Rabu, 09 November 2011

Masyarakat yang sakit

Ya, judul itu yang aku pilih. Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, mari batasi ruang lingkup pembahasanku kali ini pada daerah sekitar kode pos Indonesia 12620 dan 16424, dengan kedua area ini merupakan tempatku bergentayangan sehari-hari. Dan sebelum memulai... Gambar!


Sebuah gambaran pagi hari yang umum di salah satu perlintasan kereta listrik dan jalan raya. Yah, tidak mutlak pagi hari juga. Lebih tepat mungkin bila mengambil istilah round-the-clock. Tidak sedikit pengendara sepeda motor memilih 'antre' (kalau memang demikian) di melampaui palang perlintasan. Bahwa dapat jadi itu mendatangkan bahaya bagi mereka tidak lagi menjadi pertimbangan, apalagi memikirkan bahaya bagi orang lain.

Tidak hanya di perlintasan rel -- jalan raya, pada persimpangan berlampu lalu lintas (maupun tidak) pun berlaku hal serupa. Pengendara sepeda motor maupun mobil yang berhenti sebelum garis dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Alasan yang mendasari mereka melampaui batas sedemikian? Entahlah hanya mereka yang tahu.

Kalau boleh berasumsi, mereka ingin lebih cepat mencapai tujuan. Apa iya?

Pada perlintasan kereta api, kecenderungan kontur jalan adalah sedikit menanjak untuk meminimalkan selisih rel dengan muka jalan. Dengan demikian, diharapkan kenyamanan berkendara tetap terpelihara. Bila terlalu dekat dengan rel? Jarak untuk mendapatkan 'tarikan' awal (torsi) kendaraan terlalu minim, dan akhirnya tetap saja lambat keluar dari perlintasan.

Perempatan lampu lalu lintas? Pengantre-lewat-garis yang kutemui pada umumnya lamban memulai lagi. Belum lagi ditambah mata yang alih-alih mengawasi lampu lalu lintas berubah hijau justru memandang lalu lintas dari jalur lain sebagai patokan. Hasil akhir: lamban. Tidak berbeda.

Itu baru lalu lintas...

Contoh kecil lain: sampah. Entah sehari berapa kali wadah bekas pembungkus makanan-minuman bisa ditemukan ditinggalkan begitu saja di meja, kursi duduk, dan lain-lain tempat umum. Yang berat adalah bahwa hanya tak lebih empat meter dari lokasi tersebut ada tersedia tempat pembuangan sampah menganga.

Mari sejenak membayangkan. Bagaimana perasaanmu, pikirmu bila sedang berjalan dengan kawan karibmu, lalu saat hendak menduduki kursi, kamu mendapati gelas plastik berisi air sedikit yang tak memadai untuk diminum? Dan tak jauh dari situ ada bak sampah. Kalau hati dan otak tidak tergelitik rasanya aneh ya? Atau mungkin karena sudah terlalu terbiasa dan jadi kebas? Itu yang aku khawatirkan.

Ayolah, apa yang kamu makan sambil duduk berbincang, tidak bisakah dibawa bersamaan dengan kamu mengangkat kaki dari tempat itu? Sekitar enam langkah saja untuk melaksanakan falsafah pembersihan: memindahkan kekotoran ke tempat yang tidak terlihat.

Tidak, tidak perlu jauh-jauh memikirkan orang lain. Pada dasarnya manusia ingin menyelamatkan dirinya sendiri dulu itu wajar. Jadi pikirkan keadaan kalau suatu ketika yang kamu kerjakan itu yang kembali padamu. Mau?

Kalau tidak, mulailah dari kamu dan aku masing-masing. Sedapat mungkin tidak meninggalkan jejak sampah di mana-mana berpijak, bisa? Mari diusahakan.

--
F  I  N
written on 15.30 CET (UTC +1), 21.30 WIB (UTC +7)
sorry about the rant. Now I see why you don't seem to be coming back. :(

Tidak ada komentar: