Kamis, 05 Juni 2014

Waktu

Bismillah, alhamdulillah, shalawat dan salam teruntuk Rasul-Nya, Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan Sahabatnya.

Dalam waktu tidak lama dari tulisan ini diturunkan, akan timbul pertanyaan yang berulang selalu sepanjang tahun: "Kapan mulai puasa?" yang secara panjang dapat diterjemahkan menjadi, kapan kita memulai puasa wajib di bulan Ramadhan?

Tentu jawaban ringkas (dan 1/2 serius 1/2 bercanda) dari pertanyaan di atas adalah pada tanggal 1 Ramadhan tahun ini. Walaupun demikian, tentunya penanya tidak memaksudkan demikian. Yang ia maksudkan adalah kapan waktu tepatnya pada penanggalan Masehi.

Berikut ini penulis akan tampilkan kutipan dari beberapa sumber yang insya Allah shahih dan terpercaya, yang akan penulis akhiri dengan beberapa baris opini penulis sendiri.

Sebelum memulai, penulis menekankan bahwa tulisan ini mengutamakan pembahasan tentang penentuan awal puasa. Mengenai hal-hal terkait definisi, hukum-hukum puasa, syarat-syarat, dan semacamnya, penulis menyarankan kumpulan artikel ini.

Kapan mulai berpuasa?
Allah ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Barangkali kamu belum mengetahui, bahwa Ramadhan adalah nama salah satu bulan dari 12 bulan yang (semestinya) dikenal baik oleh muslimin semuanya. Perhitungan kalender ini berdasarkan peredaran bulan, yang secara kasar diperhitungkan mengalami satu siklus lengkap (bulan baru - sabit - purnama - ... kembali lagi) dalam 29 lebih sedikit hari (sekitar 1/6 hari, kalau tidak salah). Awal bulan sendiri ditentukan apabila anak bulan (hilal) sudah terlihat mata. Seperti demikianlah yang difirmankan Allah pada ayat di atas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.” [HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar]
Dengan demikian, maka disyaratkan untuk keluar dan melihat ke langit di malam terakhir (atau sebelum terakhir) Sya'ban - bulan sebelum Ramadhan untuk mengetahui apakah bulan sudah berakhir atau belum. Bila telah nampak hilal, maka Sya'ban telah berakhir dan keesokan harinya adalah hari pertama berpuasa. Dan bila tidak terlihat, baik karena mendung seperti hadits di atas ataupun karena sebab lain seperti memang belum fasanya, maka disimpulkan bahwa bulan Sya'ban masih ada satu hari lagi.

Sehubungan dengan penentuan hari pertama Ramadhan di atas, ada satu syariat yang perlu diperhatikan. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini menjelaskan tentang larangan berpuasa di hari-hari yang meragukan (seperti di hari terakhir atau sebelum terakhir dari bulan Sya'ban). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا تقدموا رمضان بصوم يوم ، أو يومين إلا رجلا كان يصوم صوما فليصمه
“Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali salah seorang dari kita yang terbiasa berpuasa.” [sumber]
Lalu, apakah siapa saja boleh keluar melihat hilal? Pada dasarnya boleh, karena hilal adalah sesuatu yang nampak di langit sebagai hasil pergerakan bulan. Namun demikian, untuk memulai puasa (dan pada akhirnya, mengakhirinya), ada satu hal yang perlu diperhatikan. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) bahwasanya beliau bersabda:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi, dan beliau menyatakannya sahih) [sumber]
Di sini, pandangan yang penulis ikuti adalah pandangan dari Imam Ahmad ibnu Hanbal (Imam Madzhab Hanbali/Hanabilah) bahwa yang demikian berarti kita berpuasa sesuai yang diputuskan oleh pemimpin kaum muslimin. Oleh karena itu, laporan hilal haruslah masuk ke kalangan penguasa, dan mereka yang memutuskan kapan bulan Ramadhan dimulai. Penguasa dapat menerima persaksian hilal, dan berhak pula menolak persaksian karena berbagai pertimbangan. Kita sebagai yang dipimpin? Ikutlah pemimpin kita untuk hal-hal yang baik dan bukan maksiat pada Allah dan Rasul-Nya.

Bagaimana dengan hasil perhitungan?

Masalah ini problematik, dan terkadang hasil perhitungan ini menyelisihi keputusan penguasa muslimin yang berlaku. Sejauh yang penulis dapatkan, tidak ada contoh dari Rasulillah (shallallahu 'alaihi wa sallam) maupun dari kalangan Sahabatnya dan ulama terdahulu yang masih dekat dengan zaman beliau. Alangkah baiknya jika pemimpin yang kita akui, kita ikuti. Terlebih lagi pemimpin tersebut telah berupaya menjalankan pengamatan hilal sesuai dengan yang dituntunkan Rasul kita (shallallahu 'alaihi wa sallam).

Hikmah penentuan awal bulan dengan rukyah

Kita ketahui bersama, bahwa Rasul (shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah seorang yang buta huruf, apalagi pada ilmu-ilmu perbintangan (navigasi dan sebagainya) yang kompleks. Beliau mendapatkan wahyu dari Allah dan itulah yang membedakan beliau dengan kita.

Pengamatan bulan untuk menentukan awal bulan merupakan suatu metode yang amat (sangat) sederhana. Metode ini juga bisa dilakukan oleh semua muslim yang sehat jasmani. Cukup keluar ke tempat terbuka, pandangi langit di mana bulan diperkirakan akan tampak, pada hari (sebelum) terakhir Sya'ban, lalu perhatikan. Apabila muncul hilal, maka bulan Ramadhan bisa dimulai; bila belum, maka tinggal tambahkan satu hari. Apabila ada yang lebih sederhana lagi dari itu, maka tolong beritakan pada penulis.

Sedangkan penentuan dengan sistem perhitungan (hisab falakiy), seperti namanya, memerlukan keahlian yang tidak semua muslimin memilikinya. Selain ketiadaan nash yang memperbolehkan metode ini, ada hikmah yang bisa ditarik yaitu adanya kemungkinan pembatasan pengetahuan pada sekelompok orang. Hal ini dapat menuntun pada eksklusifitas agama, sebagaimana telah terjadi pada agama lainnya, dan bukanlah hal ini yang diinginkan.

Kemudian, rasanya telah terlalu lama juga muslimin terlena dengan temuan-temuan berupa kalender ataupun jam. Andaikata kita mau menggali lebih baik, akan kita temukan banyak sekali penentuan waktu yang didasarkan pada keberadaan benda langit. Dihadapkan dengan jam yang presisi, tentu saja ini terlihat menyulitkan, tetapi ternyata pendahulu kita dapat hidup baik-baik saja tanpa jam.

Perhatikanlah waktu-waktu shalat yang lima waktu: Shubuh pada gelap yang tersisa di akhir malam sebelum matahari terbit. Dzuhur beberapa saat setelah matahari tepat di atas kepala. Ashar, ketika bayangan panjangnya sama dengan tinggi benda. Maghrib, setelah matahari terbenam, dan 'Isya' setelah malam telah gelap dan bintang telah bermunculan. Waktu-waktu ini ada dan nyata. Dan tidak diperlukan jam dalam bentuk apapun! Begitupun dengan penentuan awal bulan, yang semestinya kita mengenal baik sistem penanggalan yang alami dari ajaran agama kita sendiri.

Bila kita berada di tengah lautan, atau di tengah hutan, maka ada tanda-tanda alam yang akan menolong kita mengerjakan Shalat. Dan tanda-tanda tersebut juga akan makin mendekatkan kita dengan alam, yang apabila kita berpikir dengan baik, akan mendekatkan kita kepada Pencipta alam semesta seisinya, Allah ta'ala.

Wallahu a'lam


6/7 Sya'ban 1435 = 5 Juni 2014; beberapa saat lepas Isya' awal musim panas
+33 / 56100 / 1RNA 1033
AR

Tidak ada komentar: