memberi E untuk setiap ketahuan mencontek, sampai dosen yang memukul meja tanda selesai ujian. Duh, Pak Bus.. Pak Bus--, mata kuliah yang tak terbayangkan sebelumnya, dan semuanya. Tetapi pada akhirnya aku di sini sekarang, tahun terakhir dan dirundung takut. Takut menjadi bagian data statistik tentang pengangguran-sarjana dan semuanya. Ah, mungkin aku perlu mengamalkan yang kuucapkan ke anak itu, ya? "Santai aja, ntar juga nyampe, kok..."

Hm... Menyinggung tahun terakhir, mesti tak lepas dari Tugas Akhir (TA), atau Skripsi. Memang bisa diambil baik di semester ganjil pun genap. Tetapi, karena jumlah SKS-ku mencukupi, juga faktor "tanggung" karena sisa SKS-ku juga tak begitu banyak, juga faktor adanya topik yang kuminati bersambut dengan adanya pembimbing, jadilah kuambil TA semester ini. 4 SKS, 4 SKS yang, um... Entahlah. Banyak yang bilang sulit, tetapi tak sedikit yang bilang bahwa 4 SKS itu tak mungkin berakhir dengan nilai kurang dari B. Entahlah, "nanti juga sampai...".

Oh iya, TA-ku mungkin yang pertama di kampus kuning yang, entah bagaimana, bisa kami cintai ini (n_n). Topiknya, "Dye-Sensitised Solar Cell" (bagaimana mengartikannya yah? Hm...). Yah, semua bermula dari mata kuliah "Rekayasa Produk". Di situ, oleh Prof Eddy, yang supersibuk sampai hampir setiap Jum'at menjadi hari libur dadakan, kami dibagi dalam kelompok dua-dua untuk membuat rancangan produk dari polimer (plastik) dan seluk beluknya, dari bahan baku sampai perkiraan harga kalau bisa. Aku dan Sapto, setelah segala debat tentang alat makan, action figure, dan banyak lagi, kami memutuskan akan merancang "helm sepeda motor bertenaga surya". Bukan, sebetulnya itu bisa dibilang muslihat pemasaran saja, sebab helm itu tak lebih dari helm yang ditempelkan panel surya. Bisakah? Nah, itu dia pertanyaannya, sebab yang kita kenal sekarang, pembangkit listrik tenaga surya yang ada --berbasis wafer silikon murni-- ukurannya sama sekali tidak bisa dibilang kompak. Belum lagi persyaratan penyinaran yang ajek dan tidak terhalangi sama sekali.

Nah, dari keingintahuan --dan juga rasa keki andaikata produk kami tidak memungkinkan diwujudkan-- kami mencari bahan yang banyak, terutama tentang panel/sel surya. Dalam pencarian itu, kami menjumpai bahwa memang ada sel surya yang lebih murah, lebih kecil ukurannya, dan lebih ringan --meskipun memang belum sebaik sel surya berbasis silikon pada umumnya. Teknologi itu, selain yang menjadi topik TA-ku, juga teknologi sel surya polimer/organik. Memang aku tertarik pada yang terakhir ini, tetapi tak mengapa karena Pak Herman --pembimbing TA-ku-- telah menjelaskan bahwa yang lebih memungkinkan dikerjakan --juga karena teman beliau yang telah berada di perusahaan Darma Polimetal mengajukan kemungkinan yang sama, jadilah aku mengambil kesempatan ini. Toh, biarpun bus datang berkali-kali, kesempatan tak datang kembali 'kan?

Tetapi, sebelum memulai TA ini, Pak Herman sudah mewanti-wanti kalau ini adalah proyek yang eksperimental, belum tentu berhasil, dan pada satu ekstrem, bisa jadi tidak mendapat apa-apa. Itu juga yang dikatakan pada Dini, yang sejak Rabu (20. 08) kemarin resmi menjadi rekan kerja pada proyek ini --setidaknya kurasa tak mengapa bila proyek ini mendapat sentuhan perempuan (n_n).

Yah, pada awalnya saat aku bertanya apa yang bisa kukerjakan --di luar membaca jurnal-jurnal dan artikel-artikel-- untuk proyek ini pada Pak Herman, beliau bilang pada saat itu sedang mencoba memesan bahan-bahan yang diperlukan untuk kelangsungan proyek itu. Yah, sembari menunggu, kuteruskan saja membaca dan menandai jurnal itu dengan, um.. Stabilo®. Dari sedikit menandai itu, ada kudapat fakta bahwa di antara bahan-bahan tersebut, ada yang memungkinkan untuk dikerjakan di Lab. Saat kuutarakan hal demikian, Beliau menyambut antusias --mungkin pengaruh didikan luar negeri ya? Penghargaan atas inisiatif dan semacamnya-- dan kemudian menitahkan (Titahmu adalah kewajibanku, Pak! Ups, he he...) untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan. Sebisa mungkin di Jakarta dan sekitarnya. Dasar pemikirannya, bahwa andaikan kami sudah mulai menjalankan proyek ini, mungkin perusahaan tersebut, juga jurusan sendiri, akan membantu lebih banyak dalam lancarnya proyek ini.

Yang jelas, di sinilah petualangan --dan hambatan pertama-- dimulai. Zat yang kami perlukan, untuk membuat DSSC tahap pertama adalah Kaca yang dilapis TCO, oksida penghantar transparan. Pada dasarnya, tak ada yang istimewa dengan kacanya. Yang jadi masalah adalah pelapisnya. Menurut referensi, yang diperlukan adalah FTO (Fluorine-doped Tin Oxide), tetapi dapat pula diganti dengan Sb-doped Tin Oxide (Sb = antimoni). Zat pelapis ini dapat diperoleh dari antimoni(III) oksida dan timah(IV) klorida.

Nah.... Yang pertama kutanyakan adalah temanku yang kebetulan asisten lab kimia, tentang keberadaan dua zat itu. Untuk antimoninya, ada tetapi tinggal 1/4 bagian dari 100 gram, sedangkan timahnya tak ada. Ya sudah, karena khawatir mengganggu suplai di lab kimia, kuubah pertanyaanku, "di mana belinya?". Pencarian kemudian beralih ke Bu Rini, kepala Lab Kimia Metalurgi, dan diberikan aku nomor kontak toko yang biasanya menjadi pilihan utama Lab Kimia saat membeli bahan. Jujur aku agak takut, jadilah aku baru mengirim e-mail sore ini (22. 08), dengan perjanjian pada diriku sendiri kalau sampai Ahad petang tak dibalas jua, teleponlah yang akan beraksi hari Senin pagi (semoga cukup beraniku).

Yah, semoga esok lebih baik, dan e-mail yang kunanti segera datang --ataupun hari Senin segera datang, mana yang lebih dulu (Lho, mirip garansi sepeda motor? :P). Semoga juga kami bisa mendapat --ehm, doakan aku-- "harga khusus" untuk zat-zat itu (coba tebak berapa harganya? Antimoni itu enam ratus ribu rupiah untuk setiap seratus gramnya, dan timah itu? Terakhir kulihat dua koma lima sekian sekian kali sepuluh pangkat enam. Hmph...), semoga.

F I N
written on 22/23. Aug 2008; 24.00/00.00 WIB
Setiap aku mau mengejar sesuatu, akan kukejar sampai dapat, tapi kalau Dia tak memberi jalan? Mungkin akan kubuat jalan. (~.~)


Kamis, 21 Agustus 2008

Ayah



Waktu kecil dulu, Ayah bukan seorang figur yang paling kusukai. Aku *jauh* lebih menyukai Ibuku. Yah, meskipun setiap kali Ibu dahulu masuk ke kamarku berarti berbenah lemari yang selalu saja disebut beliau laiknya "kapal pecah", selalu rewel menyuruhku menggosok daun telinga sebelah belakang setiap mandi, juga selalu rewel menyuruhku mengerjakan PR-ku, apalagi urusan menulis indah di buku garis lima. Huf... Sempat baik tulisanku dulu, sebelum akhirnya menyusut lagi, dan lebih sering tak keruan bentuknya.

Dulu pun, aku *jauh* lebih menyukai Ibuku daripada Ayah karena saat Ayahku marah *besar* kepadaku, Ibuku berlaku sebagai pelindungku. Yah, mungkin Ayah benar pada beberapa waktu, tetapi haruskah energi kemarahan itu disalurkannya dari kepalanya, ke tangannya, dan terakhir ke pipiku? Entahlah, mungkin aku memang salah. Nakal di mata Ayahku. Bepergian entah ke mana menyusahkan mereka. Tetapi saat itulah Ibuku juga turun, mencegah Ayah berlaku semakin jauh. Ah, Ibu. Terima kasih untuk saat-saat itu. Terkadang takut aku kelak berbuat serupa.

Dulu, bila Ayah telah selesai denganku, aku akan berlari ke kamar, menutup pintu rapat, naik ke kasur, menutup kepalaku dengan bantal dan tak terdengarlah suara dari kamarku --biarpun sejam kemudian, bantal dan kasur telah basah dan keesokan paginya, buruklah rupaku dengan sisa-sisa malam tersebut.

Tapi dulu pula, Ayah seringkali mengajak kami bepergian. Tentu, dari beliau aku mengenal sebagian kecil Jakarta di akhir pekan, kota Bogor sepulang sekolah dulu, sedikit tentang kota Bandung, juga tentang kampung Ayah di Solo, kampung Ibu di Tabing, bahkan sempat pula menjejak ke negara-kota Singapura dan tetangganya.

Ah, aku lupa siapa yang memberikan nama yang, ehm, pasaran ini --tapi maknanya mendalam. Nama depanku, biasanya disandingkan dengan bijaksana, lalu nama akhirku dari sifat-Nya yang disebut paling dahulu di setiap kesempatan. Seingatku Ayahkulah yang menamakan (dan dengan itu, mengharapkan) aku sedemikian. Entahlah, akan kutanyakan Ibuku nanti.

Ya, Ayahku juga yang mengajarkan banyak hal yang tak ada di sekolah: alat-alat pertukangan, um... Banyak lagi hal-hal kecil tetapi sangat berguna. Tapi dari Ayahku pula aku *sepertinya* bisa mencoba menafsirkan sifat seperti apa yang tak seharusnya ada, dalam seorang Ayah.

Sekitar bulan lalu, Ayah tak berkenan --mungkin karena letihnya-- karena masalah yang *amat-sangat* sepele, yang biasanya tak memicu masalah apapun. Masalah itu, ah, tak usahlah kubicarakan, cuma sepele, kok. Yang jelas, Ayahku menghardik adikku. Aku? Miris, dan aku pun pergilah, naik ke kamarku --bukan kamar yang sama dengan yang dulu. Bukan bantal lagi temanku kemarin itu --syukurlah-- karena temanku kemarin adalah setangkup air yang membasuh wajah, tangan, kepala, dan kakiku, juga selembar kain yang menghampar di hadapanku.

Ya, adegan sekitar 10-an tahun lalu itu kembali terulang, pada raga yang bertambah tinggi dan jiwa yang semakin tua. Tak perlu bantal untuk meredam apapun, hanya delapan kali sujud di sepotong kain itu, dan cuma sedikit doa yang bisa meluncur dari tenggorokan yang tercekat waktu itu:
"Ya Allah, jadikan keluarga kami tetap satu; tak pernah ingin aku, bila anakku kelak harus berkunjung ke tiga rumah untuk menemui kakek-neneknya, dan jadikan kami semua sabar menghadapi apa yang terjadi"

Yah, Ayah. Mengerti aku selepas KP itu, kalau perjalanan bisa memakan kesabaran seseorang, kalau waktu tempuh mengorupsi ketegaran seseorang. Mengerti aku, yang kemarin punya satu bulan menghadapi rutinitas yang serupa denganmu. Lantak rasanya badan ini, tetapi tak dapatkah Ayah juga mengerti, kami ngeri jika Ayah murka, dan tak ingin kami memancing ke sana. Bisakah kita berdamai saja dengan diri masing-masing?

Terima kasih, Ayah, Ibu, telah bersedia dititipkan anak yang tak bisa membalas apa-apa ini, yang bahkan mengajari adiknya saja sering keberatan. Maafkan aku, karena telah bertumpuk salahku pada Ayah dan Ibu, Ayah dan Ibu yang terbaik yang kupunya. (^_^)

Sekarang, sudikah Ayah, juga Ibu mungkin, menanamkan modalnya kepadaku, lagi, kali ini mungkin yang terakhir sebelum Ayah dan Ibu memetik buah yang Ayah dan Ibu tanamkan? Dan andaikan bunga itu tak pernah tumbuh menjadi buah yang Ayah dan Ibu idamkan, relakah Ayah dan Ibu dibalaskan oleh Pemilikku, mungkin dalam waktu dekat, atau suatu saat kelak, semoga? Dan semoga kelak, aku dapat menjadi Ayah untuk anak-anakku, yang disebut dengan setidaknya cukup terisi rasa bangga. Semoga...


F I N
written on 22. Aug 2008, 00.12 WIB
Sekarang, bagaimana caraku mengatakan kalau TA-ku membutuhkan zat yang satuannya dapat seharga 2,5 E+6? Pak Herman mungkin memegang dana penelitian, tetapi andaikata perlu... Hm... Sulit...

Sabtu, 16 Agustus 2008

Nasionalisme Sepanjang Galah

Prakata: Tulisan ini (hampir) sepenuhnya pendapatku sendiri. Maaf.

Pagi ini, Pak RT kami berkeliling dari rumah ke rumah, mengingatkan kepala-kepala keluarga untuk memasang bendera. "Di mana rasa nasionalismenya kalau belum pasang bendera?", begitu beliau ulangi di setiap pintu. Di mana, Pak Haji? Biar coba kujawab: dalam diri, dalam hati, dalam kepala.

Yap, bulan ini Agustus, bulan kemerdekaan Republik Indonesia --juga Malaysia, Pakistan, dan juga India. Kemerdekaan yang, sejauh yang kubaca dan kucoba pahami, diraih dengan kerja keras yang tak kenal henti dari semua pejuang, yang namanya tertuang di buku-buku sejarah ataupun gugur sebagai pahlawan yang tak dikenal.

Negeriku, telah hampir 63 tahun berlalu sejak Bapak Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, sekitar pukul 10.00 WIB. Sudah hampir selama itu pula berlalu sejak pertama kali bendera Merah Putih berkibar secara resmi sebagai lambang negara. Sejak itu pula, setiap tahun kemerdekaan diperingati di berbagai tempat, di wilayah Indonesia di Indonesia, ataupun di wilayah Indonesia di Negeri lain (jangan salah tangkap, maksudku adalah kedutaan besar RI di negara lain (",)).

Tetapi pantaskah kalau mengibarkan bendera menjadi tolok ukur utama nasionalisme, rasa cinta pada negeri? Bagaimana bila anda berada di negeri orang, dan mengibarkan bendera kebanggaan negaranya? Bendera negaranya sendiri, hanya saja, di negeri orang?

Memang bagi kita yang masih tinggal di teritorial negara Republik Indonesia, alangkah baiknya bila bendera itu dikibarkan. Setidaknya menjadi kebanggaan dari warga negara yang telah merdeka -- tidak seperti beberapa negara yang masih terjajah -- selama 63 tahun ini. Memang mungkin dalam beberapa hal, kemerdekaan itu belum sepenuhnya diraih. Tapi setidaknya kita tengah berusaha, bukan?

Sayangnya, setelah pemasangan bendera itu, terkadang -- termasuk di keluarga kami juga -- banyak yang acuh saja dengan bendera yang telah dipasang itu. Mengapa kamu kira pada setiap upacara penaikan bendera pada peringatan kemerdekaan di Istana Negara, selalu ada upacara penurunan bendera? Masalah 'penghormatan' pada lambang negara, sejauh yang kuingat dari sedikit tahun bersama paskibra di tiga tahun masa sekolah dulu, adalah dasarnya. Tahukah kamu bahwa bendera itu juga diturunkan saat hujan turun? Baguslah kalau kamu tahu, karena itu juga berkaitan dengan masalah penghormatan itu tadi. Tapi apa yang terjadi di kebanyakan rumah? bendera yang pada siang hari berkibar dengan gagahnya, dibiarkan menghadapi hujan andaikan turun, dan dibiarkan di tempatnya, menuju alam mimpi kala malam.

Jadi, itu kecintaan terhadap tanah air? Terlalu pendek kukira, di saat hampir setiap hari orang-orang -- termasuk aku juga --mengeluh tentang apa saja yang bisa dikeluhkan. Di saat kepala-kepala dengan pemikiran cemerlang --tidak semuanya, tentu -- tidak mengingat negeri leluhur mereka yang dulu diperjuangkan sepenuh hati dan jiwa, untuk berjuang demi negeri antah berantah.

Semoga proyek kecil Pak Herman tentang 'memanen' energi dari matahari dengan bahan-bahan yang relatif murah -- yang dipercayakan padaku ('Makasih, Pak. ^_^) -- bisa kukerjakan dengan baik, dan pengembangan selanjutnya bisa terus berlanjut. Semoga saja proyek itu dapat berjalan sesuai rencana. Hanya sepotong kecil bagian puzzle yang bisa kuberikan, menyusun gambar besar negeri yang cantik, beradab, dan maju. Amin. \(-_-)/

Semoga nasionalisme kita, tidak hanya sepanjang galah. Ingatlah, kasih Ibu Pertiwi, seperti halnya kasih Ibu, sepanjang jalan..

F I N
written on 16. Aug 2008, 09.06 WIB

Ada yang tahu ke mana aku harus mencari, bila aku mencari Sb2O3 (Antimoni trioksida) dan SnCl4.5H2O (Air kristal timah (IV) klorida)? Mohon bantuannya.

Jumat, 15 Agustus 2008

Istri Kok Dijual?

Petang ini, sebuah majalah investigasi televisi -- "FAKTA" -- mengupas seorang suami yang tega menjual istrinya menjadi pelacur. Pasangan itu, berasal dari Deli Serdang, tengah merantau ke Batam, Kepulauan Riau. Ternyata, sang suami justru berubah pikiran dan malah menjual istrinya sebagai pelacur. Dalam narasinya bahkan disebutkan kalau sang suami, Bambang, dengan senang hati menandatangani kontrak, dan memaksa sang istri, Rita, menandatangani kontrak itu. Dari kontrak itu, sang suami mendapatkan uang senilai 2.000.000,00 rupiah. Ya benar, hanya demi dua juta rupiah sang suami -- yang kalau aku tak salah dengar sedang dalam keadaan terdesak -- tega menjual istrinya seolah istrinya itu miliknya yang tiada berharga.

Hmm... Masygul hatiku mendengar kejadian itu. Tidak pernahkah sang suami itu mendengar bahwa tidak satu binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya? (11:6) Atau mungkin beranggapan dia bahwa itu adalah perniagaan yang menguntungkan, mungkin karena pada saat menikah dahulu dia hanya memberikan sedikit untuk menghalalkan istrinya padanya? Entahlah, tak ingin ku berprasangka terlalu jauh. Bukan urusanku.

Mungkin sering kamu mendengar "pengalaman memberi pelajaran yang amat banyak". Mohon maaf, tetapi aku lebih suka menambahkannya menjadi "pengalaman memberi pelajaran yang amat banyak. Apalagi bila pengalaman itu milik orang lain". Betulkah? Menurutku demikian, sebab diciptakan manusia kebanyakan dengan dua mata dan dua telinga, untuk mendengar dan melihat lebih banyak, serta sebuah mulut beserta lidahnya, tentu untuk bicara.Jadi, lebih banyak kita diberikan fasilitas untuk memahami sekeliling, bukan?

Kasus di awal tadi mungkin bukan yang pertama terjadi. Tak pula ada yang tahu apakah itu juga yang terakhir. Entahlah apa yang terlintas di benak pria itu ketika berbuat demikian. Terdesak, mungkin dikemukakan sebagai alasan di tempat pertama. Tetapi tak adakah yang lain yang diperbuat? Bukantah sang istri selama ini menemani saat senang dan susah -- dan bukantah didampingi seorang istri, yang setia di kala kesulitan, amatlah membahagiakan?

Entahlah, jelas selalu ada pelajaran yang dapat dipetik dari semua kejadian. Apa ya? Hm... Salah satunya mungkin jangan cepat menyerah pada keadaan, ya? Solusi yang (terlihat) cepat, mudah, dan menguntungkan memang selalu menarik, tetapi tentunya akal pemikiran tidak diberikan percuma, bukan? Ah, semoga itu tidak sampai terjadi padaku kelak. Semoga juga tidak terjadi padamu.

NB: (calon) istriku, di manapun berada, sebut berapa yang kamu minta, semoga bisa kuberikan. Jangan minta sedikit, karena itu untuk menjadikan kita halal bagi masing-masing. Selain juga karena aku khawatir akan tergoda andaikata disodorkan tawaran yang nilai uang bersihnya lebih besar daripada yang kuberikan padamu, ups... :p

F I N

written on 15. Aug 2008, 19.10 WIB - 20.10 WITa - 21.10 WIT - 12.10 GMT he he he...
Untuk istriku kelak, apa ya baiknya? Rumah? Tanah? Sekolah? E90? 1098 Tricolore? Apa ya??? Hm... Waktu kan menjawab... (",)

Rabu, 13 Agustus 2008

Ragu

Ragu, adalah terjemahan dari yeast, digunakan pada adonan roti dan kue untuk membuat roti dan kue mengembang. Ups, maaf. Itu seharusnya digunakan untuk mendefinisikan ragi, bukan ragu. Maaf sekali lagi (",). Seharusnya, "ragu" adalah "dalam keadaan tidak tetap hati (dalam mengambil keputusan, menentukan pilihan, dsb); bimbang" (KBBI, ada tautan menuju ke sana di sebelah kiri, silakan...)

Jadi, pernahkah terlintas keraguan dalam benakmu? Saat kendaraan yang kita tumpangi berada di persimpangan, waktu kita diharuskan memutuskan ke mana kita melangkah, kala tombol "kirim" tinggal satu klik jaraknya. Sejauh yang kutahu tak ada insan yang tidak pernah ragu-ragu sepanjang hayatnya. Hanya besarannya saja, mungkin, yang berbeda-beda, dan kemampuan insan itu menyingkirkan keraguannya untuk kemudian mengambil keputusan yang mantap.

Aku sendiri, syukurlah, masih diberikan keraguan yang cukup besar. Mungkin karena terlalu banyak pemikiran berkecamuk di kepala, sering tanpa penerapan, sampai ide tinggal menjadi ide saja. Mengganggu? Tentu saja. Seorang teman memiliki kutipan favorit: "yesterday is history, tomorrow is mystery, but today is a gift. That's why they call it present.". Menarik, buatku, karena hampir setiap aku menatap ke depan, aku merasa takut. Padahal aku sendiri yang berkata (atau mengutip? Entahlah..) "ketakutan membuat semuanya jadi rumit."

Betul, bahwa masa depan itu belum terjadi. Namun, mengingat kutipan dari temanku tadi: "esok itu sebuah misteri", dan sudah kodrat setiap misteri untuk selalu memancing keingintahuan, ditambah lekatnya manusia dengan sifat ingin tahu, jadilah aku sering menduga-duga, meraba-raba, mengira-ngira, apa yang ada di balik tirai pembatas esok dan saat ini.

Tapi apa yang terjadi? Yang ada adalah ketakutan menghampiri. Ketakutan kalau seandainya aku tidak bisa menyelesaikan Tugas Akhir pada waktunya; kalau seandainya aku tidak lulus pada waktunya; kalau misal aku lulus, akan ke mana aku; kalau sekiranya aku tidak mendapati seseorang untuk menyempurnakan setengah tuntunan Beliau; kalau nantinya kawan-kawan karibku tak mengingatku; kalau....

Ah, kumpulan pengandaian itu menyiksaku. Membuat seolah-olah aku mustahil menapaki masa depan di bawah cahaya, dan hanya gelap yang ada. Wahai Penciptaku, ingat aku engkau menyatakan akan mengamankanku dan yang mengikutiMu, sang Pemilik Rumah Itu, dari ketakutan. Sungguh Engkau tak pernah ingkar --tak sepertiku.

Mungkin yang baik buatku sekarang, nikmati hari ini, siapkan bekal untuk esok, dan tidak perlu mereka-reka apa yang ada di balik tabir pemisah kini dan esok. Karena fajar esok akan datang, bersama matahari yang menerangi dan memperjelas apa yang tak terlihat sebelumnya di balik selubung kini dan esok.

F I N
written on: 13. Aug 2008, 15. 24 WIB
** ...sabar... **

Sabtu, 09 Agustus 2008

30 Mencari Nilai: Kerja Praktik di Bantar Gebang


Tunggu dulu, jangan salah sangka. Aku memang bekerja praktik di Bantar Gebang, semua demi 2 SKS yang bisa dibilang menentukan lulus atau tidak aku nantinya. Tetapi, perlu diingat, Bantar Gebang bukan melulu soal sampah. Benar bahwa Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang terletak di sana tetapi, Bantar Gebang, sebagaimana daerah di sekitar Jakarta, dapatlah kita sebut sebagai daerah industri.

Betul sekali, geliat industri demikian terasa di sana, saking sering dan banyaknyanya truk-truk kontainer besar melalui Jalan Raya Narogong --menghubungkan Bekasi dan Cileungsi-- itu sampai-sampai jalan dua lajur yang lebar itu berlubang di sana-sini. Begitu pula beragam kendaraan angkutan umum --Bus antar kota antar provinsi, angkutan umum kecil, semuanya-- lalu lalang dan berhenti sekenanya. Ya, sekenanya karena di sepanjang jalan itu, sulit sekali menemukan halte untuk penumpang menunggu angkutan dan sebaliknya --meskipun bukan berarti bila ada halte, maka ke sanalah penumpang menuju, ingat? "Ada gula ada semut", nah begitulah perilaku sebagian besar pengguna dan penyedia jasa angkutan umum di negeri ini.

Baiklah, semua dimulai pada 7. Juli 2008, hari pertama Kerja Praktik (KP). Kami --Aku, Amin, dan Alfian-- berangkat bersama, melalui Jalan Juanda, yang panjang, lurus, lebar dan yang penting: bagus! :D, melewati liku-liku Jalan Radar AURI dan memutar di Taman Bunga Wiladatika, Cibubur. Bagi kamu yang dulu aktif di Pramuka dan mengikuti jambore sampai ke Jakarta, mungkin tak asing dengan taman bunga ini. Taman bunga ini berseberangan letaknya dengan Bumi Perkemahan Cibubur.

Selepas Bumi Perkemahan, kami melaju di atas Jalan Transyogi/Alternatif Cibubur-Cileungsi. Melewati perumahan "Kota Wisata" Cibubur --di mana hampir setiap sore kami "gila-gilaan" di atas sepeda motor masing-masing, melaju sampai 100+ km/jam. Maafkan kami ya, kalau sekiranya kamu tak sengaja berpapasan dengan kami sebulan kemarin, dan kami membahayakan perjalananmu. Itu 'ekspresi' anak-anak yang melepaskan ketegangan saja kok. ^_^--

Jadilah, sekeluarnya dari perumahan itu, kami menuju tepat ke tempat kami bekerja Praktik, PT. Harapan Widyatama Pertiwi, pabrikan pipa uPVC dan HDPE merk "Unilon". Tempatnya? Tanyakan saja pengemudi truk sampah dari Jakarta, mereka pasti tahu karena mereka melalui pabrik 'kecil' (ya, kecil menurut ukuran industri) itu sebelum menumpahkan buangan orang Jakarta di Bantar Gebang itu.

Pekan pertama kami lalui dengan bertemu bermacam karakter karyawan perusahaan itu. Di Lab Quality Control (QC), kami disambut oleh Bapak Hasan --karena Pembimbing KP kami, Bapak Christian, tidak masuk pada tiga hari pertama kami KP. Kemudian, ada pula Pak Angel yang ternyata sekampung dengan Amin dari Flores. Jadilah rekan kami berbincang pertama kali adalah Pak Angel ini. Orangnya hangat, bersahabat, tetapi suaranya --seperti juga suara anggota lab QC lainnya: kecil. Kami mendapat pekerjaan pertama, mengukur Melt Flow Index (MFI atau MFR, Melt Flow Rate, akan kujelaskan lain waktu, maaf ya?) dari berbagai bijih polimer HDPE. Kemudian, kami ditugasi untuk memperkirakan seperti apa kiranya MFI dari berbagai bijih HDPE dari berbagai grade itu dicampurkan.

Yah, tiga hari proyek itu dikerjakan, banyak waktu habis untuk berhitung di atas kerta. Tetapi tahukah kamu? Aplikasi pengolah angka (spreadsheet) bisa menyelesaikan utak-atik rumus dan angka itu hanya dalam waktu tak lebih dari 15 menit saja *keluh. Begitulah, kami agak kekurangan sarana di sana. Tetapi tak apalah, selama keadaan berjalan seperti kata Fian --"Tidur di sana itu harga mati" (duh, apa kata orang kalau mahasiswa KP sambil tidur?).

Kemudian, pada hari keempat --Kamis-- kami baru bertemu dengan Pak Chris, membahas hal yang akan menjadi tema KP kami. Secara garis besar, pabrik pipa uPVC --sebagaimana pabrik lain-- mengalami masalah dengan produk yang
"reject", atau istilah di sana "BS". Produk yang "BS" ini, dihancurkan, dibuat jadi serbuk kembali dan dibuat menjadi pipa lagi. Masalahnya, pipa warna putih, setelah dibuat bubuk dan diproses ulang dan diberi pewarna abu-abu, sering membentuk pola seperti pada papan kayu. Nah, kami ditugasi mencari tahu penyebab dan kira-kira apa yang bisa diperbuat untuk setidaknya mengurangi kejadian itu.

Jadilah kami mulai saat itu juga --biarpun siangnya kami pulang karena izin "Sosialisasi Kurikulum Jurusan" hari Kamis itu. Yah, di sini pulalah aku dipertemukan dengan dosenku yang, ehm, semangat meneliti berjudul, eh, bernama Pak Herman (atau Pak Ahmad? Sama saja lah. :D). Nanti kuceritakan di tulisan lain soal Tugas Akhir yang akan kukerjakan, sabar ya?

Yah, demikianlah, hampir sebulan kami berkutat dengan mesin-mesin --
extruder yang halus, dan menghasilkan pipa tanpa henti; Crusher yang mencacah pipa-pipa BS dari extruder; Pulveriser yang mengubah potongan-potongan pipa menjadi serbuk; Juga mixer yang mengaduk resin dengan bahan tambahan. Beruntung ada Pak Su'udi alias Pak Su'ud alias Pak Su'ud Bin Mahmud --menurut Fian. Pak Su'ud ini pada awalnya seolah masih malu-malu, dan lebih banyak diam. Tetapi setelah sepekan bertemu, barulah beliau mengeluarkan 'wajah aslinya'. Ternyata, beliau itu sangatlah jenaka. Tiada hari tanpa senyuman khas beliau dan pertanyaan yang terlontar, hanya karena stigma kami itu "orang UI". Waduh, Pak Su'ud. Kami juga baru belajar dan butuh bimbingan...

Jadi, karena tempat yang tersedia di sini pun tak banyak, jadilah aku tak bisa (tak sanggup juga, sih. :p) menceritakan keseluruhan cerita selama sebulan itu. Yang jelas, ada Ibu-anak pemilik kedai makan "Jogjakarta" --yang menurut Pak Su'ud justru menawarkan masakan Padang, yang kami amini. Ada pula Mas-mas (baca: pemuda, :-D) penjaga warteg yang sering mengingatkan kami untuk beriklan di pabrik. Ada Ibu Amelia, juga dari bagian QC, yang "ilmu buminya dapat nilai 'A'". Ada Ibu Endang dari personalia yang hobi mengomeli Fian karena menggunakan kaus oblong, juga mengomeli aku dan Amin karena terlambat datang (yang penting pulang tepat waktu, yee....). Ada Pak Kim Siong, manajer pabrik yang setia datang siang dan langsung bersepeda keliling pabrik --yang begitu menakutkannya bagi operator dan pekerja di pabrik, sampai-sampai kurasa mereka lebih baik melihat hantu daripada melihat beliau-- dan akhirnya nampak tersenyum di saat kami berpamitan.

Ada Mbak "BlaDur" (mBelah Duren, julukan dari Fian) alias Mbak Tuti di personalia yang setiap nampak berjalan saat kami sedang duduk selalu dibincangkan. Mbak Dian dan Mbak Sumi yang "bergosip di kamar mandi". Khusus Mbak Sumi, Fian bahkan hafal bila beliau berjalan ke balik tangga menuju lantai 2, berarti beliau baru selesai membalas SMS dari, "pacarnya yang bawa motor" (^_^). Ada juga kue lapis yang kami sepakati bernama kue "komposit" --karena berlapis-lapis menyerupai komposit laminat-- yang sepertinya dibawa oleh Bu Su'ud (ya, betul. Istri dari Pak Su'ud pun bekerja di situ, di bagian personalia, dan menyambi menjual berbagai roti, kue, juga kerupuk). Juga semua karyawan di pabrik, juga abang di mesin ayakan yang setia dengan senyumnya yang lebar, dan semuanya, termasuk juga semua pengemudi dan pengendara yang termakan umpan Fian dan mengebut bersama di perumahan Kota Wisata Cibubur dengan jalan mulus dan lempangnya. :-D

Ada pula kisah-kisah Fian dan kawan-kawan perempuan dekatnya, juga tentang kawan-kawannya, muridnya (iya, dia mengajar privat), juga berbagai hal yang memperluas pandanganku tentang hidup. Kisah dari Amin yang, ehm, rencananya menikah tidak disetujui Ibunya (sabar ya, Min... ^_^), dan kisah-kisah Pak Chris yang, bukannya membimbing kami memecahkan masalah itu, malah menanamkan bibit-bibit wiraswasta pada kami ('makasih banyak Bapak...). Aku yang terpeleset dua kali di atas sepeda motor di antara waktu sebulan itu, sekali tak jauh dari pabrik --selamat-- dan sekali sampai jatuh di dekat kampus di bilangan Tanjung Barat. Tentang yang terakhir ini ada hal yang aku tidak mengerti sampai kini, mengingat sepeda motorku menumbuk pagar rumah/kantor itu --maaf sekali pak, kalau roda pagar anda jadi miring, itu salahku. Setelah aku jatuh, seorang ibu berseragam, entah PNS entah guru, bertanya padaku, "mau masuk, dik?". Duh, tak tahu aku harus menjawab apa, jadilah sekenanya kukatakan, "nggak, Bu. Tadi jalannya licin" (sambil sedikit menganggukkan kepala dan tersenyum. :D). Ada yang tahu maksud beliau?

Yang jelas, kami akan merindukan kalian semua, yang jelas sampai sekarang aku belum mengerti mengapa semua seolah betah dengan pekerjaan mereka yang rutin dan berulang --sedangkan kami saja, dalam sepekan sudah kehilangan semangat. :p

Yah, begitulah. Sekarang yang tersisa adalah laporan KP, juga presentasi yang kami rencanakan akan berlangsung 20. Agustus mendatang. Semoga yang kami dapat bermanfaat, juga semoga 2 SKS itu bisa cukup "berat" untuk menolong nilaiku yang masih, um... Ampun deh. :p

F I N
written on 7. Aug 2008, edited on 9. Aug 2008
in three part, 1st was written in the cosy Library of UI
2nd was written in my home sweet home
3rd was the same as the 2nd.

Ad: Foto-foto, yee......

Suasana Pabrik dari Atas
Pabrik, dari atas (tempat pencampuran/mixer)

Paraloid dkk yang mbikin paranoid.. :p
Paraloid (r), salah satu aditif, beserta kawan-kawannya yang membuat kami agak-agak, ehm, "paranoid". :p

Pak Su'ud yang 'legendaris'. :p
Pak Su'ud dengan jawaban-jawaban kocak tak terduga. Peace, Pak...(^_^)v

Ini lho, sebabnya belang itu menurut kami...
Seharusnya, sekeluarnya dari pulveriser, bahan menjadi bubuk lagi. Tetapi ini? Wah, sepertinya ini masalahnya.

Aku-pipa scrap-Fian (^_^)V
Aku-Pipa scrap/BS/reject-Fian. Malangnya nasibmu ya, BS. Tinggal menunggu waktu sebelum dilempar ke crusher. :p

Lihat apa sih??? :p
Duh, ada apa sih di atas?

Amin, maaf ya. Fotonya Amin kusimpan dulu, he he...