Sabtu, 31 Desember 2011

Memecah kesunyian...

... dengan sekelumit pernyataan bahwa kali ini, ia tidak lari saat aku mendekat dengan semua kegamangan yang tersirat. Semoga demikian untukku...

F  I  N
written on 31. Dez 2011, 22.00 WIB (UTC +7)
Did I tell you I'm reverting back to WIB only? Thank you for... everything, dear Mejuffrouw. :)

Rabu, 14 Desember 2011

1m 2w

Satu bulan, dua pekan.
Dan aku tidak juga sembuh

Salahku tak mencoba lebih keras.

--
F  I  N
written on 14. Dez 2011 15.15 CET
Another failure and I'll never try again.

Senin, 21 November 2011

Penghindar

Selamat malam, sebelumnya tulisan ini sedikit banyak akan membahas tentang kelainan (disorder) pada kepribadian manusia. Meskipun ini bidang yang jauh dari yang sehari-hari aku berkutat dengannya, tetapi izinkan aku menyajikan data dari beberapa sumber yang, semoga, bisa dipercaya. Mari...

Avoidant personality disorder - is a mental health condition in which a person has a lifelong pattern of feeling very shy, inadequate, and sensitive to rejection. [0]
Kelainan kepribadian penghindar - adalah keadaan kesehatan mental yang padanya seseorang memiliki pola sepanjang hayat merasa sangat (pe)malu, berkekurangan, dan perasa terhadap penolakan.
dan
People with avoidant personality disorder experience a long-standing feeling of inadequacy and are extremely sensitive to what others think about them. [1]
Orang dengan kelainan kepribadian penghindar merasakan perasaan yang 'permanen' [?] tentang ketidakberkecukupan dan luar biasa perasa terhadap apa yang orang lain pikirkan tentang mereka.
Dengan gejala-gejala, masih menurut sumber yang sama antara lain:
  • Menghindari pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan kontak antarpribadi dengan orang lain [secara intensif] dikarenakan ketakutan akan kritik, ketidaksetujuan, dan/atau penolakan
  • Tak ingin terlibat dengan orang lain kecuali mendapat kepastian akan disukai
  • Menampakkan pengekangan/pembatasan dalam hubungan akrab karena takut dipermalukan atau diolok-olok
  • Benaknya dipenuhi prasangka akan dikritik atau ditolak dalam keadaan sosial
  • Terhalangi pada hubungan antarpribadi yang baru dikarenakan perasaan tidak berkecukupan
  • Memandang diri tak cakap bersosialisasi, tidak menarik secara pribadi, atau minder terhadap orang lain
  • Enggan mengambil risiko pribadi atau untuk terlibat dalam kegiatan baru apapun karena dapat jadi hal tersebut mempermalukan diri

**

Pertanyaanku sederhana saja. Adakah teman, kawan, karib kerabat, sahabat, keluarga, siapapun di sekitarmu yang menunjukkan gejala-gejala sedemikian? Mereka - menurutku - dapat terlihat sangat sopan, atau malah sebaliknya. Tetapi ada benang merah bahwa umumnya mereka nampak dingin, tak banyak bicara.

Kalau memang ada - sekali lagi menurut pendapatku - maka baiklah kamu coba mendekat perlahan. Mereka butuh bantuan, pembicaraan-pembicaraan ringan tentang kegemaranmu dan kegemaran mereka yang yang sama bisa jadi awalan. Dari sana kamu bisa menggali apa-apa yang selama ini terpendam, tertutupi topeng es yang mereka kenakan. Tentu, dengan catatan mereka dapat merasa nyaman bersamamu.

Jadi, kalau boleh aku berpesan sekali lagi... Sayangi mereka, ya! Mereka perlu, dan... Memberi kepada yang perlu itu... Siapa yang akan membalas kecuali Dia yang Memiliki Jiwa-Jiwa?

--
F  I  N
written on 20.45 CET (UTC +1)
what guise are you wearing, Rif?

[0] (US) National Library of Medicine, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001936/ diakses pada 20. Nov 2011 08.15 CET
[1] Psych Central, http://psychcentral.com/disorders/sx8.htm diakses pada 20. Nov 2011 08.15 CET

Minggu, 20 November 2011

Jatuh

Ada masa-masa ketika seseorang bisa jatuh, sejatuh-jatuhnya. Mencapai nadir, bahkan lebih rendah. Sebabnya bermacam-macam, tetapi sekali meluncur ke titik itu, maka sulit, bila tidak mustahil, mengangkat raga kembali ke tataran wajarnya.

Beberapa hal bisa mempercepat kembalinya seseorang ke keseharian biasanya (dan berlaku pula sebaliknya). Teman misalnya, dan teman. Ada mereka yang memiliki kecenderungan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang di sekitar mereka dengan, meminjam istilah persurelan (e-mail, kalau sekiranya kamu belum paham), Auto-reply.

Satu jawaban otomatis yang kerap (ter-)dilontarkan untuk pertanyaan "mengapa?" atau "ada apa?" yang diyakini tidak menuntun pertanyaan lanjutan adalah, "tidak mengapa" atau "tidak apa-apa".

Jawaban tersebut, satu sisi memang tidak membawa 'masalah' lain dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab. Namun sisi lainnya adalah bahwa masalah yang sesungguhnya sedang dihadapi dalam bahaya tidak terpecahkan.

Tapi biarlah, mungkin memang mereka perlu waktu sendiri - atau kawan-kawan yang betul-betul mereka percaya, dipilih sendiri - untuk melewati masa-masa sulit tersebut. Dan mungkin mereka ingin didengarkan. Ya, didengarkan, bukan 'hanya' didengar.

Dan ingin pula mereka mendapat jawab pertanyaan-pertanyaan kecil, tak penting yang mereka tanyakan pada orang-orang di sekitar mereka.

Semoga lekas sehat lagi, ya?

--
F  I  N
written on 00.33 CET (UTC +1)
Get well soon, dear me. Remember, you'll be fine in no time.

Selasa, 15 November 2011

Thoughts

It's been haunting me for a full fortnight as now.


Maybe it'll be better if I never said it after all. It'll felt much less. The enjoyment of unrequited f...


Or maybe it's even better if I never existed.


10.36 CET

Rabu, 09 November 2011

Masyarakat yang sakit

Ya, judul itu yang aku pilih. Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, mari batasi ruang lingkup pembahasanku kali ini pada daerah sekitar kode pos Indonesia 12620 dan 16424, dengan kedua area ini merupakan tempatku bergentayangan sehari-hari. Dan sebelum memulai... Gambar!


Sebuah gambaran pagi hari yang umum di salah satu perlintasan kereta listrik dan jalan raya. Yah, tidak mutlak pagi hari juga. Lebih tepat mungkin bila mengambil istilah round-the-clock. Tidak sedikit pengendara sepeda motor memilih 'antre' (kalau memang demikian) di melampaui palang perlintasan. Bahwa dapat jadi itu mendatangkan bahaya bagi mereka tidak lagi menjadi pertimbangan, apalagi memikirkan bahaya bagi orang lain.

Tidak hanya di perlintasan rel -- jalan raya, pada persimpangan berlampu lalu lintas (maupun tidak) pun berlaku hal serupa. Pengendara sepeda motor maupun mobil yang berhenti sebelum garis dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Alasan yang mendasari mereka melampaui batas sedemikian? Entahlah hanya mereka yang tahu.

Kalau boleh berasumsi, mereka ingin lebih cepat mencapai tujuan. Apa iya?

Pada perlintasan kereta api, kecenderungan kontur jalan adalah sedikit menanjak untuk meminimalkan selisih rel dengan muka jalan. Dengan demikian, diharapkan kenyamanan berkendara tetap terpelihara. Bila terlalu dekat dengan rel? Jarak untuk mendapatkan 'tarikan' awal (torsi) kendaraan terlalu minim, dan akhirnya tetap saja lambat keluar dari perlintasan.

Perempatan lampu lalu lintas? Pengantre-lewat-garis yang kutemui pada umumnya lamban memulai lagi. Belum lagi ditambah mata yang alih-alih mengawasi lampu lalu lintas berubah hijau justru memandang lalu lintas dari jalur lain sebagai patokan. Hasil akhir: lamban. Tidak berbeda.

Itu baru lalu lintas...

Contoh kecil lain: sampah. Entah sehari berapa kali wadah bekas pembungkus makanan-minuman bisa ditemukan ditinggalkan begitu saja di meja, kursi duduk, dan lain-lain tempat umum. Yang berat adalah bahwa hanya tak lebih empat meter dari lokasi tersebut ada tersedia tempat pembuangan sampah menganga.

Mari sejenak membayangkan. Bagaimana perasaanmu, pikirmu bila sedang berjalan dengan kawan karibmu, lalu saat hendak menduduki kursi, kamu mendapati gelas plastik berisi air sedikit yang tak memadai untuk diminum? Dan tak jauh dari situ ada bak sampah. Kalau hati dan otak tidak tergelitik rasanya aneh ya? Atau mungkin karena sudah terlalu terbiasa dan jadi kebas? Itu yang aku khawatirkan.

Ayolah, apa yang kamu makan sambil duduk berbincang, tidak bisakah dibawa bersamaan dengan kamu mengangkat kaki dari tempat itu? Sekitar enam langkah saja untuk melaksanakan falsafah pembersihan: memindahkan kekotoran ke tempat yang tidak terlihat.

Tidak, tidak perlu jauh-jauh memikirkan orang lain. Pada dasarnya manusia ingin menyelamatkan dirinya sendiri dulu itu wajar. Jadi pikirkan keadaan kalau suatu ketika yang kamu kerjakan itu yang kembali padamu. Mau?

Kalau tidak, mulailah dari kamu dan aku masing-masing. Sedapat mungkin tidak meninggalkan jejak sampah di mana-mana berpijak, bisa? Mari diusahakan.

--
F  I  N
written on 15.30 CET (UTC +1), 21.30 WIB (UTC +7)
sorry about the rant. Now I see why you don't seem to be coming back. :(

Tujuan

Waktu lepas tengah malam begini kadang ada saja sebarang pertanyaan melintas di kepala. Kali ini tentang sebuah kata: tujuan, atau kalau dalam bahasa lainnya, purpose.

Pertanyaannya sederhana saja, apa sih tujuanmu? Atau mungkin rencana/maksud/cita-citamu?

Cita-citamu, atau aku, bisa jadi tak sama dengan impianmu atau aku di masa lampau. Dahulu, saat dunia masih terasa luas dan besar, ada di antara kamu dan aku yang berkeinginan menjadi astronot, atau pilot jet tempur, atau pembalap mobil formula 1, atau beragam cita lainnya.

Namun, seiring tumbuhnya fisik, berkembangnya pemikiran, mengecilnya dunia (dalam persepsi), dan bertambahnya pengetahuan (dan realisasi), lambat laun cita itu berganti. Mungkin tidak padam; hanya memudar menghadapi kenyataan yang ada. Atau dapat jadi pula tujuan yang ingin dicapai semakin sederhana.

Apa tujuan (hidup)mu?

Kalau ada yang ingin berbagi, silakan lho. Tetapi dengan lontaran pertanyaan sebelum ini, terbit 'keharusan' padaku untuk membagi sedikit apa yang kupandang sebagai tujuanku pada saat tulisan ini digarap. Jadi mari kita mulai.

Dalam satu kalimat, tujuanku adalah untuk berumah kecil dengan halaman yang luas, dengan hubungan antar-penghuni yang hangat. Umm... Sudah terpenuhi kah unsur-unsur kalimatnya? Semoga sudah ya.

Nah, sederhana kedengarannya, sebagaimana banyak hal lain di dunia yang juga sederhana. Pun demikian, sebagaimana hal-hal yang kedengaran, kelihatan, atau terasa sederhana lainnya, 'there are more than meets the eye'. Pada hal-hal sederhana tersimpan kejutan-kejutan yang menggelitik.

Kalau ada kesempatan, ini ada bagian pertama dari lima seri video yang menginspirasi yang ditunjukkan temanku Nisa. Tentang seorang profesor matematika, Sir Andrew Wiles, dan 'pertarungannya' dengan teorema terakhir Pierre de Fermat, seorang ahli matematika Perancis dari 3 abad sebelum ini. Kalau subyeknya tidak kamu mengerti, jangan khawatir. Nisa, yang nota bene perempuan siswa paling cerdas semasa kami sekolah dulu pun tidak. He he..

Prof. Wiles mungkin satu dari sedikit orang yang beruntung yang dapat 'seumur hidup' mengejar impian masa kecilnya. Sebagian dari kamu dan aku, pemimpi astronot misalnya, tidak. Kenyataan bahwa lembaga peberbangan dan antariksa negeri kelahiran Ir. Soekarno ini lebih aktif pada bidang penerbangan daripada antariksa jadi dinding tebal bagi mimpi mereka.

Pun dengan impian berada di balik peliknya kemudi mobil formula satu, di negeri yang sirkuit internasionalnya terkebiri hanya menyelenggarakan seri balap motor tingkat Asia (tenggara) saja. Patut disyukuri juga, sebetulnya, daripada hanya mengadakan balap 'bebek' yang 'termehek-mehek' di lintasan mulus berliku itu.

Maaf, aku melantur. Jadi, Prof. Wiles akhirnya berhasil mengurai teorema Fermat yang dengannya dinyatakan bahwa [ X^n + Y^n != Z^n ] untuk nilai "n" lebih dari 2. Teorema yang sederhana sebenarnya, dengan bila "n" adalah 2, kamu akan mendapati sesuatu yang jamak ditemui berupa teorema Phytagoras. Sesederhananya pernyataan Fermat tersebut pada kenyataannya telah memakan lebih 7 tahun masa kerja Prof. Wiles. Harga yang dibayar untuk mencapai suatu tujuan yang sederhana, namun dengan kepuasan tak ada taranya menjadi kompensasinya. Kelegaan seakan beban berat telah lepas pada akhirnya.

Kira-kira demikianlah, minta maaf telah membawakanmu subyek yang berat dini hari begini. Tetapi beberapa yang bisa ditarik dari karya beliau adalah bahwa untuk mencapai tujuan, mutlak diperlukan keteguhan dan ketekunan. Juga, tentang kesederhanaan... Seringkali ia melenakan.

Sungguh, kawan, dari sekejap aku tinggal di bumi, hal-hal paling indah di dunia dijadikan sederhana. Demikian sederhana hingga hal itu dapat diambil hanya untuk dilupakan untuk hal lain yang lebih besar, lebih rumit (kelihatannya), dan lebih menantang. Namun jauh di dalam, masih tetap kesederhanaanlah yang sungguh dicari.

Jadi, kurasa baik untukku menetapkan tujuan-tujuan sederhana bagiku. Biar tetap ada tujuan tersebut sampai Ia-tahu-kapan,
--
F  I  N
written on 09. Nov 2011, 02.10 CET (UTC +1), 08.10 WIB (UTC +7)
would you not be the inhabitant of said little house within the garden? Ours? No?

Senin, 07 November 2011

Kemilau rindu

Izinkan aku membagi rindu
lewat baris-baris tiada berlagu
terkhusus buat kamu. Ya, kamu!

Dan bila ini terlupa
tiada berat, tiada mengapa
biasa sudah hamba dengannya.

Andai boleh memintaku
izinkan aku sampaikan rindu
lewat bulir-bulir salju

dan senjakala aku merenda
apa-apa yang sedang dirasa
saban hari terus melanda

Andai dapat menulis "rindu"
dalam belai lembut sang bayu
biar menyapa petang harimu

dan tak dapat ini tiada
ku berharap berbagi rasa
namun bukan milikku segala daya

Andai helai daun nan lugu
gugur bersama resah harapku
menanti rindu mengetuk muka pintumu

dan selalu setiap masa
melulu terbayang paras nan esa
suara indah lalu menyapa, membahana

Andai debur laut nan biru
mengusap pipi basah terharu
biru, tak lain, oi! Karena rindu

dan lewat sudut mata
sungai kecil deras membuka
melarutkan rindu terbawa.

--
F  I  N
written on 14.30 CET (UTC +1), 20.30 WIB (UTC +7)
please, embrace her, and us all, for ever and beyond.

Minggu, 06 November 2011

Melihat dalam proporsi

Mengingat apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, ada yang perlu diperbaiki di sini. Ada beberapa hal yang, menurut mereka yang dekat denganku, proporsinya salah: terlalu besar. Tentu saja, hal selain itu mendapat proporsi yang mengecil secara otomatis. Tapi marilah.

Apa-apa yang bisa didapatkan manusia dapat berupa hal baik, maupun hal yang baik (tetapi tidak pada tempat/waktunya). Dengan mencuplik sebagian (sangat) kecil dari apa-apa yang telah Dia berikan untukku -- kalau boleh -- aku hendak membuat perhitungan.

**

Ingatan - suatu 'alat' kreasi-Nya yang diberikan kepada makhluknya secara tidak sama -- namun adil, pasti. Pada bagian ini aku bersyukur masih dianugerahkan ingatan yang mudah menyerap, dan dapat dikendalikan. Tapi di sini pula beratnya. Ada banyak hal yang tidak penting, kecil, harusnya-tidak-dipermasalahkan, justru tertahan, tertinggal, tak mau pergi, dan tetap jelas. Hanya karena aku tidak ingin itu pergi.

Tampak luar - akan halnya melati, aku bukan yang paling menawan. Bahkan, untuk kategori menawan pun tidak rasanya. Namun, ada yang patut disyukuri bahwa sedari kecil hingga kini, karunia berupa sel kulit yang regenerasinya cukup baik menghindarkanku dari luka-luka bekas jerawat, gigitan nyamuk, dan luka-luka lainnya. Pun aku tidak pendek, meskipun terkadang terkendala dengan posisi cermin, lemari dinding, dan beberapa hal lain di rumah yang terlalu rendah, tetapi bisa diatasi.

Keuangan - syukurku karena, bila diklasifikasi, keluargaku mungkin termasuk kelas menengah. Aku pun sejauh ini tidak mengalami kesulitan hingga betul-betul tidak ada lagi. Meskipun usahaku hanya sekadarnya, tetapi Ia amat baik untuk mencukupkan kebutuhanku.

Hati - nah, ini. Hati, dan hal-hal di sekelilingnya, jadi bagian yang membingungkan. Keras di satu waktu, namun mencair di waktu yang lain.

Jujur aku berhenti lama di paragraf terakhir. Terlalu lama. Karena memang proporsi yang terakhir ini yang, menurut temanku terlampau besar. Dan menurutnya di sana, bukan semuanya.

Tapi aku sudah merasa cukup dengan semua, kecuali yang terakhir....


--
F  I  N
written on 06. Nov 2011, ca. 06.30 CET (UTC +1), 12.30 WIB (UTC +7), last two paragraph was done 8h later.
Think I did shed  tears for wrong reason, again.

Jumat, 04 November 2011

Semua cuma bisa jadi lebih baik

Ada yang sudah terungkapkan.
Ada yang telah terselesaikan.
Ada yang rampung diikuti.

Tidak ada yang tahu apa bulan yang terbit mengganti matahari membawa baik atau belum sampai datang dan terang apa yang dibawanya. Tidak kamu, tidak juga aku. Awan tebal menggayut nampak dari kejauhan membawa semua petir yang tersedia. Gunung api yang meletup, dengan apa-apa yang dia keluarkan, menyapu habis apa yang dilewatinya.

Namun, apabila telah tiba dan berlalu, atas izinNya, yang dibawa mega ternyata rahmat-Nya yang banyak berlimpah ruah. Dan setelah tenang gunung tersebut, pada akhirnya lereng yang disapu olehnya dijadikan tanah yang subur tiada tara.

Yang belum tiba, kawan, biarlah dinanti. Jangan cemas karena kamu tidak pernah sendiri. Yang sedang terjadi, jalanilah. Jalani dengan hatimu, atau tidak sama sekali -- jangan separuh hati. Yang telah berlalu, ambillah maknanya. Jangan ratapi, sebab masih akan ada lagi yang belum tiba berikutnya. Demikian sampai berakhir masa edar diri rapuh ini di muka bumi kepunyaanNya.

Kalau apa yang akan datang, apa yang tengah terjadi, apa yang berlalu terlihat hancur lebur tak berbentuk tiada dapat diperbaiki lagi... Ambillah seperti itu. Pada bilangan cacah, kamu tidak bisa pergi lebih rendah lagi dari nol, bukan?
hati tercurah, seminar sudah selesai, seminar sudah diikuti
--
F  I  N
written on 01.30 CET (UTC +1), 07.30 WIB (UTC +7)
I'm okay

Rabu, 02 November 2011

For what it's worth, I love you.

When this finally sink underneath the depth of the sand within, would you please, please, please tell me in detail, why?
Think I'll need it to further improve.

..
F  I  N
written on 02.24 CET (UTC +1)
:'|

Senin, 31 Oktober 2011

Sajak Melati

Setahun ke belakang ini aku mulai menanam sebatang perdu melati. Ya, sebetulnya aku ingin memelihara kucing. Berhubung kucing akan perlu perhatian ekstra, sementara (calon) tuan/temannya ada kecenderungan berada di rumah hanya 10 -- 14 jam sehari, maka jadilah tanaman yang jadi 'pilihan'-ku.
Tetapi mengapa melati? Biar kujabarkan dalam beberapa bait sajak berikut ini ya?

**

Melati, bunga mungil putih sejati
Sedap mewangi mengharumi hari

Bukan ia kembang terindah
bukan pula yang tersemarak

Namun untuk hamba, bunga melati
ada tempat sempurna dalam hati
**
Ha ha ha.. Agak payah ya? Kira-kira begitulah.
Ambil saja contoh lain semisal mengapa ada seseorang yang, um, memilih soto ayam daripada sup ayam, begitulah. Ada alasan-alasan yang kadang tak bisa diterima logika, tetapi terjadi. Dan seperti itulah, namanya hati sering tak bisa dimengerti.
Juga dari serumpun perdu melati itu, selain kembang yang rutin kupotong setiap kali merekah, ada pelajaran untuk dipetik. Tentang singkatnya kehidupan, dan hal-hal lainnya yang mudah-mudahan akan dibukakan untukku ilmunya.

--
F  I  N
written on 31. Oktober 2011, 21.15 WIB (UTC +7), 15.15 CET (UTC +1)
refusal is too familiar of a word for me, really. But I sincerely hope you don't. For those lines on jasmine flowers, are analogy for you.

Yang tidak terucapkan

Berapa kali ini terjadi padamu? Bahwa seringkali kalimat, opini, pendapat, pandangan, dan seterusnya berakhir hanya berputar di kepala, tanpa terlontar keluar lewat lisan.
"Mas, itu coba rokoknya dimatikan, bisa ya? Kami tidak kuat dengan asapnya."
"Mbak, ini antrean jangan dipotong lah! Kita juga sudah dari tadi kok, menunggunya."
"Kamu manis. Tidak terperikan bahagiaku kalau misalnya, um, bagaimana mengatakannya ya? Um..."
Mungkin kalimat-kalimat di atas mewakili cuplikan kalimat sehari-hari yang berakhir di pikiran saja dan tidak terlontar. Memang ada orang yang dengan mudah mengungkap kalimat-kalimat di atas, tetapi tidak sedikit pula yang berhenti tepat sebelum kalimat tersebut mencapai lidah karena berbagai alasan.

Takut, bisa diambil sebagai argumen pertama. Misalkan saja pada contoh kalimat pertama. Pengalaman memberikan contoh betapa orang-orang perokok bisa sangat arogan dan tidak bisa menerima fakta bahwa ada orang-orang yang juga memiliki hak untuk menghirup udara yang bersih. Dan bukantah hak orang lain adalah batas bagi hak seseorang? Arogansi ini sering ditampilkan sebagai hardikan, delikan, atau apalah yang menjejak di benak pengucap kalimat pertama di atas. Jadilah kalimat tersebut, yang semestinya mudah, mandek dan gagal mengalir dari benak menuju lisan pengucapnya.

Argumentasi lainnya yang bisa dikemukakan: malu. Inhibisi semacam ini umumnya menghambat kalimat-kalimat yang senada kalimat ketiga. Padahal semestinya tidak perlu ada yang dimalui, toh? Ini mungkin bisa ditarik lebih jauh ke pendidikan masa kecil, atau mungkin hanya karena yang terendap dalam benak calon pengucap kalimat tersebut yang menganggap hal-hal seperti itu bukan sesuatu yang pantas. Mengatasinya? Entahlah, aku termasuk golongan yang terakhir ini. Mungkin sesekali 'mencuci otak' dan akhirnya keluar dan mengatakannya bisa membantu. Mungkin.

Setidaknya baru dua alasan ini yang dapat kukenali sebagai musabab adanya kalimat-kalimat yang tertahan, yang tak terucapkan. Mudah-mudahan mencukupi, tetapi kalau memang belum, tentu saja karena aku yang belum diberi pengetahuan tentang ini.

NB: Kalimat terakhir pun masih rumpang sepertinya. Bahkan pikiran pun macet untuk hal ini. (-_-")
--
F I N
written on 31. Okt 2011, 07.20 WIB (UTC +7), 01.20 CET (UTC +1)
I've stated my case. I rest my case upon Thee. I rest my case upon Thee. I rest my case upon Thee...

Minggu, 23 Oktober 2011

Profesionalisme

Baiklah, sebelum mulai, pegang jawaban ini: Seharusnya tidak diambil dari awal.

**

Seperti biasa mari kita mulai dari definisi terlebih dahulu, ya?
pro·fe·si·o·nal /profésional/ a 1 bersangkutan dng profesi; 2 memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: ia seorang juru masak --; 3 mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir): pertandingan tinju --
Sementara akhiran -isme pada kata di atas didefinisikan sebagai mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.

Baik, sekitar dua bulan yang telah lewat, ada ditawarkan padaku suatu peranti lunak simulasi untuk proses pembentukan material (logam). Terus terang saja, bidang itu jauh, sangat jauh dari yang selama ini kukerjakan. Sehubungan tidak percayanya kawan-kawan sejawatku dengan diri mereka untuk hal yang berhubungan dengan teknologi informatika (dan komputer), jadilah aku yang disodorkan ke Pak X agar "nanti diajarin pakainya".

"Oke," batinku yang saat itu sedang 'mengaktifkan diri', "toh bisa untuk mengisi lembar-lembar CV, siapa tahu?"

Jadi tawaran dari Dosen PA kami tersebut kuterimalah. Diperkenalkan aku ke Pak Y, perwakilan dari perusahaan Z yang menyediakan peranti lunak tersebut. Pada mulanya, benar peranti lunak tersebut diajarkan pada aku dan dua teman. Namun di sela-sela empat sesi yang dijadwalkan, kok jadi ada permintaan mengadakan acara semacam seminar & lokakarya? Ditambah lagi ada tersirat bahwa acara tersebut adalah 'jualan' dari perusahaan tersebut, dengan berlindung di balik nama kampus kami. Wah...

**

Mari beranjak ke kata kedua, dengan lemanya kusarikan di sini.
ide·al·is·me /idéalisme/ n 1 aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sbg satu-satunya hal yg benar yg dapat dicamkan dan dipahami; 2 hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yg dianggap sempurna; 3 Sas aliran yg mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dng kenyataan
Nah, di sinilah definisi nr. 3 dari kata pertama dihadapkan dengan definisi nr. 2 kata kedua. Menjadi dilema karena 'proyek' ini sebetulnya tidak terikat hitam di atas putih, tetapi ada kompensasi untukku mengerjakan ini. Tidak ada yang terlihat salah sebenarnya, namun bagiku cara-cara berjualan yang 'kotor' semacam ini terasa salah, sangat salah. Definisi kotor, tentu saja, sangat beragam bergantung individu yang kamu tanyakan. Lemparkan pula tanggal seminar ilmiah yang persis sama dengan tanggal acara yang dimaksud, et voilà! Sempurna, *mmuah*

Tidak patut disesali. Tidak sepatutnya pula terus dihindari, sebab bagaimanapun pasti akan datang juga (ayo dikerjakan, Rif!). Tapi baiklah ini jadi pelajaran, untukku setidaknya. Kalau di masa mendatang, periksa klausul-klausul perjanjian yang akan dibuat. Mintalah bukti tertulisnya agar terang pekerjaan apa yang harus dikerjakan. Bukti tertulis penting juga dibaca dan diteliti agar jadi pertimbangan mengambil atau tidak mengambil perjanjian tersebut. Serta terakhir, profesionalisme (definisi profesional nr. 3) bisa dikesampingkan kok kalau sekiranya memang menumbuk idealisme. Buatku.

--
F  I  N
written on 23. Okt 2011, 13.30 WIB, 08.30 CEST
I should have written something else somewhere else but here!

Kamis, 20 Oktober 2011

Pengharapan

Sebelumnya, izinkan kutuliskan sebaris kalimat berbahasa lain di sini, yang menjadi dasar pemilihan judul di atas.
"Letting go of what you have never had should be easy"
**

Manusia, sebagai makhluk, dikaruniakan berbagai hal. Tetapi apakah pelbagai karunia tersebut 'diberikan'? Maksudku, apa benar karunia tersebut disahkan menjadi hak milik seseorang? Atau hanya sekadar mampir saja untuk berpindah lagi ke tangan berikutnya, atau bila sudah selesai, kembali ke Pemilik Asalnya?

Pertanyaan ini, dari sedikit pencarianku semestinya dijawab dengan jawaban kedua.

Tapi untuk beberapa hal, hal-hal kecil, yang semestinya mudah untuk dilepaskan menjadi sulit. Dugaanku tentang hal ini adalah karena adanya rasa memiliki, yang datangnya dari pengharapan. Harapan yang (terlihat) nyata, maupun harapan yang tipis, cenderung kosong, dan harapan yang salah tujuannya.

Ada hari ketika seseorang berharap mendapatkan sesuatu dari pertukaran dengan apa yang dia punya. Namun yang dipunyai ternyata belum cukup, jadilah ia mengumpulkan lebih banyak apa yang ia punya, sambil terus berharap penukarnya masih di sana. Di akhir hari, ternyata yang diidamkannya sudah tidak ada, dan apa yang dia punya... Tidak lagi berguna. Dan yang tidak pernah dipunyainya, terbayang selalu, tiada terlupa.

Maafkan racauan tidak bermakna ini. Kalau telanjur terbaca, aku minta maaf, sekali lagi.

--
F  I  N
written on 20. Okt 2011, 07.00 WIB (UTC +7), 02.00 CEST (UTC +2)
FWIW, good luck for you there!

Sabtu, 15 Oktober 2011

'Tangible'

Sebelum beranjak ke tulisannya, sejenak mari kita tilik dulu definisi dari judul tulisan ini. Minta maaf sebelumnya, karena belum berhasil kutemukan padanannya. Secara harfiah, tangible bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang dirasakan dengan sentuhan. Jadi, apa kira-kira padanannya? Bantu aku ya kalau sekiranya kamu tahu...

**

Di masa 'keemasan' peranti digital seperti sekarang ini, tidak banyak bisa kita dapati lagi ada yang melangkahkan kaki menuju kantor pos, lab proses foto, atau tempat-tempat yang sebelum masa digital pernah menikmati kejayaannya. Saat rol seluloid yang terbatasi (24/36 eksposur, ASA, dan semacamnya) bisa digantikan oleh sekeping cip silikon, mengapa repot-repot dengan pelbagai kimia pengembang film, toh? Ketika layar-layar kristal cair dapat menampilkan macam-macam pose keponakanmu, mengapa bersulit-sulit mencetak, toh? Saat surat elektronik dan telefoni internet merajalela dan menjadi pola komunikasi de facto untuk mereka yang terpisah samudera, mengapa harus menempelkan segebung perangko di atas kartu pos, toh? Ketika peranti pembaca buku elektronik semakin besar dan mudah (dibaca, didapat, dst.), mengapa memboroskan kertas pada buku cetakan? 

Pernyataan yang tidak salah. Tidak salah sama sekali.

Namun bagi beberapa orang, termasuk aku pun, ada hal-hal yang tidak dapat digantikan oleh semua kemudahan era digital. Salah satu yang penting, menurutku, adalah keberadaan benda yang dapat disentuh itu tadi. Sifat tangible, bagi sebagian orang menjadi demikian penting, meskipun sebagian lain dapat jadi menganggapnya sentimentil (sentimental) belaka.

Coba kutegaskan maksudku. Satu saja ya, seperti biasa. Kamu tentu pernah membaca buku (cetak). Saat membuka pembungkusnya pertama kali, mungkin kamu menuliskan nama dan entah-apa-lagi di halaman pertama buku itu. Atau bisa jadi kamu merasakan tekstur kertasnya. Atau aroma buku baru (hmm....). Kemudian beranjak lebih ke dalam dan ke pinggir: margin, atau tepian kertas. Pembaca yang 'jorok' amatlah cinta ruang kosong ini. Yang sangat 'jorok' bisa jadi sedikit sekali menyisakan tempat di setiap halamannya. Lalu, mungkin terakhir, seperti tulisan Nisa temanku, "Kalo [sic] abis baca buku, berasa kaya antiklimaks[,] ah. Biasanya ada sedikit perasaan mellow saat menutup halaman terakhir". Silakan dibandingkan dengan pembaca buku elektronik. :)

Tentu saja, asas manfaat sebaiknya tetap dikedepankan. Yang paling mengerti manfaat sesuatu untuk seseorang adalah Tuhanmu dan Tuhanku, baru yang berikutnya kemungkinan besar adalah orang tersebut. Adalah baik untuk menimbang mana yang lebih manfaat untuk diri sebelum mengambil putusan. Meski demikian rasanya tidak salah juga mengambil keduanya bersamaan. Tidak masalah, bukan?

--
F  I  N
written on 15. Okt 2011, 1400 WIB (UTC +7), 0900 CEST (UTC +2)
Is it there already or is it still on its way?

Kamis, 13 Oktober 2011

Laporan Kemajuan

Laporan kemajuan sampai saat ini, Kamis, 13. Oktober 2011:

Tidak (belum) berbalas:
  • Karlsruhe IT
  • CAU Kiel
  • Uni Bayreuth
  • Ox
  • Imp
  • Cranfield U
  • Cam
Ditolak:
  • Delft
Adapun yang berikut ini menanti batas waktu:
  • Vrije U Bruxelles
  • Kingston U
  • URV Tarragona
Demikian sampai sejauh ini. Tidak semudah perkiraan ya? Tapi suatu penolakan ya artinya usaha lagi toh? :)

Mudah-mudahan ada kabar baik dalam waktu dekat, biar bisa sampai pula pada ibu-ayahku dan kamu-kamu yang aku sayangi. Semoga...

--
F I N
written on 13. Okt 2011, 20.45 WIB (UTC +7), 15.45 CEST (UTC +2)
 How I deeply wished my dream ca. 3 nights ago came from The Cursed One.

Pelajaran

Beberapa waktu ke belakang, ada sekilas aku membaca 'kicauan' dari kawan tentang pelajaran/ilmu X yang tidak terpakai sekarang ini. Terus terang aku tergelitik. Benarkah?

Mari lekas kita amati. Lekas, tidak lambat, namun tak pula terburu-buru.

Sebentar kita coba meraba apa yang mendasari pernyataan kawan tersebut. Ilmu X yang disebutkannya ternyata berbeda dengan bidang ilmu yang ia geluti saat ini. Sebagai contoh kasar, mungkin bisa diwakilkan dengan pernyataan "untuk apa fisika untuk petani?" 

Tidak ada gunanya, mungkin itu jawaban selintas dari kawan tersebut (mungkin juga beberapa dari kamu). Tapi coba sebentar mengingat kembali apa-apa yang dahulu telah dipelajari di masa-masa sekolah, di tengah kenang-kenangan apa saja yang lain pada masa itu.

Atau, biar aku antarkan padamu yang masih relevan, meskipun mungkin tidak langsung mengena. Pernah ingat prinsip tentang gaya? Lengan kuasa/momen? Bahwa bila panjang lengan kuasa [cangkul] kecil (pendek), maka gaya yang diberikan lebih besar bila dibandingkan dengan cangkul berlengan panjang. 

Satu contoh saja kawanku.. Karena aku percaya kamu sekalian amat cerdas dan hanya perlu satu contoh saja untuk dapat mengingat lebih banyak lagi contoh dari masa-masa awal pembelajaranmu. Aku percaya betul itu. :)

Jadi, bisakah sekarang kamu dan aku tidak bergegas menihilkan manfaat dari apa-apa ilmu yang pernah kita dapatkan? Karena ilmu itu, kawanku, akan ada gunanya. Setidaknya untuk menambah awas dirimu dan aku, sedikit demi sedikit. Mudah-mudahan. 
--
F  I  N
written on 13. Okt 2011, 07.45 WIB (UTC +7), 02.45 CEST (UTC +2)
Fight for your ideal, milady.. And please allow me to fight for what's mundane for us.

Kamis, 06 Oktober 2011

Tentang Kebiasaan

Practice makes perfect
Alah bisa karena biasa
Sedikit saja kali ini, sebelum memulai aktivitas, atau mungkin sebelum kamu tidur. Beberapa penggal ungkapan di atas terasa pas menggambarkan aktivitas akhir-akhir ini. Yah, tidak persis akhir-akhir ini memang. Ada beberapa waktu supaya terbentuk kebiasaan itu.

Beberapa waktu ke belakang, ritme sirkadianku berantakan. Sekali waktu aku tidur pukul 22.00 WIB (UTC +7), malam lain baru dapat terpejam penuh pukul 02.00 WIB. Lalu untuk terbangun penuh, bisa saja entah kapan antara 05.00 dan 08.00 WIB. Entah bagaimana caranya, aku nyaman-nyaman saja dengan hal tersebut.

Namun setelah beberapa kejadian yang kemudian diproses di dalam kepala, ritme demikian (atau lebih tepatnya, tidak adanya ritme tersebut) lebih banyak merugikannya daripada memberikan manfaat.

Hal itu, dan beberapa dorongan lain seperti perbedaan wilayah waktu, dan tambahan ilmu tentang melimpahnya kebaikan di pagi hari pun cukup berhasil memaksaku mengubah kebiasaan. Berat pada awalnya, tetapi toh kini hasilnya cukup baik dengan aku dibangunkan lebih awal dibandingkan waktu jam weker yang aku setel dahulu.

Terakhir, aku sajikan satu lagi ungkapan yang cukup relevan, entah dari siapa. Aku bukan pengingat yang baik untuk hal ini.
Excellence is not an act, it's a habit
--
F  I  N
written on 06. Okt 2011, 07.55 WIB (UTC +7), 02.55 CEST (UTC +2)
I wish, I wish, I really really wish our lines met and superimposed on until one of ours ended

Sabtu, 01 Oktober 2011

Tujuan: Kawah Putih

Jum'at, 30. September 2011. Pelaku: sebagian 'ngasdos plus-plus.
Alkisah lima sekawan putra-putri daerah yang kebetulan sepermainan dan seperkuliahan di bilangan Depok selama lebih kurang enam tahun merencanakan sebuah perjalanan.

Hmm.. Baiklah, kedengarannya akan panjang, tapi aku tak cukup waktu. Jadi kita lekas saja ya. Jum'at 30. September 2011 kemarin, kami (Alfian, Reza, Odi, aku, Uthy dan ditambah Arda, Ijul, dan Riki) *akhirnya* 'melarikan diri' dari rutin. Rencananya kami akan berfoto dengan baju wisuda kami, tapi.... Boleh lihat paragraf berikut dan berikutnya lagi. Hehehe.. Tentang tujuan kami, sudah jelas, Kawah Putih di gunung Patuha, Ciwidey, Kab. Bandung, Jawa Barat. Aku bisa saja berpanjang lebar tentang bagaimana Junghunn menemukan tempat ini, tapi lain waktu saja ya?


Awalnya waktu keberangkatan yang dijanjikan adalah 06.00 WIB, demi menghindar kemacetan
(dan untuk yang masih ada ikatan, menghindar dari ketahuan juga ternyata, hehehe). Aku terlambat (lagi-lagi) tapi kali ini keterlambatan 10 menitku tidak cukup hebat juga, karena ternyata Fian, Riki, dan Ijul masih baru berangkat! Oh la la...

Singkat cerita keberangkatan pun bergeser sampai hampir-hampir pukul 08.30 WIB, dan syukurlah Jum'at kemarin lalu lintas antara kampus hingga tol menuju Bandung tidak seberapa berat, dan kami keluar pintu tol Kopo sekitar pukul 11.00 WIB sebelum terjebak sedikit lalu lintas jelang tengah hari di kawasan pasar di sana. Berhubung hari Jum'at, maka kami pun mencari masjid untuk menunaikan kewajiban Shalat Jum'at, dan akhirnya menemukan satu di tepi jalan di Kampung Sadu, 7 km dari kawasan wisata Kawah Putih.

Dan... 13.15 WIB kami pun tibalah, dan dimulailah pelbagai kekacauan yang kami buat di sana. Langsung saja ya, ini oleh-oleh dari kami untukmu. :)


Tim Hore: Uthy, Ijul, Odi, Fian, Reza, dan Riki
Pemandangan kawah dari arah tangga masuk. Menawan!
Yang ini, ceritanya panjang. :D
Lebih lengkapnya Klik di sini (masih dalam proses yaa.. Jangan lupa kembali sewaktu-waktu mana tahu sudah diperbarui)

--
F  I  N
written in a shotgun manner in 01. Okt 2011, 08.00 WIB (UTC +7) 03.00 CEST (UTC +2)
Dear, oh dear, how would I convince you my plan...

Senin, 05 September 2011

Lembaran Baru

Apa kabar, kawan? Lama tidak berjumpa di sini ya? Tidak, aku belum ke mana-mana. Masih di sini saja, hanya kemarin dulu tidak menemukan sedikitpun waktu untuk menulis di sini.

Selama rentang waktu sejak terakhir menuang tulisan di sini sampai tulisan ini disusun, banyak yang terjadi. Sangat banyak dan tidak akan muat diurai seluruhnya di ruang sempit ini. Pun, tidak bisa aku menjanjikan akan meningkatkan kekerapan menulis di sini, tidak juga aku menjanjikan apa-apa -- apa pula yang aku punya hingga bisa aku berjanji, bukan?

Satu hal yang mungkin nampak oleh mereka yang sehari-hari bersua dan bergaul denganku adalah, ada perubahan pada diriku. Perubahan yang, mudah-mudahan, menuju arah yang lebih baik. IA.

Tentang perubahan sendiri, banyak hal yang bisa mengubah manusia. Dan perubahan itu bisa terjadi perlahan-lahan seperti pecahnya batu di aliran sungai, atau bisa juga sekonyong-konyong seperti petir saja. Yang kurasakan pada diriku? Lebih seperti yang terakhir.

Lucu terkadang, melihat banyak hal yang nampaknya bisa mengubah seseorang ternyata tidak berhasil mengubahnya. Siapa nyana satu-dua kejadian yang lebih kecil dan trivial ternyata bisa memberikan pukulan telak ke wajah. Bahwa kejadian yang mestinya biasa, justru mendatangkan perubahan yang besar pada seseorang.

Tujuh pekan yang lalu
Sebelum kejadian itu, rasanya tidak ada yang beredar di kepalaku selain satu nama yang sulit dilupa. Dan urusan selain itu jadi bukan prioritas. Terbengkalai. Ya, bahkan urusan tugas akhir yang mestinya jadi raja sementara di pikiran pun terpinggirkan.

Kemudian beberapa hari menjelang peristiwa itu, aku menjalin kontak lagi dengan teman lamaku. Dulu, dia pernah mengikut orang tuanya tinggal dan bersekolah di Selandia Baru semasa SD. Namun kali ini, dia ada mendapat kesempatan bersekolah ke negeri Kincir Angin. Sudah sejak lama aku mengikuti perkembangannya (seperti juga banyak teman-teman lain yang kuikuti perkembangannya diam-diam. He he he), dan aku ingin mengantar dan melepasnya di bandar udara.

Nah, pada hari keberangkatannya, tadinya disepakati aku akan ikut dari kediamannya di dekat sekolah kami dulu, namun hari itu ada rekan sejawat yang mengadakan makan bersama pada waktu yang berdekatan dengan waktu yang aku janjikan pada temanku ini. Atas desakan kawan yang lain, jadilah aku ikut serta -- tidak enak ternyata makan dengan pikiran sudah tidak di tempat. Setelah itu barulah aku memacu kendaraanku menuju kediamannya.

5 menit
Ya, itu keterlambatanku dari waktu yang kami sepakati. Pagar telah tertutup, dan tak lama teleponku bergetar menandakan masuknya pesan singkat baru. Isinya lebih kurang bahwa dia berangkat duluan, dan semoga bisa bertemu lagi lain waktu.

Dengan keadaan pikiran kacau tak menentu saat itu, yang ada malah depresi. Betul. Marah rasanya pada diriku yang tak berhasil menepati janji. Jadilah aku kembali ke kampus, dan setengah mengecam setengah mengutuk diri sendiri karena hal (kecil) ini.

Sampai teleponku bergetar lagi. Ternyata ada pula teman kami yang hendak pula mengantar dan melepas perginya temanku ini. Maha Baik Dia, memberikan aku yang menyia-nyiakan ini kesempatan lagi. Sekali lagi aku memacu kendaraanku ke tempat pertemuan untuk berpindah ke kendaraan teman kami ini, dan kali ini tidak terlambat. Meluncurlah kami ke bandara. Meskipun macet sempat pula membuat kami ketar-ketir, tetapi kami tiba dalam waktu yang masih cukup untuk kami berbincang dan memberikan kenang-kenangan.

Tidak ada derai air mata seperti yang kami khawatirkan sebelumnya di sana, sebab yang hadir justru canda tawa dan iri positif yang menulari kami yang mengantar. Sebentar, bagaimana mendefinisikan iri positif, ya? Baiklah, anggaplah kami, yang di tengah jebakan kemacetan menuju bandara banyak membicarakan temanku yang hendak berangkat itu, jadi semakin berkeinginan untuk mengikuti jejak yang telah dibuka temanku ini

Ya, kira-kira bersamaan dengan saat temanku yang pergi itu mengurusi urusan imigrasi, saat itu pulalah beban pikiranku, termasuk satu nama yang tak bisa lepas itu, diangkat entah bagaimana caranya lalu berganti berbagai rencana-rencana yang semua menuntut sebagai prioritas -- tapi aku akan bisa meraihnya semuanya, bila Dia berkehendak.

Demikianlah kiranya sekelumit kejadian yang secara tiba-tiba mengubahku -- mudah-mudahan -- ke arah yang lebih baik. Sungguh, belum pernah aku merasa lebih dekat dari ini denganNya. Betapa rasanya aku tak ingin jauh, sebab aku punya rencana yang aku ajukan kepadaNya. Mudah-mudahan di-ACC.

Bagaimana denganmu? Bagaimana kabarmu, dan apa ceritamu?

--
F  I  N
written on 05. Sep 2011, started at 20.00 WIB (UTC +7), 15.00 CEST (UTC +2)
Now whom should I tell first when the time indeed come?

Selasa, 29 Maret 2011

Diam

Untuk sementara ini, diam mungkin lebih baik.
Untuk sementara ini, biar lidah tidak mengiris, dan jemari tiada mengikis.
Untuk sementara ini, izinkan (lagi) aku menundukkan pandanganku padamu, pada kalian.
Untuk sementara ini, jangan beri aku kesempatan untuk bertemu dengan perempuan tempat endapan rinduku.
Untuk sementara ini, jauhkan aku darinya, berikan jarak yang cukup untuk aku berlari ke balik rimbun pepohonan, tiada terlihat.

Untuk sementara ini, kembalikan aku padaMu.
Untuk selanjutnya, tetapkan aku di garisMu.
Dan, kurindukan ridaMu.


--
F I N
written on 29. Mär 2011, 21.20 WIB (UTC +7), 22.20 WITa (UTC +8)
allow me to keep the shattered piece of my longing for myself...

Sabtu, 19 Februari 2011

Lensa baru (tapi lama)

3. Februar 2011. Hari itu tanggal merah, hari libur. Entah untuk apa ya? Yang jelas, dari malam sebelumnya, kawanku Nagy memberi informasi yang berharga - sangat. Dia memberitahukan bahwa di sebuah forum internet ada yang menjual lensa kamera yang lama kuidamkan. Nama lengkap lensa itu: Canon EF 200 mm 1:2.8L II USM. Lensa tele (sudut pandang lebih sempit dari sudut pandang mata manusia), prime (bukan vario, hanya memiliki satu panjang fokus nominal) ini masuk dalam daftar peranti yang diperlukan untuk menunjang keperluanku di fotografi olahraga.

Pada pagi harinya, aku berangkat ke rumah orang yang menjual lensa tersebut. Sedikit kabar bahwa ternyata istrinya belum lama jatuh sakit. Entah berhubungan dengan niatnya menjual beberapa lensa miliknya atau tidak. Satu hal bahwa beliau adalah seorang fotografer yang berspesialisasi di fotografi produk. Studionya ada di sebelah rumahnya di sebuah perumahan di bilangan Cibubur. Meski demikian, beliau sendiri 'terpaksa' terjebak di macetnya Jakarta meskipun memiliki studio sendiri. Kendalanya adalah, klien yang terkadang tidak memiliki kesempatan untuk menyambangi studionya.

Satu hal lagi, beliau mempunyai anjing. Entah anjing apa jenisnya, seingatku dinamai Tego. Anjingnya BESAR. Tadinya saat aku tiba, anjing tersebut 'disekap' di kamarnya, tetapi entah siapa yang membukakan pintu, anjing tersebut turun langsung dan 'menyerbu' pemiliknya. Alamak jang! Sontak aku terlompat dan komat-kamit. Memang beliau meminta maaf dan aku maafkan, tetapi tetap saja. Anjing. *bergidik*

Ya cukup tentang latar belakang pemilik sebelumnya, kita langsung ke lensanya saja. Jadi lensa tersebut dalam keadaan baik - sangat baik malah. Bahkan dus, bukti pembelian, serta kelengkapan-kelengkapan lainnya ada tersimpan sangat rapi. Setelah beberapa menit melihat dan mengetes lensa tersebut dengan Twendy (kameraku), aku tidak mendapati adanya malafungsi ataupun kerusakan. Jadilah sejumlah uang berpindah tangan ke Mas Seno (pemilik lama lensa tersebut), dan lensa pun kurapikan dan kubawa pulang.

Sampai di rumah, langsung saja lensa diabadikan dulu dengan saudara kecilnya. Sekaligus mengobati penasaranmu mungkin, ini lensa yang kutebus waktu itu.



Ya, kemudian keesokan harinya adalah hari gladi bersih wisuda, dua kawanku Putri dan Reza (sebetulnya Reza saja) menghadiri gladi bersih wisuda pada hari itu. Reza (juga Putri) memintaku mengambil gambarnya, jadi ya tidak mengapalah. Ini yang kuambil dengan lensa baru tersebut.



Kemudian, pekan depannya, ada kesempatan emas uji lapangan (secara harfiah). Kesempatan tersebut hadir pada pertandingan NBL Indonesia Seri V Jakarta di Hall A Senayan. Jadilah aku mengajak adikku Icha untuk ikut serta. Dari informasi yang kudapat, HTM pertandingan tersebut adalah 20 ribu rupiah, tetapi dengan semacam voucher mendapat korting setengah harga. Kenyataannya? Tanpa voucher pun HTM pertandingan tersebut tetap sepuluh ribu rupiah. Ha ha..

Pertandingan yang kami tonton adalah antara Dell Aspac Jakarta melawan Satria Muda Britama Jakarta (yang saat itu disiarkan langsung oleh salah satu televisi swasta juga). Berhubung sudah lama sekali sejak terakhir mengikuti perkembangan olahraga basket tanah air, jadilah agak-agak ada kehilangan informasi mengenai siapa saja pemain yang ikut serta, dan kira-kira tingkat 'kebintangan' pemain tersebut. Jadi, hajar saja lah. Ini beberapa di antaranya. Lebih lengkap lagi ada di album di akunku di situs jejaring sosial biru tua (klik).



Dan sebelum kita akhiri tulisan ini... Dewi malam.


Lalu terakhir, rencana ke depan: Setiap pertandingan timnas sepakbola Republik Indonesia, kejuaraan badminton seri super Indonesia Terbuka, ... Dan masih banyak lagi sebanyak informasi yang mudah-mudahan kudapat. Sudikah membantuku? Terima kasih, ya!


--
F I N
written on 19. Feb 2011, 15.45 WIB (UTC +7), 16.45 WITa (UTC +8)
And this lens captured her picture, and It's not exactly what I wanted. :(