Kamis, 15 Januari 2009

Sang Pencukur

Kemarin; 14. Januar 2009; lima sore; Lenteng Agung. Seorang bocah tergesa-gesa mendaki jalan di terminal/pasar Lenteng Agung, resah mencari tempat untuk mencukur rambutnya, demi beberapa helai foto dengan syarat: "enam bulan terakhir".

Tak sepuluh menit kemudian, ditemukannya tempat itu. Tempat yang saban hari dilewatinya, dilihatnya selalu, tapi diperhatikannya tidak. "PANGKAS RAMBUT (baris baru) ANDA (baris baru) {huruf hilang} AN {huruf hilang}", begitu yang tertera di kaca (kaca, bukan cermin!) besar bagian depan 'kamar' kecil itu.

Hijau catnya, dan hanya satu itu kaca jendela untuk memandang keluar. Perlahan bocah itu memasuki ranah yang tak dikenalnya sama sekali itu. Ada seorang bapak membawa dua anaknya -- yang satu telah duduk di 'singgasana' bagi orang yang dicukur.

Tukang cukur itu gemar bicara, begitu kesan bocah yang baru datang itu saat melihat dan mendengar derai guyon pencukur berambut dan berjanggut hitam itu. Luwes sekali, yang tak mungkin bocah itu sanggup menandingi kelancaran berbicara pencukur itu. Tak lima menit kemudian, tangannya yang menari-nari mengitari kepala anak itu pun selesailah.

Satu pencukuran satu pemuda tanggung -- yang juga dengan santainya beliau ajak bercanda -- pun berlalu tak sampai sepuluh menit. Anak yang beranjak itu pun membayarlah, sayangnya dengan nominal yang tak sesuai dengan yang tertera pada selembar kertas yang ditempelkan di dinding. Berkata beliau, "Mana nih, emang ada tarif Rp X.000,00 ?". Si remaja itu pun nampak sedikit takut-takut, dan kemudian memilih berkata "adanya cuma segitu, Bang". Mengagumkannya, beliau menerima lembaran-lembaran uang itu dan tersenyum, kemudian berkata pada bocah itu, yang kali itu mendapat giliran menduduki takhta, "Biasa emang gitu dik..". Tersenyum saja yang bisa dibuat bocah itu.

"Mau diapain dik? Digundulin aja, apa?", lanjutnya sambil terkekeh geli. Berkata bocah itu, "Wah, jangan, Bang. Biasa aja, dipendekin". Selesai ia berucap demikian, mulailah tangan-tangan terampil itu menari, memainkan irama rancak sisir dan gunting, serta sesekali mesin pemotong rambut (clipper, kalau tak salah).

Sepanjang ritus pemendekan rambut itu, tak segan beliau berkata dan bertanya pada bocah itu. Mulai dari cuaca ("hujan terus beberapa hari ini, cucian jadi apak. Apalagi udah punya anak"). Lalu, apa yang bocah itu kerjakan ("Kerja apa kuliah, dik? Ooh.. Kuliah. Semester berapa? Wah, dikit lagi lulus dong?", dan seterusnya). Kemudian tentang filosofi rambut pendek yang -- selain untuk kerapian -- menurutnya meningkatkan kemampuan belajar -- karena lebih nyaman, dan betapa anak-anak selalu dan selalu tidak mengerti tentang itu. Banyak hal lagi yang mereka bicarakan, yang membuat waktu sepuluh menit seolah berlalu selamanya.

Tentang yang terakhir -- filosofi rambut pendek, beliau menyatakan baru mendapat ilham tentang hal itu. Satu hal yang diamini bocah itu, karena sampai seusia saat itu, tak pernah ia mengira bahwa kemampuan menerima pelajaran dapat dikaitkan dengan panjang-pendeknya rambut.

Yah.. Begitulah. Tak pernah sekalipun bocah itu membiarkan rambutnya panjang dan dapat tergerai seperti beberapa kawannya. Tak pernah, seperti tak pernahnya ia biarkan dirinya menghirup asap atas kesadarannya sendiri.

Dan.. Di akhir sesi pemotongan rambut kali itu, beliau juga menyinggung soal bakti pada orang tua. Tak enak bocah itu bertanya, apakah orang tua beliau masih ada atau telah tiada. Jadi ia biarkan beliau bertutur tentang anak-anak yang selalu ingin ini dan itu dan harus terpenuhi ("kalau tidak, nanti ngamuk di tengah jalan"), dan kemudian, setelah berusaha mencari nafkah sendiri, semakin besarlah rasanya sesal pernah berbuat sebagaimana anak-anak pada masa kanak-kanaknya dulu.

Terakhir sekali, beliau 'menyindir' bocah tersebut sebagai orang yang "sudah banyak ilmunya. Nggak kayak saya, tukang cukur begini", yang tak bisa dibalas apa-apa selain dengan ucapan "nggak bang, nggak. Ilmu saya mah, masih sedikit", dan wajah yang (seandainya bisa) bersemu merah menahan malu.

"Nah, sekarang udah keliatan gantengnya", pujinya menutup sisiran terakhir di kepala bocah itu, dan diiyakan dengan senyum oleh bocah itu. Selembar uang berpindah tangan, dengan pengembalian beberapa uang pecahan lebih kecil untuk bocah itu.

Sekeluarnya dari situ, ia berjanji pada dirinya sendiri, sembali memburu waktu sebelum studio foto terdekat tutup. Selepas macam-macam hal ini, ia ingin berbagi dengan beliau. Berbagi apa saja, yang jelas hanya satu: ia akan kembali.


*NB: Disunting dari cerita asli/kenyataan yang terjadi saat itu.


--
F I N
written on 15. Jan 2009, 19.10 WIB
"Dan pagi ini, kedai cukur itu terlihat ramai . Semua demi sepuluh menit bersama beliau".

Tidak ada komentar: