Senin, 26 Januari 2009

Artifisial

Ya, mungkin banyak yang pernah mendengar satu kata serapan ini. Artifisial (artificial), lebih kurang dapat dimaknai sebagai sesuatu yang tidak asli/buatan, atau suatu tiruan, atau suatu kepalsuan/kepura-puraan. Ada beberapa hal yang sering dihubungkan dengan kata ini, satu yang populer adalah kecerdasan. Dalam ranah bahasa Inggris, dikenal frasa artificial intelligence, (AI) atau kecerdasan buatan. Hal seperti ini biasa didapati pada robot (yang membuatnya dapat'berkembang', seperti menyesuaikan diri dengan situasi, dan sebagainya). Selain itu, AI juga sering didapati pada berbagai program komputer, terutama pada permainan.

Namun, di masa sekarang ini, ada satu hal buatan yang mengganjal pikiranku: keramahan buatan (mungkin bila diterjemahbebaskan menjadi artificial hospitality). Dahulu kala (mungkin tidak selama itu juga) negeri yang letaknya antara 6° LU - 11° LS, dan 95° - 140° BT (tolong perbaiki kalau aku salah. Data dari sini) dikenal dengan keramahtamahannya. Mungkin masa-masa di bawah pemerintahan Sang Jenderal yang Tersenyum (The Smiling General) membawa pengaruh sampai ke akar rumput pula.

Tapi belakangan ini, dengan empat presiden, dan tak terhitung menteri silih berganti, negeri itu seolah kehilangan keramahannya. Paparan media yang (menurutku) agak berlebih tentang berbagai jenis kekerasan, kericuhan, tawur, dan banyak hal lagi seolah telah menghapus senyum yang (dulu) terkembang. Penduduk negeri itu seolah lupa bagaimana beramah tamah, atau mungkin sengaja dibersihkan dari keramahtamahan itu sendiri. Tahu tidak, beberapa waktu yang lalu di sebuah gerai pasar swalayan (atau lebih tinggi lagi? Super-swalayan? Hypermarket?) aku mencuri baca sebuah tulisan di meja kasir swalayan tersebut. Isinya lebih kurang adalah prosedur standar untuk 'menyapa' dan melayani pelanggan.

Hah?? Apa-apaan ini. Pernah kudengar memang, kalau prosedur standar (tertulis, hitam di atas putih) merupakan salah satu persyaratan satu satuan usaha mendapatkan sertifikasi, yang pada akhirnya meningkatkan posisi tawar mereka di mata mitra bisnis maupun pelanggan. Tetapi haruskah sekadar sapaan pada pembeli ataupun pelanggan juga dituliskan dan diajarkan? Harus dibuat(-buat)kah perilaku dan perangai ramah itu?

Memang tidak semua penghuni negeri itu sudah ditinggalkan keramahtamahan. Pada kesempatan lain, pernah kutemukan orang yang dengan senang hati memberikan petunjuk jalan pada orang yang tengah kebingungan. Juga masih ada orang yang mendapati seorang yang dianugerahi kebutaan kemudian menuntunnya melewati tangga, menyusuri terminal, dan sebagainya. Masih banyak juga yang lainnya yang mungkin takkan bisa dimuat di sini seluruhnya. Tetapi memang hampir mustahil hal demikian mendapat tempat di ranah pemberitaan di negeri itu.

Mari tanggapi fakta itu dengan dingin. Mungkin saja hal-hal demikian tidak mendapat tempat karena -- seperti juga kualami -- kekerapan kemunculannya yang terlalu banyak. Bukankah sesuatu yang biasa saja tidak cukup menjual untuk diinformasikan? Semoga saja begitu, dan semoga tetap jelas untukmu mana yang buatan dan dibuat-buat, serta mana yang betul-betul nyata dan asli. Semoga...


--
F I N
written on 26. Jan 2008, 08.06 WIB
"Niscaya tidak akan kamu temukan yang artifisial dariku, kecuali ketidakramahan dan kemuramanku"

Tidak ada komentar: