Minggu, 04 Juli 2010

Mimpi Buruk

Tidak. Ini tidak ada urusan dengan tidur, mengantuk atau semacamnya. Ini berkaitan dengan "mimpi buruk" dalam tanda petik. Ya, mimpi buruk yang itu.

Menurut Ibuku, dia itu sepupuku, sebut saja "Bajing". Anak kedua dari kakaknya. Dulu, delapan tahun yang lalu, aku mengalami kecurian. Di kamarku sendiri. Bukan, awalnya bukan oleh orang yang akan kita bicarakan ini, meskipun orang itu -menurut ibuku- masih ada hubungan keluarga. Entah jalurnya ke mana.

Waktu itu, sebongkah telepon seluler yang direnggutnya dariku saat aku tengah bersiap menuju ke tempat kursus bahasa Inggris. Motorola C330, dengan sediaan casing yang dapat diganti sejumlah dua unit. Bahkan nomornya masih kuingat. 0813 1000 2309. Hubungi saja, dijamin sudah tiada.

Ponsel itu, dulu bukan yang paling bagus. Bukan pula yang paling mutakhir. Tapi tetap saja itu pemberian orang tuaku. Kehilangan berarti kelalaianku. Dan dia pun melenggang dengan ponsel itu, yang dulu kuletakkan seperti biasa di dalam tas, siap untuk berangkat bersamaku. Dia pergi sebelum aku menyelesaikan mandi petang hariku.

Kemudian, selang beberapa hari/pekan kemudian, si Bajing datang. Sepertinya baik, Bajing itu. Ikut mengutuk pencuri sebelumnya. Baik kelihatannya, sampai beberapa hari setelah kedatangannya, dengan pewaktuan yang hampir serupa sebelum aku beranjak meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat kursus bahasa itu, dia mengambil uang tabunganku.

Terserah kamu menyalahkanku tak menyimpan di bank. Aku toh tidak pernah percaya perbankan dan tidak juga mereka percaya dengan uang receh. Percayalah.

Ya, cuma receh-receh yang kusisakan paksa dari pemberian ongkos dari orang tuaku. Yang rencananya akan kugunakan untuk keperluan-keperluan. Saat di mana aku tidak ingin meminta bermanja. Mungkin cuma ratusan ribu kecil. Tapi untuk anak usia kelas dua/tiga sekolah atas. Dari keluarga seadanya. Diambil sedemikian? Orang yang diaku saudara oleh Ibuku? Cih.

Dari situ aku belajar. Kejam, hidup itu. Maka jadilah lebih kejam daripada hidup. Keras, dunia itu. Maka keraskanlah lebih dari dunia.

Dan Rabu kemarin, Bajing itu datang (lagi). Seketika bara api dalam sekam hati tertiup angin deras. Menyala, membakar. Kali ini Bajing datang dengan istri dan dua orang anak mereka.

Tidak, aku tidak ada urusan dengan mereka. Aku berurusan dengan si Bajing, yang kini kuanggap tak ada. Bukan siapa-siapa. Lebih tak terasa dari anging. Lebih tak terdengar dari bisik. Dan pasti. Lebih hina dari tahi. Orang-orang di sekitarnya? Biar kuberi makan. Bajing itu usianya entah Dia yang tahu. Anak-anak itu? Jangan sampai jatuh sebagai Bajing-Bajing junior. Makanlah dari uangku. Tinggallah di rumah orang tuaku.

Ibu tak setuju dengan caraku. Tapi kuanggap itu hutang si Bajing. Kalau dulu dia meminta, mungkin ceritanya akan lain. Kalau dulu dia bertanya, maka mungkin tak ada aku sekarang ini. Aku hanya ingin milikku kembali. Tidak perlu utuh. Secarik kertas bergambar Bung Karno dan Bung Hatta saja. Dengan permintaan maaf yang benar, mudah-mudahan Dia menerima.

Tapi hingga detik ini, kelihatannya Bajing lupa. Maka biar kupegang kunci maafNya. Entah sampai kapan. Mungkin sampai ujung nafasnya.

--
F I N
written on 04. Juli 2010 15.15 WIB (UTC +7)
Dear bastard, I have His key. Won't you enter His place clean? I guess not.

Tidak ada komentar: