Sabtu, 15 Oktober 2011

'Tangible'

Sebelum beranjak ke tulisannya, sejenak mari kita tilik dulu definisi dari judul tulisan ini. Minta maaf sebelumnya, karena belum berhasil kutemukan padanannya. Secara harfiah, tangible bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang dirasakan dengan sentuhan. Jadi, apa kira-kira padanannya? Bantu aku ya kalau sekiranya kamu tahu...

**

Di masa 'keemasan' peranti digital seperti sekarang ini, tidak banyak bisa kita dapati lagi ada yang melangkahkan kaki menuju kantor pos, lab proses foto, atau tempat-tempat yang sebelum masa digital pernah menikmati kejayaannya. Saat rol seluloid yang terbatasi (24/36 eksposur, ASA, dan semacamnya) bisa digantikan oleh sekeping cip silikon, mengapa repot-repot dengan pelbagai kimia pengembang film, toh? Ketika layar-layar kristal cair dapat menampilkan macam-macam pose keponakanmu, mengapa bersulit-sulit mencetak, toh? Saat surat elektronik dan telefoni internet merajalela dan menjadi pola komunikasi de facto untuk mereka yang terpisah samudera, mengapa harus menempelkan segebung perangko di atas kartu pos, toh? Ketika peranti pembaca buku elektronik semakin besar dan mudah (dibaca, didapat, dst.), mengapa memboroskan kertas pada buku cetakan? 

Pernyataan yang tidak salah. Tidak salah sama sekali.

Namun bagi beberapa orang, termasuk aku pun, ada hal-hal yang tidak dapat digantikan oleh semua kemudahan era digital. Salah satu yang penting, menurutku, adalah keberadaan benda yang dapat disentuh itu tadi. Sifat tangible, bagi sebagian orang menjadi demikian penting, meskipun sebagian lain dapat jadi menganggapnya sentimentil (sentimental) belaka.

Coba kutegaskan maksudku. Satu saja ya, seperti biasa. Kamu tentu pernah membaca buku (cetak). Saat membuka pembungkusnya pertama kali, mungkin kamu menuliskan nama dan entah-apa-lagi di halaman pertama buku itu. Atau bisa jadi kamu merasakan tekstur kertasnya. Atau aroma buku baru (hmm....). Kemudian beranjak lebih ke dalam dan ke pinggir: margin, atau tepian kertas. Pembaca yang 'jorok' amatlah cinta ruang kosong ini. Yang sangat 'jorok' bisa jadi sedikit sekali menyisakan tempat di setiap halamannya. Lalu, mungkin terakhir, seperti tulisan Nisa temanku, "Kalo [sic] abis baca buku, berasa kaya antiklimaks[,] ah. Biasanya ada sedikit perasaan mellow saat menutup halaman terakhir". Silakan dibandingkan dengan pembaca buku elektronik. :)

Tentu saja, asas manfaat sebaiknya tetap dikedepankan. Yang paling mengerti manfaat sesuatu untuk seseorang adalah Tuhanmu dan Tuhanku, baru yang berikutnya kemungkinan besar adalah orang tersebut. Adalah baik untuk menimbang mana yang lebih manfaat untuk diri sebelum mengambil putusan. Meski demikian rasanya tidak salah juga mengambil keduanya bersamaan. Tidak masalah, bukan?

--
F  I  N
written on 15. Okt 2011, 1400 WIB (UTC +7), 0900 CEST (UTC +2)
Is it there already or is it still on its way?

Tidak ada komentar: