Sabtu, 01 Maret 2008

29. Februar 2008: Sekitar MUI dan sekitarku

Kemarin, Jum'at terakhir bulan Februari 2008 bisa disebut istimewa. Ya, tanggal kalender Juliannya hanya muncul sekali setiap empat tahun. Kali ini jatuh di hari Jum'at yang amat baik, penghulu hari dulu kudengar.

Seperti biasa, seperti Jum'at-Jum'at semester ini aku berangkat *menjelang* tengah hari, mengejar waktu shalat di Masjid UI (Ukhuwah Islamiyyah), UI Depok. Bedanya, karena STNK sepeda motor sedang diperpanjang, dan aku merasa kurang bugar akhir-akhir ini, jadilah aku memutuskan menggunakan kereta listrik menuju kampus tercinta. (Alasan lain yang bisa dikemukakan: Bensin sudah menipis, begitupun uang sakuku, he he.. ^_^)

Sebelum mandi, aku menyempatkan menonton acara televisi, judulnya "Sekitar Kita", tayang di GlobalTV pukul 10:00-10:30 WIB. Acaranya kali ini direkam dari suatu lokasi permainan perang (paintball). Yang jelas, tidak seperti kebanyakan acara sejenis yang berlatar luar ruang, acara ini memiliki kekhasan sendiri. Jalan ceritanya (kalau bisa dibilang begitu) unik, lucu, dan memancing tawa dan senyumku. Lumayan untuk mengembangkan senyum sebelum keluar rumah.

[Percepat 90 menit]

Uh, aku terlambat. Khatib sudah naik mimbar di saat aku mengambil wudhu'. Ah, ini ulah kereta listrik yang mengingatkan pada sebuah lagu yang liriknya sedikit kuingat; "biasanya, kereta terlambat 2 jam mungkin biasa". Untung kemarin itu tidak sampai 2 jam. Tetapi cukup mengganggu. Ditambah lagi bus kuning, ups, bus dalam kampus, yang kebetulan tidak lewat di waktu aku tiba di stasiun. Jadilah aku harus berjalan sampai MUI.

Yah, sudahlah lupakan soal kereta, bus, dan berjalan kaki, karena jalan kaki di kampus cukup aku suka sebenarnya. Kemudian aku duduk di Masjid UI yang lantainya sebagian besar dari pualam yang dingin, lebih nyaman daripada duduk di atas pualam yang dilapis karpet panas.

MUI
Lantai pualam yang dingin, tapi nyaman, he he...

Khatib kemudian memulai khutbah dengan cerita "19 tahun yang lalu". Ketika itu, dalam perjalanan menuju suatu tempat, beliau bersama rekan-rekannya melewati sebuah lampu lalu lintas yang sedang menyala kuning. Beliau kemudian memutuskan untuk menginjak pedal rem dan menghentikan kendaraan, "karena masih ada kesempatan".

Dari situ, tutur beliau, dimulailah diskusi tentang "peraturan yang dibuat manusia", dan tujuan mereka yang disebut "tujuan kita untuk sesuatu yang baik", dan "mengapa harus mematuhi peraturan yang dibuat manusia?"

Yap, dari situ cerita beliau mengalir. Tentang bagaimana manusia sebenarnya ingin teratur, bahkan beliau mengambil contoh tentang aliran musik "punk" yang mengaku tidak mengikuti aturan-aturan itu pun sebenarnya mengikuti aturan. Beliau mengambil contoh, bila ada orang yang hendak memasuki komunitas tersebut dengan memakai jas, berpakaian rapi dan bergaya klimis, bukantah akan diusir karena tidak sesuai. Beliau ingin menegaskan bahwa mereka pun ingin teratur dalam ketidakteraturannya.

Kemudian beliau meneruskan tentang keteraturan penciptaan, dan segalanya. Termasuk tentang kemungkinan negeri ini "mundur" adalah karena banyak dari manusia yang tinggal di dalamnya tidak bisa (atau tidak ingin) diatur. Beliau memperbandingkan dengan negeri impianku (halah, sebutlah negeri itu Deutschland) yang memiliki semacam pepatah: Ordnung ist Macht (setelah sedikit mengecek kamus, mungkin yang lebih tepat adalah Bestellen ist Macht?) yang artinya adalah keteraturan itu kekuatan.

Beliau juga mengingatkan bahwa Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang (berjuang) dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS 61:4). Hm... Masuk akal, mengingat betapa banyaknya pelanggaran di bumi pertiwi ini, bahkan oleh orang-orang yang semestinya menegakkan peraturan.

Dan, khutbah pun ditutup dengan kesimpulan bahwa keteraturan itu, meskipun berat pada awalnya, akan membawa manis bagi kehidupan, juga bahwa aturan manusia itu ditaati sepanjang tidak mendorong kepada kemaksiatan. Jadi, lanjut beliau, jangan ragu untuk memutar jalan lebih jauh, menunggu lebih lama, dan sebagainya agar keteraturan itu bisa tercapai. Dan iqamah pun dikumandangkan, dan kami semua shalat-lah.

[Percepat 30 menit]

Shalat telah selesai, aku masih setengah nyengir, berjalanlah keluar, maksud hati ingin berjalan saja ke jurusanku tersayang sampai kuliah bus melaju di kejauhan. Segera aku berlari dan ternyata, saudara-saudara, bus itu tidak berhenti di halte MUI. Uh, semakin lebarlah nyengirku saat itu. Jadilah aku benar-benar memulai perjalananku ke jurusan.

Sampai tiba-tiba...

Seorang bapak paruh baya, membawa sepeda motor, masih bersarung, sepertinya selesai menunaikan shalat Jum'at, celingak-celinguk lalu membelok ke kanan di tempat yang seharusnya tidak boleh. Oh iya, sedikit memberitahu, jalan di depan kompleks MUI bisa dikatakan semacam bulevar, jalan ke arah utara dan selatan dipisahkan pembatas yang ditanami rumput, sehingga memang diperlukan kemauan untuk mencari putaran yang sah untuk berbalik arah.

Jadilah aku tersenyum kecut. Betapa tidak, belum sehari, bahkan belum satu jam khatib memberikan pencerahan, memberikan peringatan, memberikan petuahnya, ternyata bapak itu tidak sanggup menyerap untuk dirinya sendiri. Aku membatin sendiri bagaimana mungkin pesan dari khatib bisa sampai ke keluarga bapak itu bila beliau sendiri abai dengan isi khutbah tersebut.

Yah, apa mau dikata, mungkin ini hukuman dari Sang Pemilik Dunia karena banyak dari kita tak acuh dengan (keter)aturan. Entahlah aku tak mengerti. Yang jelas buatku, selalu tatap sekitar kita... :p

F I N
written on 01. März 2008
I order myself: "In order to write in order, you shall write sort of draft in your notes in an orderly manner" ^_^

NB: Siapakah gerangan nama khatib tersebut? Seperti sudah kukatakan sebelumnya, aku terlambat jadi aku melewatkan nama beliau. Bila ada yang tahu, kenal atau apapun, selain memberitahuku, tolong sampaikan terima kasihku karena mengingatkan hal-hal yang terlupa.

Tidak ada komentar: