Jumat, 14 Mei 2010

Ibu, aku cinta Ibu sepenuhnya

Memang, kata orang, "sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna" belum pernah salah.

Kejadiannya telah lama. Waktu itu, ponselku si biru Motorola C650 yang sekitar 4 tahun sebelumnya beliau belikan tiba-tiba saja hilang salah satu tombolnya. Jangan bayangkan ponsel ini seperti ponsel merk N itu yang keypad-nya bisa diganti sesuka hati. Jadilah selama sekitar 3 hari aku menekan tombol utama itu menggunakan pensil mekanikku yang, syukurlah, telah bertahan selama sekitar 5 tahun pada masa itu.

Malam sebelum kehilangan tuts itu, aku tengah iseng mencoba memotret garis bintang (star trail). Waktu itu dengan kamera film dan lensanya milik ayah yang kuurus. Saat itu ponselku terlepas dari tanganku dan jatuh. Sudah biasa dan terbukti tahan banting si Biru itu.

Berhubung keadaan balkon atas di sisi kamarku sengaja kugelapkan agar tidak mengganggu pengambilan gambar, aku tidak menyadari kalau ada yang kurang dari ponselku. Saat turun ke bawah, barulah kusadari ada yang hilang di situ.

Selidik punya selidik, setelah sekitar 5 harian, tuts itu kutemukan masih di balkon yang sama. Saat terang saja sulit melihatnya. Setelah kutemukan, aku tidak melaporkannya ke Ibu. Suatu kesalahan karena beliau melihatku sebelumnya menggunakan pensil untuk menekan di tempat tuts yang hilang itu.

Sekitar dua hari setelahnya, tiba-tiba Ibu pulang dan membawa sebuah kotak dalam kantung plastik. Saat kulihat, oh tidak. Itu sebuah ponsel lainnya, Motorola W388. Saat itu, aku jauh dari keadaan tenang, dan langsung terucapkan ketidaksukaanku pada ponsel itu. Jujur kepalaku panas saat itu. Terlalu panas. Kalau dibandingkan dengan sekarang, mungkin ibarat suhu Sahara dibandingkan dengan suhu Bogor.

Saat itu tidak terpikir seperti apa perasaan Ibuku. Salahku. Salahku.

Kemudian, hari ini, 14. Mai 2010. Saat tengah di kelas Metode Komputasi, kulihat si Uthy memakai arloji. Yah, arloji yang kelihatannya bagus, dan digital. Bukan, bukan seperti itu yang kuingin. Yang aku ingin adalah arloji berbingkai logam, dengan jarum yang berputar sinambung, dan ukuran yang pas. Yang terakhir ini yang selama ini menjadi kendala. Kerjaku kebanyakan berhubungan dengan komputer dan pergelangan tanganku, yah, kecil. Sempat terpikir juga mungkin akhir bulan ini atau bulan depan aku akan mencari arloji yang kuinginkan.

Tapi tidak perlu menunggu sampai bulan depan ternyata. Mungkin Dia membisikkan keinginanku pada Ibuku. Lepas Isya', Ibuku pulang bersama Ayah. Kali ini, ada lagi sebuah bungkus plastik yang terisi sebuah kotak biru.

"Mas*, ini Ibu tadi beli di Senen. Kelihatannya bagus. Mudah-mudahan mas suka."

Ketika kulihat kotak tersebut dibuka, terlihatlah sebuah arloji yang bagus, berbingkai logam bentuk segi empat, dan rantai logam juga. Meskipun demikian, memang pergerakan jarumnya masih konvensional, masih berdetak-detik sih. Tapi kali ini kepalaku dingin. Jauh, jauh lebih dingin, dan hatiku hangat karena apa yang terjadi dalam pekan terakhir ini. Dan reaksiku yang bisa kuperlihatkan adalah, "Wah, bagus kok, Bu." sembari mencium kembali tangan Ibu, dan binar mata bahagia tersirat di wajah Ibuku.

Ibu, maafkan aku atas yang dulu, dan yang dulu, dan semua yang kulakukan dan kukatakan dulu. Benar pulalah ucapan lama, "Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan," tiada akan berakhir. Ibu. Maafkan aku tak bisa meminta maaf kemarin dulu. Semoga penerimaanku kali ini bisa mengobati sedikit yang dulu itu. Aku cinta Ibu, sebagai Ibuku, sepenuhnya, sepenuh hati dan segenap jiwaku.


--
F I N
written on 14. Mai 2010, 20.38 WIB (UTC +7)
Yes, Mum. It's my stubbornness that prohibited me from apologising. Please, forgive me. For I deeply regret that time, when I rejected your gift. I ♥ you, Mum.

Nota bene:
*) Jangan protes. (-_-"). Mas itu panggilanku di rumah. Mbak untuk adikku yang pertama, dan Adek untuk adikku yang paling kecil.

Tidak ada komentar: