Kamis, 19 Februari 2009

Penawaran

Hmm... Dari dua lowongan pekerjaan yang telah coba kulamar, belum satu jua yang menyampaikan balasannya. Entah belum sempat terbaca, entah memang suratku digugurkan, tak kutahu. Mungkin juga tak ku mau tahu.

Tapi hari ini, siang hari 19. Februar 2009, ponselku berdering. Rekanku menelepon, (mantan?) ketua BEM FT, itu tuh si Adi.. (Adi, main bola lagi yuk! :p). Ada satu hal yang dia tanyakan. Langsung seperti kesukaanku.

"Rif, Pak Dedi lagi nyari anak S1 yang udah lulus, mau dijadiin dosen," begitu katanya. "Disekolahin. Gimana Rif?" Lanjutnya. Pak Dedi adalah Pembimbing Akademisku, sekaligus juga mantan kepala Jurusan kami.

Hmm... Dengan berdengung tak jelas serupa lebah, aku menjawab sekenanya dulu, "boleh dipikir-pikir dulu nggak?"

Yah.. Dengan satu tujuan kecil telah kutetapkan, kesempatan ini terus terang menggoda juga. Kesempatan bersekolah (lagi) sedikit banyak menarikku juga.. Kamu tahu lah, sedikit saja mencecap ilmu, maka serupa air garamlah rasanya ilmu itu. Semakin diminum semakin haus. Begitu juga yang kurasa. Semakin banyak mempelajari sesuatu, rasanya semakin tahu diri kita kalau yang kita tahu itu hanya seujung kuku dari apa yang kita pelajari itu. Itulah mengapa rasanya sekolah itu demikian menarik. Demikian menggoda, kalau boleh kukatakan demikian.

Tapi ada beberapa pertimbangan yang perlu dipikirkan masak-masak. Dari dulu ada satu hal yang mengganjalku dalam urusan berbagi ilmu. Berbagi uang, makanan, cerita, apapun asal bukan ilmu itu mudah sekali rasanya buatku. Tetapi soal ini... Tanyakan adikku, bagaimana aku tak bisa mengajarkannya dengan baik. Sampai dia mengertilah, setidaknya. Intinya, soal komunikasi verbal, aku bahkan tak termasuk golongan menengah.

Ada cerita yang beredar di kalangan terbatas di angkatanku, kalau seorang dosen pria -- yang boleh dibilang unik -- sering dihubungkan dengan aku. Beliau mengajar dengan cara yang, ehm, tak biasa. Sepanjang kelas dulu, beliau lebih sering duduk menghadapi komputer jinjing (kojing) milik beliau, sembari sesekali (atau seringkali) menekan kombinasi tombol tetikus {klik kanan + refresh}. Beliau menerangkan dengan agak terpatah-patah, dan pernah sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan balasan, "menurut kamu bagaimana?"

Nah, ada kekhawatiran dari dalam diriku sendiri -- seperti biasa -- kalau aku dapat saja berakhir seperti beliau. Meskipun sekarang -- setelah beliau menjalani pernikahan dan dianugerahi seorang anak -- beliau telah cukup banyak berubah, tetapi tetap saja beliau masih cukup dikenal dengan citranya yang dulu.

Aku juga sadar. Dosen, guru, dan pengajar pada umumnya itu bukan pekerjaan biasa. Itu pekerjaan dunia, juga pekerjaan untuk masa depan nanti. Ilmu itu, tidak seperti harta, takkan habis bila dibagikan. Alih-alih, ilmu justru semakin berkembang bila tak putus-putusnya dibagi. Ini juga sedikit banyak merayuku untuk mengiyakan tawaran ini.

Apapun, biarkan malam ini aku bicara dengan ibuku, dengan ayahku juga. Sedikit banyak aku merasa ibu dan ayah akan -- seperti biasa -- tak secara nyata melarang ataupun mengiyakan. Mungkin malam ini juga aku akan bicara denganMu. Beberapa menit di hening sunyi akhir malam. Sebelum fajar menjelang. Sebelum ayam berkokok bersahutan. Beberapa menit saja. Semoga sejumput dialog denganMu besok dini hari bisa memberikanku kemantapan hati, akan menemui Pak Dedi ataupun tidak.. Semoga...


--
F I N
written on 19. Feb 2009, 17.24 WIB
...Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna...

Tidak ada komentar: