Selasa, 12 Mei 2009

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Bagian 4: Menerabas Hutan)

Ringkasan cerita sebelumnya: Perjalanan "panjang" Jakarta (Depok) - Cikaniki akhirnya berhasil kami tempuh. Setibanya di BP Cikaniki, kami diantar menuju kekaguman pertama kami pada alam: jamur yang menyala dalam gelap. Selepas itu, dan setelah bercengkerama sebentar, kami pun beristirahat untuk perjalanan keesokan paginya.

**

Hutan Perawan Halimun
Jangan salah sangka dengan anak judulnya yah.. Hehe.

Pagi harinya, tidak serentak kami terbangun dari tidur. Mas Ii', di satu pihak, termasuk golongan awal, dan memanfaatkannya untuk menangkap momen beberapa dari kami yang masih terlelap. Dasar iseng!

Kemudian, selepas Shalat Shubuh, mulailah energi merayapi kabin itu, membuka mata kami sedikit demi sedikit. Aktivitas pertama: Air, tentu saja. Merebus air boleh dikata menjadi pengawal hari kami. Banyak gunanya, tentu, tapi untuk memulai hari, bagi beberapa orang, tidak ada yang lebih nikmat daripada kopi. Jadilah air panas yang cepat mendingin itu digunakan untuk menyeduh kopi, susu, maupun juga teh.

Mandi? Sepertinya belum deh. Saat pintu menuju 'aula' terbuka di luar dibuka, udara dingin cepat merebak ke dalam. Jadilah sebagian besar kami tidak mandi pagi itu. Kemudian, setelah minum-minum (kopi, teh, juga susu, hehe..) mulailah aroma mi instan menguar mengisi ruangan itu. Hmm... Sedap.. (Ups.. Bukan iklan kok).

Satu hal yang setidaknya kurasa berkesan, adalah ketika Desta 'memasak' "Nasi Ajaib". Kenapa "Nasi Ajaib", karena memang begitulah rasanya. Agak amburadul, dan penyajiannya pun... Hihihihihi.... Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Sekitar pukul 8 WIB (atau pukul 9 WIB ya?) kami bersiap-siap berangkat menerabas hutan. Seperti biasa, sebelum berangkat, kami dikumpulkan di depan BP, untuk terlebih dahulu berdoa dan tak lupa berfoto, tentu saja. :D. A' Iwan sendiri, sedikit terkejut karena penampilan sebagian besar kami tidak seperti hendak naik gunung melewati pepohonan. Coba saja, di tengah hutan yang belum banyak terjamah manusia (ehm, berlebihan lagi), dan ada berbagai hewan dari berbagai ukuran, Garda cs dengan santainya bercelana pendek dan berkaus T lengan pendek, bersandal jepit pula! Aku sendiri mengenakan celana training panjang, bersepatu dan kaus kaki, kaus dan jaket. Tak ketinggalan kubawa kesayanganku si Kenny (Kamera Canon EOS 500N beserta lensa 28-200 dari Sigma) yang sudah terisi film, dan kaki penyokongnya (yang akhirnya tidak terpakai juga). :'(. Meskipun demikian, A' Iwan pada akhirnya setuju membawa kami melalui jalur Citalahab (umm betulkah? Duh, lupa!).

Setelah berdoa, kami pun berangkatlah. Satu demi satu meniti tangga melalui jalur yang kami lalui malam sebelumnya. Ternyata pemandangan yang tersedia jauh lebih indah daripada malam sebelumnya, saat perhatian hanya tertuju pada jamur yang menyala di kegelapan hutan (lihat tulisan sebelumnya). Pagi itu, matahari yang sinarnya menerobos celah-celah puncak dedaunan menyinari sela-sela pepohonan. Di sisi kanan sesekali terlihat sungai yang mengalir cukup deras. Suaranya menyejukkan hati rasanya.

Tak berapa lama, kami pun sampailah di bawah tangga naik (scaffolding, kalau kata Dian) menuju Canopy Trail. Sayang sekali, karena kalender masih menunjuk bulan Maret, hujan masih sering menerpa. Selain itu, ternyata sedang diadakan perbaikan sehingga jalur melalui kanopi hutan itu baru dapat dipergunakan beberapa bulan setelah kami datang. Di bawah tangga tersebut kami ditunjukkan kembali jamur yang, pada siang hari, tidak menarik sama sekali. Warna jamur tersebut putih, tumbuh di sisa ranting pepohonan yang ada di lantai hutan itu.

Kemudian, kami pun berjalan lagi sampai beberapa meter kemudian, kami mendapati sisi jalan sebelah kanan tampak gembur, selayaknya tanah habis dicangkul. Ternyata, bekas yang memanjang tersebut adalah jejak dari babi hutan, yang merupakan hewan nokturnal (aktif pada malam hari). Memang terlihat bahwa jejak tersebut masih relatif baru, dengan tanah gembur yang masih cukup terlihat basah. Sayangnya kami tidak cukup beruntung untuk mendapati hewan tersebut berkeliaran di dalam hutan.

Tak berapa berjalan, A' Iwan kembali mengajak kami berhenti sejenak. Beliau kemudian menunjukkan sebatang pohon serupa talas, yang batangnya dapat dimakan. Seperti sayur untuk lalap, batang dari tanaman ini dapat dimakan langsung dari alam. Luar biasa memang, Dia tidak akan membiarkan satu pun makhlukNya tanpa rizki. Bahkan di tengah hutan yang seolah-olah, untuk sebagian penghuni kota besar sepertiku, tidak ada makanan untuk dimakan. Betul adanya bahwa ilmu yang tepat diperlukan agar kita bisa bertahan hidup.

Kemudian, setelah berjalan lagi ke depan, ada hambatan yang cukup lama juga menghentikan kami. Ternyata ada pohon yang baru tumbang dan belum dipindahkan. Wahh.. Sempat kami ditawarkan untuk kembali saja ke wisma tamu, tetapi kami akhirnya memutuskan menempuh batang-batang pohon yang garis tengahnya kira-kira sebesar guling di kamarmu. Cukup sulit, memang, terutama untuk kawan-kawanku yang bersandal jepit untuk 'berakrobat' melangkahi pohon sembari mencari pegangan dan pijakan yang kukuh, tetapi lima menit kemudian, hambatan pohon itu pun dapat pula kami lalui.

Setelah dari situ, kami terus berjalan, masih teriring deru sungai mengalir di kanan bawah kami, namun kali ini juga ditimpali suara-suara kicau burung, juga sesekali sepertinya terdengar suara primata khas TNGHS: Owa Jawa (Hylobates moloch). Suara-suara itu ditimpali juga oleh tawa riang kami, yang tanpa terasa telah berjalan beberapa hektometer (ehm, mudahnya beberapa ratus meter).

Kami pun sekali lagi menjumpai arung-arungan (bagian sungai dangkal tempat orang menyeberang, atau ford). Kali ini sedikit lebih lebar, dan kami pun menyempatkan diri sedikit mencuci tangan, sandal, wajah, dan apapun yang bisa dicuci (berlebihan.. :D) di sana. Menurut A' Iwan, aliran sungai yang kami lewati itu adalah sungai yang mengaliri mata air "pegunungan" perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) merk "A". Sialnya, A' Iwan menyatakan itu setelah Ilham membuang dahak di situ. Sontak dahak Ilham pun menjadi bahan olok-olok selama beberapa ratus meter perjalanan kemudian (termasuk di dalamnya pernyataan, "Wah, Ham.. Elo ngeracunin "A", loh.. Parah banget!).

Beberapa langkah melewati arungan itu, kami diarahkan melihat sebuah lubang di tanah. Lubang yang tidak seberapa besarnya (mulut lubang itu hanya sekepalan tangan, kalau tidak salah). Menurut pemandu kami yang luar biasa, itu adalah sarang dari ular. Ular kobra tepatnya. Bersyukur juga kami tidak menemukan penghuni liang itu. Sejenak beberapa dari kami mengambil gambar liang tersebut, sebelum kami melanjutkan perjalanan.

Jalur yang kami lalui berikutnya adalah jalur mendaki. Harus berhati-hati, karena lantai hutan masih cukup licin sisa hujan malam-malam sebelumnya. Beberapa meter ke depan, kami ditunjukkan sebatang pohon yang besar -- sangat besar malah. Lingkar pohon itu baru dapat digapai oleh setidaknya tiga orang merentangkan kedua tangannya memeluk pohon itu. Besar, bukan? Kalau tidak salah, pohon itu adalah pohon rasamala.


Si Bolang (I)

Lepas dari pesona pohon tersebut, kami pun berjalan lagi, sampai kemudian tibalah di tempat peristirahatan pertama. Tempat peristirahatan berupa kursi-kursi dan meja batu รก la masa purbakala (berlebihan.. :D). Di situ, kami membuka bekal air minum yang telah kami siapkan, dan duduk sejenak meluruskan kaki. Di HM 15 (seingatku, hehe..) itu kami dilewati oleh empat orang anak yang bertelanjang kaki, berkaus, dan bercelana pendek, serta membawa joran.

Cara mereka melangkah di kedalaman hutan itu benar-benar berbeda dengan kami -- yang sebagian telah bernafas tersengal menempuh jarak sedemikian. Anak-anak tersebut berjalan cepat, dan perlu diingat: bertelanjang kaki pula! Luar biasa. Bersyukur aku sempat mengabadikan empat anak tersebut (dari belakang, sayangnya) dalam foto. Kami sepakat memanggil anak-anak itu si Bolang, mengacu pada sebuah acara televisi tentang anak-anak yang mahir 'bercanda' dengan alam.

Oh iya... Foto-fotonya ya? Nanti, di akhir perjalanan tulisan ini akan kutempatkan dalam satu tempat tersendiri, jadi sabar menanti ya?

Setelah beberapa tegukan air dan jepretan rana, kami pun berangkatlah kembali. Medan yang kami lalui masih belum berubah, mendaki, meskipun terkadang menurun, di jalan tanah sela-sela rimbun pepohonan.

Sampai beberapa hm kemudian, kami berhenti lagi. Selain untuk beristirahat, kami juga berharap dapat menyaksikan Owa jawa atau kerabatnya. Sayang sekali kami tidak beruntung hari itu. Tidak seekor kucing pun melintasi jalan yang kami lalui. Jadilah kami meneruskan lagi perjalanan.

Jalan yang kami lalui semakin menantang. 'Jalan' tanah yang tadinya masih nampak kemudian 'terputus' karena diselingi aliran sungai kecil. Jalan yang ada kemudian berganti dengan batu besar yang menempel di dinding tebing maupun di dasar sungai yang tak dalam itu. Jalan itu hanya cukup untuk seorang, dan itu menjelaskan mengapa A' Iwan terkejut dengan kenekatan beberapa dari kami yang hanya bersandal jepit karet untuk menembus hutan itu. Meski demikian, kami dapat pula melewati 'rintangan' tersebut, meskipun harus berjalan satu demi satu melewatinya.

Tanpa terasa, jalan mulai terasa menurun, selain itu, bebatuan yang tadinya bertaburan di lantai hutan mulai menghilang meninggalkan tanah merah yang sebagiannya berlumpur sisa hujan. Akhirnya jalan menurun itu pun semakin curam dan, mengutip Aryo dan Buged, lebih sulit dituruni daripada mendaki jalan yang naik. Syukurlah ada akar pepohonan yang menyembul di kanan-kiri kami, juga di lantai hutan yang bisa mencegah kami meluncur deras ke bawah. Di jalan itu beberapa dari kami sempat terpeleset karena licinnya.

Lepas dari jalan menurun itu, keadaan menjadi lebih baik. Setidaknya cukup datar untuk kami bisa mempercepat langkah. Sampai akhirnya....

...

Tibalah kami di sebuah tanah lapang, di kaki bukit di tepi sawah. Di tengah sawah tersebut ada seorang petani sedang mengurus sawahnya. Pemandangan yang indah dan menyejukkan. Tapi bagi yang lain, tentu saja... Foto-foto! Haha.. (Seperti kukatakan sebelumnya, foto-fotonya setelah semua tulisan ini selesai yah.. Katanya, orang sabar disayang Tuhan). :P

Sempat juga selembar (yah, selembar virtual dan negatif saja) kuabadikan, dan hasilnya tak buruk menurutku. Nanti dulu yah..

**

Curug Macan

Tempat itu bernama Citalahab. Di tepi lapang itu terpampang namanya jelas, yang memberitakan pada pengunjung tentang keberadaan Bumi Perkemahan di daerah situ. Selain itu, menurut A' Iwan, daerah Citalahab ini juga merupakan perkebunan teh. Benar adanya memang, karena hampir sejauh mata memandang, yang nampak adalah punggung bukit yang hijau ditanami pohon teh yang rendah.

Dari lapang itu kami berencana melanjutkan ke Curug (Air Terjun, bs. Sunda) Macan. Sebelum memulai kembali perjalanan, kami menumpang istirahat meluruskan kaki di rumah penduduk di situ.

Setelah beberapa tegukan air (halah) kami pun siap melangkah kembali. Perjalanan kali ini kembali mendaki, namun jalan tanah sudah dilapisi dengan batuan yang besarnya sekepalan tangan. Jalan kali ini cukup lebar untuk dilalui truk kecil, yang -- meskipun kami tidak cukup beruntung melihatnya (sekaligus
untuk menumpang, hehe) -- semestinya sering bolak-balik mengangkut hasil bumi yang sedap dinikmati selagi hangat ini.

Jalan mendaki terus, sampai akhirnya tiba kami di semacam percabangan jalan. Curug, mm.. Apa namanya ya? Curug Piit mungkin ya? Aku lupa tepatnya, mendaki ke kiri, sedangkan jalan ke kanan mulai menurun. Di percabangan jalan ini, ada bangunan tak berdinding yang ditopang tiang kayu. Pada bangunan inilah, entah bagaimana caranya, bisa didapatkan sinyal telepon seluler. Apes bagiku, daya pada bateraiku telah lama habis, dan tidak pula aku membawa pengisi ulang daya. Jadilah aku cuma bisa melihat dan mendengar Dian (atau Desta, ya?) menelepon entah-siapa di sana.

Yang unik, sinyal telepon seluler di sana hanya bisa didapatkan bila kita mendekat ke salah satu dari tiang manapun pada bangunan itu. Benar-benar aneh!

Setelah (sekali lagi) beristirahat dan berfoto-foto, kami pun meneruskan perjalanan melintasi Kebun Teh Nirmala itu. Pemandangan yang hijau dan luas bisa sedikit mengobati kaki yang terantuk batu sepanjang jalan itu.

Di jalan itulah kami menemui lagi seorang anak yang membawa seikat ranting kayu. Jangan salah, biarpun kelihatannya tidak seberapa, tetapi tetap bisa membuat seorang Buged terkejut saat pertama mencoba mengangkatnya. Memang terlatih, anak itu. Tetapi sekali lagi, kami menyempatkan diri berfoto dengan dia. "Pelajaran" komunikasi kami terapkan dengan memberi anak itu oleh-oleh: sebungkus biskuit wafer. :D

Lalu, setelah selesai dengan sesi foto-foto tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, sinar mentari mulai terasa makin sejuk. Rupa-rupanya, pepohonan mulai melingkupi kepala-kepala kami. Sepertinya perkebunan teh ini sudah berakhir di situ, dan berganti dengan hutan kembali, lengkap dengan pohon-pohon besarnya.

Kami pun tibalah di mulut sebuah jalan kecil (lagi) yang di depannya ada papan bertanda panah bertuliskan "Curug Macan". Konon kabarnya, nama tersebut diberikan karena dahulu air terjun tersebut adalah tempat macan (harimau) mandi. Hiyy... Seram sekali kedengarannya, tetapi tenang saja, sekarang harimau sudah semakin sulit ditemui, jadi Curug Macan tersebut dapat dikunjungi tanpa perlu terlalu was-was. Meski demikian, kesulitan menemukan macan itu adalah hal yang baik atau tidak, aku tak tahu.

Jalan yang kami lalui lebih kurang serupa dengan saat kami menerabas hutan Gn. Halimun sebelumnya, dengan akar pohon yang berkelit berkelindan dan membuat kami harus membuat langkah besar melewatinya. Jalan tanah yang basah, juga berlumut. Dan pepohonan rimbun di kiri-kanan kami. Yang membedakan mungkin hanya suara gemericik air terdengar sayup-sayup di sana, dan semakin deras terdengar seiring langkah kami yang semakin mendekat ke curug tersebut. Hingga akhirnya....

Pemandangan indah tersaji di depan kami. Air yang mengalir dari ketinggian lebih kurang 10 meter dari permukaan deras menghujam bebatuan di bawahnya. Memisahkan kami dari cantiknya air terjun itu adalah satu aliran sungai, lebar kuperkirakan 5 meter, dan kedalaman sekitar setengah sampai satu meter. Arusnya tidak terlalu deras, syukurlah.

Langsung saja, satu persatu kami menyeberangi aliran sungai tersebut. Aku? Sekali itu aku menjadi kucing: Takut air. :D. Habis, bagaimana lagi, salah satu tujuan utamaku ikut serta ini adalah motret. Itu sebabnya aku yang paling lengkap datang ke air terjun itu: kaus, celana panjang training, jaket, tripod, kamera, dan sepatu. :P

Jadilah aku lompat sana-sini memotret beberapa tempat dengan sisa frame yang ada di film tinggal < 10.

BERSAMBUNG (lagi)
written until 25. Jun, 2009




2 komentar:

Pan mengatakan...

LOL.... dah lama nih nunggunya... ditunggu potonya yak....

Dian? Nelpon cowo-nya lah!!!!!! :D

Wew... jadi pengen ke sana..........

ArIf mengatakan...

Dudu! Waktu itu belum kayak sekarang. Nelpon enyak-babenya deh sepertinya. Mbuh, aku yo lupa-lupa inget.. :D