Kamis, 21 Agustus 2008

Ayah



Waktu kecil dulu, Ayah bukan seorang figur yang paling kusukai. Aku *jauh* lebih menyukai Ibuku. Yah, meskipun setiap kali Ibu dahulu masuk ke kamarku berarti berbenah lemari yang selalu saja disebut beliau laiknya "kapal pecah", selalu rewel menyuruhku menggosok daun telinga sebelah belakang setiap mandi, juga selalu rewel menyuruhku mengerjakan PR-ku, apalagi urusan menulis indah di buku garis lima. Huf... Sempat baik tulisanku dulu, sebelum akhirnya menyusut lagi, dan lebih sering tak keruan bentuknya.

Dulu pun, aku *jauh* lebih menyukai Ibuku daripada Ayah karena saat Ayahku marah *besar* kepadaku, Ibuku berlaku sebagai pelindungku. Yah, mungkin Ayah benar pada beberapa waktu, tetapi haruskah energi kemarahan itu disalurkannya dari kepalanya, ke tangannya, dan terakhir ke pipiku? Entahlah, mungkin aku memang salah. Nakal di mata Ayahku. Bepergian entah ke mana menyusahkan mereka. Tetapi saat itulah Ibuku juga turun, mencegah Ayah berlaku semakin jauh. Ah, Ibu. Terima kasih untuk saat-saat itu. Terkadang takut aku kelak berbuat serupa.

Dulu, bila Ayah telah selesai denganku, aku akan berlari ke kamar, menutup pintu rapat, naik ke kasur, menutup kepalaku dengan bantal dan tak terdengarlah suara dari kamarku --biarpun sejam kemudian, bantal dan kasur telah basah dan keesokan paginya, buruklah rupaku dengan sisa-sisa malam tersebut.

Tapi dulu pula, Ayah seringkali mengajak kami bepergian. Tentu, dari beliau aku mengenal sebagian kecil Jakarta di akhir pekan, kota Bogor sepulang sekolah dulu, sedikit tentang kota Bandung, juga tentang kampung Ayah di Solo, kampung Ibu di Tabing, bahkan sempat pula menjejak ke negara-kota Singapura dan tetangganya.

Ah, aku lupa siapa yang memberikan nama yang, ehm, pasaran ini --tapi maknanya mendalam. Nama depanku, biasanya disandingkan dengan bijaksana, lalu nama akhirku dari sifat-Nya yang disebut paling dahulu di setiap kesempatan. Seingatku Ayahkulah yang menamakan (dan dengan itu, mengharapkan) aku sedemikian. Entahlah, akan kutanyakan Ibuku nanti.

Ya, Ayahku juga yang mengajarkan banyak hal yang tak ada di sekolah: alat-alat pertukangan, um... Banyak lagi hal-hal kecil tetapi sangat berguna. Tapi dari Ayahku pula aku *sepertinya* bisa mencoba menafsirkan sifat seperti apa yang tak seharusnya ada, dalam seorang Ayah.

Sekitar bulan lalu, Ayah tak berkenan --mungkin karena letihnya-- karena masalah yang *amat-sangat* sepele, yang biasanya tak memicu masalah apapun. Masalah itu, ah, tak usahlah kubicarakan, cuma sepele, kok. Yang jelas, Ayahku menghardik adikku. Aku? Miris, dan aku pun pergilah, naik ke kamarku --bukan kamar yang sama dengan yang dulu. Bukan bantal lagi temanku kemarin itu --syukurlah-- karena temanku kemarin adalah setangkup air yang membasuh wajah, tangan, kepala, dan kakiku, juga selembar kain yang menghampar di hadapanku.

Ya, adegan sekitar 10-an tahun lalu itu kembali terulang, pada raga yang bertambah tinggi dan jiwa yang semakin tua. Tak perlu bantal untuk meredam apapun, hanya delapan kali sujud di sepotong kain itu, dan cuma sedikit doa yang bisa meluncur dari tenggorokan yang tercekat waktu itu:
"Ya Allah, jadikan keluarga kami tetap satu; tak pernah ingin aku, bila anakku kelak harus berkunjung ke tiga rumah untuk menemui kakek-neneknya, dan jadikan kami semua sabar menghadapi apa yang terjadi"

Yah, Ayah. Mengerti aku selepas KP itu, kalau perjalanan bisa memakan kesabaran seseorang, kalau waktu tempuh mengorupsi ketegaran seseorang. Mengerti aku, yang kemarin punya satu bulan menghadapi rutinitas yang serupa denganmu. Lantak rasanya badan ini, tetapi tak dapatkah Ayah juga mengerti, kami ngeri jika Ayah murka, dan tak ingin kami memancing ke sana. Bisakah kita berdamai saja dengan diri masing-masing?

Terima kasih, Ayah, Ibu, telah bersedia dititipkan anak yang tak bisa membalas apa-apa ini, yang bahkan mengajari adiknya saja sering keberatan. Maafkan aku, karena telah bertumpuk salahku pada Ayah dan Ibu, Ayah dan Ibu yang terbaik yang kupunya. (^_^)

Sekarang, sudikah Ayah, juga Ibu mungkin, menanamkan modalnya kepadaku, lagi, kali ini mungkin yang terakhir sebelum Ayah dan Ibu memetik buah yang Ayah dan Ibu tanamkan? Dan andaikan bunga itu tak pernah tumbuh menjadi buah yang Ayah dan Ibu idamkan, relakah Ayah dan Ibu dibalaskan oleh Pemilikku, mungkin dalam waktu dekat, atau suatu saat kelak, semoga? Dan semoga kelak, aku dapat menjadi Ayah untuk anak-anakku, yang disebut dengan setidaknya cukup terisi rasa bangga. Semoga...


F I N
written on 22. Aug 2008, 00.12 WIB
Sekarang, bagaimana caraku mengatakan kalau TA-ku membutuhkan zat yang satuannya dapat seharga 2,5 E+6? Pak Herman mungkin memegang dana penelitian, tetapi andaikata perlu... Hm... Sulit...

Tidak ada komentar: