Minggu, 16 November 2008

Sepeda + Lumpur = ?

Jadi, pagi ini roda-roda sepeda hijau tua (pikir sendiri maksudnya ya? ;P) ayah yang diturunkan padaku mencium aspal lagi. Yah, tidak terlalu pagi juga sih, mengingat semalam baru tertidur setelah babak pertama siaran tunda Liga Primer Inggris Manchester United vs Stoke City berakhir, jadilah pagi ini agak lat aku terbangun. Duduh... Payah deh.

Ya, jadi setelah ritual memompa kedua roda sepeda itu, dan mempersiapkan koran bekas, buku bacaan --"Jejak Tinju Pak Kiai"-- dan 600 ml air dalam sebotol, berangkatlah kami ke kampus tercinta. Eh, bukan ding, kalau kampus tercinta di sini konotasinya kepada sebuah institut dekat perlintasan kereta api antara stasiun Lenteng Agung dan Tanjung Barat. Jadi, kampus(ku) tercinta itu adanya di perbatasan Depok-Jakarta. Bisa dibilang bersepeda AKAP (antar kota antar propinsi) deh, hehehe...

Sepanjang jalan, masih ada beberapa lubang jalan yang terisi air (dan lumpur? Entahlah..) sisa hujan deras kemarin sore. Wah, kalau cerita hujan deras kemarin, luar biasa. Ibarat air itu ditumpahkan semuanya dari langit. Belum lagi angin yang membuat air itu seperti menari-nari. Wah... Nyaman menikmatinya dari balkon sebelah kamarku.

Eh iya, jadi sekarang kita sedang di jalan dari rumah ke kampus ya? Oke, mari dilanjut. Jadi, sepanjang jalan rasanya agak-agak, bagaimana ya, dingin dan sedikit basah. Kecuali kalau di belakang bus kecil bernomor 616. Ih, hitam kelam asapnya. Bau, pula!

Jadi, tiga puluh(an) menit selepas jam keberangkatan, sampai kita di pintu (kecil) di tengah pagar bercat kuning itu. Tapi... Loh, kok dipasangi rantai? Tak masalah tentu buat kendaraan sekelas sepeda, tapi bagi banyak lagi 'wisatawan' yang bersepeda motor, masalah besar tentu saja. Entahlah, tak pernah sebelumnya bersepeda --dan ke kampus pada umumnya-- di hari Ahad seperti pagi ini. Mungkin ini kebijakan bapak-bapak pengambil keputusan di gedung rektorat ya?

Yah, urusan rantai-merantai ini juga sedikit membuat si Ica --adikku-- manyun selepas aku pulang nanti. Ceritanya, pagi ini (juga kemarin pagi), ia yang sekarang sudah kelas XII (uh, banyak betul. Pokoknya tahun terakhir di SMA, deh) berencana datang ke acara yang diadakan mahasiswa UI, "Bedah Kampus". Nah, karena (salahku juga tidak memutakhirkan informasi soal ini) terlambat tahu, dan baru menghadapi tes juga di sekolah, jadilah Ica baru mencari tiketnya pada hari-H. Ya, karena celah pagar dirantai, jadilah Ica dan temannya sedikit terlambat ("padahal tinggal 10 orang lagi tuh, Mas"). Sampai berdoa dia, "semoga acaranya nggak seru, biar nggak nyesel kita nggak dapet tiket", hihihi..

Hmm... Setelah mengangkat sepeda itu --yang kuharap bisa lebih ringan, sebetulnya-- melewati rantai, ternyata ramai juga orang berolahraga di Ahad pagi. Kebanyakan keluarga muda dan kecil, tapi tak sedikit juga bapak dan ibu yang lebih tua, juga remaja putra-putri. Kalau yang terakhir ini, boleh lah disebut 'bumbu' bersepeda kali ini, hehehe... Dasar!

Oh iya, rute hari ini. Pintu kukusan (~ teknik, kutek) - F. Ekonomi - F. ISIP - F. Psikologi - F. Hukum - Masjid UI - F. Ilmu Komputer - Rektorat - Balairung - Masjid UI - Hutan - keluar UI - rumah. Betul... Hutan. Kalau hari kering --tidak lepas hujan-- kawasan hutan ini menyenangkan untuk dijelajahi. Ilalangnya tinggi, tapi masih masuk akal. Dalamnya masih ada beberapa jalan paving block yang sudah bocel-bocel karena *sangat* jarang dilewati, juga jalan setapak yang dilalui pengendara sepeda, yang sering juga "berlatih" dalam hutan, maupun oleh "nelayan" dan pemancing yang menuju danau di tengah hutan. Jalan ini berupa tanah saja, membelah rerumputan dan pepohonan, teduh di bawah pohon-pohon, mm... Karet kurasa.

Tapi perlu diingat. Kemarin hujan turun dengan derasnya. Jadi, kombinasi hujan (air), tanah, dan tiadanya saluran di dalam hutan menghasilkan lumpur yang sempurna. Hihihi, seperti pernah dengar frasa yang terakhir itu. Yah, apapun itu, yang jelas lumpur itu mengurangi kecepatan jelajah hutan karena ban sepeda dengan cepat mengumpulkan tanah-lumpur itu. Belum lagi akar-akar pohon yang malang-melintang di lantai hutan. Tak mengapa, sebetulnya, karena rencana hari ini bersepeda membuang penat. Penat karena TA, PR-PR dan tugas, TA, Nike, TA, Seminar, TA, TA, dan TA lagi. Jadi, sepeda kecepatan rendah di jalan berlumpur --tak bisa memikirkan yang lain kecuali jalan di depan-- klop betul dengan tujuanku.

Setelah masuk ke hutan, setelah berputar kembali ke arah F. Teknik dari Masjid, terasa dingin menerpa tanganku. Syukurlah, aku mengenakan sweter lengan panjang, jadi tidak terlalu parah dinginnya. Jalan yang bocel-bocel itu betul-betul menyiksa --dengan ketiadaan peredam kejut di sepedaku. Untunglah jalan itu tak lebih dari 50 meter saja. Selepas itu, yang ada hanya jalan setapak dari tanah yang sebagian basah-sebagian kering. Dengan kecepatan rendah, tak lebih dari lima menit sampai sudah aku di tepi danau entah-apa-namanya. Memandang sekeliling, wah, sepi betul... Rasanya ingin menggelar koran bekas yang kubawa dan duduk membaca, tapi kok rasanya belum puas bersepeda yah? Jadilah aku menuruni lereng tanah yang agak curam di tepi danau itu.

Tapi... Loh, kok agak licin ya? Duh, ternyata sepatu yang kukenakan salah! Tidak salah juga sebetulnya, tapi itu sepatu satu-satunya yang kupunya yang kering. Sepatu satunya lagi, basah karena lalai kutinggalkan di depan teras nenekku waktu Rabu kemarin aku mampir --sekaligus melepas adik ayahku yang telah berangkat menuju Tanah Suci Makkah keesokan harinya. Yah, sepatu ini karena lama tak dipakai, entah bagaimana solnya seperti mengeras dan jalur-jalur di dasarnya sudah menuju rata. Jadi, wajar kalau licin. Duduh... Tapi biarlah. Kalau toh jatuh tak ada orang melihat ini. ;p

Jadi, dengan sepinya danau dari para "nelayan" dan pemancing yang terkadang mencari ikan di danau-danau UI, aku susuri saja tepian danau itu, menembus perdu yang tinggi tak terawat --siapa yang mau merawatnya? Bodoh ih, kadang-kadang (n_n)V. Lepas ilalang itu, ternyata ada seorang "nelayan" baru datang dan meninggalkan sepedanya di sebatang pohon. Mengapa "nelayan", sebab menurutku nelayan itu adanya di pantai, di laut. Tapi, karena di perairan darat belum ketemu padanannya, jadilah kuberikan saja gelar "nelayan" pada pria yang membawa jaring itu.

Wah, selepas pertemuan itu, jalannya sulit. Tanah berlumpur, menanjak, pohon pisang yang rubuh menutupi jalan, jalan yang sempit, rumput yang tinggi, semuanya deh, dan berakhir pada satu kata: "menuntun". Ah, coba saja hari kemarin (dan kemarinnya lagi) kering, tak ragu kulibas jalan itu. Masalahnya, saat kucoba mengayuh, ban belakang malah berputar di tempat karena sudah penuh lumpur. Ya sudah, lebih baik dituntun saja, toh, sampai kembali ke 'jalan yang benar', alias jalan aspal di pinggiran kampus. Eh, yang ada malah bocah juga seorang perempuan, belajar mengemudi sepeda motor.. Jadilah menepi lagi, masuk ke dalam hutan lewat jalan yang lain.

Di sana kutemui seorang (kuduga) bapak dan anaknya yang juga mengendarai sepeda --yang (kuduga juga) jauh lebih bagus dari yang kukendarai. Wah, lengkap deh peralatannya. Helm (bagus) banding topi (kupakai), kaus sepeda banding kaus biasa berbalut sweter, tempat minum yang dipasang di rangka banding air dalam botol eks air mineral dalam tas selempang. Yah... Tak bisa dibandingkan deh, kecuali mungkin semangat dan 'kegilaan' menembus jalan yang bukan jalan dalam hutan itu, hehehe...

Nah, setelah menemui danau (lagi), dan menyusuri tepiannya, adalah sebuah pintu air yang bagian atasnya bisa dilewati orang dan (dengan sedikit edan) sepeda. Masalahnya, di mulut 'jembatan' itu dan di jalan keluarnya, ada genangan air di ceruk tanah. Genangan di mulut 'jembatan' bisa dilewati dengan mulus, tapi masalah datang ketika keluar. Duh, ternyata dalam... Jadilah sedikit ngadat di tengah genangan, dan sepatu kiri jadi korban lumpur karena mencari tumpuan. Lepas jembatan itu, gambaran (roda) sepedaku itu adalah ban yang dibalut lumpur setengah basah-setengah kering. "Belog" kata orang sini.

Sudah itu, aku salah belok menuju "tempat pembuangan sampah" di balik lereng di tepi danau yang kedua itu. Saat akan kembali turun di lereng itu, coba tebak. Rem depan kendur. Bukan kendur biasa, tapi tali bajanya memang sudah ada yang keluar dari jalinannya. Jadi, baut pengencangnya tidak bisa menahannya. Syukur dalam tasku ada beberapa kunci pas, untuk sekadar jaga-jaga, Maklum, sepeda warisan. Dengan sedikit akrobat, termasuk 'menambatkan' sepeda di sebatang pohon kecil, dan mengutak-atik sedikit tali baja untuk rem itu, akhirnya kembali *bisa* bekerja lagilah rem depan itu, setidaknya untuk menahan lajunya sampai turun kembali ke tepi danau. Nah, malah di situasi inilah keringat keluar lebih banyak daripada sepanjang mengayuh tadi. Aneh, memang, mungkin dipicu ketegangan karena situasi itu terjadi di turunan jalan ya? Yah, begitulah.

Akhirnya, karena sudah cukup siang, dan ban sepeda sudah semakin amburadul bercampur tanah, dan lelah mulai menghampiri juga, padahal masih ada satu sesi kayuhan lagi sampai rumah, jadilah aku memutuskan pulang saja. Sepanjang jalan, kalau ada yang jadi kotor tertempel tanah yang terbawa sepedaku, aku minta maaf. Celanaku juga jadi bermotif cokelat tanah karenanya. Tiga puluh menit(an) kayuhan, diselingi lima menit(an) menuntun sepeda melewati ramainya angkot di tanjakan pasar Lenteng, tibalah di rumah, dengan ibu langsung bertanya, "Jatuh tadi, Mas?". Hehehe... Kalau jatuh sih, rata tanahnya, Bu.... Andai beliau tahu jalan macam apa yang tadi kulalui.

Yah, sesampainya di rumah, toh akhirnya koran dan buku itu tak kunjung jadi kugelar. Yang jelas, terjawab pertanyaanku di atas itu. Jawabannya sederhana: Sepeda + Lumpur = "Mencuci". Yap, jadilah sepeda itu kucuci. Selain ban dan roda penuh tanah, ada pula bau-bau aneh yang menguar dari bannya itu. Daripada daripada, lebih baik mendingan, hihihihi. Sekitar satu jam pencucian, sepeda itu *lumayan* bersihlah. Kemudian, selepas sarapan dan mandi dan Dzuhur, tak ada yang lebih nikmat daripada..... TIDUR! Hihihi.

Lelah, capai, semuanya mengumpul. Tapi setidaknya, penat itu --soal TA, tugas-tugas, TA, Nike, TA, Seminar, TA, TA lagi-- sudah cukup terangkat. Esok saatnya memulai hari yang baru. Semoga.

--
F I N
written on 16. November 2008, 19.40 WIB
*menulis --dan membaca-- ini (kuduga) melelahkan juga yah.. Hihihi (^_^)V*

2 komentar:

Ve Miranty mengatakan...

Assalamualaikum... Stoppp de'... Kayaknya ada banyak ceritamu yang menceritakan tentang perjalanan bersepeda..

Cerita kamu bagus.. Tapi.. Hiksss.. Ve gak tau naik sepeda, membaca kisah dirimu yang menikmati naik sepeda, sudah cukup menyiksa.. halllahhh... :)

ArIf mengatakan...

Wa'alaykum salam Ka'... Tidaks.. Pantang pulang sebelum cape'. Hihihi ;p

Hihihi.. Kenapa bisa gak tau naik sepeda? Kan tinggal dirikan sepeda, duduki sadel, kaki siap di pedal, terus dikayuh.. Tuh, aku kasih tau lengkap.

Lagipula, kalau di atas sepeda (dan ~ motor), selama roda masih berputar nggak akan jatuh kok. Percaya deh.

Apa jangan-jangan gara-gara gak pernah sepeda-an (olahraga? ;p) jadi sakit-lagi-sakit-lagi nih? Coba deh Kaka' sekali-kali (belajar) sepeda-an. Siapa tau di jalan ketemu, ehm, siapa gitu... hihihi.. Udah ah, makin ngawur aja nih.. ;D