Kamis, 12 Februari 2009

Pemilik Pabrik

Di satu artikel koran -- entah apa yang kini hilang entah ke mana -- aku mencermati satu tulisan yang menarikku dulu. Tulisan itu memperbandingkan dua istilah yang hampir serupa tapi tak sama: pemilik pabrik dan industriawan (kbbi: industriawan ≈ Industrialis).

Sederhananya, sejauh yang kuingat, pemilik pabrik 'lari' kala badai menerpa, dan seorang industrialis menahan badai itu dari orang-orang di belakangnya. Lebih kasar lagi, pemilik pabrik kurang memiliki (atau mungkin mempergunakan) hati, dan sebaliknya seorang industrialis lebih memiliki hati. Mungkin definisi ini agak terlalu kasar ya? Jadi mari kita bahas sedikit yang kuingat dari artikel yang kubaca tak kurang tiga tahun lalu itu.


Krisis dan Rengekan 'Pengusaha'

Terus terang, dulu aku tertarik membaca tulisan itu karena ada sedikit bagian diriku yang ingin ngerjain orang
(
upss... ini akibatnya penggunaan bahasa yang salah. Harusnya: memperkerjakan. Panjang tetapi lebih baik). Artikel itu setidaknya memberiku gambaran, bagaimana kelak aku harus berlaku seandainya keinginan itu betul-betul terlaksana akhirnya.

Nah, yang cukup menohokku, meskipun sekarang aku sudah lebih sadar kalau 'dunia nyata' di negeri ini memang terkadang tidak adil, bahwa terkadang pelaku usaha lebih banyak berpikir diri mereka sendiri, atau paling jauh kelangsungan usaha mereka sendiri. Bagi mereka laki-laki dan perempuan yang bekerja pada mereka tak ubahnya dengan mesin-mesin yang dapat diganti dengan mudahnya (
tidak mudah juga sih). Bagi mereka, andaikan badai melanda, maka laki-laki dan perempuan itulah yang lebih dulu diterpa derasnya angin. Bagi mereka itu, tak mengapa kehilangan laki-laki dan perempuan itu, toh nantinya akan tumbuh lagi mereka-mereka itu, menjadi pagar-pagar yang bisa melindungi mereka..

Dan, oleh penulis artikel itu, pelaku usaha yang demikian dimasukkan ke dalam kategori "pemilik pabrik". Bermental cengeng, kalau boleh kutambahkan.

Lalu bagaimana dengan lawan bandingnya? Menurut penulis artikel tersebut, semoga yang kuingat masih benar, seorang industrialis memandang laki-laki dan perempuan yang bekerja padanya sebagai rekan, bahkan keluarga -- kalau boleh kusebut begitu. Perlakuan baik ia berikan tidak hanya saat hari sedang cerah. Di tengah badai pun, perlakuan itu tak luntur. Ia sedapat mungkin tidak memutus pekerjaan laki-laki dan perempuan itu, dengan pembicaraan-pembicaraan yang baik tentang keadaan yang
mereka hadapi --bukan yang dia hadapi. Bagaimanapun, badai tak pernah bertanya KTP-mu, 'kan?

Ya, seorang industrialis yang kutuju. Dan jangan salah duga. Industrialis tidak selalu berurusan dengan pabrik-pabrik yang besar, mesin-mesin yang bising, dan barang-barang yang entah-apa-namanya. Istilah ini, kuduga, lebih pada kepribadian.

********

Dan, pagi ini, ketika kudengar seorang yang mengepalai perkumpulan pengusaha (atau 'pengusaha'?) meminta percepatan bantuan keuangan dari pengelola negeri untuk membantu usaha mereka, termenung juga aku dibuatnya.......


--
F I N
written on 12. Feb 2008, 10.53 WIB
"Dan bila menjadi dewasa itu benar pilihan, izinkan aku untuk tidak memilihnya..."

Tidak ada komentar: